Selamat Datang di http://ghanie-np.blogspot.com Dan Selamat Menikmati Sepenggal Taqdir Dari Anak Kepulauan Ini
Mohon ma'af sebelumnya, sudah lama tidak saya Update, karena masih banyak kesibukan yang harus saya selesaikan.
Sekedar Kata Pengantar :
Kureguk kopi sambil menyelesaikan satu puisi. Kamu di sisiku, menjadi kitab refrensiku. Kubuka halaman hatimu, tak kutemukan kata pengganti yang lebih indah untuk kutulis. Selamat Menikmati...

MENCARI SOSOK PEMIMPIN NASIONAL YANG IDEAL

Setelah 58 tahun merdeka dan melewati delapan kali pemilu, untuk pertama kalinya rakyat Indonesia akan memilih sendiri Presiden dan Wakil Presidennya. Momen ini merupakan lompatan besar bagi demokrasi. Dengan pemilihan langsung ini berarti satu tahap telah dilewati, yaitu, tahap ketika rakyat masih mempercayakan proses pemilihan pemimpin kepada wakil-wakilnya di MPR. Realitas ini dapat diibaratkan seseorang yang mulai tumbuh dewasa dan belajar untuk memilih jalan hidup sendiri.

Namun persis seperti seseorang yang baru memasuki masa dewasa dan berada di persimpangan jalan hidupnya. Apabila salah memilih jalan akan berakibat pada kegagalan mendewasakan diri. Begitu pula rakyat Indonesia, berada di percabangan apakah mampu memilih pemimpin yang tepat. Bagaimana sesungguhnya kriteria sosok pemimpin nasional yang mampu membawa kehidupan bangsa ke era kedewasaan demokrasi. Apakah pemimpin dengan kriteria tersebut dapat hadir dalam realitas.

Sedikitnya terdapat dua kriteria tokoh yang tidak layak menjadi pemimpin nasional karena tidak akan mampu membawa bangsa Indonesia ke kedewasaan demokrasi. Pertama, tokoh yang menyamakan kekuasaan politis dengan kekuasaan dalam keluarga. Tokoh yang berpikiran seperti ini di satu sisi selalu memperlakukan diri sebagai orang tua dari masyarakat yang dipimpinnya, di sisi lain ada kecenderungan tampil dengan dilator belakangi gambar besar orang tuanya.

Tokoh yang menempatkan diri sebagai ayah/ibu senantiasa menginginkan anak-anaknya (rakyatnya) tunduk dan taat kepadanya. Tidak ada kebebasan dalam pemerintahan paternalistik seperti ini. Tidak satu pun titik kekuasaan di luar lingkaran kecil sang pemimpin yang boleh membuat kebijakan publik sendiri. Kewenangan dan kekuasaan yang telah didesentralisasikan sejak awal 2001 lalu, akan kembali ditarik ke dalam lingkaran kecil itu. 

Selain menempatkan diri sebagai orang tua, tokoh yang ”kekeluargaan” ini memiliki kecenderungan untuk memperlakukan diri sebagai anak dari orang tua yang telah berhasil mewujudkan eksistensi diri dalam kehidupan politik tempo dulu. Akibatnya dia cenderung memiliki sifat infantil dan berlindung pada kebesaran orang tuanya. Bagaimana bisa mendewasakan kehidupan bangsa kalau dirinya sendiri tidak mampu melepaskan sifat kekanak-kanakannya.

Kedua, tokoh yang tidak layak menjadi pemimpin nasional adalah tokoh yang menyamakan mekanisme politik dengan mekanisme produksi dalam suatu pabrik. Pemilu hanya dianggap sebagai proses produksi. Rakyat hanya dijadikan buruh yang bekerja secara mekanis dengan produk berupa legitimasi demokratis bagi kekuasaannya.

Tokoh seperti ini akan melirik rakyat hanya ketika menjelang dan saat pemilu, di mana dia memerlukan output berupa legitimasi demokratis. Seperti halnya buruh yang tidak mendapatkan apa pun dari hasil kerjanya selain upah pas-pasan yang hanya cukup untuk hidup sehari-hari agar proses produksi terus berlanjut, rakyat apabila memilih pemimpin seperti ini, setelah pemilu tidak akan mendapat apa-apa selain balasan sekedarnya dengan tujuan menjamin kelangsungan produksi legitimasi demokratis pada pemilu berikutnya. Rakyat juga tidak akan dewasa secara politik melainkan seperti anak-anak yang selalu disuruh orang tuanya dan setelah itu mendapat hadiah berupa permen atau uang recehan.

Tokoh yang tepat untuk menjadi pemimpin nasional setidaknya memiliki empat kriteria. Pertama, tokoh yang memperlakukan dirinya sejajar dengan orang lain sebagai sesama manusia dewasa yang memiliki hak dan kewajiban sama di muka hukum. Tokoh egaliter ini tidak akan mempraktikkan kekuasaan otoriter-sentralistis karena dalam pandangannya rakyat adalah manusia dewasa yang mampu berperan serta aktif dalam kehidupan bernegara dan setiap daerah akan mampu mengatur sendiri rumah tangga daerahnya.

Kedua, tokoh yang tepat untuk memimpin negara-bangsa ini adalah yang ”memanusiakan manusia”, memperlakukan mekanisme politik sebagai mekanisme antarmanusia yang sedang berusaha membangun tatanan kehidupan politik untuk kesejahteraan bersama. Pemimpin seperti ini akan memperlakukan rakyat secara adil dengan cara menempatkan rakyat sebagai ”majikan”. 

Ketiga, tokoh yang tepat untuk memimpin bangsa ini adalah yang berkarakter ksatria. Di tengah belitan krisis multidimensi yang secara terus- menerus meremas dan meretakkan tulang-tulang infrastruktur ekonomi dan suprasruktur sosial-politik negara-bangsa ini, hanya pemimpin yang berkarakter ksatria yang akan mampu membuat berbagai terobosan guna melepaskan diri dari belitan yang menghancurkan tersebut. Hal ini karena untuk menyelesaikan konflik dan krisis tidak cukup dengan pemikiran dan perenungan saja melainkan melalui tindakan tepat di lapangan. 

Pemimpin bangsa ke depan tidak mesti seorang pandita, filsuf, pemikir, cendikiawan yang senantiasa duduk di menara gading, mencermati dan merefleksi realitas masyarakat dari kejauhan. Pemimpin yang diperlukan bangsa sekarang ini adalah pemimpin yang selalu berjuang di tengah-tengah masyarakat, turut berperan serta aktif menyelesaikan berbagai konflik di masyarakat serta seorang entrepreneur yang mampu melepaskan bangsa dari krisis ekonomi yang seakan tak kunjung berakhir.

Keempat, tokoh yang tepat memimpin bangsa ini adalah tokoh yang pro desentralisasi dan federalisme. Hanya dengan desentralisasi, keadilan dan kesejahteraan akan dirasakan oleh seluruh rakyat di daerah. Hal ini karena penghisapan kekayaan daerah yang mudah dilakukan oleh pemerintahan tersentralisasi tidak akan bisa dilakukan oleh pemerintahan yang terdesentralisasi.

Dengan federalisme, roh dan praksis sentralisme kekuasaan tidak akan hadir dalam realitas politik karena dengan sistem federal, kekuasaan secara hakiki berada di daerah. Berbeda dengan negara kesatuan yang meskipun menerapkan desentralisasi, namun tetap pemilik kekuasaan adalah pusat. Desentralisasi hanya mendelegasikan sebagian kekuasaan pusat ke daerah. Sedangkan dalam negara federal, pemilik kekuasaan adalah daerah dan daerah-daerah tersebut mendelegasikan sebagian kekuasaan mereka ke pusat.

Untuk mendapatkan pemimpin nasional yang ideal tentu bukan hal mudah, bahkan mungkin hanya hadir dalam utopia. Namun setidaknya kriteria-kriteria di atas dapat didekati sehingga realitas tidak akan jauh dari idealnya. Ke empat kriteria tersebut di atas (egaliter, memanusiakan manusia, ksatria dan demokratis-desentralistis) harus ada dalam pemimpin terpilih, apabila kita menginginkan kehidupan politik yang lebih dewasa.

Namun bagaimana cara menentukan apakah seorang calon pemimpin itu egaliter, memanusiakan manusia, ksatria dan demokratis-desentralistis. Tentu saja kita harus mengenal tokoh tersebut. Di era kemajuan teknik informasi sekarang ini tidak sulit untuk mengenal karakter seorang tokoh. Dengan mengikuti berbagai informasi politik terbaru dari berbagai media, kita akan mendapat gambaran tokoh tersebut. Meskipun tentu saja informasi tersebut tidak lepas dari subjektivitas karena dikemas berdasarkan perspektif media yang melansir berita tersebut. 

Misalnya apabila seorang tokoh memimpin organisasinya dengan menggunakan pola top-down dengan berbagai arahan, rekomendasi, perintah yang wajib dituruti oleh bawahannya di daerah dan tidak memberi kesempatan kepada daerah untuk mengatur dirinya sendiri, maka tokoh tersebut dapat dikategorikan kontra desentralisasi dan federalisme. Selain itu, tokoh dengan typical seperti ini bukanlah tokoh yang egaliter dan tidak bisa membedakan kehidupan politik dan kehidupan keluarga sehingga seringkali mengaku sebagai ayah/ibu dari bawahannya. Tokoh seperti ini juga tidak memanusiakan bawahannya di daerah. Tokoh partai di daerah hanyalah dijadikan robot yang selalu menjalankan setiap program yang di set-up ke dalam Central Processing Unit-nya.

Di luar kriteria individu tersebut, masih terdapat hal penting lainnya yang juga menentukan kedewasaan bangsa, yaitu, sistem politik yang baik. Sistem pemilu dan undang-undang lain, institusi-institusi demokrasi, dan bagian lainnya dari sistem politik harus berjalan dengan baik. Dengan sistem yang baik, proses pemilihan pemimpin bangsa akan berhasil melahirkan pemimpin nasional yang tepat.

comment 1 komentar:

IMABA Surabaya on 12 Juni 2009 pukul 03.59 mengatakan...

Haloo...
Kok gak diupdate bro?

Posting Komentar

 
© Sepenggal Taqdir | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger