Featured

Selamat Datang di http://ghanie-np.blogspot.com Dan Selamat Menikmati Sepenggal Taqdir Dari Anak Kepulauan Ini
Mohon ma'af sebelumnya, sudah lama tidak saya Update, karena masih banyak kesibukan yang harus saya selesaikan.
Sekedar Kata Pengantar :
Kureguk kopi sambil menyelesaikan satu puisi. Kamu di sisiku, menjadi kitab refrensiku. Kubuka halaman hatimu, tak kutemukan kata pengganti yang lebih indah untuk kutulis. Selamat Menikmati...
Tampilkan postingan dengan label Agama. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Agama. Tampilkan semua postingan

0 Mengeja Kembali Tanggung Jawab Sosial Tasawuf

Tasawuf adalah bagian dari syari’at Islam, yakni perwujudan dari ihsan, salah satu dari tiga kerangka ajaran Islam yang lain, yakni iman dan Islam. Oleh karena itu bagaimanapun, perilaku tasawuf harus tetap berada dalam kerangka syari’at. Maka al-Junaid mengatakan sebagaimana dinukilkan oleh al-Qusyairi (1950:15), “Kita tidak boleh tergiur terhadap orang yang diberi kekeramatan, sehingga tahu betul konsistensinya terhadap syari’at”.

Tasawuf sebagai manifestasi dari ihsan tadi, merupakan penghayatan seseorang terhadap agamanya, dan berpotensi besar untuk menawarkan pembebasan spiritual, sehingga ia mengajak manusia mengenal dirinya sendiri, dan akhirnya, mengenal Tuhannya.

Lahirnya tasawuf sebagai fenomena ajaran Islam, diawali dari ketidakpuasan terhadap praktik ajaran Islam yang cenderung formalisme dan legalisme. Selain itu, tasawuf juga sebagai gerakan moral (kritik) terhadap ketimpangan sosial, moral, dan ekonomi yang dilakukan oleh umat Islam, khususnya kalangan penguasa pada waktu itu. Pada saat demikian tampillah beberapa orang tokoh untuk memberikan solusi dengan ajaran tasawufnya. Solusi tasawuf terhadap formalisme dan legalisme dengan spiritualisasi ritual, merupakan pembenahan dan transformasi tindakan fisik ke dalam tindakan batin.

Sedangkan reaksi terhadap sikap politik dan ekonomi penguasa akibat telah diraihnya kemakmuran material yang menimbulkan sikap kefoya-foyaan, berupa penanaman sikap isolasi diri dari hiruk-pikuknya duniawi. Faktor internal lainnya ialah reaksi kaum muslimin terhadap sistem sosial, politik, budaya dan ekonomi di kalangan Islam sendiri. Dengan kemakmuran di satu pihak, dan di pihak lain terjadinya pertikaian politik intern umat Islam yang menyebabkan perang saudara antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah – bermula dari al-fitnah al-kubra yang menimpa khalifah ketiga, Usman bin Affan – maka sebagian tokoh agama mengambil jarak dengan kehidupan politik dan sosial.

Sebenarnya al-Qur’an maupun hadis Rasulullah saw. memang banyak yang bernada “mendiskreditkan” dunia, namun banyak pula yang menganggapnya positif. Turunnya ayat-ayat yang bernada mendiskreditkan dunia (misalnya surat al-Lumazah), tak lain karena berkaitan dengan sikap dan watak kafir Arab waktu itu, yang mengharapkan kekekalan dunia ini. Sedangkan ajaran-ajaran yang memandang positif terhadap dunia (misalnya surat al-Qashash: 77) dan ad-Dukhan: 38-39), karena dunia dapat dijadikan sebagai alat dan sarana untuk memberi kebahagiaan dunia dan akhirat oleh orang mukmin.

Dari pemahaman terhadap ajaran-ajaran tadi, lahirlah pemaknaan yang menumbuhkan konsep zuhud dalam tasawuf. Dalam rentangan sejarahnya, pengaplikasian dari konsep ini dapat diklasifikasikan menjadi dua macam : yakni zuhud sebagai maqam dan zuhud sebagai akhlak Islam.

Dalam konsep zuhud sebagai maqam, dunia dan Tuhan dipandang sebagai dua hal dikhotomis. Contoh yang jelas adalah ketika Hasan al-Bashri mengingatkan kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz: “Waspadalah terhadap dunia ini. Ia bagaikan ular yang lembut sentuhannya namun mematikan bisanya. Berpalinglah dari pesonanya karena sedikit terpesona, Anda akan terjerat olehnya” (Dalam Abu Nu’aim, VII, tt. : 394). Sedangkan Abdul Qadir al-Jailani dengan tegas menyatakan bahwa dunia adalah hijab akhirat, dan akhirat adalah hijab Tuhan. Bila berdiri bersama, maka jangan memperhatikan kepadanya, sehingga hati (sirr) bisa sampai di depan pintu-Nya (Abdul Qadir al-Jailani, 1968: 75).

Pandangan seperti itu adalah hasil dari pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan hadis Nabi secara tekstual, bukan pemahaman secara kontekstual dan sosiologis. Jika memahaminya secara kontekstual dan sosiologis, maka perlu memperhatikan pada masa awalnya al-Qur’an diturunkan, kondisi masyarakat Arab mempunyai anggapan bahwa dunia adalah satu-satunya yang kekal dalam kehidupan ini. Mereka beranggapan bahwa dunia ini adalah tempat yang abadi. Di sini al-Qur’an memberikan jawaban terhadap sikap seperti itu (Toshihiko Izutsu, 1993: 66), misalnya dengan ayat-ayat al-Qur’an (QS. Al-Lumazah, al-A’la: 16-17, dan al-Hadid: 20).

Sedangkan zuhud sebagai akhlak Islam, bisa diberi makna sesuai dengan situasi dan kondisi setempat. Sikap para ulama sebagaimana telah disebutkan tadi, merupakan reaksi terhadap ketimpangan sosial, politik, dan ekonomi yang mengitarinya, yang pada suatu saat dipergunakan untuk memobilisasi gerakan massa. Dengan demikian formulasinya bisa berbeda-beda sesuai dengan tuntunan zamannya. Oleh karena itu, sebagai akhlak Islam, zuhud bisa berbentuk ajaran Futuwwah dan al-Itsar.

Secara substansial, tasawuf memiliki beberapa ajaran yang berdimensi sosial, antara lain Futuwwah dan al-Itsar. Apabila Ibnu al-Husaini al-Sulami (1992: 10) mengartikan Futuwwah (kesatria) dari kata fata (pemuda), maka untuk masa sekarang maknanya bisa dikembangkan menjadi seorang yang ideal, mulia dan sempurna. Atau bisa juga diartikan sebagai orang yang ramah dan dermawan, sabar dan tabah terhadap cobaan, meringankan kesulitan orang lain, pantang menyerah terhadap kedhaliman, ikhlas karena Allah dan berusaha tampil ke permukaan dengan sikap antisipatif terhadap masa depan dengan penuh tanggung jawab. Adapun arti al-Itsar yaitu lebih mementingkan orang lain daripada diri sendiri (QS. al-Hasr: 9).

Keteladanan tentang dua hal tersebut dapat dilihat pada perilaku sahabat Abu Bakar yang rela memberikan seluruh hartanya demi kepentingan perjuangan Islam. Contoh lain adalah Abu Dzar, ketika diancam oleh Mu’awiyah dengan kemelaratan dan pembunuhan, dia justru menantangnya bahwa perut lebih disenangi daripada atasnya, kefakiran lebih disenangi daripada kaya. (Dalam Abu al-Faidl al-Mutawaqqi, 1967: 162).

Latar belakang kehidupan social Abu Dzar sangat menarik jika dikaji. Ketika jabatan khalifah dipegang oleh Abu Bakar al-Shiddiq dan Umar bin Khattab, dia tetap berjuang sebagaimana yang dilakukannya semasa Rasulullah saw. Namun ketika jabatan itu dipegang oleh Utsman bin Affan, situasi sosial ekonomi berubah, orang-orang kaya hidup berfoya-foya, sementara banyak orang miskin yang membutuhkan uluran tangan mereka tak tertolong. Keadaan demikian terjadi di Madinah maupun Syam. Abu Dzar prihatin, lalu mengadakan gerakan infak dengan mengutip ayat al-Qur’an (al-Taubah: 34), sehingga banyak orang kaya yang tersinggung. Mu’awiyah menjadi cemas dengan kegiatan ini, maka dia lapor kepada khalifah Utsman bin Affan. Abu Dzar dipanggil ke istana, dan terjadilah dialog panjang di sana. Ketika Utsman tersinggung dan terpojok, maka marahlah dia dan menyuruhnya pergi. Akhirnya dia diusir ke Rabadzah dan hidup di pengasingan ini sampai wafatnya.

Kisah menarik lainnya adalah Hasan al-Bashri. Salah satu pendapatnya: “Jika Allah menghendaki seseorang itu baik, maka dia mematikan keluarganya sehingga dia dapat leluasa dalam beribadah.” Ucapannya yang lain: “Seseorang tidak akan sampai ke tingkatan shiddiqin, kecuali dia meninggalkan istrinya bagaikan janda, dan anak-anaknya bagaikan yatim.” (Dalam Abdul Hakim Hassan, 1954: 38). Sikap Hasan al-Bashri diatnggapi oleh Nurcholish Madjid (1992: 256-257) sebagai sikap oposisi terhadap praktik-praktik rejim pemerintah kaum Umawi di Damaskus, karena penguasanya lebih didominasi orang-orang Arab Syiria. Tetapi sebagian lagi justru oposisi itu timbul karena pandangan bahwa kaum Umawi kurang “religius”.

Dalam kajian ini jelas bahwa kezuhudan dan kesufian pada diri Abu Dzar dan Hasan al-Bashri menampilkan sikap peka terhadap masalah-masalah sosial. Dalam arti aktivitasnya itu bisa diberi makna sebagai protes dan tanggung jawab sosial mereka pada waktu itu. Menurut hemat penulis, sifat dan sikap tanggung jawab sosial ini ada pada diri seseorang (sufi) yang telah benar-benar menghayati ajaran Islam, yang tertanam dalam jiwanya “la yamliku syai’an wa la yamlikuhu syai’un” (tidak memiliki dan tidak dimiliki sesuatu), tawakkal, qana’ah, sabar, ridla, dan sebagainya.

Bentuk keprihatinan lain dapat kita amati pada kisah hidup hujjah al-Islam, al-Ghazali dan berbagai komentar terhadapnya. Dia mengembara selama lebih kurang 10 tahun pada saat menderita “kegoncangan batin” yang luar biasa. Maka diarunginya kehidupan sufi, baik secara teoritis maupun praktis, sehingga dia memperoleh kesembuhan yang menurutnya, semata-mata berkat pancaran nur yang diberikan Allah ke dalam hatinya. Akhirnya dari situ dia memperoleh ilham kasyf.

Menanggapi kisah hidup al-Ghazali ini, banyak kritik yang dilontarkan, misalnya oleh Zakki Mubarak (tt: 21) yang menyatakan bahwa di tengah-tengah tuntutan perang dan perjuangan untuk negaranya, dia malah tenggelam dan asyik membaca wiridnya. Dan terhadap buku al-Ghazali yang ditulisnya ketika sembuh dari sakitnya, yakni Al-Munqid min al-Dlalal -- karena berisi tentang kritik-kritik terhadap filsafat, teologi, fikih, dan tasawuf (aliran batiniyah) --, muncul pula komentar minor terhadapnya. Fuad al-Ahwani misalnya, mengibaratkannya bagaikan telah menyembelih ayamnya yang telah bertelur emas. (Dalam Oemar Amin Hoesin, 1964: 22).

Orang memang bebas untuk berkomentar, namun akan sangat bijaksana apabila mau melihat latar belakang terjadinya, atau factor sosio-historisnya. Montgomery Watt (1987: 140) misalnya, menyatakan bahwa hubungan buruk al-Ghazali – yang sangat kuat berpegang pada ajaran moral – dengan penguaa Seljuk yang baru (Barkiyaruk, diangkat bulan Pebruari 1095), menjadi faktor pemicu. Apalagi kematian Sultan Malik Shah dan Nizham al-Mulk adalah akibat pembunuhan yang dilakukan oleh pihak yang ambisius tadi, padahal hubungan al-Ghazali dengan para pembesar yang dibunuh tersebut sangatlah dekat.

Kendati masa hidup al-Ghazali berada dalam periode klasik (650-1250 M), namun telah memasuki masa kemunduran atau disintegrasi (100-125). Sebenarnya kemunduran itu akibat dari konflik-konflik internal yang berkepanjangan, sehingga sama sekali bukan kesalahan al-Ghazali seorang. Pada waktu itu, posisi para khalifah tak lebih hanyalah sebatas “boneka” dan “simbol” di bawah dominasi Dinasti Buwaihi. Kekisruhan situasi seperti itu masih diperparah oleh ketegangan antara kaum fuqaha (ahli hukum) dan para teolog dengan para sufi (kaum batiniyah), juga para filosof, yang kadangkala menimbulkan ekses-ekses negatif dan tragis. Akibat lebih jauh, terjadilah polarisasi yang semestinya tak perlu terjadi, ulama fikih dan teolog sibuk dengan rumusan-rumusan dangkal dan kering dari nuansa spiritual. Sebaliknya para sufi tenggelam dalam emosi spiritual yang berlebihan sehingga terkesan mengabaikan batas-batas syari’ah, demikian pula rumusan-rumusan filsafat (Islam), dianggapnya telah “keluar” dari ajaran Islam.

Maka “persaingan” yang tidak sehat tadi menumbuhkan keprihatinan yang mendalam pada diri al-Ghazali. Dia berdialog dan bersikap apresiatif dengan zamannya, sehingga berani mengambil resiko. Dia “lari” ke dunia tasawuf dengan tetap berpondasi di atas teologi dan fikih. Selain al-Munqidz tadi, karya monumentalnya, Ihya’ ‘Ulumuddin, merupakan paduan serasi dari kesatuan kebenaran yang dia pertahankan: fikih, teologi, dan tasawuf. Baginya, sikap inilah yang realistis.

Hal-hal tersebutlah yang menyebabkan dia menempuh jalan ‘uzlah dan khalwat (menyendiri), sehingga menjauh dari masyarakat yang sebenarnya sangat menanti uluran tangannya. Dan dari sini muncullah konsep-konsep zuhudnya. Bagi al-Ghazali, orang yang bisa selamat ialah orang yang hatinya bersih dari kotoran, intim dengan Allah dan mencintai-Nya. Kebersihan akan tercapai apabila dapat mencegah keinginan-keinginan duniawi. Keintiman dengan Allah dapat tercapai apabila banyak berddzikir kepada-Nya. Dan cinta dapat tercapai apabila telah ma’rifat kepada-Nya. (al-Ghazali, III, tt, : 215).

Melihat sebab-sebab yang begitu kompleks tetapi ia masih mampu berkarya, dan tak berlebihan sekiranya ia dinilai sebagai sosok yang prima, penuh semangat keilmuan, konstruktif, dan pembaharu. Dia memang seorang laki-laki yang dibutuhkan untuk menangkal Islam dari serangan filsafat Yunani, penyimpangan batiniyah dan penyelewengan para ulama dari ketulusan niat. Karena ketika itu kebanyakan masyarakat Muslim terjangkit penyakit moral dan social, posisi kerajaan sangat dominan, kekuasaan di tangan perorangan, telah menjadi faktor utama salam pembentukan kepribadian bangsa selama empat abad. Kehidupan mereka tidak lain hanya berfoya-foya dengan kemewahan materi dan ambisi kekuasaan.

Dengan melihat sikap dan pemikiran tiga tokoh tasawuf yang telah disebutkan di atas, telah memberi contoh kepada kita tentang adanya tanggung jawab tasawuf dalam perspektif histories. Pada saat itu tasawuf telah memberikan reaksi terhadap situasi dan kondisinya masing-masing, dengan mencari solusi moral yang tepat, dengan menarik diri dari “keramaian” materiil dan kekuasaan, dan dengan kritik-kritik yang memberikan alternatif dari “kehancuran” ilmu dan amal. Dengan demikian maka tampaklah bahwa tasawuf membumi dan aplikatif terhadap problema yang dihadapi pada masanya.

Menjelang abad XXI ini, tasawuf dituntut untuk lebih humanistic, empirik, dan fungsional. Penghayatan terhadap ajaran Islam, bukan hanya pada Tuhan, bukan hanya reaktif, tetapi aktif serta memberikan arah kepada sikap hidup manusia di dunia ini, baik berupa moral, spiritual, sosial, ekonomi, dan sebagainya. Dan ketika tasawuf menjadi “pelarian” dari dunia yang “kasat mata” menuju dunia spiritual, bisa dikatakan sebagai reaksi dan tanggung jawab social, yakni kewajiban dalam melakukan tugas dan merespons terhadap masalah-masalah sosial.

Melihat kenyataan yang ada, tak salah sekiranya kita mau memperhatikan pendapat Emile Dukheim, bahwa pemikiran dan perkembangan pribadi tidak terlepas sama sekali dari setting sosialnya. (Dalam Doyle Paul Johnson, 1994: 203). Maka kajian sosiologis-historis tadi dapat memberi jawaban negasi terhadap pernyataan bahwa pelarian dari kehidupan yang “kasat mata” itu merupakan kekalahan politik dan ekonomi. Mereka mencari kompensasi untuk menang dalam dunia spiritual, dengan jalan melakukan tahannuts, sebagaimana pernah dilakukan Nabi Muhammad saw. ketika masih mudanya. Sehingga fenomena itu memiliki makna yang positif, sebagai wujud dari sikap peka dan protes terhadap ketimpangan sosial yang ada pada waktu itu, sekaligus sebagai rasa tanggung jawab sosial.

Saat ini kita berada di tengah-tengah kehidupan masyarakat modern, atau sering pula disebut sebagai masyarakat yang sekuler. Pada umumnya, hubungan antara anggota masyarakatnya atas dasar prinsip-prinsip fungsional pragmatis. Mereka merasa bebas dan lepas dari kontrol agama dan pandangan dunia metafisis. Dalam masyarakat modern yang cenderung rasionalis, sekuler dan materialis, ternyata tidak menambah kebahagiaan dan ketentraman hidupnya. Berkaitan dengan itu, Sayyid Hosein Nasr (Dalam Dawam Rahardjo [ed.], 1985: 184-185) menilai bahwa.

akibat masyarakat modern yang mendewakan ilmu pengetahuan dan teknologi, berada dalam wilayah pinggiran eksistensinya sendiri. Masyarakat yang demikian adalah masyarakat Barat yang telah kehilangan visi keilahian. Hal ini menimbulkan kehampaan spiritual, yang berakibat banyak dijumpai oang yang stress dan gelisah, akibat tidak mempunyai pegangan hidup.

Kegelisahan masyarakat modern ini antara lain disebabkan oleh perasaan takut kehilangan apa yang dimiliki, timbulnya rasa takut masa depan yang tidak disukai, rasa kecewa terhadap hasil kerja yang tidak mampu memenuhi harapan dan kepuasaan spiritual, dan karena dirinya banyak melakukan pelanggaran dan dosa (Abu al-Wafa al-Taftazani, 1993). Untuk itu Hosein Nasr menawarkan alternatif agar mereka mau mendalami dan menjalani tasawuf, karena ia dapat memberikan jawaban terhadap kebutuhan spiritual mereka. Di sini tanggung jawab tasawuf bukan melarikan diri dari kehidupan dunia nyata ini, akan tetapi ia adalah suatu usaha mempersenjatai diri dengan nilai-nilai ruhaniah. Dalam tasawuf selalu dilakukan ddzikir kepada Allah sebagai sumber gerak, sumber norma, sumber motivasi, dan sumber nilai.

Akibat lebih jauh dari modernisasi dan industrialisasi, manusia mengalami degradasi moral yang dapat menjatuhkan harkat dan martabanya. Kehidupan modern seperti sekarang ini sering menampilkan sifat-sifat yang kurang dan tidak terpuji, terutama dalam menghadapi materi yang gemerlap. Manusia, menurut ahli tasawuf, dalam kehidupannya selalu berkompetisi dengan hawa nafsunya yang selalu ingin menguasainya (QS. Yusuf: 53). Agar hawa nafsu dikuasai oleh akal yang telah mendapat bimbingan wahyu, maka dalam dunia tasawuf diajarkan berbagai cara, seperti riyadlah dan mujahadah untuk melawan hawa nafsunya. Penulis yakin seandainya para pelaku pembangunan ini melaksanakan ajaran tasawuf, maka kebocoran yang mencapai sekian persen itu dapat dicegah atau teratasi.

Adapun model tampilan di masa sekarang, bertasawuf tidak berarti harus menjauhi “kekuasaan”, tetapi justru “masuk” di tengah-tengah percaturan politik dan “kekuasaan”. Sebab mejauhinya bisa berarti menunjukkan ketidakberdayaan dan kelemahan. Apabila di zaman klasik ada fatwa “menjauhi dan oposisi terhadap kekuasaan”, sedikit dapat dibenarkan, karena kekuasaan pada waktu itu bersifat individual yang cenderung bernuansa tirani, namun zaman sekarang lebih bersifat kolektif.

Keterlibatan langsung tasawuf (baca: tarekat) dalam kancah politik, dalam rentangan sejarah dapat disebut Tarekat Sanusiyah. Kelompok ini mampu menumbuhkembangkan semangat nasionalisme di berbagai daerah di Afrika Utara, sehingga Perancis diusirnya dari Algeria dan Sudan Tengah, dan Italia dihalaunya dari Libya. Demikian juga, Inggris di Mesir pun “mengakui” kepemimpinan tokoh spiritual Sanusiyah, Muhammad Idris. Dia pulalah yang mendirikan negara serikat Libya yang meliputi Cyrenaica, Tripolitania, dan Fezzan. Maka Bisworth mensejajarkan gerakan tarekat ini dengan kemampuan kaum Wahabi dan al-Sa’ud dalam mendirikan negara Arab modern. (C.E. Bisworth, 1993: 64-66).

Dalam kiprahnya, tarekat ini tidak henti-hentinya bekerja dengan pendidikan keruhanian, disiplin tinggi, dan memajukan perniagaan yang menarik orang-orang ke dalam pahamnya. Maka Fazlur Rahman (1984: 285) menceritakan bahwa tarekat ini menanamkan disiplin tinggi dan aktif dalam medan pejuangan hidup, baik sosial, politik, dan ekonomi. Pengikutnya dilatih menggunakan senjata dan berekonomi (berdagang dan bertani). Gerakannya pada perjuangan dan pembaharuan, dan programnya ebih berada dalam batasan positivisme moral dan kesejahteraan sosial daripada “terkungkung” dalam batasan-batasan spiritual keakhiratan. Coraknya lebih purifikasionis dan lebih aktivis, memberantas penyelewengan moral, sosial dan keagamaan, maka Fazlur Rahman menamakannya sebagai Neo-Sufisme.

Peluang lain yang dapat menjadi “lahan” tasawuf di zaman modern ini adalah kenyataan masyarakat dunia yang serba majemuk (plural). Di belahan bumi mana pun, keanekaragaman, baik agama, budaya, bangsa, suku, adat istiadat, dan sebagainya, senantiasa dijumpai. Di satu sisi, suasana kemajemukan memang akan menampilkan keindahan “mozaik” yang warna-warni. Namun di sisi lain harus diwaspadai bahwa kondisi itu sangat rentang akan terjadinya perpecahan, kerusuhan, permusuhan, ataupun hal-hal lain yang sifatnya destruktif. Dalam ajaran tasawuf, banyak tokoh seperti al-Hallaj, Ibnu Arabi, dan sebagainya berpendapat bahwa keanekaragaman agama di dunia hanya sekadar bentuknya, sedangkan hakikatnya sama, karena semua mempunyai sumber yang sama dan bertujuan untuk menyembah kepada Sumber segala sesuatu, Tuhan Pencipta Alam Semesta. (Dalam Abdul Hakim Hassan, 1954: 375). Tasawuf yang ajarannya menukik pada kedalaman hakikat seperti ini diharapkan mampu menumbuhkan sikap bersama yang sehat, mengakui segi-segi kelebihan orang lain, dan mendorong ama-sama melakukan kebaikan dalam masyarakat. Perbedaan yang ada diterima dalam kerangka perbedaan tanpa mempertentangkannya, atau menurut Mukti Ali, setuju dalam perbedaan (agree in disagreement).

Dengan pemahaman sebagaimana tersebut di atas, pluralitas masyarakat modern dipandang sebagai sesuatu yang wajar, sebab telah menjadi sunnatullah. Tidak ada kehidupan tanpa pluralitas dalam arti antarumat, kecuali di Mekkah, Madinah, dan Vatikan (di Vatikan sekarang telah ada masjid). Tanpa mengurangi keyakinan masing-masing para pemeluk agama terhadap agamanya sendiri, keadaan watak dan tradisi masing-masing suku dan watak indivual, maka dalam suasana pluralitas ini sangat diperlukan sikap toleran, jujur, terbuka, wajar, dan adil. Maka tasawuf akan melihat hakikat manusia sebagai makhluk Tuhan (tauhid al-Ilah atau wahdat al-adyan) yang bernenek moyang Adam a.s. (tauhid al-ummah). Dari sini mereka akan bertemu dalam satu titik (common platform), yang dalam al-Qur’an diistilahkan dengan kalimatin sawa (QS. Ali Imran: 64).

Apalagi tuntutan yang muncul dari akibat modernisasi dan industrialiasi adalah perkembangan kemampuan intelektual agar memiliki kemampuan apreasiatif, dialogis, dan fungsional terhadap perkembangan Iptek. Tantangan kedewasaan dalam berpikir dan berkompetisi sangatlah diperlukan. Barangkali keberadaan tasawuf dapat menjadi alternatif lain, atau paling tidak menjadi stimulan. Karena secara epistemologis, tasawuf memakai metode intuitif, yang di abad ini dapat dijadikan salah satu alternatif dari rasionalisme dan empirisme, dan membatunya untuk melakukan terobosan baru dalam berbagai hal. Jika intuisi dapat meluas maka ia dapat memberi petunjuk dalam hal-hal vital dari dunia yang berasal dari dalam dan langsung, bukan dengan intelek (Dalam Harold H. Tuitus dkk, 1984: 205).

Lebih lanjut Heny Bergson berpendapat bahwa pada diri manusia terdapat intuisi yang bersifat infraintelektual dan supraintelektual. Pertama adalah intuisi yang menyertai pikiran dan masuk pikiran manusia melalui indera. Kedua adalah intuisi yang tumbuh pada pada diri manusia tanpa didahului keterangan logis dan tidak tergantung pada pengamatan indera. Jika keduanya berinteraksi secara intens maka akan memberi kemungkinan pada intuisi infraintelektual meningkat lebih tinggi setelah terdominasi oleh intuisi supraintelektual. Bila seseorang telah didominasi supraintelektual, maka kemauan dan dorongannya (elan vital-nya) tidak lagi terbatas pada persepsi bendawi yang nisbi, melainkan akan dapat meningkat pada pengetahuan yang bersifat mutlak (Dalam R. Paryana Suryadipura, 1993: 202-203). Sudah barang tentu kualitas subyek perlu dipertimbangkan.

Nampaknya hal tersebut sama dengan Javad Nurbakh dalam artikelnya Sufisme and Psychology Analisis, yang diterjemahkan oleh Nurul Agustina (Ulumul Qur’an No. 8), bahwa dalam terminologi psikologi sufi, ada dua istilah yang harus dipahami, yakni aql kulli (akal universal dan aql juz’i (akal partikular). Akal partikular diperoleh dari pengalaman sehari-hari, dari kehidupan material. Menurut psikologi sufi, akal particular tak dapat digunakan untuk mencapai Kebenaran, karena Kebenaran selalu berkaitan keseluruhan dengan universalitas, yang hanya bisa diperoleh secara intuitif melalui aql kulli. Dalam keadaan hati yang bersih, seseorang sufi akan mempergunakan akal universal atau kesadaran hati (heartconsiousness) yang secara potensial sudah ada dalam dirinya. Dan sekali lagi, intuisi dapat dijadikan alat merenung untuk menemukan sesuatu (baca: teori dan Iptek) yang baru.

Melihat kenyataan di atas, secara hipotesis dapatlah dikatakan bahwa spiritualitas dapat berjalan seiring dengan rasionalitas. Maka tidaklah mengherankan sekiranya di zaman sekarang banyak orang yang semakin terbenam dalam pekerjaan intelektual, semakin rindu pula kehangan spiritualitas (sufisme). Di Barat disinyalir belakangan ini beberapa pemenang hadiah Nobel adalah para ilmuwan yang sangat besar kecenderungan mistiknya. Dan dalam filsafat ilmu, ada aliran romantisme yang menganggap bahwa penemuan-penemuan ilmiah dimulai dari pengalaman mistik.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tanggung jawab tasawuf menjelang abad XXI ini sangatlah kompleks, bukan lagi bersifat isolasi diri, namun sebaliknya, harus aktif mengarungi kehidupan ini secara total, baik dalam aspek social, politik, ekonomi, dan sebagainya. Dengan demikian, peran tasawuf lebih empirik, pragmatis dan fungsional dalam kehidupan ini.
---(ooo)---

Kajian Sufi ini sebagian dikutip dari tulisannya Prof. Dr. H.M. Amin Syukur, MA Direktur Lembaga Bimbingan dan Konseling Tasawuf (Lembkota) Semarang dan Guru Besar Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang


Read more

0 BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN IBN HAZM DAN GAGASAN USHUL FIQH DALAM KITAB AL-IHKAM FI USHUL AL-AHKAM

Cordova Spanyol pernah menjadi kota metropolitan yang melahirkan banyak pemikir-pemikir besar seperti Ibn Rusyd, Ibn Abd al-Barr, Ibn Bajah, Daud al-Asbihani, Ibn Ali Ibn Hazm dan lain sebagainya. Menurut Atho’ Mudzhar, ketika itu di cordova telah memiliki lebih dari tujuh puluh perpustakaan  Yang dapat menjadi tempat rujukan dalam penelitian. Disamping itu adanya dukungan penguasa menjadi hal yang penting, dengan mendatangkan ulama-ulama dan kitab-kitab  dari timur sebut saja Abdurrahman al-nasir yang berkuasa selama limapuluh tahun, sehingga dunia keilmuan manjadi lebih hidup.

Ibn Hazm adalah diantara mereka yang mempunyai pendapat-pendapat yang dianggap berbeda, sebut saja pendapat tentang qashar dalam sholat, melihat seluruh anggota tubuh wanita ketika meminang, memegang al-Qur’an dibolehkan bagi orang yang berhadas besar dan lain sebagainya. Beranjak dari pendapat-pendapat tersebut kita mencoba untuk menggali metode instinbath yang digunakan Ibn Hazm dalam menggali hukum dari kitabnya al-ihkam fi ushul al-Ahkam.

Biografi  Ibn Hazm

Nama lengkap ibn Hazm adalah Ali  bin Ahmad bin Said bin Hazm bin Ghalib bin Sholeh bin Khalaf bin Ma’dan bin Sufyan bin Yazid Al-Farisi. Lahir di Qordova Andalusia pada Bulan Ramadhan  tahun 384 H. Tumbuh sebagai orang yang terhormat dan dihormati, Ayahnya Ahmad adalah seorang yang terkenal  Alim dan menjadi  Menteri pada masa Al-Manshur Muhammad bin Abi Amir dan anaknya Al-Mudaffir. Ibn Hazm pernah menjabat sebagai menteri pada masa khalifah Al-Mustadhir Billah Abdurrahman bin Hisyam pada tahun 414H. Namun tidak lama, Abdurrahman bin Hisyam terbunuh dan ibn Hazm dijebloskan ke dalam penjara. Pada masa Khalifah Hisyam al-mu’tamad Billah bin Muhammad bin Abdul Malik bin Abdurrahman An-Nashir Ibnu Hazm kembali diangkat menjadi Menteri, namun di tengah masa jabatannya, Ibn Hazm mengundurkan diri, dan lebih menfokuskan dirinya di dunia keilmuan.

Setelah menghafal Al-Qur’an Ibn Hazm diasuh dan dididik oleh Abu Hunein Ali al-Farisi, seorang yang terkenal soleh, zahid dan tidak beristri. Al-Farisi inilah yang pertama kali membentuk dan mengarahkan Ibn Hazm. Al-Farisi juga membawa Ibn Hazm ke majlis pengajian Al-Qur’an Abu al-Qasim Abdurrahman al-Azdi (w. 410). Untuk belajar bahasa arab dan hadits. Selain belajar hadits dari al-Azdi Ibn Hazm juga pernah belajar dari Ahmad bin Muhammad al-Jasur  (w. 401). Selain itu Ibn Hazm juga belajar menulis, diskusi, debat, sastra arab dan ilmu-ilmu syariah, nasab, pengobatan, filsafat dan lain sebagainya.

Pada Mulanya Ibn Hazm belajar fikih madzhab Maliki sebagai madzhab yang banyak dianut masyarakat Andalusia kala itu, dia belajar kitab karangan Imam malik yang terkenal yaitu Al-Muwattha’ kepada Ahmad bin Duhun (mufti Cordova), sehingga benar-benar menguasai fikih Imam Malik. Disamping belajar fikih madzhab Maliki dipelajari juga kitab Syafi’i yang mengkritik Imam Malik dalam masalah Usul dan furu’ yaitu ikhtilaf al-malik. Dari pengalaman inilah dia pindah dari madzhab Maliki ke madzhab Syafi’i, pemahamannya terhadap madzhab Syafi’i membuat dia kagum terhadap prinsip-prinsip yang dipegang oleh Imam Syafi’i sehingga menjadikannya orang yang fanatik berpegang teguh pada madzhab tersebut . Ibn Hazm kembali tidak puas, akhirnya ibnu Hazm berpindah madzhab dan lebih condong kepada madzhab Dhahiriyyah dengan Imamnya Daud bin Ali bin Khalaf Al-Asbuhani (202 – 270 H.)

Kepindahan Ibn Hazm ke madzhab dhahiri  didukung oleh kondisi yang ada pada abad III H. Banyak Ulama Cardova yang belajar ke timur seperti  Baghdad yang menjadi pusat dinasti Abbasiah. Diantara Ulama Cordova yang belajar ke Baghdad adalah Baqqu bin Mukhalid, Abu Abdullah bin Wahbah Bazbazi dan Qasim bin Asbagh bin Muhammad bin Yusuf. Mereka tertarik kepada madzhab dhahiri setelah tidak puas dengan madhhab yang mereka pelajari dari fiqih Maliki, Hanafi, Syafi’i  dan Hambali, ketertarikan mereka adalah karena madhab Dhahiri hanya terikat kepada Al-Qur’an dan al-Sunnah, ditangan merekalah madhhab dhahiri berkembang di Andalusia.

Hal lain yang mendorong Ibn Hazm adalah kondisi andalusia kala itu yang mencapai puncak keilmuan, pada saat itu lahir ulama-ulama terkenal yang luas ilmunya dalam segala disiplin ilmu seperti Ibn Abd Barr.  Disamping ilmu-ilmu keislaman Andalusia terkenal dengan ilmu-ilmu filsafat yang melahirkan filasof-filosof muslim seperti Ibn Rusyd dan Ibn Bajah kondisi tersebut didukung juga oleh penguasa kala itu Abdurrahman al-Nasir yang berkuasa selama lima puluh tahun, dia mendatangkan ulama-ulama timur, membangun perpustakaan dan mendatangkan kitab-kitab yang berkembang ditimur.

Pada Mulanya Ibn Hazm  terjun di dunia politik, namun perjalanan politik yang dilaluinya tidak sesuai dengan ide-ide yang diharapkannya, politik cenderung berorientasi kepada kekuasaan dan nafsu, sedangkan ibn Hazm adalah seorang ilmuan yang ikhlas dan jujur sehingga Ibn Hazm kelaur dari dunia politik dan menekuni bidang ilmiyah membaca mengajar dan menulis. Ibn Hazm selalu mengembangkan pendapatnya dimana saja dia berada, di Valensia, kairawan, Cordova dan lain-lain. Namun setelah penguasa Valensia  (Ahmad bin Rasyid) meninggal pengaruh Ibn Hazm mulai melemah. Lawan-lawannya mulai menggunakan kekuasaan untuk mengucilkan Ibn Hazm dari masyarakat, bahkan di Asbelia Ibn Hazm menerima siksaan dari penguasa  al-Mu’tamid Ibn Ibad dan buku-bukunya dibakar. Hal tersebut memaksa Ibn Hazm kembali mudik ke kampung halamannya dan memusatkan perhatiannya penuh pada bidang keilmuan. Menurut Hasbi Ash-Shidiqi, motif penguasa membakar buku-buku Ibn Hazm diantaranya adalah:

1. Kebencian Ulama Malikiyah yang menguasai masyarakat kepada Ibn Hazm
2. Kekhawatiran penguasa kepada usaha Ibn Hazm mengembalikan kekuasaan kepada bani Umayyah, dan keberaniannya mengkritik pemerintah.

Diantara guru-guru Ibn Hazm yang mewarnai pemikirannya adalah: Ibn Abd Barr al-maliki, Abu Umar Ahmad bin Husein, Yahya bin Mas’ud, Abu Al-khiyar Mas’ud bin Sulaiman Al-dhahiri, Yunus bin Abdullah Al-Qadhi, Muhammad bin Said bin Sa’i, Abdullah bin Al-Rabi’ Al-Tamimi, Abdullah bin Yusuf bin Nami. Ibn hazm juga memepunyai beberapa murid setia yang menyebarkan pendapat-pendapatnya, diantara mereka adalah : Abu Abdullah Al-Humaidi, Suraih bin Muhammad bin Suraih Al-Muqbiri, Abu Rafi’, Abu Usamah Ya’qub, Abu Sulaiman Al-Mus’ib, Imam Abu Muhammad bin Al-Maqribi. Sebagain seorang ilmuan Ibn Hazm meninggalkan warisan berupa buku karangan yang terhitung banyak , diantara buku karangannya adalah :

1.    Ibthal Al-Qiyas wa Al-Ra’yu wa Al-Taqlid wa Al-Ta’lil
2.    Al-Ijma’ wa masa’iluhu Ala Abwab Al-Fiqh
3.    Al-Ihkam fi Ushul Al-ahkam
4.    Al-Akhlaq wa Al-Siar
5.    Asma’u AlKhulafa’ wa Al-Mulat
6.    Asma’u Al-Sahabah wa Al-Ruwat
7.    Asma’ullah Ta’ala
8.    Al-Nubdzah fi Ahkam Al-Fiqh Al-Dhahiri
9.    Ashabu Al-Fataya
10.    Idharu Tabdil Al-Yahud wa Al-Nashara li Al-Taurat wa Al-Injil
11.    Al-Imamah wa Al-Siyasah
12.    Al-Imamah wa Al-Mufadhalah
13.    Al-Ishal ila fahmi Al-Hishal
14.    Al-Taqrib bihaddi Al-Mantiq wa Al-Madkhal ilaih
15.    Al-Talkhlish wa Al-takhlish
16.    Al-Jami’ fi Shahih Al-Hadis
17.    Jumal Futuh Al-Islam ba’da Rasulillah
18.    Jamharatu Ansab Al-Arab
19.    Jawami’u Al-Sirah
20.    Risalah fi Fadhli Al-Andalus
21.    Syarhu Ahadis Al-Muwattha’
22.    Thuqu Al-Hamamah
23.    Al-Shadiq wa Al-Radi’
24.    Al-Fashl fi Al-Milal wa Al-Ahwa’ wa Al-Nahl
25.    Al-Qira’at Al-Mashurah fi Al-Amshar
26.    Qashidah fi Al-Hija’
27.    Kasyfu Al-Iltibas
28.    Al-Majalla
29.    Al-Muhalla
30.    Maratib Al-Ijma’
31.    Masa’il Ushul Fiqh
32.    Ma’rifatu Al-Nasikh wa Almansukh
33.    Muntaqa Al-Ijma’ wa bayanuhu
34.    Al-Nashaih Al-Munjiyah min Al-fadhaih Al-Mukhziyah
35.    Naqthu Al-’Arusy fi Tawarikh Al-Khulafa’
36.    Naka Al-Islam.

Tidak dapat diragukan lagi bahwa ibn Hazm adalah seorang pakar dibidangnya, hal tersebut dapat kita lihat dari komentar beberapa tokoh,  Abu Hamid Al-Ghazali: ”Saya melihat buku-buku karangan Ibn Hazm, semuanya menunjukkan kecerdasannya dan kekuatan hafalannya”. Al-hafidz Abu Abdillah Muhammad bin Futuh Al-Humaidi: ”Saya tidak pernah melihat sosok seperti ibn Hazm yang memiliki  kecerdasan, kekuatan hafalan, kemuliaan dan keteguhan menjalankan agama”. Izzu Al-Din bin Abd Salam: ”Saya tidak pernah melihat dalam buku-buku keislaman yang sebanding dengan Al-Muhalla karangan Ibn Hazm”. Menurut Muhammad Zahro, Ibn Hazm mempunyai talenta yang membentuknya menjadi ulama besar, ditambah kemampuan hafalannya yang sangat luar biasa, disamping hafal hadis-hadis Nabi, Ibn Hazm juga hafal diluar kepala fatwa-fatwa para sahabat dan tabi’in. Ibn Hazm bukan hanya sekedar menghafal apa yang dia pelajari tapi dia juga mempunyai katejaman analisa, sehingga dalam beberapa tulisannya nampak bagaimana Ibn Hazm dalam menyelami masalah yang dibahasnya hingga kedasar, sebagaimana dalam kitab ”al-milal wa al-nihal” , juga dalam kitab ”thuqu al-hamamah” yang membahas manusia dari sisi kejiwaan.

Disamping kemampuan yang tinggi, Ibn Hazm juga terkenal dengan sifat ikhlasnya,  keikhlasan dan tidak adanya tendensi apa-apa menjadikan Ibn Hazm sebagai sosok Ulama yang berani, tegas, lugas dalam menyuarakan apa yang diangapnya sebagai kebenaran, dengan ucapan dan tulisan, tanpa memikirkan apakah hal tersebut menguntungkan dirinya atau bahkan merugikan.  Keberanian tersebut dapat jelas kita lihat dalam buku-bukunya.

Ibn hazm meninggal dunia  pada hari Ahad  dua hari terakhir bulan Sya’ban tahun 456H. Di desa Uniyah sebelah barat Andalusia, dalam umur 71 tahun 10 bulan, meninggalkan karangan-karangan yang terus menjadi kajian hingga sekarang. Bahkan Pemerintah Spanyol pada tanggal 12 mei 1963 mengadakan peringatan wafatnya Ibn Hazm ( haul ke 900). Dalam acara tersebut dikumpulkan 20 sarjana dari Arab dan Eropa, membahas karya-karya Ibn Hazm. Acara tersebut dibuka dengan peresmian patung Ibn Hazm yang dibuat oleh seniman Amadiyo Rowel Alowes.

Sumber Hukum Menurut Ibn Hazm

Dalam menggali Hukum, Ibn Hazm hanya menggunakan tiga sumber, yaitu Al-Qur’an, Al-Sunnah dan ijma’.

Al-Qur’an.
Al-Qur’an adalah sumber pokok yang disepakati para ulama dalam beristinbat, Al-Qur’an  ada kalanya dijelaskan oleh Al-Qur’an sendiri, seperti hukum perkawinan, perceraian, iddah dan hukum waris. Dan adakalanya dijelaskan oleh Al-Sunnah, seperti tata cara shalat, puasa, zakat dan haji.  Dengan demikian Al-Qur’an menjedi penjelas bagi Al-Qur’an, sehingga menurut Ibn Hazm tidak ada ayat mutashabihat selain fawatih al-suwar dan sunah-sunah Allah didalamnya Karena semua ayat Al-Qur’an adalah jelas dan terang maknanya bagi orang yang mengetahui ilmu bahasa secara mendalam dan mengetahui hadits yang shahih.

Penjelasan Al-Qur’an terhadap Al-Qur’an kadang masih membutuhkan takhsish karena masih umum, sehingga harus ada  ayat lain yang menghususkannya, Ayat-ayat yang menghususkan dibagi menjadi dua:

Pertama, ayat yang menjelaskan turunnya bersamaan dengan ayat yang dijelaskan, ini disebut tahsis. Dan yang kedua, ayat yang menjelaskan turunnya tidak bersamaan dengan ayat yang dijelaskan, ini disebut naskh.
Menuerut Ibn Hazm naskh adalah pengecualian terhadap keumuman hukum dari segi masa. Seperti ayat yang melarang menikah dengan wanita musyrik secara umum, kemudian datang ayat yang membolehkan menikahi wanita Ahli Kitab.

Naskh hanya berlaku bagi ayat-ayat perintah atau lafaz berita yang menunjukkan perintah dan larangan dan tidak berlaku bagi ayat-ayat berita. Menurut Ibn Hazm Al-Qur’an dapat menasakh al-sunnah dan al-sunnah dapat menasakh Al-Qur’an, karena segala yang datang dari Rasul sesungguhnya adalah datang dari Allah, maka al-sunnah yang sahih adalah sejajar dengan Al-Qur’an dari segi kewajiban mentaatinya. Ibn Hazm menguatkan pendapatnya dengan beberapa dalil dari Al-Qur’an:

1. Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya (Al-Baqarah : 106).

2. Dan tiadalah yang diucapkannya itu  menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (An-Najm : 3,4).

3. Katakanlah: "Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul dan aku tidak mengetahui apa yang akan diperbuat terhadapku dan tidak (pula) terhadapmu. Aku tidak lain hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku dan aku tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan. (Al-Ahqaf: 9).

Dalam memahami sebuah nash, Ibn Hazm selalu melihat dari sisi zhahirnya, hal tersebut membawa kepada pemahaman bahwa seluruh perintah Allah dan Rasulnya menimbulkan hukum wajib dan larangan-larangannya menimbulkan hukum keharaman kecuali adanya hal yang menunjukkan pengecualian, dengan demikian orang tidak boleh mengatakan bahwa sesuatu adalah haram atau halal kecuali berdasarkan nas yang shahih. Nash yang umum harus diambil umumnya karena itulah yang zhahir, kecuali ada hal yang menjelaskan bahwa yang dimaksud bukan yang zhahir.Ibn Hazm juga memasukkan makna majazi sebagai makna zhahir nash jika sudah terkenal pemakainnya atau ada qarinah yang menegaskannya.

Al-Sunnah 
Sumber kedua menurut Ibn Hazm adalah Al-Sunnah, yaitu meliputi perkataan, perbuatan dan taqrir Rasulullah Saw. Al-Qur’an dan Al-Sunnah adalah dua sumber hukum yang saling melengkapi, keduanya mempunyai kekuatan yang sama dalam menetapkan hukum, dan sumbernya   satu yaitu Allah Swt.
Sunnah qauliyyah yang terdiri dari Awamir dan nawahi harus diambil zahirnya, bahwa perintah menunjukkan kepada kewajiban dan larangan menunjukkan kepada keharaman, semuanya menuntut untuk dilakukan dengan segera kecuali ada hal lain yang meunjukkan kebalikannya. Manusia tidak diperbolehkan untuk mengatakan bahwa sesuatu adalah mubah atau makruh tanpa ada dalil dari Al-Qur’an, al-Sunnah dan Ijma’, karena yang demikian berarti melewan kehendak Allah Swt.

Sunnah fi’liyyah Nabi tidak menunjukkan kepada arti wajib tapi sunnah, karena perbuatan Nabi adalah merupakan qudwah, kecuali perbuatan-perbuatan yang menjelaskan kepada perintah, seperti perbuatan Nabi yang sebelumnya atau sesudahnya terdapat nas tentang perbuatan Nabi tersebut. Sedang Taqrir Nabi menunjukkan pada ibahah.

Sunnah Mutawatirah menurut Ibn Hazm adalah: ” ma naqalathu kafatun ba’da kafatin hatta tabluqha bihi Al-Nabi”  tanpa membatasi jumlah perawi, asalkan perawi terjamin dari perbuatan dosa, hal tersebut karena tidak ada dalil yang membatasi jumlah perawi. Jika sebuah hadis sampai pada derajat mutawatir , maka harus diamalkan dan dapat mejadi hujjah. Sedangkan sunnah ahad, ”ma naqalu al-wahin ’an al-wahid”  hingga sampai kepada Rasulullah, harus diterima jika diriwayatkan oleh orang yang tsiqah.  Keberadaan hadis mauquf dan mursal ditolak oleh Ibn Hazm sebagai hujjah, Hal tersebut karena menurut Ibn Hazm tidak semua Sahabat Nabi adalah orang yang adil, bahkan diantara mereka ada yang murtad dan munafik. Namun menurut Ibn Hazm kedua jenis hadis tersebut dapat diterima menjadi hujjah jika ada ijma’ yang sah terhadap makna hadis tersebut. Al-Sunnah yang mutawatir dan ahad menurut Ibn Hazm dapat menasakh Al-Qur’an, namun nasakh hanya terjadi pada masa Rasulullah, maka ketika Rasulullah wafat dan wahyu berhenti, tidak mungkiin terjadi nasakh kembali.  Karena untuk menasakh suatu hukum  sebuah nas diperlukan nas yang lain, dan nas tersbut terputus dengan wafatnya nabi. Jika seandainya sebuah nasakh baru diketahui setelah wafatnya Nabi, bukan berarti nasakh tersebut terjadi setelah wafatnya Nabi.

Ijma’ 
Sumber pokok ketiga dalam berinsinbath menurut Ibn Hazm adalah Ijma’ yang bersumber dari Al-Qur’an dan al-Sunnah. Ijma’ adalah hujjah kebenaran yang meyakinkan di dalam agama Islam. Ibn Hazm menguatkan pendapatnya dari dhahir beberapa ayat, Pertama, Surat An-Nisa’: 115 ” Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu  dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”. Kedua, surat Ali Imran: 103 “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai”. Ketiga, surat al-Anfal: 46 “Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”.  Keempat, surat An-Nisa’: 82 ” Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya”  keempat ayat tersebut menurut Ibn Hazm menguatkan pendapatnya tentang kehujjahan Ijma’. Dan mencela perbedaan karena perbedaan mengarah kepeda perpecahan, dalam agama hanya ada dua hal, ijma’ atau ikhtilaf, dan kita harus mengambil ijma’.

Dan ijma’ yang menjadi hujjah adalah ijma’ para sahabat Rasulullah saw, berdasarkan:
Pertama,  Karena ijma’ yang demikian (para sahabat) tidak diperselisihkan oleh siapapun, maka kesepakatan (Ijma’) para sahabat tanpa ada perbedaan adalah ijma’ yang qath’i, sahih. Kedua, karena Agama Islam telah sempurna (al-maidah: 3), sehingga tidak boleh hukumnya menambah - nambah sesuatu yang telah sempurna.  Untuk mengetahui  apa yang dinginkan oleh Allah Swt harus melalui RasulNya, dan para sahabat Rasul adalah mereka yang selalu bersama, melihat dan mendengarkan ajaran rasul tentang keinginan Allah Swt, maka ijma’ merekalah ijma’ yang wajib diikuti. Ketiga, ijma’ yang demikian adalah ijma’ yang berdasarkan nas AL-Qur’an dan al-Sunnah. Hal tersebut karena para sahabat hidup pada masa Rasulullah dan banyak belajar dari beliau, maka menurut Ibn Hazm, apa yang mereka sepakati adalah ijma’ yang wajib diikuti, karena ijma tersebut dinukil dari Rasululah.

Ibn Hazm juga mengkritik Imam Malik yang menjadikan ijma’ ahlu Madinah sebagai hujjah, hal tersebut dikarenakan; pertama: Ijma’ seperti ini adalah hal yang tidak mempunyai dasar. Kedua, keutamaan madinah hanya berlaku pada masa itu saja, ketiga, orang yang menyaksikan wahyu adalah para sahabat, sedangkan orang setelah mereka tidak, keempat, perselisihan umat manusia juga terjadi di Madinah.

Ibn Hazm dan Qiyas

Ibn Hazm adalah penerus Abu Dawud Al-Dzahiri pendiri madzhab dhahiriyyah, dalam mengembangkan madzhab Dhahiriyyah di dunia Islam dan Andalusia khususnya, madzhab ini terkenal dengan banyak mendasarkan fatwa-fatwanya pada dzahir Nas al-Qur’an , Al-Sunnah, dan menolak penggunakan akal. Ibn Hazm secara khusus membahas masalah qiyas pada buku jilid II, juz delapan dengan judul yang cukup provokatif  ”Ibthal al-Qiyas”.  Menurut Ibn Hazm, nash diturunkan untuk kemashlahat manusia, namun setiap nash hanya terkait dengan masalah tertentu saja, tanpa  illat yang bisa di di terapkan pada masalah yang lain, karena al-Qur’an dan Sunnah sudah mencakup semuanya

Ibn Hazm juga menolak dalil yang dijadikan pegangan pengguna Qiyas, dan berusaha melemahkannya. Para Ulama Ushul fiqh biasanya menggunakan dalil ”fa’tabiru ya uli al-abshar” (Al-hasyr : 2) dengan mengartikan ”i’tabiru” dengan ”qisu”. Menurut Ibn Hazm ”i’tabiru” tidak dapat diartikan ”qisu” , makna ”i’tabiru” adalah ”ta’ajjabu wat ta’adzu”  sebagaimana dalam surat al-nahl : 66-67 ” Dan sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran (la’ibrah) bagi kamu. Kami memberimu minum dari pada apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih antara tahi dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya. . Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minimuman yang memabukkan dan rezki yang baik. Sesunggguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan”.

Sebagai seorang Ahlu Dzahir, Ibn hazm kembali menyerang pendukung qiyas dengan dzahir ayat-ayat berikut ini, (al-‘A’raf: 33) “Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui." Qiyas termasuk mengada-ada. Karena dengan berkedok qiyas orang dapat menghalalkan apa yang diharamkan, mewajibkan apa yang tidak diwajibkan, atau menggugurkan apa yang diwajibkan.

Pandangan Ibn Hazm berbeda denngan Jumhur Ulama’ yang melihat nas sebagai sesuatu yang ma’qul al-ma’na, diturunkan bagi manusia dengan tujuan mengatur kehidupan mereka di dunia dan akherat ( maqasid Syariah ), sehingga dalam memahami ada ’am, khas, illat dan lain sebagainya. Sehingga jika Allah melarang mengkonsumsi khamr, maka harus dipelajarai maksud dan tujuan diharamkannya khamr, hingga bisa dianalogkan dengan hal lain yang sama, demi mencapai tujuan pengharaman khamr itu sendiri.

Al-Dalil

Selain tiga sumber hukum diatas, ibn Hazm menggunakan Al-Dalil, ketika tidak ada nas dalam persoalan tertentu, guna menjawab persoalan yang baru yang muncul akibat perubahan sosial. Dalam istidlal, Al-dalil ada dua; pertama, al-dalil yang diambil dari nas, kedua, al-dalil yang diambil dari Ijma’. Al-Dalil yang diambil dari nas terbagi menjadi tujuh:

1. Nas yang terdiri dari dua proposisi (muqaddimah), yaitu muqaddimah kubro dan suqhro tanpa konklusi dan natijah, mengeluarkan natijah dari dua muqaddimah tersebut dinamakan al-dalil. Seperti sabda Rasulullah saw: ” Kullu muskirin khamrun wa kullu khamrin haram”,  dan natijah kullu muskirin haram adalah al-dalil menurut Ibn Hazm.

2. Qadlaya Mudarrajat (proposisi berjenjang), yaitu pemahaman bahwa derajat tertinggi dipatikan berada di atas derajat yang lain di bawahnya. Ibn Hazm mencontohkan, apabila terdapat pernyataan bahwa Abu Bakar lebih utama dari Umar dan Umar lebih Utama dari Utsman, maka makna lain dari lingkaran tersebut adalah Abu Bakar lebih Utama dari Utsman. Begitu juga dalam hadis Nabi: ” Sebaik-baik kamu adalah orang di zamanku (sahabat) , setelah itu zaman sesudahnya (tabi’in) setelah itu zaman sesudahnya (tabiit tabi’in) ”.

3.  ’Aks Qadaya (kebalikan proposisi),  dimana bentuk proposisi kulliyat, mujab kulliyat dibalik dalam bentuk proposisi juz’iyyat, mujab juziyyat, seperti pernyataan; ” setiap yang memabukkan adalah khamr” dibalik menjadi: ”sebagian dari hal yang diharamkan adalah yang memabukkan”.

4.  Cakupan makna yang merupakan keharusan untuk menyertai makna yang dimaksud, atau suatu lafaz mempunyai makna hakiki, namun juga memiliki beberapa makna yang otomatis menempel padanya. Pengembalian makna lain yang tidak terlepas makna tersebut dinamakan dengan al-dalil. Seperti ungkapan ” Zaid sedang menulis” dalam kalimat ini mengandung makna bahwa Zaid itu hidup, mempunyai anggota badan yang dapat digunakan untuk menulis.

5. Penetapan segi keumuman makna, seperti keumuman fi’il Syart. Contoh dalam Al-Qur’an Al-Anfal:38: ” Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: "Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah tenhadap) orang-orang dahulu”. Dzahir dari ayat tersebut adalah orang-orang kafir yang menentang Nabi, namun yang dipahami dari keumuman lafaz adalah bukan kekhususan sabab, namun makna yang terkandung adalah umum.

6. Nas memiliki makna tertentu, lalu makna tersebut diungkapkan dengan pernyataan lain yang semakna  dengan lafaz (al-mutala’imat). ” dan kami wajibkan kepada manusia untuk berbuat baik kepada kedua orangtua. (al-ankabut:8).  Ayat diatas menurut Ibn Hazm memberikan pelajaran kepada kita bahwa wajib berbuat baik kepada kedua orangtua, dan perbuatan yang bertentangan dengan itu dilarang termasuk  perkataan (ah) Uffin.

7.  Sesuatu yang bukan wajib dan bukan haram, hukumnya adalah mubah.

Sedangkan Al-dalil yang diambil dari ijma’  ada empat macam:

1.    Istishab al-hal
2.    Aqallu ma qila
3.    Ijama’ untuk meninggalkan pendapat tertentu.
4.    Ijma tentang universalitas hukum.

Taqlid Menurut Ibn Hazm

    Dalam pembahasan taqlid Ibn Hazm memulai dengan menyerang dan melemahkan pendapat-pendapat yang membolehkan taqlid. Ibn Hazm berpendapat bahwa taqlid dalam urusan agama adalah haram, seorang muslim tidak boleh mengambil pendapat orang lain tanpa dasar, hal tersebut berdasarkan dhahir nash dibawah ini :

a. Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya). (QS, 7:3).

b. Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami." "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?."(QS, 2:170).

c. Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal. (QS, 39:18).

d. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS, 4:59).

e. Para sahabat telah berijma’, begitu juga para tabi’in  melarang untuk bertaqlid kepada  pendapat orang lain,  seperti imam Abu Hanifah, Anas bin Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal padahal mereka juga melarang orang lain bertaqlid kepada mereka atau kepada yang lain, padahal jika memang harus bertaqlid kenapa tidak langsung bertaqlid kepada Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Ibn Abbas atau Aisyah...

Bahan Refrensi

Ibn Hazm,  Abu Muahammad Ali bin Ahmad, An- Nubzah al-Kafiyah fi Ahkam Usuliddin, tahqiqi Muhammad Ahmad Abdul Aziz, Daar Kutub Al-Ilmiyyah, Beirut, 1975M.

Ibn Hazm, Abu Muahammad Ali bin Ahmad, Al-Muhalla bi al-atsar. Daar al-afaq al-jadidah, 456H.

Ibn Hazm, Abu Muahammad Ali bin Ahmad Al-Ushul wa Al-Furu’, Daar Nahdhah Al-Ilmiyyah, Cairo, 1978M.

Ibn Hazm, Abu Muahammad Ali bin Ahmad, Maratib al-Ijma’, cairo, mathbaah al- quds. Abu Zahro 

Muhammad, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah, Cairo, mathba-ah al-Madani,

Wahbah Zuhaili, Ushul al-fiqh al-Islami, Beirut,  Daar al-Fikr

Ibn Hazm, Abu Muahammad Ali bin Ahmad, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Cairo, Maktabah Saadah, cet I, 1347H.

Ibn Qayyim, Abu Abdillah Muhammad bin Abu Bakr,  I’lam al-muwaqi’in,

Al-Ghozali,.Abu Hamid, Al-mustashfa  Mathbaah Al-Amiriyyah, Cairo, 1323H

Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad,  Irsyad al-Fuhul, Cairo, Mustafa al-Salaby,  1255H.

Amidi, Saifuddin Ali bin Abi Ali bin Muhammad, Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam,

Hazm, l-Ihkam, Cairo, Daar al-Hadits.

Yusuf Qardlawi, Madkhal li dirasat al-Syariah al-Islamiyyah, Maktabah wahbah, cet II, 1997 M – 1418 H.
Read more

0 MEMAHAMI ILMU TASAWUF (Salah Satu Upaya Mendekatkan Diri Kepada Tuhan “ALLAH”)

Penjelasan Singkat Tentang Tasawuf

Istilah "tasawuf" (sufism), yang telah sangat populer digunakan selama berabad- abad, dan sering dengan bermacam-macam arti, berasal dari tiga huruf Arab, sha, waudan fa. Banyak pendapat tentang alasan atas asalnya dari sha wa fa.

Ada yang berpendapat, kata itu berasal dari shafa yang berarti kesucian. Menurut pendapat lain kata itu berasal dari kata kerja bahasa Arab safwe yang berarti orang-orang yang terpilih. Makna ini sering dikutip dalam literatur sufi. Sebagian berpendapat bahwa kata itu berasal dari kata shafwe yang berarti baris atau deret, yang menunjukkan kaum Muslim awal yang berdiri di baris pertama dalam shalat atau dalam perang suci. Sebagian lainnya lagi berpendapat bahwa kata itu berasal dari shuffa, ini serambi rendah terbuat dari tanah liat dan sedikit nyembul di atas tanah di luar Mesjid Nabi di Madinah, tempat orang-orang miskin berhati baik yang mengikuti beliau sering duduk-duduk. Ada pula yang menganggap bahwa kata tasawuf berasal dari shuf yang berarti bulu domba, yang menunjukkan bahwa orang-orang yang tertarik pada pengetahuan batin kurang mempedulikan penampilan lahiriahnya dan sering memakai jubah sederhana yang terbuat dari bulu domba sepanjang tahun.

Apa pun asalnya, istilah tasawuf berarti orang-orang yang tertarik kepada pengetahuan batin, orang-orang yang tertarik untuk menemukan suatu jalan atau praktik ke arah kesadaran dan pencerahan batin dalam upaya manunggal atau mendekatkan diri kepada Tuhan sehingga ia dapat melihat-Nya dengan mata hati bahkan rohnya dapat bersatu dengan Roh Tuhan. Filsafat yang menjadi dasar pendekatan diri itu adalah, pertama, Tuhan bersifat rohani, maka bagian yang dapat mendekatkan diri dengan Tuhan adalah roh, bukan jasadnya. Kedua, Tuhan adalah Maha Suci, maka yang dapat diterima Tuhan untuk mendekatiNya adalah roh yang suci. Tasawuf adalah ilmu yang membahas masalah pendekatan diri manusia kepada Tuhan melalui penyucian rohnya.

Menelaah Secara Rinci Asal Kata Sufi

Tidak mengherankan kalau kata sufi dan tasawuf dikaitkan dengan kata-kata Arab yang mengandung arti suci. Penulis-penulis banyak mengaitkannya dengan kata:

1. Safa dalam arti suci dan sufi adalah orang yang disucikan. Dan memang, kaum sufi banyak berusaha menyucikan diri mereka melalui banyak ibadah kepada Tuhannya, terutama shalat dan puasa.

2. Saf (baris). Yang dimaksud saf di sini ialah baris pertama dalam shalat di mesjid. Saf pertama ditempati oleh orang-orang yang cepat datang ke mesjid dan banyak membaca ayat-ayat al-Qur'an dan berdzikir sebelum waktu salat datang. Orang-orang seperti ini adalah yang berusaha membersihkan diri dan dekat dengan Tuhan.

3. Ahl al-Suffah, yaitu para sahabat yang hijrah bersama Nabi ke Madinah dengan meninggalkan harta kekayaannya di Mekkah. Di Madinah mereka hidup sebagai orang miskin, tinggal di Mesjid Nabi dan tidur di atas bangku batu dengan memakai suffah, (pelana) sebagai bantal. Ahl al-Suffah, sungguhpun tak mempunyai apa-apa, berhati baik serta mulia dan tidak mementingkan dunia. Inilah pula sifat-sifat kaum sufi.

4. Sophos (bahasa Yunani yang masuk kedalam filsafat Islam) yang berarti hikmat, dan kaum sufi pula yang tahu hikmat. Pendapat ini memang banyak yang menolak, karena kata sophos telah masuk kedalam kata falsafat dalam bahasa Arab, dan ditulis dengan sin dan bukan dengan shad seperti yang terdapat dalam kata tasawuf.

5. Suf (kain wol). Dalam sejarah tasawuf, kalau seseorang ingin memasuki jalan tasawuf, ia meninggalkan pakaian mewah yang biasa dipakainya dan diganti dengan kain wol kasar yang ditenun secara sederhana dari bulu domba. Pakaian ini melambangkan kesederhanaan serta kemiskinan dan kejauhan dari dunia.

Diantara semua pendapat itu, pendapat terakhir inilah yang banyak diterima sebagai asal kata sufi. Jadi, sufi adalah orang yang memakai wol kasar untuk menjauhkan diri dari dunia materi dan memusatkan perhatian pada alam rohani. Orang yang pertama memakai kata sufi kelihatannya Abu Hasyim al-Kufi di Irak (w.150 H).

Memahami Asal-Usul Tasawuf

Karena tasawuf timbul dalam Islam sesudah umat Islam mempunyai kontak dengan agama Kristen, filsafat Yunani dan agama Hindu dan Buddha, muncullah anggapan bahwa aliran tasawuf lahir dalam Islam atas pengaruh dari luar.

Ada yang mengatakan bahwa pengaruhnya datang dari rahib-rahib Kristen yang mengasingkan diri untuk beribadat dan mendekatkan diri kepada Tuhan di gurun pasir Arabia. Tempat mereka menjadi tujuan orang yang perlu bantuan di padang yang gersang. Di siang hari, kemah mereka menjadi tempat berteduh bagi orang yang kepanasan; dan di malam hari lampu mereka menjadi petunjuk jalan bagi musafir. Rahib-rahib itu berhati baik, dan pemurah dan suka menolong. Sufi juga mengasingkan diri dari dunia ramai, walaupun untuk sementara, berhati baik, pemurah dan suka menolong.

Pengaruh filsafat Yunani dikatakan berasal dari pemikiran mistik Pythagoras. Dalam filsafatnya, roh manusia adalah suci dan berasal dari tempat suci, kemudian turun ke dunia materi dan masuk ke dalam tubuh manusia yang bernafsu. Roh yang pada mulanya suci itu menjadi tidak suci dan karena itu tidak dapat kembali ke tempatnya semula yang suci. Untuk itu ia harus menyucikan diri dengan memusatkan perhatian pada fllsafat serta ilmu pengetahuan dan melakukan beberapa pantangan. Filsafat sufi juga demikian. Roh yang masuk ke dalam janin di kandungan ibu berasal dari alam rohani yang suci, tapi kemudian dipengaruhi oleh hawa nafsu yang terdapat dalam tubuh manusia. Maka untuk dapat bertemu dengan Tuhan Yang Maha Suci, roh yang telah kotor itu dibersihkan dulu melalui ibadah yang banyak.

Masih dari filsafat Yunani, pengaruh itu dikaitkan dengan filsafat emanasi Plotinus. Roh memancar dari diri Tuhan dan akan kembali ke Tuhan. Tapi, sama dengan Pythagoras, dia berpendapat bahwa roh yang masuk ke dalam tubuh manusia juga kotor, dan tak dapat kembali ke Tuhan. Selama masih kotor, ia akan tetap tinggal di bumi berusaha membersihkan diri melalui reinkarnasi. Kalau sudah bersih, ia dapat mendekatkan diri dengan Tuhan sampai ke tingkat bersatu dengan Dia di bumi ini.

Paham penyucian diri melalui reinkarnasi tak terdapat dalam ajaran tasawuf. Paham itu memang bertentangan dengan ajaran al-Qur'an bahwa roh, sesudah tubuh mati tidak akan kembali ke hidup serupa di bumi. Sesudah berpisah dengan tubuh, roh pergi ke alam barzah menunggu datangnya hari perhitungan. Tapi, konsep Plotinus tentang bersatunya roh dengan Tuhan di dunia ini, memang terdapat dalam tasawuf Islam.

Dari agama Buddha, pengaruhnya dikatakan dari konsep Nirwana. Nirwana dapat dicapai dengan meninggalkan dunia, memasuki hidup kontemplasi dan menghancurkan diri. Ajaran menghancurkan diri untuk bersatu dengan Tuhan juga terdapat dalam Islam. Sedangkan pengaruh dari agama Hindu dikatakan datang dari ajaran bersatunya Atman dengan Brahman melalui kontemplasi dan menjauhi dunia materi. Dalam tasawuf terdapat pengalaman ittihad, yaitu persatuan roh manusia dengan roh Tuhan.

Kita perlu mencatat, agama Hindu dan Buddha, filsafat Yunani dan agama Kristen datang jauh sebelum Islam. Bahwa yang kemudian datang dipengaruhi oleh yang datang terdahulu adalah suatu kemungkinan. Tapi pendapat serupa ini memerlukan bukti-bukti historis. Dalam kaitan ini timbul pertanyaan: sekiranya ajaran-ajaran tersebut diatas tidak ada, tidakkah mungkin tasawuf timbul dari dalam diri Islam sendiri?.

Hakekat tasawuf kita adalah mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam ajaran Islam, Tuhan memang dekat sekali dengan manusia. Dekatnya Tuhan kepada manusia disebut al-Qur'an dan Hadits. Ayat 186 dari surat al-Baqarah mengatakan, "Jika hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka Aku dekat dan mengabulkan seruan orang yang memanggil jika Aku dipanggil".

Kaum sufi mengartikan do'a disini bukan berdo'a, tetapi berseru, agar Tuhan mengabulkan seruannya untuk melihat Tuhan dan berada dekat kepada-Nya. Dengan kata lain, ia berseru agar Tuhan membuka hijab dan menampakkan diri-Nya kepada yang berseru. Tentang dekatnya Tuhan, digambarkan oleh ayat berikut, "Timur dan Barat kepunyaan Tuhan, maka kemana saja kamu berpaling di situ ada wajah Tuhan" (QS. al-Baqarah 115). Ayat ini mengandung arti bahwa dimana saja Tuhan dapat dijumpai. Tuhan dekat dan sufi tak perlu pergi jauh, untuk menjumpainya.

Ayat berikut menggambarkan lebih lanjut betapa dekatnya Tuhan dengan manusia, "Telah Kami ciptakan manusia dan Kami tahu apa yang dibisikkan dirinya kepadanya. Dan Kami lebih dekat dengan manusia daripada pembuluh darah yang ada di lehernya (QS. Qaf 16). Ayat ini menggambarkan Tuhan berada bukan diluar diri manusia, tetapi di dalam diri manusia sendiri. Karena itu hadis mengatakan, "Siapa yang mengetahui dirinya maka ia mengetahui Tuhannya." Untuk mencari Tuhan, sufi tak perlu pergi jauh; cukup ia masuk kedalam dirinya dan Tuhan yang dicarinya akan ia jumpai dalam dirinya sendiri. Dalam konteks inilah ayat berikut dipahami kaum sufi, "Bukanlah kamu yang membunuh mereka, tapi Allah-lah yang membunuh dan bukanlah engkau yang melontarkan ketika engkau lontarkan (pasir) tapi Allah-lah yang melontarkannya (QS. al-Anfal 17).

Disini, sufi melihat persatuan manusia dengan Tuhan. Perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan. Bahwa Tuhan dekat bukan hanya kepada manusia, tapi juga kepada makhluk lain sebagaimana dijelaskan hadis berikut, "Pada mulanya Aku adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal. Maka Kuciptakan makhluk, dan melalui mereka Aku-pun dikenal."
Disini terdapat paham bahwa Tuhan dan makhluk bersatu, dan bukan manusia saja yang bersatu dengan Tuhan. Kalau ayat-ayat diatas mengandung arti ittihad, persatuan manusia dengan Tuhan, hadits terakhir ini mengandung konsep wahdat al-wujud, kesatuan wujud makhluk dengan Tuhan.

Demikianlah ayat-ayat al-Qur'an dan Hadits Nabi menggambarkan betapa dekatnya Tuhan kepada manusia dan juga kepada makhluk-Nya yang lain. Gambaran serupa ini tidak memerlukan pengaruh dari luar agar seorang muslim dapat merasakan kedekatan Tuhan itu. Dengan khusuk dan banyak beribadat ia akan merasakan kedekatan Tuhan, lalu melihat Tuhan dengan mata hatinya dan akhirnya mengalami persatuan rohnya dengan roh Tuhan; dan inilah hakikat tasawuf.

Dan perumpamaan manusia dengan Tuhannya dapat kita contohkan seperti Magnit dengan besi (Magnit adalah Tuhannya dan besi tersebut adalah kita manusia). Apabila besi selalu dekat dengan Magnit, maka besi tersebut bisa menarik besi-besi kecil yang lainnya, meskipun kekuatannya tidak sekuat Magnit. Disitulah sebenarnya bukti bahwa apabila kita selalu dekat kepada Tuhannya, maka Tuhan akan memberikan kekuatan dan keutamaan bagi kita selaku hambanya.

Proses / Jalan Untuk Mendekatkan Diri Kepada Tuhan

Jalan yang ditempuh seseorang untuk sampai ke tingkat melihat Tuhan dengan mata hati dan akhirnya bersatu dengan Tuhan demikian panjang dan penuh duri. Bertahun-tahun orang harus menempuh jalan yang sulit itu. Karena itu hanya sedikit sekali orang yang bisa sampai puncak tujuan tasawuf. Jalan itu disebut tariqah (bahasa Arab), dan dari sinilah berasal kata tarekat dalam bahasa Indonesia. Jalan itu, yang intinya adalah penyucian diri, dibagi kaum sufi ke dalam stasion-stasion yang dalam bahasa Arab disebut maqamat, tempat seorang calon sufi menunggu sambil berusaha keras untuk membersihkan diri agar dapat melanjutkan perjalanan ke stasion berikutnya. Sebagaimana telah di sebut diatas penyucian diri diusahakan melalui ibadah, terutama puasa, shalat, membaca al-Qur'an dan dzikir. Maka, seorang calon sufi banyak melaksanakan ibadah. Tujuan semua ibadah dalam Islam ialah mendekatkan diri itu, terjadilah penyucian diri calon sufi secara bertahap.

Jelas kiranya bahwa usaha penyucian diri, langkah pertama yang harus dilakukan seseorang adalah tobat dari dosa-dosanya. Karena itu, stasion pertama dalam tasawuf adalah tobat. Pada mulanya seorang calon sufi harus tobat dari dosa-dosa besar yang dilakukannya Kalau ia telah berhasil dalam hal ini, ia akan tobat dari dosa-dosa kecil, kemudian dari perbuatan makruh dan selanjutnya dari perbuatan syubhat. Tobat yang dimaksud adalah taubatan nasuha, yaitu tobat yang membuat orangnya menyesal atas dosa-dosanya yang lampau dan betul-betul tidak berbuat dosa lagi walau sekecil apapun. Jelaslah bahwa usaha ini memakan waktu panjang. Untuk memantapkan tobatnya ia pindah ke stasion kedua, yaitu zuhud. Di stasion ini ia menjauhkan diri dari dunia materi dan dunia ramai. Ia mengasingkan diri ke tempat terpencil untuk beribadah, puasa, shalat, membaca al-Qur'an dan dzikir. Puasanya yang banyak membuat hawa nafsunya lemah, dan membuat ia tahan lapar dan dahaga. Ia makan dan minum hanya untuk mempertahankan kelanjutan hidup. Ia sedikit tidur dan banyak beribadah. Pakaiannyapun sederhana. Ia menjadi orang zahid dari dunia, orang yang tidak bisa lagi digoda oleh kesenangan dunia dan kelezatan materi. Yang dicarinya ialah kebahagiaan rohani, dan itu diperolehnya dalam berpuasa, melakukan shalat, membaca al-Qur'an dan berdzikir.

Kalau kesenangan dunia dan kelezatan materi tak bisa menggodanya lagi, ia keluar dari pengasingannya masuk kembali ke dunianya semula. Ia terus banyak berpuasa, melakukan shalat, membaca al-Qur'an dan berdzikir. Ia juga akan selalu naik haji. Sampailah ia ke stasion wara'. Di stasion ini ia dijauhkan Tuhan dari perbuatan-perbuatan syubhat. Dalam literatur tasawuf disebut bahwa al-Muhasibi menolak makanan, karena di dalamnya terdapat syubhat. Seperti Bisyr al-Hafi tidak bisa mengulurkan tangan ke arah makanan yang berisi syubhat.

Dari stasion wara', ia pindah ke stasion faqr. Di stasion ini ia menjalani hidup kefakiran. Kebutuhan hidupnya hanya sedikit dan ia tidak meminta kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban agamanya. Bahkan ia tidak meminta sungguhpun ia tidak punya. Ia tidak meminta tapi tidak menolak pemberian Tuhan.

Setelah menjalani hidup kefakiran ia sampai ke stasion sabar. Ia sabar bukan hanya dalam menjalankan perintah-perintah Tuhan yang berat dan menjauhi larangan-larangan Tuhan yang penuh godaan, tetapi juga sabar dalam menerima percobaan-percobaan berat yang ditimpakan Tuhan kepadanya. Ia bukan hanya tidak meminta pertolongan dari Tuhan, bahkan ia tidak menunggu-nunggu datangnya pertolongan. Ia sabar menderita.

Selanjutnya ia pindah ke stasion tawakkal. Ia menyerahkan diri sebulat-bulatnya kepada kehendak Tuhan. Ia tidak memikirkan hari esok; baginya cukup apa yang ada untuk hari ini. Bahkan, sungguhpun tak ada padanya, ia selamanya merasa tenteram. Kendatipun ada padanya, ia tidak mau makan, karena ada orang yang lebih berhajat pada makanan dari padanya. Ia bersikap seperti telah mati.

Dari stasion tawakkal, ia meningkat ke stasion ridla. Dari stasion ini ia tidak menentang percobaan dari Tuhan bahkan ia menerima dengan senang hati. Ia tidak minta masuk surga dan dijauhkan dari neraka. Di dalam hatinya tidak ada perasaan benci, yang ada hanyalah perasaan senang. Ketika malapetaka turun, hatinya merasa senang dan di dalamnya bergelora rasa cinta kepada Tuhan. Di sini ia telah dekat sekali dengan Tuhan dan iapun sampai ke ambang pintu melihat Tuhan dengan hati nurani untuk selanjutnya bersatu dengan Tuhan.

Karena stasion-stasion tersebut di atas baru merupakan tempat penyucian diri bagi orang yang memasuki jalan tasawuf, ia sebenarnya belumlah menjadi sufi, tapi baru menjadi zahid atau calon sufi. Ia menjadi sufi setelah sampai ke stasion berikutnya dan memperoleh pengalaman-pengalaman tasawuf.

Mengkaji Pengalaman Sufi

Di masa awal perjalanannya, calon sufi dalam hubungannya dengan Tuhan dipengaruhi rasa takut atas dosa-dosa yang dilakukannya. Rasa takut itu kemudian berubah menjadi rasa was-was apakah tobatnya diterima Tuhan sehingga ia dapat meneruskan perjalanannya mendekati Tuhan. Lambat laun ia rasakan bahwa Tuhan bukanlah zat yang suka murka, tapi zat yang sayang dan kasih kepada hamba-Nya. Rasa takut hilang dan timbullah sebagai gantinya rasa cinta kepada Tuhan. Pada stasion ridla, rasa cinta kepada Tuhan bergelora dalam hatinya. Maka ia pun sampai ke stasion mahabbah, cinta Ilahi. Sufi memberikan arti mahabbah sebagai berikut, pertama, memeluk kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya. Kedua, Menyerahkan seluruh diri kepada Yang Dikasihi. Ketiga, Mengosongkan hati dari segala-galanya, kecuali dari Diri Yang Dikasihi.

Mencintai Tuhan tidaklah dilarang dalam Islam, bahkan dalam al-Qur'an terdapat ayat-ayat yang menggambarkan cinta Tuhan kepada hamba dan cinta hamba kepada Tuhan. Ayat 54 dari surat al-Maidah, "Allah akan mendatangkan suatu umat yang dicintai-Nya dan orang yang mencintai-Nya." Selanjutnya ayat 30 dari surat 'Ali Imran menyebutkan, "Katakanlah, jika kamu cinta kepada Tuhan, maka turutlah Aku, dan Allah akan mencintai kamu".

Hadits juga menggambarkan cinta itu, seperti yang berikut, "Senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku melalui ibadat sehingga Aku cinta kepadanya. Orang yang Ku-cintai, Aku menjadi pendengaran, penglihatan dan tangannya".

Sufi yang masyhur dalam sejarah tasawuf dengan pengalaman cinta adalah seorang wanita bernama Rabi'ah al-'Adawiah (713-801 M) di Basrah. Cintanya yang dalam kepada Tuhan memalingkannya dari segala yang lain dari Tuhan. Dalam doanya, ia tidak meminta dijauhkan dari neraka dan pula tidak meminta dimasukkan ke surga. Yang ia pinta adalah dekat kepada Tuhan. Ia mengatakan, "Aku mengabdi kepada Tuhan bukan karena takut kepada neraka, bukan pula karena ingin masuk surga, tetapi aku mengabdi karena cintaku kepada-Nya." Ia bermunajat, "Tuhanku, jika kupuja Engkau karena takut kepada neraka, bakarlah mataku karena Engkau, janganlah sembunyikan keindahan-Mu yang kekal itu dari pandanganku".

Sewaktu malam telah sunyi ia berkata, "Tuhanku, bintang di langit telah gemerlapan, mata-mata telah bertiduran, pintu-pintu istana telah dikunci, tiap pecinta telah berduaan dengan yang dicintainya, dan inilah aku berada di hadirat-Mu, aku ingin berpacaran dengan-Mu." Ketika fajar menyingsing ia dengan rasa cemas mengucapkan, "Tuhanku, malam telah berlalu dan siang segera akan menampakkan diri. Aku gelisah, apakah Engkau terima aku sehingga aku bahagia, ataukah Engkau tolak sehingga aku merasa sedih. Demi ke Mahakuasaan-Mu inilah yang akan kulakukan selama Engkau beri hajat kepadaku. Sekiranya Engkau usir aku dari depan pintuMu, aku tidak akan bergerak, karena cintaku kepada-Mu telah memenuhi hatiku".

Pernah pula ia berkata, "Buah hatiku, hanya Engkaulah yang kukasihi. Beri ampunlah pembuat dosa yang datang ke hadiratMu, Engkau harapanku, kebahagiaan dari kesenanganku. Hatiku telah enggan mencintai selain Engkau." Begitu penuh hatinya dengan rasa cinta kepada Tuhan, sehingga ketika orang bertanya kepadanya, apakah ia benci kepada setan, ia menjawab, "Cintaku kepada Tuhan tidak meninggalkan ruang kosong di dalam hatiku untuk benci setan".

Cinta tulus Rabi'ah al-'Adawiah kepada Tuhan, akhirnya dibalas Tuhan, dan ini tertera dari syairnya yang berikut:

Kucintai Engkau dengan dua cinta,
Cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu,
Cinta karena diriku membuat aku lupa yang lain dan senantiasa menyebut nama-Mu,
Cinta kepada diri-Mu membuat aku melihat Engkau karena Engkau bukakan hijab,
Tiada puji bagiku untuk ini dan itu,
Bagi-Mu-lah puji dan untuk itu semua.

Rabi'ah al-'Adawiah, telah sampai ke stasion sesudah mahabbah, yaitu ma'rifah. Ia telah melihat Tuhan dengan hati nuraninya. Ia telah sampai ke stasion yang menjadi idaman kaum sufi. Dengan kata lain, Rabi'ah al-'Adawiah telah benar-benar menjadi sufi.

Pengalaman ma'rifah, ditonjolkan oleh Zunnun al-Misri (w.860 M). Ma'rifah adalah anugerah Tuhan kepada sufi yang dengan ikhlas dan sungguh-sungguh mencintai Tuhan. Karena cinta ikhlas dan suci itulah Tuhan mengungkapkan tabir dari pandangan sufi dan dengan terbukanya tabir itu sufi pun dapat menerima cahaya yang dipancarkan Tuhan dan sufi pun melihat keindahan-Nya yang abadi. Ketika Zunnun ditanya, bagaimana ia memperoleh ma'rifah, ia menjawab, "Aku melihat dan mengetahui Tuhan dengan Tuhan dan sekiranya tidak karena Tuhan aku tidak melihat dan tidak tahu Tuhan".

Yang dimaksud Zunnun ialah bahwa ia memperoleh ma'rifah karena kemurahan hati Tuhan. Sekiranya Tuhan tidak membukakan tabir dari mata hatinya, ia tidak akan dapat melihat Tuhan. Sebagaimana disebut dalam literatur tasawuf, sufi berusaha keras mendekatkan diri dari bawah dan Tuhan menurunkan rahmat-Nya dari atas. Juga dikatakan bahwa ma'rifah datang ketika cinta sufi dari bawah dibalas Tuhan dari atas.

Dalam hubungan dengan Tuhan, sufi memakai alat bukan akal yang berpusat di kepala, tapi qalb atau kalbu (jantung) yang berpusat di dada. Kalbu mempunyai tiga daya, pertama, daya untuk-mengetahui sifat-sifat Tuhan yang disebut qalb. Kedua, daya untuk mencintai Tuhan yang disebut ruh. Ketiga daya untuk melihat Tuhan yang disebut sirr.

Sirr adalah daya terpeka dari kalbu dan daya ini keluar setelah sufi berhasil menyucikan jiwanya sesuci-sucinya. Dalam bahasa sufi, jiwa tak ubahnya sebagai kaca, yang kalau senantiasa dibersihkan dan digosok akan mempunyai daya tangkap yang besar. Demikian juga jiwa, makin lama ia disucikan dengan ibadat yang banyak, makin suci ia dan makin besar daya tangkapnya, sehingga akhirnya dapat menangkap daya cemerlang yang dipancarkan Tuhan. Ketika itu sufi pun bergemilang dalam cahaya Tuhan dan dapat melihat rahasia-rahasia Tuhan. Karena itu al-Ghazali mengartikan ma'rifat, "Melihat rahasia-rahasia Tuhan dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada".

Kata ma'rifat memang mengandung arti pengetahuan. Maka, ma'rifat dalam tasawuf berarti pengetahuan yang diperoleh langsung dari Tuhan melalui kalbu. Pengetahuan ini disebut ilm ladunni. Ma'rifah berbeda dengan 'ilm. 'Ilm ini diperoleh melalui akal. Dalam pendapat al-Ghazali, pengetahuan yang diperoleh melalui kalbu, yaitu ma'rifah, lebih benar dari pengetahuan yang diperoleh melalui akal, yaitu 'ilm. Sebelum menempuh jalan tasawuf al-Ghazali diserang penyakit syak. Tapi, menurut al-Ghazali, setelah mencapai ma'rifah, keyakinannya untuk memperoleh kebenaran ternyata melalui tasawuf, bukan filsafat.

Lebih jauh mengenai ma'rifah dalam literatur tasawuf dijumpai ungkapan berikut, pertama, kalau mata yang terdapat di dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan tertutup dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah. Kedua, ma'rifah adalah cermin. Kalau sufi melihat ke cermin itu yang akan dilihatnya hanyalah Allah. Ketiga, yang dilihat orang 'arif, baik sewaktu tidur maupun sewaktu bangun hanyalah Allah. Keempat, sekiranya ma'rifah mengambil bentuk materi, cahaya yang disinarkannya gelap. Semua orang yang memandangnya akan mati karena tak tahan melihat kecemerlangan dan keindahannya.

Tetapi sufi yang dapat menangkap cahaya ma'rifah dengan mata hatinya akan dipenuhi kalbunya dengan rasa cinta yang mendalam kepada Tuhan. Tidak mengherankan kalau sufi merasa tidak puas dengan stasion ma'rifah saja. Ia ingin berada lebih dekat lagi dengan Tuhan. Ia ingin mengalami persatuan dengan Tuhan, yang di dalam istilah tasawuf disebut ittihad.

Pengalaman ittihad ini ditunjukkan oleh Abu Yazid antara lain Bustami (874 M). Ucapan-ucapan yang ditinggalkannya menunjukkan bahwa untuk mencapai ittihad diperlukan usaha yang keras dan waktu yang lama. Seseorang pernah bertanya kepada Abu Yazid tentang perjuangannya untuk mencapai ittihad. Ia menjawab, "Tiga tahun," sedang umurnya waktu itu telah lebih dari tujuh puluh tahun. Ia ingin mengatakan bahwa dalam usia tujuh puluh tahunlah ia baru sampai ke stasion ittihad.

Sebelum sampai ke ittihad, seorang sufi harus terlebih dahulu mengalami fana' dan baqa'. Yang dimaksud dengan fana' adalah hancur sedangkan baqa' berarti tinggal. Sesuatu didalam diri sufi akan fana’ atau hancur dan sesuatu yang lain akan baqa’ atau tinggal. Dalam literatur tasawuf disebutkan, orang yang fana’ dari kejahatan akan baqa’ (tinggal) ilmu dalam dirinya; orang yang fana’ dari maksiat akan baqa’ (tinggal) takwa dalam dirinya. Dengan demikian, yang tinggal dalam dirinya sifat-sifat yang baik. Sesuatu hilang dari diri sufi dan sesuatu yang lain akan timbul sebagai gantinya. Hilang kejahilan akan timbul ilmu. Hilang sifat buruk akan timbul sifat baik. Hilang maksiat akan timbul takwa.

Untuk sampai ke ittihad, sufi harus terlebih dahulu mengalami al-fana' 'an al-nafs, dalam arti lafdzi kehancuran jiwa. Yang dimaksud bukan hancurnya jiwa sufi menjadi tiada, tapi kehancurannya akan menimbulkan kesadaran sufi terhadap diri-Nya. Inilah yang disebut kaum sufi al-fana' 'an al-nafs wa al-baqa, bi 'l-Lah, dengan arti kesadaran tentang diri sendiri hancur dan timbullah kesadaran diri Tuhan. Di sini terjadilah ittihad, persatuan atau manunggal dengan Tuhan.

Mengenai fana', Abu Yazid mengatakan, "Aku mengetahui Tuhan melalui diriku hingga aku hancur, kemudian aku mengetahui-Nya melalui diri-Nya dan akupun hidup. Sedangkan mengenai fana’ dan baqa', ia mengungkapkan lagi, "Ia membuat aku gila pada diriku hingga aku mati. Kemudian Ia membuat aku gila kepada diri-Nya, dan akupun hidup." Lalu, diapun berkata lagi, "Gila pada diriku adalah fana' dan gila pada diri-Mu adalah baqa' (kelanjutan hidup)".

Dalam menjelaskan pengertian fana', al-Qusyairi menulis, "Fananya seseorang dari dirinya dan dari makhluk lain terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan makhluk lain. Sebenarnya dirinya tetap ada, demikian pula makhluk lain, tetapi ia tak sadar lagi pada diri mereka dan pada dirinya. Kesadaran sufi tentang dirinya dan makhluk lain lenyap dan pergi ke dalam diri Tuhan dan terjadilah ittihad".

Ketika sampai ke ambang pintu ittihad dari sufi keluar ungkapan-ungkapan ganjil yang dalam istilah sufi disebut syatahat (ucapan teopatis). Syatahat yang diucapkan Abu Yazid, antara lain, sebagai berikut, "Manusia tobat dari dosanya, tetapi aku tidak. Aku hanya mengucapkan, tiada Tuhan selain Allah".

Abu Yazid tobat dengan lafadz syahadat demikian, karena lafadz itu menggambarkan Tuhan masih jauh dari sufi dan berada di belakang tabir. Abu Yazid ingin berada di hadirat Tuhan, berhadapan langsung dengan Tuhan dan mengatakan kepadaNya: Tiada Tuhan selain Engkau.
Dia juga mengucapkan, "Aku tidak heran melihat cintaku pada-Mu, karena aku hanyalah hamba yang hina. Tetapi aku heran melihat cinta-Mu padaku, karena Engkau adalah Raja Maha Kuasa". Kata-kata ini menggambarkan bahwa cinta mendalam Abu Yazid telah dibalas Tuhan. Lalu, dia berkata lagi, "Aku tidak meminta dari Tuhan kecuali Tuhan".

Seperti halnya Rabi'ah yang tidak meminta surga dari Tuhan dan pula tidak meminta dijauhkan dari neraka dan yang dikehendakinya hanyalah berada dekat dan bersatu dengan Tuhan. Dalam mimpi ia bertanya, "Apa jalannya untuk sampai kepadaMu?". Tuhan menjawab, "Tinggalkan dirimu dan datanglah". Akhirnya Abu Yazid dengan meninggalkan dirinya mengalami fana, baqa' dan ittihad.

Masalah ittihad, Abu Yazid menggambarkan dengan kata-kata berikut ini, "Pada suatu ketika aku dinaikkan kehadirat Tuhan dan Ia berkata, Abu Yazid, makhluk-Ku ingin melihat engkau. Aku menjawab, kekasih-Ku, aku tak ingin melihat mereka. Tetapi jika itu kehendak-Mu, aku tak berdaya menentang-Mu. Hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika makhluk-Mu melihat aku, mereka akan berkata, telah kami lihat Engkau. Tetapi yang mereka lihat sebenarnya adalah Engkau, karena ketika itu aku tak ada di sana".

Dialog antara Abu Yazid dengan Tuhan ini menggambarkan bahwa ia dekat sekali dengan Tuhan. Godaan Tuhan untuk mengalihkan perhatian Abu Yazid ke makhluk-Nya ditolak Abu Yazid. Ia tetap meminta bersatu dengan Tuhan. Ini kelihatan dari kata-katanya, "Hiasilah aku dengan keesaan-Mu". Permintaan Abu Yazid dikabulkan Tuhan dan terjadilah persatuan, sebagaimana terungkap dari kata-kata berikut ini, "Abu Yazid, semuanya kecuali engkau adalah makhluk-Ku". Akupun berkata, aku adalah Engkau, Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau". Dalam literatur tasawuf disebut bahwa dalam ittihad, yang satu memanggil yang lain dengan kata-kata: Ya ana (Hai aku). Hal ini juga dialami Abu Yazid, seperti kelihatan dalam ungkapan selanjutnya, "Dialog pun terputus, kata menjadi satu, bahkan seluruhnya menjadi satu. Maka Ia pun berkata kepadaku, "Hai Engkau, aku menjawab melalui diri-Nya "Hai Aku". Ia berkata kepadaku, "Engkaulah Yang Satu". Aku menjawab, "Akulah Yang Satu." Ia berkata lagi, "Engkau adalah Engkau". Aku menjawab: "Aku adalah Aku".

Yang penting diperhatikan dalam ungkapan diatas adalah kata-kata Abu Yazid "Aku menjawab melalui diriNya" (Fa qultu bihi). Kata-kata bihi melalui diri-Nya menggambarkan bersatunya Abu Yazid dengan Tuhan, rohnya telah melebur dalam diri Tuhan. Ia tidak ada lagi, yang ada hanyalah Tuhan. Maka yang mengatakan "Hai Aku Yang Satu" bukan Abu Yazid, tetapi Tuhan melalui Abu Yazid.

Dalam arti serupa inilah harus diartikan kata-kata yang diucapkan lidah sufi ketika berada dalam ittihad yaitu kata-kata yang pada lahirnya mengandung pengakuan sufi seolah-olah ia adalah Tuhan. Abu Yazid, seusai sembahyang subuh, mengeluarkan kata-kata, "Maha Suci Aku, Maha Suci Aku, Maha Besar Aku, Aku adalah Allah. Tiada Allah selain Aku, maka sembahlah Aku".

Dalam istilah sufi, kata-kata tersebut memang diucapkan lidah Abu Yazid, tetapi itu tidak berarti bahwa ia mengakui dirinya Tuhan. Mengakui dirinya Tuhan adalah dosa terbesar, dan sebagaimana dilihat pada permulaan penjelasan seputar sufi ini, agar dapat dekat kepada Tuhan, sufi haruslah bersih bukan dari dosa saja, tetapi juga dari syubhat. Maka dosa terbesar tersebut diatas akan membuat Abu Yazid jauh dari Tuhan dan tak dapat bersatu dengan Dia. Maka dalam pengertian sufi, kata-kata diatas betul keluar dari mulut Abu Yazid. Dengan kata lain, Tuhanlah yang mengaku diri-Nya Allah melalui lidah Abu Yazid. Karena itu dia pun mengatakan, "Pergilah, tidak ada di rumah ini selain Allah Yang Maha Kuasa. Di dalam jubah ini tidak ada selain Allah".

Yang mengucapkan kata-kata itu memang lidah Abu Yazid, tetapi itu tidak mengandung pengakuan Abu Yazid bahwa ia adalah Tuhan. Itu adalah kata-kata Tuhan yang diucapkan melalui lidah Abu Yazid.

Sufi lain yang mengalami persatuan dengan Tuhan adalah Husain Ibn Mansur al-Hallaj (858-922 M), yang berlainan nasibnya dengan Abu Yazid. Nasibnya malang karena dijatuhi hukuman bunuh, mayatnya dibakar dan debunya dibuang ke sungai Tigris. Hal ini karena dia mengatakan, "Ana 'l-Haqq (Akulah Yang Maha Benar)".

Pengalaman persatuannya dengan Tuhan tidak disebut ittihad, tetapi hulul. Kalau Abu Yazid mengalami naik ke langit untuk bersatu dengan Tuhan, al-Hallaj mengalami persatuannya dengan Tuhan turun ke bumi. Dalam literatur tasawuf hulul diartikan, Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk bersemayam didalamnya dengan sifat-sifat ketuhanannya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dihancurkan.

Di sini terdapat juga konsep fana’, yang dialami Abu Yazid dalam ittihad sebelum tercapai hulul. Menurut al-Hallaj, manusia mempunyai dua sifat dasar: nasut (kemanusiaan) dan lahut (ketuhanan). Demikian juga Tuhan mempunyai dua sifat dasar, lahut (ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan). Landasan bahwa Tuhan dan manusia sama-sama mempunyai sifat diambil dari hadits yang menegaskan bahwa Tuhan menciptakan Adam sesuai dengan bentuk-Nya.

Hadits ini mengandung arti bahwa didalam diri Adam ada bentuk Tuhan dan itulah yang disebut lahut manusia. Sebaliknya didalam diri Tuhan terdapat bentuk Adam dan itulah yang disebut nasut Tuhan. Hal ini terlihat jelas pada syair al-Hallaj sebagai berikut:

Maha Suci Diri Yang Sifat kemanusiaan-Nya membukakan rahasia cahaya ketuhanan-Nya,
Yang gemilang kemudian kelihatan bagi makhluk-Nya dengan nyata,
Dalam bentuk manusia yang makan dan minum.

Dengan membersihkan diri malalui ibadah yang banyak dilakukan, nasut manusia lenyap dan muncullah lahut-nya dan ketika itulah nasut Tuhan turun bersemayam dalam diri sufi dan terjadilah hulul.

Hal itu juga digambarkan al-Hallaj dalam syair berikut ini:

Jiwa-Mu disatukan dengan jiwaku,
Sebagaimana anggur disatukan dengan air suci,
Jika Engkau disentuh aku disentuhnya pula,
Maka ketika itu dalam tiap hal Engkau adalah aku.

Ketika mengalami hulul yang digambarkan diatas itulah lidah al-Hallaj mengucapkan, "Ana 'l-Haqq (Akulah Yang Maha Benar). Tetapi sebagaimana halnya dengan Abu Yazid, ucapan itu tidak mengandung arti pengakuan al-Hallaj dirinya menjadi Tuhan. Kata-kata itu adalah kata-kata Tuhan yang Ia ucapkan melalui lidah al-Hallaj. Sufi yang bernasib malang ini mengatakan : "Aku adalah rahasia Yang Maha Benar, Yang Maha Benar bukanlah Aku, Aku hanya satu dari yang benar, Maka bedakanlah antara kami”.

Syatahat atau kata-kata teofani sufi seperti itu membuat kaum syari'at menuduh sufi telah menyeleweng dari ajaran Islam dan menganggap tasawuf bertentangan dengan Islam. Kaum syari'at yang banyak terikat kepada formalitas ibadah, tidak menangkap pengalaman sufi yang mementingkan hakekat dan tujuan ibadah, yaitu mendekatkan diri sedekat mungkin kepada Tuhan.

Dalam sejarah Islam memang terkenal adanya pertentangan keras antara kaum syari'at dan kaum hakekat, gelar yang diberikan kepada kaum sufi. Pertentangan ini mereda setelah al-Ghazali datang dengan pengalamannya bahwa jalan sufilah yang dapat membawa orang kepada kebenaran yang menyakinkan. Al-Ghazali menghalalkan tasawuf sampai tingkat ma'rifah, sungguhpun ia tidak mengharamkan tingkat fana', baqa’, dan ittihad. Ia tidak mengkafirkan Abu Yazid dan al-Hallaj, tapi mengkafirkan al-Farabi dan Ibn Sina.

Kalau filsafat, setelah kritik al-Ghazali dalam bukunya Tahafut al-Falasifah, tidak berkembang lagi di dunia Islam Sunni, tasawuf sebaliknya banyak diamalkan, bahkan oleh syariat sendiri. Dalam perkembangan selanjutnya, setelah pengalaman persatuan manusia dengan Tuhan yang dibawa al-Bustami dalam ittihad dan al-Hallaj dalam hulul, Muhy al-Din Ibn 'Arabi (1165-1240) membawa ajaran kesatuan wujud makhluk dengan Tuhan dalam wahdat al-wujud.

Lahut dan nasut, yang bagi al-Hallaj merupakan dua hal yang berbeda, ia satukan menjadi dua aspek. Dalam pengalamannya, tiap makhluk mempunyai dua aspek. Aspek batin yang merupakan esensi, disebut al-haqq, dan aspek luar yang merupakan aksiden disebut al-khalq. Semua makhluk dalam aspek luarnya berbeda, tetapi dalam aspek batinnya satu, yaitu al-haqq. Wujud semuanya satu, yaitu wujud al-haqq.

Tuhan, sebagaimana disebut dalam Hadits yang telah dikutip pada permulaan, pada awalnya adalah "harta" tersembunyi, kemudian Ia ingin dikenal maka diciptakan-Nya makhluk, dan melalui makhluklah Ia dikenal. Maka, alam sebagai makhluk, adalah penampakan diri atau tajalli dari Tuhan. Alam sebagai cermin yang didalamnya terdapat gambar Tuhan. Dengan kata lain, alam adalah bayangan Tuhan. Sebagai bayangan, wujud alam tak akan ada tanpa wujud Tuhan. Wujud alam tergantung pada wujud Tuhan. Sebagai bayangan, wujud alam bersatu dengan wujud Tuhan dalam ajaran wahdat al-wujud.

Yang ada dalam alam ini kelihatannya banyak tetapi pada hakekatnya satu. Keadaan ini tak ubahnya sebagai orang yang melihat dirinya dalam beberapa cermin yang diletakkan di sekelilingnya. Di dalam tiap cermin, ia lihat dirinya. Di dalam cermin, dirinya kelihatan banyak, tetapi pada hakekatnya dirinya hanya satu. Yang lain dan yang banyak adalah bayangannya.

Oleh karena itu ada orang yang mengidentikkan ajaran wahdat al-wujud Ibn Arabi dengan panteisme dalam arti bahwa yang disebut Tuhan adalah alam semesta. Jelas bahwa Ibn Arabi tidak mengidentikkan alam dengan Tuhan. Bagi Ibn Arabi, sebagaimana halnya dengan sufi-sufi lainnya, Tuhan adalah transendental dan bukan imanen. Tuhan berada di luar dan bukan di dalam alam. Alam hanya merupakan penampakan diri atau tajalli dari Tuhan.

Ajaran wahdat al-wujud dengan tajalli Tuhan ini selanjutnya membawa pada ajaran al-Insan al-Kamil yang dikembangkan terutama oleh Abd al-Karim al-Jilli (1366-1428). Dalam pengalaman al-Jilli, tajalli atau penampakan diri Tuhan mengambil tiga tahap tanazul (turun), ahadiah, Huwiah dan Aniyah.

Pada tahap ahadiah, Tuhan dalam keabsolutannya baru keluar dari al-'ama, kabut kegelapan, tanpa nama dan sifat. Pada tahap hawiah nama dan sifat Tuhan telah muncul, tetapi masih dalam bentuk potensial. Pada tahap aniah, Tuhan menampakkan diri dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya pada makhluk-Nya. Di antara semua makhluk-Nya, pada diri manusia Ia menampakkan diri-Nya dengan segala sifat-Nya.

Sungguhpun manusia merupakan tajalli atau penampakan diri Tuhan yang paling sempurna diantara semua makhluk-Nya, tajalli-Nya tidak sama pada semua manusia. Tajalli Tuhan yang sempurna terdapat dalam Insan Kamil. Untuk mencapai tingkat Insan Kamil, sufi mesti mengadakan taraqqi (pendakian) melalui tiga tingkatan: bidayah, tawassut dan khitam.

Pada tingkat bidayah, sufi disinari oleh nama-nama Tuhan, dengan kata lain, pada sufi yang demikian, Tuhan menampakkan diri dalam nama-nama-Nya, seperti Pengasih, Penyayang dan sebagainya (tajalli fi al-asma). Pada tingkat tawassut, sufi disinari oleh sifat-sifat Tuhan, seperti hayat, ilmu, qudrat dll. Dan Tuhan ber-tajalli pada sufi demikian dengan sifat-sifat-Nya. Pada tingkat khitam, sufi disinari dzat Tuhan yang dengan demikian sufi tersebut ber-tajalli dengan dzat-Nya. Pada tingkat ini sufi pun menjadi Insan Kamil. Ia menjadi manusia sempurna, mempunyai sifat ketuhanan dalam dirinya terdapat bentuk (shurah) Allah. Dialah bayangan Tuhan yang sempurna. Dan dialah yang menjadi perantara antara manusia dan Tuhan. Insan Kamil terdapat dalam diri para Nabi dan para wali. Di antara semuanya, Insan Kamil yang tersempurna terdapat dalam diri Nabi Muhammad.

Beginilah, tujuan sufi untuk berada sedekat mungkin dengan Tuhan akhirnya tercapai malalui ittihad serta hulul yang mengandung pengalaman persatuan roh manusia dengan roh Tuhan dan melalui wahdat al-wujud yang mengandung arti penampakan diri atau tajalli Tuhan yang sempurna dalam diri Insan Kamil.

Sementara itu tasawuf pada masa awal sejarahnya mengambil bentuk tarekat, dalam arti organisasi tasawuf, yang dibentuk oleh murid-murid atau pengikut-pengikut sufi besar untuk melestarikan ajaran gurunya. Di antara tarekat-tarekat besar yang terdapat di Indonesia adalah Qadiriah yang muncul pada abad ke-13 Masehi untuk melestarikan ajaran Syekh Abdul Qadir Jailani (w. 1166 M), Naqsyabandiah, muncul pada abad ke-14 bagi pengikut Bahauddin Naqsyabandi (w. 1415 M), Syattariah, pengikut Abdullah Syattar (w. 1415 M), dan Tijaniah yang muncul pada abad ke-19 di Marokko dan Aljazair. Tarekat-tarekat besar lain diantaranya adalah Bekhtasyiah di Turki, Sanusiah di Libia, Syadziliah di Marokko, Mesir dan Suria, Mawlawiah (Jalaluddin Rumi) di Turki, dan Rifa'iah di Irak, Suria dan Mesir.

Dalam tarekat, ajaran-ajaran sufi besar tersebut terkadang diselewengkan, sehingga tarekat menyimpang dari tujuan sebenarnya dari sufi untuk menyucikan diri dan berada dekat dengan Tuhan. Tarekat ada yang telah menyalahi ajaran dasar sufi dan syari'at Islam, sehingga timbullah pertentangan antara kaum syari'at dan kaum tarekat.

Sementara itu ada pula tarekat yang menekankan pentingnya kehidupan rohani dan mengabaikan kehidupan duniawi, dan disamping itu menekankan ajaran tawakal sufi, sehingga mengabaikan usaha. Dengan kata lain, yang dikembangkan tarekat adalah orientasi akhirat dan sikap tawakal.

Perlu ditegaskan bahwa sampai permulaan abad ke-20, tarekat mempunyai pengaruh besar dalam masyarakat Islam. Karena pengaruh besar itu, orang-orang yang ingin mendapat dukungan dari masyarakat menjadi anggota tarekat. Di Turki Usmani, tentara menjadi anggota tarekat Bekhtasyi dan dalam perlawanan mereka terhadap pembaharuan yang diadakan sultan-sultan, mereka mendapat sokongan dari tarekat Bekhtasyi dan para ulama Turki.

Karena pengaruh besar dalam masyarakat itu orientasi akhirat dan sikap tawakal berkembang di kalangan umat Islam yang bekas-bekasnya masih ada pada kita sampai sekarang. Untuk itu tidak mengherankan kalau pemimpin-pemimpin pembaharuan dalam Islam seperti Jamaluddin Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan terutama Kamal Ataturk memandang tarekat sebagai salah satu faktor yang membawa kepada kemunduran umat Islam.

Dalam pada itu dunia dewasa ini dilanda oleh materialisme yang menimbulkan berbagai masalah sosial yang pelik. Banyak orang mengatakan bahwa dalam menghadapi meterialisme yang melanda dunia sekarang, perlu dihidupkan kembali spiritualisme. Disini tasawuf dengan ajaran kerohanian dan akhlak mulianya dapat memainkan peranan penting. Tetapi untuk itu yang perlu ditekankan tarekat dalam diri para pengikutnya adalah penyucian diri dan pembentukan akhlak mulia disamping kerohanian dengan tidak mengabaikan kehidupan keduniaan.

Pada akhir-akhir ini memang kelihatan gejala orang-orang di Barat yang bosan hidup kematerian lalu mencari hidup kerohanian di Timur. Ada yang pergi ke kerohanian dalam agama Buddha, ada ke kerohanian dalam agama Hindu dan tak sedikit pula yang mengikuti kerohanian dalam agama Islam, umpamanya aliran Subud yang pernah marak di Jakarta.

Dalam hubungan itu kira-kira 30 tahun lalu, A.J. Arberry dalam bukunya Sufism menulis bahwa Muslim dan bukan Muslim adalah makhluk Tuhan yang satu. Oleh karena itu bukanlah tidak pada tempatnya bagi seorang Kristen untuk mempelajari ajaran-ajaran sufi yang telah meninggalkan pengaruh besar dalam kehidupan umat Islam dan bersama-sama dengan orang Islam menggali kembali ajaran-ajaran sufi yang akan dapat memenuhi kebutuhan orang yang mencari nilai-nilai kerohanian dan moral zaman yang penuh kegelapan dan tantangan seperti zaman globalisasi sekarang ini.

Bahan Refrensi

Corbin, H., Histoire de la Philosophie Islamique, Paris, Gallimard, 1964.
Badawi, A.R., Syatahat al-Sufiah, Cairo, al-Nahdah al-Misriah, 1949.
Arberry, A.J., Sufism, London, George Allan and Unwin Ltd., 1963.
Refrensi Juga Di Ambil Dari Makalah Harun Nasution.

Read more
 
© Sepenggal Taqdir | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger