Positivisme Logis (disebut juga sebagai empirisme logis, empirisme rasional, dan juga neo-positivisme) adalah sebuah filsafat yang berasal dari Lingkaran Wina pada tahun 1920-an. Positivisme Logis berpendapat bahwa filsafat harus mengikuti rigoritas yang sama dengan sains. Filsafat harus dapat memberikan kriteria yang ketat untuk menetapkan apakah sebuah pernyataan adalah benar, salah atau tidak memiliki arti sama sekali.
Tokoh-tokoh yang menganut paham positivisme logis ini antara lain Moritz Schlick, Rudolf Carnap, Otto Neurath, dan A.J. Ayer. Karl Popper, meski awalnya tergabung dalam kelompok Lingkaran Wina, adalah salah satu kritikus utama terhadap pendekatan neo-positivis ini.
Asal dan Gagasan Positivisme Logis
Secara umum, para penganut paham positivisme memiliki minat kuat terhadap sains dan mempunyai sikap skeptis terhadap ilmu agama dan hal-hal yang berbau metafisika. Mereka meyakini bahwa semua ilmu pengetahuan haruslah berdasarkan inferensi logis yang berdasarkan fakta yang jelas. Sehingga, penganut paham ini mendukung teori-teori paham realisme, materialisme naturalisme filsafat dan empirisme.
Salah satu teori Positivisme Logis yang paling dikenal antara lain teori tentang makna yang dapat dibuktikan, yang menyatakan bahwa sebuah pernyataan dapat disebut sebagai bermakna jika dan hanya jika pernyataan tersebut dapat diverifikasi secara empiris. Konsekuensi dari pendapat ini adalah, semua bentuk diskursus yang tidak dapat dibuktikan secara empiris, termasuk di antaranya adalah etika dan masalah keindahan, tidak memiliki makna apa-apa, sehingga tergolong ke dalam bidang metafisika.
Kritik
Para pengkritik Positivisme Logis berpendapat bahwa landasan dasar yang digunakan oleh Positivisme Logis sendiri tidak dinyatakan dalam bentuk yang konsisten. Misalnya, prinsip tentang teori tentang makna yang dapat dibuktikan seperti yang dinyatakan di atas itu sendiri tidak dapat dibuktikan secara empiris. Masalah lain yang muncul adalah dalam hal pembuktian teori. Masalah yang dinyatakan dalam bentuk eksistensi positif (misalnya: ada burung berwarna hitam) atau dalam bentuk universal negatif (misalnya: tidak semua burung berwarna hitam) mungkin akan mudah dibuktikan kebenarannya, namun masalah yang dinyatakan sebaliknya, yaitu dalam bentuk eksistensi negatif (misalnya: tidak ada burung yang berwarna hitam) atau universal positif (misalnya: semua burung berwarna hitam) akan sulit atau bahkan tidak mungkin dibuktikan.
Karl Popper, salah satu kritikus Positivisme Logis yang terkenal, menulis buku berjudul Logik der Forschung (Logika Penemuan Ilmiah) pada tahun 1934. Di buku ini dia menyajikan alternatif dari teori syarat pembuktian makna, yaitu dengan membuat pernyataan ilmiah dalam bentuk yang dapat dipersangkalkan (falsifiability). Pertama, topik yang dibahas Popper bukanlah tentang membedakan antara pernyataan yang bermakna dan yang tidak, namun untuk membedakan antara pernyataan yang ilmiah dari pernyataan yang bersifat metafisik. Menurutnya, pernyataan metafisik tidaklah harus tidak bermakna apa-apa, dan sebuah pernyataan yang bersifat metafisik pada satu masa, karena pada saat tersebut belum ditemukan metode penyangkalannya, belum tentu akan selamanya bersifat metafisik. Sebagai contoh, psikoanalisis pada jaman itu tidak memiliki metode penyangkalannya, sehingga tidak dapat digolongkan sebagai ilmiah, namun jika suatu saat nanti berkembang menjadi sesuatu yang dapat dibuktikan melalui penyangkalan, maka akan dapat digolongkan sebagai ilmiah.
Tokoh-tokoh yang menganut paham positivisme logis ini antara lain Moritz Schlick, Rudolf Carnap, Otto Neurath, dan A.J. Ayer. Karl Popper, meski awalnya tergabung dalam kelompok Lingkaran Wina, adalah salah satu kritikus utama terhadap pendekatan neo-positivis ini.
Asal dan Gagasan Positivisme Logis
Secara umum, para penganut paham positivisme memiliki minat kuat terhadap sains dan mempunyai sikap skeptis terhadap ilmu agama dan hal-hal yang berbau metafisika. Mereka meyakini bahwa semua ilmu pengetahuan haruslah berdasarkan inferensi logis yang berdasarkan fakta yang jelas. Sehingga, penganut paham ini mendukung teori-teori paham realisme, materialisme naturalisme filsafat dan empirisme.
Salah satu teori Positivisme Logis yang paling dikenal antara lain teori tentang makna yang dapat dibuktikan, yang menyatakan bahwa sebuah pernyataan dapat disebut sebagai bermakna jika dan hanya jika pernyataan tersebut dapat diverifikasi secara empiris. Konsekuensi dari pendapat ini adalah, semua bentuk diskursus yang tidak dapat dibuktikan secara empiris, termasuk di antaranya adalah etika dan masalah keindahan, tidak memiliki makna apa-apa, sehingga tergolong ke dalam bidang metafisika.
Kritik
Para pengkritik Positivisme Logis berpendapat bahwa landasan dasar yang digunakan oleh Positivisme Logis sendiri tidak dinyatakan dalam bentuk yang konsisten. Misalnya, prinsip tentang teori tentang makna yang dapat dibuktikan seperti yang dinyatakan di atas itu sendiri tidak dapat dibuktikan secara empiris. Masalah lain yang muncul adalah dalam hal pembuktian teori. Masalah yang dinyatakan dalam bentuk eksistensi positif (misalnya: ada burung berwarna hitam) atau dalam bentuk universal negatif (misalnya: tidak semua burung berwarna hitam) mungkin akan mudah dibuktikan kebenarannya, namun masalah yang dinyatakan sebaliknya, yaitu dalam bentuk eksistensi negatif (misalnya: tidak ada burung yang berwarna hitam) atau universal positif (misalnya: semua burung berwarna hitam) akan sulit atau bahkan tidak mungkin dibuktikan.
Karl Popper, salah satu kritikus Positivisme Logis yang terkenal, menulis buku berjudul Logik der Forschung (Logika Penemuan Ilmiah) pada tahun 1934. Di buku ini dia menyajikan alternatif dari teori syarat pembuktian makna, yaitu dengan membuat pernyataan ilmiah dalam bentuk yang dapat dipersangkalkan (falsifiability). Pertama, topik yang dibahas Popper bukanlah tentang membedakan antara pernyataan yang bermakna dan yang tidak, namun untuk membedakan antara pernyataan yang ilmiah dari pernyataan yang bersifat metafisik. Menurutnya, pernyataan metafisik tidaklah harus tidak bermakna apa-apa, dan sebuah pernyataan yang bersifat metafisik pada satu masa, karena pada saat tersebut belum ditemukan metode penyangkalannya, belum tentu akan selamanya bersifat metafisik. Sebagai contoh, psikoanalisis pada jaman itu tidak memiliki metode penyangkalannya, sehingga tidak dapat digolongkan sebagai ilmiah, namun jika suatu saat nanti berkembang menjadi sesuatu yang dapat dibuktikan melalui penyangkalan, maka akan dapat digolongkan sebagai ilmiah.
0 komentar:
Posting Komentar