Selamat Datang di http://ghanie-np.blogspot.com Dan Selamat Menikmati Sepenggal Taqdir Dari Anak Kepulauan Ini
Mohon ma'af sebelumnya, sudah lama tidak saya Update, karena masih banyak kesibukan yang harus saya selesaikan.
Sekedar Kata Pengantar :
Kureguk kopi sambil menyelesaikan satu puisi. Kamu di sisiku, menjadi kitab refrensiku. Kubuka halaman hatimu, tak kutemukan kata pengganti yang lebih indah untuk kutulis. Selamat Menikmati...

SEPUTAR ZAKAT PROFESI (Kasbul-'Amal wal-Mihan al-Hurrah)

A. Pengertian Zakat Profesi (Kasbul-‘Amal wal-Mihan al-Hurrah)

Yaitu Zakat upah buruh, gaji pegawai dan uang jasa wiraswasta. Yang dimaksud dengan Kasbul ‘amal oleh al-Qardhawi adalah pekerjaan pekerjaan seseorang yang tunduk pada perseroan atau perseorangan dengan mendapatkan upah. Sedangkan yang dimaksudnya dengan al-mihanul-hurah adalah pekerjaan bebas, tidak terikat pada orang lain, seperti pekerjaan seorang dokter swasta, pengacara, seniman, penjahit, tukang kayu dan lain sebagainya.

Wahbah al-Zuhaili secara khusus mengemukakan kegiatan penghasilan atau pendapatan yang diterima seseorang melalui usaha sendiri (wirausaha) seperti dokter, arsitektur, penjahit dan lain sebagainya. Dan juga terkait dengan pemerintah (pegawai negeri) atau pegawa swasta yang mendapakan gaji atau upah dalam waktu yang relatif tetap, seperti sebulan sekali. Penghasilan atau pendapatan yang semacam ini dalam istilah fiqh dikatakan sebagai al-maal al-mustafaad. Dan menurut al-Qardhawi, sebenarnya masalah gaji, upah kerja, penghasilan ini termasuk kategori mal mustafad, yaitu harta pendapatan baru, yang bukan harta yang sudah dipungut zakatnya. Mal mustafad adalah harta yang diperoleh oleh orang islam dan baru dimilikinya melalui suatu cara pemiliknya yang disyahkan oleh undang-undang. Mal mustafad sudah disepakati oleh ualama’-ualma’ untuk wajib dikenakan zakat. Perbedaan pendapat hanya pada waktu mengeluarkan zakat (haul) dan nishabnya.

B. Landasan Hukum Kewajiban Zakat Profesi

Semua penghasilan melalui kegiatan profesional tersebut, apa bila telah mencapai nishab, maka wajib dikeluarkan zakatnya. Hal ini berdasarkan nash-nash yang bersifat umum misalnya firman Allah dalam surat at-Taubah: 103 dan al-Baqarah: 267 dan juga firman-Nya dalam adz-Dzaariyaat: 19
وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.”

Dan firman-Nya dalam al-Baqarah: 267

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآَخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”

Sayyid Quthub (wafat 1965 M) dalam tafsirnya Fi Zhilalil-Qur’an ketika menafsirkan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 267 menyatakan, bahwa ini mencangkup seluruh hasil usaha manusia yang baik dan halal dan mencangkup pula seluruh yang dikeluarkan Allah SWT dari dalam dan atas bumi, seperti hasil-hasil pertanian, maupun hasil pertambangan seprti minyak. Karena itu nash ini mencangkup semua harta, baik yang terdapat zaman Rosulullah saw, maupun di zaman sesudahnya. Semuanya wajib dikeluarkan zakatnya dengan ketentuan dan kadar sebagaimana diterangkan dalam sunnah Rosulullah saw, baik yang sudah diketahui secara langsung, maupun yang di-qiyas-kan kepadansya. Al-Qurthubi (wafat 671 H) dalam tafsir al-Jaami’ lil-Ahkam Al-Qur’an menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kata-kata hakkun pada adz-Dzaariyaat: 19 adalah zakat yang diwajibkan, artinya semua harta yang dimiliki dan semua penghasilan yang didapatkan, jika telah memenuhi persyaratan kewajiban zakat, maka harus dikeluarkan zakatnya.

Sementara itu, para peserta Muktamar pertama tentang zakat di kuwait (29 Rajab 1404 H bertepatan tanggal 30 April 1984 M) telah sepakat tentang wajibnya zakat profesi apabila telah mencapai nishab, meskipun mereka berbeda pendapat dalam cara mengeluarkannya. Dalam pasal 11 ayat (2) Bab IV undang-undang No. 38/1999 tentang pengelolaan zakat, dikemukakan bahwa harta yang dikenai zakat adalah: a. Emas, perak dan uang; b. Perdagangan dan perusahaan; c. Hasil pertanian, perkebunan, dan hasil perikanan; d. Hasil pertambangan; e. Hasil peternakan; f. Hasil pendapatan dan jasa; dan g. Rikaz.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, bahwa setiap keahlian dan pekerjaan apapun yang halal, baik yang dilakukan sendiri maupun yang terkait dengan pihak lain, seperti seorang pegawai atau karyawan, apabila penghasilan dan pendapatannya mencapai nishab, maka wajib dikeluarkan zakatnya. Kesimpulan ini antara lain berdasarkan:
Pertama, ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat umum yang mewajibkan semua jenis harta untuk dikeluarkan zakatnya.

Kedua, berbagai pendapat para ulama’ terdahulu maupun sekarang, meskipun dengan menggunakan istilah yang berbeda. Sebagian dengan menggunakan istilah yang bersifat umum yaitu al-amwaal, sementara sebagian lagi secara khusus memberikan dengan istilah al-maal al-mustafad. Seperti yang terdapat dalam fiqh zakat dan al-Fiqh al-Islamy wa ‘Adillatuhu.

Ketiga, dari sudut keadilan-yang merupakan ciri utama ajaran islam-penetapan kewajiban zakat pada setiap harta yang dimiliki akan terasa sangat jelas, dibandingkan dengan hanya menetapkan kewajiban zakat pada komoditas-komoditas tertentu saja yang konvensional. Petani yang saat ini kondisinya secara umum kurang beruntung, tetap harus berzakat, apabila hasil pertaniannya telah mencapai nishab. Karena itu sangat adil pula, apabila zakat iniun bersifat wajib pada penghasilan yang didapatkan para dokter, para ahli hukum, konsultan dalam berbagai bdang, para dosen, para pegawai dan karyawan yang memiliki gaji tinggi, dan profesi lainnya.
Keempat, sejalan dengan perkembangan kehidupan umat manusia, khususnya dalam bidang ekonomi, kegiatan penghasilan melalui keahlian dan profesi ini akan semakin berkembang dari waktu ke waktu. Bahkan akan menjadi kegiatan ekonomi yang utama, seperti yang terjadi di negara-negara industri saat ini. Penetapan kewajiban zakat kepadanya, menunjukkan betapa hukum islam sangat aspiratif dan responsif terhadap perkembangan zaman. Afif Abdul Fattah Thabari menyatakan bahwa aturan dalam islam itu bukan sekedar keadilan bagi seluruh umat manusia, akan tetapi sejalan dengan kemaslhatan dan kebutuhan hidup manusia, sepanjang zaman dan keadaan, walauun zaman itu berbeda dan berkembang dari waktu ke waktu.

C. Nishab,Waktu, Kadar dan Cara Mengeluarkan Zakat Profesi

Al-Qardhawi menceritakan bahwa pada tahun 1952 M di Dimsyik, Abdur-Rahman Hasan, Muhammad Abu Zahrah dan Abdul-Wahab Khalaf telah melontarkan masalah tersebut pada musyawarah mereka. Mereka mengkiaskan upah kerja dan penghasilan usaha bebas dengan pendapatan uang sewa rumah menurut madzhab Ahmad.

Imam Ahamad berpendapat bahwa barang siapa menyewakan rumahnya dan ia menerima uang sewa sebanyak satu nishab, maka wajib zakat atasnya pada waktu menerima uang sewa itu, tanpa syarat menunggu setahun. Pendapat ini sama dengan pendapat Dawud azh-Zhahiri.

Abu hanifah berpendapat mal mustafad tidak dizakati sebelum sempurna satu tahun di tangan pemiliknya. Pendapat ini sama dengan pendapat imam Malik dan Ibnu Hazm.
Terdapat beberapa kemungkinan dalam menentukan nishab, kadar dan waktu mengeluarkan zakat profesi. Zakat profesi dianalogikan oleh para ulama’ kepada beberapa sumber zakat:

  1. Dianalogikan pada zakat emas nishabnya senilai 8,5 gram emas, kadar zakatnya 2,5 % dan waktu mengeluarkannya setahun sekali, setelah dikurangi kebutuhan pokok. Contoh: jika si A berpenghasilan Rp 5.000.000,00 setiap bulan dan kebutuhan pokok perbulannya sebesar Rp 3.000.000,00 maka besar zakat yang dikeluarkannya adalah: 2,5% x 12 x Rp 2.000.000,00 atau sebesar Rp 600.000 per tahun / Rp 50.000,00 per bulan
  2. Dianalogikan pada yakat pertanian, maka nishabnya senilai 653 kg padi atau gandum, kadar zakatnya sebesar 5 % dan dikeluarkan dan dikeluarkan pada setiap panen (mendapat gaji). Misalnya sebulan sekali: Dalam contoh pada kasus diatas tadi maka kewajiban zakat si A adalah sebesar 5% x 12 x Rp 2.000.000,00 atau sebesar Rp 1.200.000,00 per tahun / Rp 100.000,00 per bulan.
Dan ada juga yang berpendapat bahwa bisa dianalogikan kepada keduanya sekaligus dengan cara nishabnya atau kadar pengeluarannya menggunakan nishabnya zakat emas dan waktu pengeluarannya itu menggunakan zakat pertanian yaitu dikeluarkan setiap panen atau menerima gaji, misalnya gaji itu sebulan sekali maka dikeluarkan pada waktu itu juga.

Atas dasar keterangan tersebut diatas jika seorang pegawai mendapat honorarium misalnya lima juta rupiah setiap bulan, dan ini sudah mencapai nishab, maka ia wajib mengeluarkan zakatnya sebesar 2,5 % sebulan sekali. Sebaliknya seorang pegawai yang bergaji satu juta rupiah setiap bulan, dan in belum mencapai nishab, maka ia tidak wajib berzakat.

DAFTAR PUSTAKA

Hadi Permono, Sjechul, Formula Zakat Menuju Kesejahteraan Sosial, CV. AULIA, Surabaya: 2005
Hafidhuddin, Didin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, Penerbit: Gema Insani, Jakarta: 2002
Abdul Malik Ar-Rahman, Syaikh Muhammad, Pustaka Cerdas Zakat 1001 Masalah dan Solusinya, Penerbit: Lintas Pustaka, Jakarta: 2003
Qutub, Sayyid, Fi Zhilalil Qur’an, Beirut: Daar el-Surq, 1997.

Al-Qurthubi, al-Jaami’ lil-Ahkam Al-Qur’an, Beirut: Daar el-Kutub Ilmiyyah, 1993.


comment 0 komentar:

Posting Komentar

 
© Sepenggal Taqdir | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger