(Oleh : Abd Ghani)
Pada hari Sabtu, 2 Desember lalu, Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi dikukuhkan sebagai Doktor Honoris Causa oleh lAIN Sunan Ampel Surabaya dalam bidang Peradaban Islam. Tarnpak hadir Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla, KH MA Sahal Mahfudh Rais ‘Aam PBNU yang juga memberikan sambutan mewakili tokoh masyarakat, KH Maimun Zuber (Sarang), Prof Jimly Asshiddiqie (Ketua Mahkamah Konstitusi), A Syafli Maarif (Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah), Ir Akbar Tandjung (Mantan Ketua DPR RI), Prof DR Din Syamsuddin (Ketua Umum PP Muhammadiyah), beberapa duta besar negara sahabat, serta kolega beliau dan lintas agama.
Berikut pidato beliau:
Syukur alhamdulillah berkat taufiq dan hidayah serta inayah Allah Swt., pada hari ini tanggal 2 Desember 2006, saya memperoleh kehormatan akademik gelar Doktor Honoris Causa dalam ‘Peradaban Islam’. Sungguh ini merupakan kehormatan yang begitu besar bagi saya pribadi khususnya dan bagi Nahdllatul Ulama secara keseluruhan. Kanena itu, saya menyampaikan ucapan terima kasih kepada Rektor sekaligus sebagai Ketua Senat lAIN Sunan Ampel, Prof. Dr. HM. Ridiwan Nasir, MA., kepada Direktur yang sekaligus sebagai Ketua Majells Pertimbangan Akademik (MPA) Program Pascasarjana lAIN Sunan Ampel, Prof. Dr. H. Ahmad Zabro, MA dan para Anggota Senat lAIN Sunan Ampel yang telah menyetujui saya untuk mendapat penghargaan gelar akademik ini.
Selanjutnya, saya juga mengu capka terima kasih kepada para guru, dosen, dan ulama yang ikut membesarkan saya dengan ilmu, mujadalah dan kearifan hingga saya bisa mendapat kehormatan seperti sekarang mi. Teman dan sahabat saya dalam perjuangan menegakkan izzul Islam wal muslimin baik dan kalangan NU, Muhammadiyah dan Ormas Islam lainnya. Kemudian ucapan terima kasih kepada teman seper juangan saya dalam Forum Lintas Agama yang tergabung dalam Gerakan Moral Nasional (Geralnas) yang juga besar jasanya menemani saya untuk berkampanye Islam Rahmatan Lil’alamin ke seluruh belahan dunia sehingga saya akhirnya terpilih sebagai salah satu Presiden dalam World Conference of Religions for Peace (WCRP) dalam Pertemuan Pimpinan Agama se-Dunia ke-Delapan di Kyoto Jepang tanggal 29 Agustus 2006. Sekitar 800 pemimpin agama dan 100 negara seluruh dunia ikut dalam acara tersebut yang menghasilkan Dekiarasi Kyoto, meski sebenarnya saya tidak berada di Jepang, melainkan ketika itu saya berada di Arab Saudi bertemu dengan Pimpmnan Rabithab Alam Islarni (RAI), Sekjen OKI (Organisasi Konferensi Islam) di Makkah dan pimpinan Islamic Develop-Iment Bank (1DB) di Jeddah.
Last but not least, saya juga menyampaikan terimakasih dan penghargaan yang tulus kepada keluarga saya. Isteri saya, yang selalu setia menemani dalam keadaan suka maupun duka, memberi dorongan dan menghibur ketika saya letih di tengah perjuangan. Anak-anak dan para menantu serta cucu, yang semuanya memberi arti dalam kehidupan saya. Kedua orang tua dan mertua, semoga amal mereka diterima di sisi Allah Swt. Tanpa mereka, saya mungkin tidak sampai seperti sekarang ini.
I. PENDAHULUAN
Dalam kesempatan terhormat ml, saya akan menyampaikan pidato ilmiah dengan judul: Islam Rahmatan Lil’alamin Menuju Keadilan dan Perdamaian Dunia (Perspektif Nahdlatul Ulama). Pemilihan tema ini didasarkan atas beberapa pemikiran.
Pertama, pengalaman saya dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir, yang mendapat amanah memimpin Nahdlatul Ulama (NU), ormas Islam yang didirikan di kampung Kentopaten, Surabaya tak jauh dan kampus ini. Pengalaman NU mengimplementasikan ajaran Islam rahmatan lil’alamin dan pengembangan sikap kemasyarakatan NU seperti tawassuth (moderat), i’tidal (tegak), tasamuh (toleran) dan tawazun (seimbang) serta tasyawur (musyawarah/dialog) telah menjadikan NU sebagai organisasi yang besar dan mempunyai karakter kemasyarakatan yang khas. Internalisasi Islam Rahmatan lil’alamin dan pengembangan sikap ke-NU-an itu menjadi modal NU dalam pergaulan dengan masyarakat domestik, NU berhasil menjalin ukhuwwah lslamiyah dengan ormas Islam lainnya seperti Muhammadiyah, DDI, al-Irsyad, Persis, Al-Wasliyah dan sebagainya. Dengan modal pemikiran ulama itu pula, NU berhasil bergandengan tangan menjaga kerukunan antar umat beragama sehingga terbentuk Forum Lintas Agama dan Gerakan Moral Nasional (Geralnas). Berkat pengalaman menciptakan situasi yang kondusif dalam hubungan antar umat beragama di Indonesia, NU menjadi duta bangsa memperkenaLkan ke berbagai belahan dunia tentang ajaran Islam rahmatan lil’alan2in ini.
Kedua, masih merebaknya Islamo Phobia yang menjadi mainstream pandangan masyarakat Barat, termasuk di Amerika Serikat (AS). Meningkatnya ketegangan ini, terutama pasca tragedi tumbangnya Twin Tower World Trade Center (WTC) 11 September 2001. Apalagi Presiden AS, George W Bush menyebut-nyebut pelaku serangan ini adalah teroris al-Qaidah yang dikomandoi Usamah bin Laden, pengusaha asal Arab Saudi.
Ketiga, sebagai bagian integratif dan upaya pembangunan infrastruktur dan keterlibatan agama untuk keadilan dan perdamaian dunta. Sejak tahun 1960-an sejumlah tokoh agama dunia berusaha membangun infrastruktur korporasi lintas agama dalam mengatasi isu dan konfilk global yang ditandai dengan lahirnya Konferensi Agama Dunia untuk Perdamaian (World Conference of Religions for Peace) di Kyoto, Jepang. Kemudian, secara berturut-turut setiap 5 tahun WCRP mengadakan Assembly, yaitu pada tahun 1974 di Leuven Belgia. 1979 di Princeton USA, 1984 di Nairobi Kenya, 1989 di Melbourne Australia, 1994 di Riva del Garda Italy, 1999 di Amman Yordania, dan tahun 2006 di Kyoto Jepang.
Keempat, sebagai basis nilal dan pendekatan. Dasar pemikiran lahirnya sejumlah infrastruktur perdamaian dunia sejatinya bukan saja sebagai kebutuhan pentingnya membangun kesadaran bersama (shared conciousness), tetapi jdga sebagai pendekatan bahwa keamanan dan perdamaian haldki (real security and peace) tidak mungkin terjadi bagi sebuah komunitas tanpa menjamin keamanan komunitas lainnya. Cita-cita itu tidak bisa terwujud tanpa dilandasi oleh basis pemikiran keagamaan moderat termasuk tawassuth (moderat). Maka, upaya membangun persepsi positif tentang Islam di mata dunia akan sulit terwujud manakala paradigma ke-Islaman tidak mengedepankan visi Islam rahmatan lil’alamin dalarn membangun perdarnalan dunia yang hakiki.
II. PERSPEKTIF TEORITIS
1. Islam Rahmatan Lil’alamin
Ajaran Islam rahmatan lil’alamin sebenarnya bukan hal baru, hasisnya sudah kuat dalam al-Qur’an, dan al-Hadits, bahkan telah banyak diimplementasikan dalam sejarah Islam, baik pada abad klasik maupun pada abad pertengahan. Secara etimologis, Islam berarti “damai”, sedangkan rahmatan lii ‘alamin berarti” kasih sayang bagi semesta alam”. Maka yang dimaksud dengan Islam rahmatan lil’alamin adalah Islam yang kehadirannya di tengah kehidupan masyarakat mampu mewujudkan kedamaian dan kasih sayang bagi manusia maupun alam.
Rahmatan lil’alamin adalah istilah qurani. dan istilah itu sudah terdapat dalam al-Quran , yaitu sebagaimana firman Allah dalam Surat al-Anbiya’ ayat 107: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam (rahmatan 1i1’alamin)”.
Ayat tersebut menegaskan bahwa kalau Islam dilakukan secara benar dengan sendirinya akan mendatangkan rahmat, balk itu untuk orang Islam maupun untuk seluruh alam. Rahmat adalah kurnia yang dalam ajaran agama terbagi men jadi dua: rahmat dalam konteks rahrnan dan rahrnat dalam konteks rahim. Rahmat dalam konteks rahman adalah bersifat amma kulla syai’, meliputi segala hal, sehingga orang-orang non-muslim pun mempunyai hak kerahmanan.
Rahim adalah kerahmatan Allah yang hanya diberikan kepada orang Islam. Jadi rahim itu adalah khasshun lil muslimin. Apabila Islam dilakukan secara benar, maka rahman dan rahim Allah akan turun semuanya. Dengan demlkian berlaku hukum sunnatullah; baik muslim maupun non-muslim kalau mereka melakukan hal-hal yang diperlukan oleh kerahmanan, maka mereka akan mendapatkanya. Kendatipun mereka orang Islam, tetapi tidak melakukan llthtiar kerahmanan, maka mereka tidak akan mendapatkan hasilnya. Dengan kata lain, kurnia rahman ini berlaku hukum kompetitif. Misalnya, orang Islam yang tidak melakukan kegiatan ekonomi, maka mereka tidak bisa dan tidak akan menjadi makmur. Sementara orang yang melakukan ikhtiar kerahmanan adalah non-muslim, maka mereka akan mendapatkan kemakmuran secara ekonomi. Karena dalam hal mi mereka mendapat sifat kerahmanan Allah yang berlaku universal (amma kulla syain)’.
Sedangkan hak atas surga ada pada sifat rahimnya Allah Swt, maka yang mendapat kerahiman ini adalah orang mukminin. Dengan demikian, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa rahmatan li1’alamin adalah bersatunya kurnia Allah yang terlingkup di dalam kerahiznan dan kerabmanan Allah.
Dalam konteks Islam rahmatan lil’alamin, Islam telah mengatur tata hubungan menyangkut aspek teologis, ritual, sosial, dan humanitas. Dalam segi teologis, Islam member! rumusan tegas yang harus diyakini oleh setiap pemeluknya, tetap hal ini tidak dapat dijadikan alasan untuk memaksa non-muslim memeluk Islam. Begitu halnya dalam tataran .ritual yang memang sudah ditentukan operasionalnya dalam al-Quran dan al-Hadits.
Namun dalam konteks sosial, Islam sesungguhnya hanya berbicara mengenai ketentuan-ketentuan dasar atau pilar-pilarnya saja, yang penerjemahan operasionalnya secara detail dan konperehensif tergantung pada kesepakatan dan pemahaman masing-msing komunitas, yang tentu memiliki keunikan berdasarkan keberagaman lokalitas nilai dan sejarah yang dimilikinya.
Entitas Islam sebagal rahmat lil’alamin mengakui eksistensi pluralitas, karena Islam memandang pluralitas sebagai sunnatullah, yaitu fungsi pengujian Allah pada manusia, fakta sosial, dan rekayasa sosial (social engineering) kemajuan umat manusia.
Pluralitas, sebagai sunnatullah telah banyak diabadikan dal am alQuran, diantaranya firman Allah Jalam surat ar-Rum ayat 22 yang maknanya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sungguh pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.”
Juga firman Allah dalam surat al-Hujurat ayat 13 yang maknanya: “Hai manusia, sungguh Kami menciptakan kalian dan jenis laki-laki dan perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sungguh orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Ayat-ayat tersebut menempatkan kemajemukan atau pluralitas sebagai syarat diterminan (conditio sine qua non) dalam penciptaan makhluk.
Dalam al-Quran banyak ayat yang menyerukan perdamaian dan kasih-sayang, antara lain surat al-Hujurat ayat 10 yang memerintahkan kita untuk saling menjaga dan mempererat tall persaudaraan. Allah SWT berfirman, maknanya: “Sungguh orang-orang beriman itu bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.”
Benang merah yang bisa kita tank dan perintah ini adalah untuk mewujudkan perdamahan, semua orang harus merasa bersaudara. Dalam konteks ini KH. Achmad Siddiq, Rais ‘Am PBNU era 1980-an mengajukan tiga macam persaudaraan (ukhuwwah). Pertama, ukhuwwah Islamiyyah artinya persaudaraan yang tumbuh dan berkembang atas dasar keagamaan (Islam), balk dalam skala lokal, nasional maupun internasional. Kedua, ukhwuwah wathaniyyah artinya persaudaraan yang tumbuh dan berkembang atas dasar kebangsaan. Ketiga, ukhuwwah basyariyyah, artinya persaudaraan yang tumbuh dan berkembang atas dasar kemanusiaan. Ketiga macam ukhuwwah ini harus diwujudkan secara berimbang menurut porsinya masing-masing. Satu dengan lainnya tidak boleh dipertentangkan, sebab hanya melalul tiga dimensi ukhuwah inilah rahmatan lil ‘alamin akan terealisasi.
Masih dalam pandangan KH. Ahmad Shiddiq, Ukhuwwah Isiamiyyah dan ukhuwwah wathaniyyah merupakan landasan bagi terwujudnya ukhuwwah insaniyah. Baik sebagai umat Islam maupun bangsa Indonesia, kita harus memperhatikan secara serius, seksama, dan penuh kejernihan terhadap ukhuwwah Isiamiyyah dan ukhuwwah wathaniyyah. Kita tidak boleh mempertentangkan kedua macam ukhuwwah ini. Dalam hidup bertetangga dengan orang lain, bukan famili, bahkan non-muslim atau non-Indonesia, kita diwajibkan berukhuwwah dan memuliakan mereka dalam arti kerjasama yang baik. KR. Achmad Siddiq menjelaskan bahwa persaudaraan ‘inda al-islam (versi Islam) bukanlah persaudaraan yang bersifat ekskiusif, persaudaraan yang terbatas pada umat Islam saja. Persaudaraan Islam adalah persaudaraan yang luas, bahkan meliputi orang ateis sekalipun selama mereka tidak berniat memusuhi umat Islam.
Rasulullah SAW memberikan contoh hidup damai dan penuh toleransi dalam lingkungan yang plural. Ketika di Madinah, beliau mendeklarasikan Piagam Madinah yang berisi jaminan hidup bersama secara damai dengan umat agama lain. Begitu juga ketika menaklukkan Makkah, beliau menjamin kepada setiap orang, termasuk musuh yang ditaklukkannya, agar tetap merasa nyaman dan aman. Gereja-gereja dan sinagog-sinagog boleh menyelenggarakan peribadatan tanpa harus ketakutan.
Selama hampir 23 tahun perjuangan kenabiannya, Rasulullah SAW selalu menggunakan pendekatan dialog secara konsisten sehingga misi kerahmatan lintas suku, budaya dan agama dapat dicapai dengan baik. Selama lebih 12 tahun di Makkah, perjuangan beliau penuh resiko, bahkan nyawa beliau terancam. Beliau meminta pada para sahabat untuk tetap bersabar, tidak menggunakan kekerasan dan pemaksaan, apalagi pembunuhan. Bahkan untuk menjaga keselamatan kaum musilmin, karena waktu itu kekuatan Islam masih lemah, pada tahun ke-12 masa kenabian, beliau memutuskan untuk berhijrah ke Madinah. Pada periode Madinah ini pun, beliau tetap konsisten menggunakan pendekatan peradaban, yaitu membangun ketenangan masyarakat, menerapkan kebebasan beragama dan kebèbasan dalam melaksanakan ajaran agama masing-masing yang dituangkan dalam Mitsaq Madinah, yang terkenal dengan sebutan Piagam Madinah.
Hal tersebut terkandung maksud bahwa kendatipun terjadi perang maka motifnya bukan ekonomi atau politik, tetapi motifnya adalah dakwah. Karena itu perangi 1 tidak bersifat ofensif tetapi defensif, yaitu semata-mata sebagai jalan (washilah) menuju perdamaian. Untuk itu, perang tidak boleh eksesif, tidak boleh destruktif dan harus tetap menghargai HAM, yaitu tidak boleh membunuh orang sipil, anak-anak, perempuan, orang tua, dan tidak boleh menghancurkan lingkungan, fasilitas umum dan simbol-simbol agama, serta tidak boleh membunuh hewan. Demikianlah inti wasiat Rasulullah yang disampaikan kepa1a pasukan perang Islam pada saat Perang Mu’tah dan Fath Makkah.
Dalam konteks ini, rahmatan l il’alarnin yang diimplementisakan oleh NU didasarkan pada basis pemikiran Aswaja (ahlussunnah waljama’ah), sebagai kebalikan dan ahlul bid’ah wadldaolalah yang biasanya membuat kreasi-kreasi keagamaan yang bertentangan dengan ajaran sunnah.
Bagaimana Islam rahmatan lil’alamin diimplementasikan ke dalam NU? NU menerjemahkan konsepsi rahmatan lil’alamin lewat pendakatan tawassuth dan i’tidal yang dikongkritisasikan ke dalam sikap nahdliyah. Tawassuth atau garis tengah adalah cara membawakan atau menampilkan agama yang kontekstual. Sedangkan i’tidal adalah menyangkut kebenaran kognitifnya. Jadi tawassuth itu menjelaskan posisi, sedangkan i’tidal adalah akurasi dan konsistensi. Penggabungan tawassuth dan i’tidal dapat didefinisikan sebagai pengertian terhadap Islam yang tepat dan benar, kemudian dibawakan secara metodologi yang benar pula. Kalau digabungkan .melahirkan kebenaran againa yang dibawakan secara benar pula. Dapat dikatakan pula, tawassuth dan i’tidal sebagai suatu sikap yang mengambil posisi di tengah, tetapi jalannnya lurus. Dalam menjalankan posisi tawassuth dan i’tidal di tengah-tengah masarakat, NU menggunakan tiga pendekatan, yaitu: (1) fiqh ul ahkam, dalam rangka menentukan hukum fiqth dan ini berlaku untuk untuk umat yang telah siap melakukan hukum positif Islam (umat ijabah). Proses pencariannya di kalangan NU dikenal dengan .bahtsul masa’il (BM). (2) fiqhu Dakwah dalam rangka mengembangkan agama di kalangan masyarakat luas yang beraneka ragam, sehingga pen dekatanny tidak menggunakan pendekatan fiqth yang legal formal, namun melalui pembinaan (guidance and counseling). (3) Fiqhu Siyasah, bagaimana membawakan hubungan agama dengan politik, dan kekuasaan negara.
Ketiga unsur ini masing-masing mempunyal implikasi dalam pelaksanaannya, yaitu pendekatan. fiqhul ahkam melahirkan tradisi bahtsul masa’il untuk mencari solusi hukum Islam. Kemudian, fiqhu dakwah melahirkan cara-cara metodologi penyampaian dakwah keagamaan secara baik dan benar dan juga dengan lintas budaya yalatu dan segi pendekatan nilai. Gabungan antara keduanya benimplikasi penciptaan hubungan ukhuwah islamiyah dengan sesama Islam yang beda aliran pikiran dan madhabnya. Fiqhu siyasah pola-pola pendekatan yang menjelaskan kaitan-kaitan agama dengan politik dan hubungan agama dengan negara.
Selanjutnya, tawassuth dan i’tidal melahirkan langkah lanjutan yaitu tasamuh (toleran), tawazun (berimbang) dan tasyawur (musyawarah/dialog). Tasamuh, pengertannnya adalah keseimbangan antara prinsip dan penghargaan kepada prinsip orang lain. Tasamuh lahir karena orang mempunyai prinsip, tetapi menghörmati prinsip orang lain. Mempunyai prinsip, tetapi tanpa menghormati prinsip orang lain mengakibatkan i’tizal (eksklusif), mengaku dinmnya yang paling benar. Maka, jika seseorang sudah melakukan tasamuh, maka akan berlanjut dengan melakukan tawazun (kesimbangan-keseimbangan). Dan, jika sudah melakukan tasamuh dan tawazun orang akan terdorong untuk melakukan tasyawur, yaitu melakukan dialog dalam setiap penyelesalan persoalan.
2. Fikrah Nahdliyyah dan Sikap Kemasyarakatan NU
Dalam konteks keagamaan, NU membentuk Komite Hijaz yang mengutus KH A Wahab Hasbullah dan Syaikh A Ghonaim al-Amir untuk menyampaikan surat kepada penguasa negeni Hijaz dan Najed, yaitu Raja Abdul Azis Bin Abdurrahman al-Su’ud. Surat Komite Hijaz tersebut intinya meliputi empat hal; (1) diberlakukannya kebebasan bermadzhab, (2) diperbolehkannya ziarah ke tempat-tempat bersejarah (3) diumumkannya tarif ibadah haji ke seluruh dunia dan (4) dljadikannya seluruh hukum yang berlaku di Hijaz sebagai undang-undang.
Komite Hijaz diterjma dan langsung mendapat jawaban dan Raja Su’ud bahwa kerajaan tidak melarang semua amalan yang dilakukan jamaah haji di Masjidil Haram, Makkah dan madzhab apapun, termasuk berkunjung ke tempat-tempat ziarah. NU dengan Komite Hijaz-nya merupakan satu-satunya ormas Islam di dunia yang berani mengoreksi kebijakan penguasa Arab Saudi agar memberikan ruang kebebasan dalam bermadzhab dalam Islam, karena Makkah dan Madinah merupakan kota suci bagi umat Islam di seluruh dunia, bukan hanya milik kelompok umat Islam yang berpaham Wahabi saja.
Embrionya dimulai dan munculnya organisasi rintisan seperti Nahdlatul Wathan, yaitu perkumpulan untuk memupuk semangat kebangsaan dan rasa nasionalisme dan Tashwirul Afkar, untuk melakukan pencerahan berfikir yang sebenarnya keduanya lebih berciri semacam study club. Puncaknya adalah kristalisasi ide-ide dan gagasan dan para ulama yang berhaluan ahlussunnah waijama’ah untuk mendirikan apa yang disebut Nahdlotoel Oelama’ pada tanggal 31 Januari 1926 (16 Rajab 1344 H). Dalam penjalanan waktu, NU telah bersinggungan dan berhubungan dengan organisasi lain, yang sedikit banyak mengubah, bahkan ada kekhawatirn belakangan ini kader NU kehilangan jati dirinya. Bertolak dan fakta sosial dan fakta sejarah inilah, kemudian timbul gagasan untuk membingkai Fikrah Nahdliyah. Refonmulasi Fikrah Nahdliyah dimaksudkan untuk menjaga nilai-nilai historis dan tetap meneguhkan garis-garis perjuangan Khittah 1926, serta menjaga konsistensi warga NU agar berada dalam koridor yang ditetapkan organisasi.
Dengandemildan Fikrah Nahdliyah adalah kerangka berfikir yang didasarkan pada ajaran ahlussunnah waljama’ah yang dijadikan landasan berfikir untuk menentukan arah perjuangan dalam rangka islah al-ummah (perbaikan umat). Dalam merespon permasalahan baik yang berkenaan dengan isu-isu keagamaan maupun kemasyarakatan. NU memiliki manhaj sebagai berikut: (1) dalam bidang aqidah/teologi mengikuti pemikiran ahlussunnah waljama’ah khususnya pemikiran Abu Hasan al-Asy’ariy dan Abu Mansur al-Maturidiy (2) dalam bidang fiqih/ hukum Islam bermadzhab qauliy dan manhajiy kepada al-madzahth al-Arba’ah (3) dalam bidang tasawuf mengikuti Syaikh Junaid al-Baghdadiy dan Abu Hanud al-Ghazally.
Kemudian ciri-ciri (khashaish) kader yang mempunyai fikrah nahdliyah adalah sebagai benikut: (1) Fikrah Tawassuthiyyah (pola pikir moderat), artinya warga NU senantiasa bersikap tawazun (seimbang) dalam menyikapi berbagai persoalan. Maka, NU tidak tafrith atau ifrath, yaitu melakukan sikap ekstrim baik ekstrim kiri maupun ekstrim kanan. (2) Fikrah Tasamuhiyyah (pola pikir toleran), yaitu warga NU dapat hidup berdampingan secara damai dengan pihak lain walaupun cara pikir. budaya dan aqidahnya berbeda. (3) Fikrah Islahiyyah (pola pikir reformatif), artinya warga NU senantiasa mengupayakan perbaikan menuju ke arah yang lebih baik (al-islah ila ma huwa al-ashlah). (4) Fikrah Tathawwuriyyah (pola pikir dinamis), artinya warga NU senantiasa melakukan kontekstualisasi dalam merespon berbagai persoalan. (5) Fikrah Manhajiyyah (pola pikir metodologis), artinya waiga NU selalu menggunakan kerangka pikir yang mengacu kepada manhaj yang telah ditetapkan oleh NU.
3. Hubungan Agama dan Negara
Ajaran Islam rahmatan lil’alamin dengan pendekatan tawassuth dan i’tidal juga menyediakan konsep dalam kaitan hubungan agama dan negara. Discourse hubungan agama dan negara sampai saat ini masih menjadi perdebatan. Hal ini karena konsep tersebut multitafsir: Islam sebagai agama dan Islam sebagai negana, sehingga penafsirannya menjadi beragam. Sementara sistem pemenintahan setelah wafatnya Rasulullah adalah sistem khilafah yang berbeda dengan konsep negara.
Pandangan hubungan agama dan negara dapat dikelompokkan menjadi tiga paradigma. yaitu:
Pertama, paradigma integeralistik, yakni paham yang beranggapan bahwa agama dan negara rnerupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu (integrated). Itu memberikan pengertian bahwa negara rnerupakan suatu lembaga politik sekaligus lembaga agarna. Paradigma integralistik ini sama dengan konsep teokrasi. Menurut paham teokrasi, agama dan negana dipahami sebagai dua hal yang tidak dapat dipisahkan, dijalankan berdasarkan firman-firman Tuhan, sehingga segala tata kehidupan masyarakat, bangsa dan negara dilakukan berdasarkan titah Tuhan. Dengan demikian urusan kenegaraan atau politik, menurut paham teoraksi merupakan manifestasi dan titah Tuhan dalam kehidupan manusia. Paradigma ini melahirkan konsep agama negara atau agama resmi, dan menjadikan agarna resmi tersebut sebagai hukum positif.
Kedua, paradigma sekularistik. Paradigrna yang beranggapan, bahwa ada disparitas antara agama dan negara. Agama dan negara merupakan dua entitas yang berbeda dan satu sama lain memiliki wilayah garapan masing-rnasing, sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain malakukan intervensi.
Berdasar pada pemahaman yang dikotomis ini, maka hukum positif yang berlaku adalah hukum yang betul-betul berasal dan kesepakatan manusia melalui social contract serta tidak ada kaitan dengan hukum agama. Bentuk sekularisme yang paling ekstrim adalah pola hubungan agama dan negara yang diletakkan dalam paham komunisme, yaitu memandang hakikat hubungan agama dan negara berdasarkan filsafat meterialisme dialektik dan materialisme historis yang berujung pada paham atheis. Kalaupun eksistensi agama diakui, namun tidak lebih dan sekedar persoalan pribadi, bukan urusan negara, bahkan dipopulerkan sebagai candu masyarakat.
Ketiga, paradigma simbiotik Menurut konsep ini, agama dan negara merupakan entitas yang berbeda, namun keduanya dipahami saling membutuhkan secara timbal balik, yakni agama membutuhkan negara sebagai instrumen dalam melestarikan dan mengembangkan agama, sebaliknya negara juga memerlukan agama, karena agama juga membantu negara dalam pembinaan moral, etika, dan spiritualitas. Pertanyaannya adalah bisakah agama mewarnai konstitusi? Ada kemungkinan bagi agama untuk dapat mewarnai negara dengan syarat agama mampu membangun dirinya melalui jalur social contract, atau demokrasi. Berdasarkan paradigma tersebut, NU lebih menggunakan paradigma simbiotik. Hal ini dapat dilihat dalam sejarah pendirian Republik Indonesia pada tahun 1945 di mana tokoh NU ikut merumuskan Pancasila sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Berdasarkan sejarah ketatanegaraan Indonesia, hubungan agama dan negara tidak berjalan mulus, tetapi penuh liku dan duka berjalan dalam dua gelombang besar antagonistik dan akomodatif. Dalam konstalasi ini, NU berdiri di pihak mana? Sesuai dengan pegangan NU yang tawassuth, maka hubungan agama dan negara dalam pandangan NU berada pada pola akomodatif, yaitu memilih paradigma simbiotik karena sesuai dengan cara pandang NU dengan pemahaman bahwa Indonesia bukan negara sekuler, dan juga bukan negara agama, tetapi Negara Pancasila.
Dengan demikian, agama dalam konteks negara diletakkan sebagai sumber nilai, dan secara fungsional agama mengambil peran tawassuth, dalam arti NU menentukan visi kenegaraannya dengan pendekatan membangun masyarakat Islam (Islamic society) daripada membangun negara Islam (Islamic state). Namun tidak berarti kehadiran agama tidak fungsional di hadapan negara. Agama menjadi spirit konstitusi negara. Hadirnya lima prinsip dasar Negara Republik Indonesia, yang disebut Pancasila yaitu Ketuhanan yang Maha Esa, Kamanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial merupakan bukti hadirnya spirit agama dalam sistem ideologi nasional karena kelima prinsip dasar tersebut berada dalam sistem ajaran semua agama dan diakui oleh semua tokoh agama di saat awal pendirian Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1945. Ideologi Pancasila dan tata cara pelaksanaan serta konsepsi agamanya sudah disesuaikan dengan kondisi Indonesia. Hal ini terbukti ketika setiap kali terjadi goncangan di Indonesia, NU menjadi unsur penting dan bangsa ini. Misalnya ketika penjajah akan masuk kembali ke Indonesia tahun 1946, para ulama ikut berjuang melawan penjajah. Para ulama NU melahirkan konsep jihad ini tidak ditujukan untuk bangsa sendiri yang sudah Islam tapi untuk orang-orang yang membahayakan bangsa. Namun sejak tahun 1967, Soeharto berkuasa sampai 30 tahun lebih dengan kendaraan Orde Baru. NU didiskriminasikan dan diinjak-injak sampai tahun 1997 hingga pecah reformasi. Kemudian NU menjadi penting lagi ketika tahun 1999 Gus Dur menempati kursi presiden meskipun hanya menjabat kurang dan 2 tahun. Jadi, kehadiran Pancasila sebagai pilihan ideologi Negara Republik Indonesia pada hakekatnya merupakan formula Islam tawassuth khas Indonesia. Karena pilihan tersebut, atau ada yang menyebutnya “hadiah umat Islam”, yaitu penghapusan terhadap teks “kewajian melaksanakan syariat Islam” pada sila pertama, merupakan keputusan menghindari ekstrimitas penerapan Islam dalam sistem ideologi Negara Republik Indonesia. Jika seandainya tokoh Islam ketika itu, di antaranya dan unsur NU KH A. Wahid Hasyim tidak menyetujui perubahan itu, niscaya Negara Kesatuan Republik Indonesia belum terbentuk. Inilah visi yang selalu dibina, diupayakan dan ditegakkan oleh NU dalam membangun hubungan moderasi antara agama dan negara sebagaimana keputusan Muktamar NU tahun 1984 di Situbondo yang memutuskan Pancasila sebagai falsafah dan ideologi final NKRI. Ini karena komitmen kebangsaan NU yang didasarkan pada konsep tawassuth, yaitu tasyawur, i’tidal, tasamuh dan tawazun.
III. PERSPEKTIF EMPIRIS
1. Implikasi terhadap Interen Organisasi NU:
Mempertegas Khittah 1926 dan Memberdayakan Civil Society Implikasi sikap rahmatan lii’alamin yang diterjemahkan ke dalam sikap tawassuth dan i’tidal terhadap interen organisasi NU adalah dikembangkannya wawasan sikap moderat, menghargai pendapat orang, melakukan praktikpraktik musyawarah dalam setiap pengambilan keputusan organisasi. Terhadap jamaahnya dikembangkan sikap-sikap bertoleransi dan saling tolong-menolong dalam kebaikan dalam rangka secara terus menerus memperbaiki kualitas umat demi tegakkannya izazul Islam wal muslimin.
Dalam menghadapi tragedi politik ketika terjadi suksesi kepemimpinan nasional di tengah jalan, NU berada dalam posisi dilematis. Maka, yang dilakukan oleh NU adalah mengembangkan sikap tawassuth dan i’tidal dengan cara meredam gejolalc warga NU yang emosional karena kecewa terhadap realitas politik. NU menegaskan sikapnya untuk kembali ke Khittah 1926, dengan menegaskan pengurus NU tidak boleh merangkap jabatan dengan parpol manapun dan bersikap independen. Setelah suhu politik mulai mendingin dan keadaan sudah berangsur-angsur normal, NU mulai introspeksi, megevaluasi dan merenungkan peran yang telah diambil sebelumnya yang menyebabkan berada dalam kumpanan badai politik yang membuat tidak nyaman seluruh warganya. Hasilnya adalah kesimpulan bahwa penegasan komitmen terhadap Khittah 1926 merupakan pilihan terbaik yang harus diambil demi menghindari terjadinya disfungsi organisasi yang berlarut-larut akibat pergeseran dan perluasan wilayah kerja dalam jangka waktu relatif lama. Maka PBNU berkeputusan mengambil tindakan penyelamatan dengan mengadakan safari ke basis-basis NU seluruh Indonesia. Safari ini dimaksudkan untuk meredakan emosi warga NU sekaligus melakukan konsolidasi lewat dialog-dialog intensif demi meretas jalan yang lebih baik bagi organisasi di masa datang. Ada tiga isu itama yang disampaikan PBNU dalam safari tersebut. .Pertama, NU harus berketepatan untuk menarik diri dari garis konflik kepentingan yang hanya berorientasi pada kekuasaan. Kedua, NU harus diposisikan kembali sebagai organisasi sosial keagamaan yang dapat diterima oleh seluruh elemen bangsa, tanpa dibatasi oleh sekatsekat primordialistik atau yang berwatak partisan. Ketiga, mengembalikan NU sebagai gerakan yang bersifat rahmatan lil’alamin. Untuk mewujudkan keinginan menata kembali organisasi, PBNU mengajak warga untuk kembali ke garis khittah perjuangan NU sebagaimana yang dirumuskan oleh para founding fathers NU. Rumusan awal maksud pendirian NU adalah: memegang dengan teguh pada salah satu dan madzhabnya Imam empat, yaitu Imam AsjSjafi’i, Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad bin Hambal, dan mengerjakan apa saja yang menjadikan kemaslahatan agama Islam. Dalam konteks menciptakan kemaslahatan masyarakat, dirumuskan pula usahausaha yang mesti dilakukan, yaitu: memperhatikan hal-hal jang berhubungan dengan masdjid2, langgar2 dan pondok2, begitu juga dengan hal-ihwalnya anak2 jatim dan orang-orang yang fakir miskin ... Mendirikan badan-badan untuk memajukan urusan pertanian, perniagaan dan peroesahaan. Mengacu pada kondisi warga NU pasca tragedi politik nasional itu, dan faktor kesejarahan NU sendiri, khususnya Khittah 1926 yang berlaku hingga sekarang, tidak ada jalan lain bagi NU kecuali kembali kepada posisi awalnya sebagai organisasi sosial keagamaan yang mengemban tugas-tugas sosial kemasyarakatan. Lebih dan itu, NU harus kembali menjadi bagian dan kekuatan civil society.
2. Implikasi terhadap Ukhuw-wah Islamiyyah:
Membangun Islam Ramah dan Menangkal Radikalisme Sudah bukan rahasia lagi, hubungan NU-Muhammadiyah pasca lengsernya Gus Dur dan kursi kepresidenan menjadi carut-marut. Kemesraan yang sebelumnya sempat terjalin, nyaris putus dan bahkan sudah dalam posisi berlawanan. Maka langkah yang ditempith PBNU adalah melakukan dialog-dialog untuk mencairkan kembali hubungan ukhuwwah yang sempat retak. NU-Muhammadiyah akhinnya sepakat untuk membuat program bersama yang disebut dengan ‘Gerakan Kultural’. Dalam konteks NU-Muhammadiyah, langkah-langkah bersama tersebut dapat mencairkan kembali hubungan yang nyaris ambruk. Kesan kurang harmonisnya komunikasi NU-Muhammadiyah begitu tampak tatkala kedua ormas Islam ini sama-sama terseret arus konflik politik praktis yang melibatkan dua tokoh sentral NU dan Muhammadiyah. Sebagai sesama organisasi keagamaan, keduanya sering disibukkan oleh upaya pemberian dukungan politik kepada partai yang didirikan warganya.
Hasil penegakan ukhuwwah NU-Muhammadiyah adalah dicapainya kata sepakat antara keduanya untuk menegaskan din masingmasing tentang ketiadaan hubungan organisatoris dengan partai manapun, serta tidak akan memasuki wilayah politik yang berorientasi pada kekuasaan. Bagi NU sendiri hal ini berarti kembalinya NU ke masa-masa sebelum 1998, yaitu suatu era NU berkhidmat dalam gerakan pengembangan pluralisme, pemberdayaan civil society, serta penegakan sendisendi demokrasi. Ada lima agenda utama yang disepakati keduanya, yaitu: Pertama, NU-Muhammadiyah tidak perlu lagi menempatkan politik sebagai kebutuhan atau tujuan utama yang dominan. NU dengan kredonya: kembali ke Khittah 1926, sedang Muhammadiyah dengan semboyannya: high politics. Kedua, merumuskan agenda aksi bersama pada tingkat praksis di lapangan untuk kegiatan ekonomi rakyat, khususnya mereka yang berada di lapis bawah. Karena mereka inilah yang menjadi korban paling mengenaskan akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan. Ketiga, merumuskan program pengembangan kualitas SDM pada masing-masing pihak, yang kelak diharapkan dapat disinergikan untuk membenahi sistem pendidikan yang ada di masing-masing, terutama bagi perbaikan sistem pendidlkan di pesantren-pesantren NU. Keempat, memikirkan secara serius mekanisme komunikasi yang produktif antara keduanya agar diperoleh titik temu untuk mencegah perpecahan. Kelima, sama-sama mengorientasikan diri ke arah pencarian jawaban atas krisis multi dimensional yang sedang melanda bangsa ini, karena tidak mungkin untuk menyerahkan semua proses pemulihan atau penyelesaian ini hanya kepada pemerintah.
3. Implikasi terhadap Lintas Agama:
Menangkal Provokasi terhadap Agama untuk Kepentingan Non-Agama.
Di luar memburuknya citra Islam secara global akibat kampanye terorisme, ternyata radikalisme dan konflik atas nama agama menjadi trend di Indonesia yang jika tidak disikapi secara tepat akan mengakibatkan agama kehilangan sifat rahmatan lil’alamin-nya, sebagaimana yang terjadi di Ambon dan Poso. Untuk mengatasi dan mencani solusi problem yang mengancam keutuhan bangsa, PBNU berkoordinasi dengan Muhammadiyah karena kedua ormas Islam terbesar ini sama-sama menggemban tanggung jawab untuk menciptakan wajah Islam yang damai, ramah, serta memiliki kepedulian tinggi terhadap peningkatan harkat dan martabat kemanusiaan. Dalam kaitan ini, pada tanggal 2 Januari 2002 Ketua Umum PBNU bertemu Ketua Umum PP Muhammadiyah guna membicarakan dua agenda penting: Pertarna. menciptakan wajah Islam yang ramah. Kedua, menghilangkan friksi-friksi yang bersifat destruktif di kalangan Islam sehingga dalam pengembangan Islam terdapat visi yang sama, sekalipun strateginya berbeda. Baik NU maupun Muhammadiyah memberikan penilaian terhadap kondisi bangsa yang semakin menggelisahkan. Karena itu keduanya merasa perlu bergandengan tangan memberikan masukan kepada pemerintah, elite politik, dan seluruh komponen bangsa hingga ke lapisan akar rumput. untuk mencari solusinya terutama yang terkait dengan dua isu krusial, yaitu tegaknya negara dan persatuan nasional. Karena itu, kedua belah pihak berkomitmen untuk memelihara pluralitas bangsa dan akan mengkampanyekan kerukunan lintas agama. lintas golongan, lintas suku, dan organisasi politik. NU-Muhammadiyah menyatukan persepsi meithat persoalan ekonomi dan politik yang melilit bangsa dan sepakat akan membantu mencari jalan keluarnya. Komitmen ini tak hanya menyangkut masalah bangsa dan negara, tetapi juga mengandung kesepakatan bahwa perbedaan furu’iyah tidak akan menjadi tema perdebatan sampai kapan pun. Keduanya juga sepakat untuk menjaga independensi, yaitu bebas dan kepetthgan politik partisan. Menjadi pembahasan yang serius pula adalah mengenai fenomena gerakan Islam radikal yang mewarnai negeri ini.
Menurut pandangan NU-Muhammadiyah munculnya Islam radikal merupakan kegagalan bangsa dalam membumikan Pancasila. Bangsa ini hanya terlena dalam pengagungan Pancasila, tanpa benar-benar berusaha mewujudkan nilai-nilainya yang merefleksikan semangat syariat Islam. Mereka yang beraliran keras itu Sebenarny juga merupakan “anak-anak NU dan Muhammadiyah” yang tidak terawat. Karena itu, tugas kedua ormas Islam ini adalah merawat kembali anggota keluarganya, mulai dari yang paling tinggi hingga masyarakat terbawah. NU-Muhammadiyah bertekad memberikan perhatian lebih besar pada persoalan-persoalan yang melibatkan konflik antar agama. Namun dengan catatan, persoalan tersebut tidak akan segera tuntas, jika tidak didukung aparat keamanan yang menindak tegas setiap pelanggaran hukum. Untuk merealisasikan Semua kesepakata ini. NU-Muhammadiyah menggelar pertemuan lanjutan, yaitu tanggal 15 Maret 2002. Kali ini melihatkan sejumlah tokoh agama seperti Kardinal Julius Dharmaatmadja (Katolik), Nurcholish Madjid (almarhum, cendekiawan Islam), Roeslan Abdulgani (almarhum, nasionalis), dan A.A. Yewangoe dan PGI. Hadir juga pengamat politik asal Jepang, Mitsuo Nakamura. Pertemuan ini menghasilkan Deklarasi Gerakan Moral Nasional Indonesia (Geralnas). Inti deklarasi adalah kesepakatan untuk membangun kembali moral bangsa yang nyaris ambruk. Karena bersifat lintas agama, gerakan ini memprioritaskan penanganan daerah yang dilanda konflik bertendensi agama seperti Maluku dan Poso. Tujuannya adalah berupaya memadamkan api konflik di kedua wilayah tersebut. Kunjungan ke daerah konflik ini, merupakan wujud gerakan moral untuk rnenunjukkan pada dunia internasional adanya kesungguhan para pemimpin yang tidak hanya menangani masalah konflik keagamaan, tapi juga bersedia memadamkan konflik ke-Indonesiaan. Karena itu para pemimpin agama juga mengagendakan pertemuan dengan Dubes Negara-negara Amerika, Eropa. Asia, dan Australia, bahkan juga Vatikan. Selain ke Ambon dan Poso, tujuan kunjungan adalah ke Sampit, Atambua, Papua. Aceh dan kawasan-kawasan konflik lainnnya.
Dengan berbekal Islam rahmatan liI’alarnin dan sikap kemasyarakatannya, NU mecoba mengurai secara hati-hati untuk menyikapi berbagai konflik yang terjadi di tanah air. Setidaknya ada tiga faktor yang bisa menjadi jalan keluar untuk memecahkan konflik tersebut. Pertama, faktor utama adalah ketegasan aparat keamanan yang dapat menentukan berhasil tidaknya proses pemulihan pasca konflik. Kedua, konflik yang terjadi di Ambon maupun di Poso bukan konflik agama, melainkan konflik politik yang sengaja dibungkus dengan simbol-simbol agarna. Ketiga radikalisme di semua sektor harus dihentikan, baik di kalangan Islam maupun Kristen. Setelah itu, baru dilakukan rehabilitasi moral dan terapi mental masyarakat yang menyimpan pengalaman traumatik pasca konflik. Pada saat bersamaan harus diupayakan pula rehabilitasi sarana umum.
Hasil kunjungan ke daerah konflik membenarkan analisa PBNU, bahwa kasus ambon bukan konflik agama. NU memperoleh masukan informasi dan semua komponen yang terlibat dalam pertikaian, dan kalangan Islam, Kristen, jajaran Muspida Maluku dan pihak-pihak yang menolak perjanjian malino II. Mereka menyatakan bahwa konflik ambon adalah gerakan separatis yang memanfaatkan isu agama untuk menghembuskan angin permusuhan. Semua pihak yang terlibat konflik, merasa tidak diuntungkan denga kerusuhan yang merenggut korban ribuan jiwa itu. Mereka mengaku sudah lelah bertikai dan ingin segera berdamai, dengan demikian yang tersisa adalah para provokator yang mengganggu upaya perdamaian. Karena itu, kasus yang terakhir ini adalah bagian pihak keamanan untuk menindak tegas mereka.
Semua ajaran agama mengajarkan perdamaian, kesejahteraan dan toleransi. Jika terdapat kelompok agama yang melakukan gerakan anti damai, dan sebaliknya melakukan tindak kekerasan dan tidak toleran, bias dipastikan saat itu agama sedah dibijak. Karena itu agama harus dilepaskan dari setiap tindakan atau perilaku yang tidak bertujuan untuk agama itu sendiri. Agama tidak dapat dijadikan alat untuk kepentingan politik atau ekonomi. Menciptakan perdamaian dan ruang yang harmonis, menjadi kewajiban semua agama. Menciptakan kehidupan harmonis antarumat beragama tidak boleh mengorbankan perintah agama itu sendiri. Agama harus dilepaskan dari konflik yang terjadi di beberapa wilayah dan bagian di Dunia ini. Islam mengajarkan nilai-nilai universal dan menjunjung tinggi toleransi, pluralislisme, moderat, dan perdamaian. Islam merupakan berkat bagi semua bangsa. Berkembangnya islamo fobia, karena tindakan dan perbuatan sebagian orang yang mengatasnamakan Islam untuk menjustifikasi tindak kekerasan yang dilakukan. Padahal, perbuatan tersebut merupakan bentuk kesalah pahaman tanatang ajran dan nilai Islam yang sebenarnya.
Justru yang melegakan adalah pernyataan PGI dan KWI, bahwa umat Kristen dan Katolik sama sekali tidak identik dengan RMS (Republik Maluku Selatan), kelompok separatis yang belakangan bermetamorfosis menjadi FKM (Front Kedaulatan Maluku). Memang harus diakui, ada pihak-pihak yang tidak setuju dengan perjanjian Malino II baik dan Kristen maupun Islam. Mereka yang dan Islam adalah Komando Laskar Jihad, Front Pembela Islam, Laskar Ahlussunnah Wal Jamaah, Lembaga Bantuan Hukum Muslim, dan kelompok Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Mereka yang mengambil posisi berbeda ini terdapat tiga kelompok: (1) kelompok yang sama sekali tak mau berdamai, jumlahnya sangat kecil. (2) kelompok yang kecewa karena tidak dilibatkan dalam proses perdamaian dan (3) kelompok yang salah paham, yang sebenarnya ingin mempertegas isi perjanjian malino namun kemudian disebut tidak menyetujui Malino.
4. Implikasi Terhadap Hubingan Agama Dan Negara
Membantu Mengatasi Krisis dan Menjaga Keutuhan NKRI
Tanpa menarik din dan garis politik kekuasaan, NU tidak akan memperoleh legitimasi moral untuk memposisikan dan memfungsikan dirinya kembali sebagai esentasi civil socity. Karena itu NU merasa berkepentingan melibatkan diri dalam upaya mencari penyelesaian krisis bangsa yang belum terlihat reda. NU lalu merumuskan setidaknya ada tiga titik krisis utama yang melanda bangsa ini.
Pertama, krisis nilai (moral). Kita sudah kehilangan moralitas, khususnya moralitas sosial. Inilah yang memicu konflik-konflik horisontal, karena semua masalah disubordinasikan di bawah kepentingan, baik masalah hukum, politik, sampai ekonomi. Partai-partai politik pun gagal melahirkan negarawan, mereka hanya mencetak politisi yang melakukan semua hal untuk kepentingan kelompoknya. Para pemimpin dilanda virus pragmatisme. Aturan-aturan dan platform diperdagangkan, rasa malu sudah hilang, sehingga KKN dilakukan terang-terangan di depan publik. Pemberantas KKN juga kehilangan malu dengan membiarkan pelaku KKN bebas melakukan apa yang mereka mau.
Kedua, krisis kelembagaan (sistem). Runtuhnya moralitas publik menyebakan sistem penyangganya ambruk. Sistem runtuh akibat moralitas pelaksananya yang buruk atau sistemnya sendiri memang tidak benar. Di tangan pelaksana yang bermoral korup, sistem hukum akan menjelma menjadi bisnis hukum, bukan tempat untuk mencari keadilan hukum. Lembaga perwakilan atau legislasi yang dikendalikan para politisi busuk yang tidak mempunyai visi kenegarawanan, akan menjadi instrumen legislator untuk meladeni kepentingan pihak-pihak yang sanggup memberi keuntungan pribadi dan kelompoknya. Lembaga perwakilan putus hubungan dengan rakyat yang diwakilinya. Apa yang terjadi di gedung parlemen tidak berhubungan bahkan bertentangan dengan yang terjadi di masyarakat. Demokrasi menjadi ibarat permadani indah di ruang tamu, untuk sekadar menyembunyikan timbunan sampah di bawahnya.
Ketiga, krisis persatuan. Tanpa moralitas publik dan sistem yang baik, persatuan dalam konteks keIndonesiaan menjadi terancam. Sentimen kesukuan dan daerahisme (yang semakin merajalela dengan berselimut otonomi daerah) yang berlebihan, misalnya. tumbuh bak jamur di musim penghujan dan kerap melahirkan konflik terbuka yang diwarnai kekerasan. Kondisi seperti ini menuntut NU untuk memberikan kontribusinya, baik berupa pemikiran maupun aksi yang cenderung memperlihatkan sebuah gerakan moral. Mengapa demikian? Karena problem ini bukan lagi ada di wilayah politik kepartaian, melainkan politik kebangsaan. Inilah sebenarnya politik yang digariskan dalam Muktamar Yogyakarta. Kembali ke Khittah bukan berarti warga NU tidak berpolitik. Berpolitik yang diwajibkan oleh NU adalah politik kebangsaan. politik yang benar-benar diabdikan untuk kepentingan bangsa secara keseluruhan, bukan politik partisan.
Berkait dengan kepentingan untuk menjaga persatuan dan keutuhan NKRI, NU lewat Munas Alim Ulama dan Konbes di Surabaya, membuat pernyatan sikap yang diterbitkan dalam bentuk Maklumat Nahdlatul Ulama, yang isi lengkapnya sebagai berikut:
Bahwa sepanjang sejarah Republik Indonesia, setiap upaya mempersoalkan Pancasila sebagai ideologi negara apalagi upaya untuk menggantinya, terbukti senantiasa menimbulkan perpecahan di kalangan bangsa dan secara realistis tidak menguntungkan umat Islam sebagai mayoritas bangsa.
Hingga kini Pancasila sebagai ideologi negara masih tetap merupakan satu-satunya ideologi yang secara dinamis dan harmonis dapat menampung nilai-nilai keanekaan agama maupun budaya, sehingga Indonesia kokoh dan utuh tidak terjebak menjadi negara agama (teokrasi) maupun menjadi negara sekuler yang mengabaikan nilainilai keagamaan.
Dewasa ini, mulai terasa upaya menarik Pancasila ke kiri dan ke kanan, yang apabila tidak diwaspadai oleh seluruh komponen bangsa akan membahayakan dan menggoyahkan eksistensi dan posisi Pancasila itu sendiri.
UUD 1945 merupakan pengejawantahan yang memuat tata nilai yang ada dalam Pancasila. Sementara, amandemen terhadap UUD 1945 telah menjadi kenyataan sejarah karena perkembangan kebangsaan, namun pemenuhan terhadap kebutuhan tersebut, tidak boleh melampaui tata nilai Pancasila itu sendiri.
Gerakan reformasi yang melahirkan amandemen terhadap UUD 1945, diakui telah banyak menyumbangkan demokrasi dan kebebasan hak asasi, namun dirasakan pula bahwa reformasi juga melahirkan problem-problem tertentu, maka wajar kalau reformasi direnungkan kembali.
Pancasila sebagai landasan yang berkerangka UUD 1945 melahirkan ketatanegaraan yang diwadahi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), oleh karenanya maka sistem otonomi daerah dan otonomi khusus sama sekali tidak boleh menjurus kepada disintegrasi bangsa, apalagi pemisahan kewilayahan.
Perjuangan menegakkan agama dalam negara Pancasila haruslah ditata dengan pririsip kearifan, tidak boleh menghadapkan agama versus negara atau sebaliknya. tetapi dengan meletakkan agama sebagai sumber aspirasi serta menyumbangkan tata nilai agama yang kemudian diproses melalui prinsip demokrasi dan perlindungan terhadap seluruh kepentingan bangsa. Sedangkan masing-masing agama di Indonesia dapat melakukan kegiatannya dengan leluasa dalam dimensi kemasyarakatan (civil society).
Maka dengan ini Nahdlatul Ulama meneguhkan kembali komitmen kebangsaannya untuk mempertahankan dan mengembangkan Pancasila dan UUD 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Peneguhan ini dilakukan karena menurut NU, Pancasila, UUD 45 dan NKRI adalah upaya final umat Islam dan seluruh bangsa.
5. Implikasi Terhadap Dunia Global:
ICIS dan Upaya Globalisasi Islam Rahmtan Lil ‘Alamin
Keterlibatan NU di forum internasional mulai meningkat pasca tragedi 11 September 2001 di AS, yang mendorong meningginya suhu ketegangan Barat vis a vis Islam. Islam moderat dengan visi Islam rahmatan lil’alamin yang dipromosikan NU ke forum global kini mulai menjadi trend setter dalam wacana dunia.
NU termotivasi untuk ikut menyelesaikan problem dunia ini. Karena itu NU melakukan dua “jurus”, yakni: lewat jalur silaturrahmi ke negara daerah konflik dan melakukan upaya advokasi institusional dengan membentuk Wadah internasional yang bernama Internasional Conference of Islamic Scholars (ICIS). Sudah dua kali ICIS mengadakan konferensi internasional di Jakarta, yang pertama 23-25 Februari 2004 dan yang kedua 20-23 Juni 2006.
Filosofi pembentukan ICIS tidak lain terinspirasi oleh para foundirig fathers NU, yaitu pembentukan Komite Hijaz ketika Indonesia masih dalam genggaman penjajah Belanda. Para pendahulu NU saat itu sudah berani melakukan terobosan canggih. Inti filosofinya adalah kepercayaan diri para ulama tempo dulu untuk memperkenalkan Islam ala Indonesia ke Timur Tengah. Dengan kata lain, apa yang dilakukan oleh K HA. Wahab Hasbullah dan kawan-kawan bukan menjadi agen atau “pengimpor” pemikiran ke-Islaman dan luar. tetapi justru mereka sudah bertindak sebagai “pengekspor” pemikiran ke-Islaman. Sama seperti apa yang dilakukan oleh ICIS sebagai instrumen NU untuk mengintrodusir pemikiran keIslaman ke forum internasional. Dengan kata lain, NU bukan bagian dan international movement dan pihak manapun termasuk dan Timur Tengah. tetapi justru akan bertindak sebagai inspirator menegakkan keadilan dan perdamaian lewat Islam moderat yang mempunyai “knedo”: Islam rahmatan lil’alamin. Dengan kata lain lewat ICIS. NU akan melakukan globalisasi nilai-nilai Islam rahmatan lil’alamin.
Kini ICIS sudah menjadi lembaga internasional yang terdaftar di OKI (Organisasi Konferensi Islam, Organization of the Islamic Conference) dan Rabithah Alam Islami (Liga Muslim Dunia) yang berpusat di Makkah dan terdaftar di PBB. Sejauh ini, kami sudah mengadakan beberapa kesepakatan untuk mengatasi problem dunia Islam. Baik dengan OKI, Rabithab, PBB, maupun World Conference of Religions for Peace (WCRP) kami membicarakan tentang bagaimana menangani konflik Timur Tengah; problem Israel-Palestina, Lebanon-Israel, rehabilitasi Irak setelah diagresi oleh AS, hingga soal isu nuklir Iran. Dengan pihak PBB, AS maupun dengan pihak Eropa dan Australia kami membicarakan soal Islamo phobia, penanganan terorisme dan memperkecil kesenjangan antara negara terbelakang dengan negara maju yang kerap mengakibatkan terjadinya ketidakadilan yang bisa memicu konflik.
Untuk menciptakan perdamaian di Timur Tengah, NU bentemu dengan tokoh kunci Timur Tengah: dengan Sekjen Rabithah Alam Islami, DR Abdullah Atturki dan Sekjen OKI, Elimeleddin Ihsanoglu. keduanya di Makkah. Juga bertemu dengan pimpinan Islamic Devel opment Bank (1DB) di Jeddahi.
OKI sebagai organisasi Islam formal terbesar di dunia yang mempunyai posisi strategis, membershipnya adalah negara. Sedangkan ICIS membership-nya adalah kalangan ulama. cendekiawan muslim dan pengamat atau pemerhati Islam. Acapkali kebijakan atau keputusan-keputusan negara Islam tidak selalu sama dengan pendapat ulamanya. Karena sikap-sikap negara Islam itu tidak hanya dipengaruhi oleh agama, tapi juga dipengaruhi oleh kepentingan politik. ekonomi, polanisasi global, serta watak dan pada nezim pemerintahan yang bensangkutan. Oleh karenanya, dalam sidang-sidang OKI tidak selalu mencerminkan pertimbangan agama murni. Ini berbeda dengan ICIS yang tidak ada kaitannya dengan ekonomi, politik, polarisasi dan sebagainya, sehingga gerakannya lebih bensifat murni agama. Kalaupun ada kemasan-kemasan lain di luar agama. hal itu hanya merupakan instrumen untuk mendukung kemurnian agama itu sendini. Dengan demikian, apabila terjadi kerjasama yang baik antana ICIS dengan OKI, maka akan melahirkan sinergi yang memiliki kemampuan dan kekuatan besar.
Kesadaran semacam ini memicu ICIS untuk melakukan pendekatan-pendekatan terhadap OKI. Sebagai Sekjen ICIS, alhamdulillah saya juga anggota dan Eminent Person OKI. Eminent person adalah komisi yang tendiri dan perorangan yang diambilkan dari ulama-ulama atas rekomendasi pemenintah. Dalam komisi eminent person inilah, ICIS bersama Malaysia melakukan kegiatan enlightment moderation (pencenahan penjuangan moderasi). ICIS dengan “slogan” Islam rahmatan lil’alamin, sedang Malaysia menggunakan istilah Islam Hadhari yang sesungguhnya hampir sama. Mengapa ICIS menggunakan “slogan” Islam Rahmatan lil’alamin, karena idiom itu yang secana otentik tertera dalam al-Qun’an. Kerjamasa ini menghasilkan perbaikan dan dokumen OKI yang selama ini masih cenderung pada Pan Arabisme dan Pan Islamisme, yang seakan-akan Islam adalah dunia tensendiri dan dunia global adalah dunia tersendiri pula. ICIS dan Malaysia benusaha agar semangat dikotomi ini bisa dicairkan. Maka dibuatlah tema-tema Islam dan tekonologi yang saling melengkapi. Pergaulan global dewasa ini tidak mungkin lagi dicegah, karena arus teknologi tidak mengenal batas-batas wilayah. Alhamdullilah upaya ICIS dan Malaysia ini benhasil. sehingga dokumen-dokumen yang ada di OKI telah diperbaiki dalam Summit Conference Kepala-kepala Negana OKI di Makkah, Manet 2006.
Langkah selanjutnya. ICIS II berusaha kenas agar presiden OKI bisa hadir dalam pembukaan dan menjadi pembicana di ICIS. Alhamdulilah Presiden OKI yang dijabat Abdullah Ahmad Badhawi benkenan hadir, sehingga penuangan-penuangan itu bisa diterima oleh ICIS. Dan kerjasama ini melahirkan langkah yang lebih kongkrit, seperti dalam bidang pendidikan dengan tukar menukar refenensi pemikiran dan para ulama, usaha untuk melakukan peningkatan di bidang ekonomi. rumusan-rumusan di bidang budaya. Hal inilah yang membuat hubungan antana ICIS dan OKI menjadi lebih kuat. Sebelum ICIS II digelar, terdapat dua kali pertemuan The Inaugural Meeting of the OIC Commision of Eminent Persons (CEP), dalam rangka perbaikan dokumen-dokumen. Pertama di Kuala Lumpur. 27- 28 Januari 2005 dan kedua di Islamabad, 28-29 Mei 2005. Dalam forum itu saya sampaikan aspirasi ICIS.
Kemudian pada tanggal 28 Agustus 2006 saya sebagai Sekjen ICIS mendatangi Sekretaniat Jenderal OKI di Jeddah, kita kemukakan ide-ide itu dan OKI tertarik karena ICIS independen, tidak dipengaruhi oleh berbagai polarisasi politik, sehingga usul-usul ICIS bisa mendukung kemurnian dan kebaikan agama dan tidak lagi terkontaminasi oleh pro-kontra kepentingan sesaat. Hingga kini secara resmi ICIS adalah anggota peninjau OKI.
Sekarang ICIS sedang diproses juga untuk menjadi anggota Rabithah Alam Islami atas permintaan lembaga itu sendiri. Ketika bertemu dengan Presiden Rabithah Alam Islami, Syaikh Abdullah Atturki, sempat saya tanyakan mengapa saya dimasukkan menjadi pengurus Rabithah, jawabannya karena mereka ingin tahu Islam di Indonesia, dan kita diminta berpartisipasi. Saya presentasikan mengenai Islam di Indonesia, yang mungkin beda dengan Islam di Arab Saudi, walau perbedaannya bukan mengenai substansi, melainkan lebih pada aspek kultural. Saya terangkan Islam rahmatan lil’alamin, Islam kualitas, sikap muslimin nasional dan sikap terhadap Barat. Rupayanya mereka tertarik dan meminta tulisan Islam secara luas. Harapan ICIS agar mereka bisa mengerti manhaj, pemikiran maupun tata laksana NU. Hal ini penting, karena selama ini proses akulturasi NU itu sering dipersoalkan oleh tokoh-tokoh Islam yang menganut paham puritan, sehingga perlu tabayun (klarifikasi).
Kemudian pada tanggal 20 Sepetember 2006 saya bersama tim PBNU dan Deplu RI berangkat ke New York untuk menghadiri High Level Interfaith, diskusi tentang lintas agama yang diselenggarakan oleh PBB bersamaan dengan Sidang Umum PBB23. Pada 22 September 2006 dalam forum tersebut saya presentasi prinsip-prinsip Islam rahmatan lil’alamin, dan ternyata dapat sambutan yang cukup positif. Saya berkunjung ke Sekretariat WCRP di lingkungan Markas Besar PBB, karena WCRP adalah bagian dan PBB, sebagaimana lembaga WHO, Unesco dil. Saya bertemu Sekjen WCRP Mr. Findley, saya sampaikan hasil-hasil ICIS I dan II, dan tentu prinsip Islam rahmatan lil’alamin. Saya juga memberikan usulan kongkrit, pertama, WCRP hendaknya melihat gejala kekerasan dalam agama dan lintas agama, serta hubungannya dengan Barat secara obyektif, tidak sepihak. Kedua, WCRP hendaknya menegur kelompok-kelompok agama yang menimbulkan konflik baik Islam, Kristen, Budha, Hindu dll, sehingga fungsinya menjadi kongkrit. Ketiga, meminta WCRP membuat langkah-langkah penyelamatan ajaran agama dan kekerasan non-agama. Karena faktor-faktor kekerasan konflik lintas agama itu hanya 30 persen saja, sedangkan yang 70 persen berasal dan non-agama; politis, ekonomis dli. Kekerasan non-agama itu dibungkus oleh agama, sehingga agama jadi limbah kekerasan non-agama. Kalau bisa agama-agama yang ada dirakit untuk menghadapi kekerasan secara bersama-sama. Saya meminta agar WCRP melihat dan mempelajari Indonesia, barangkali bisa menjadi model dunia untuk penyelesaian konflik keagamaan.
Adapun langkah-langkah kongkrit yang sudah dilakukan ICIS guna mengampanyekan Islam rahmatan lil’alamin adalah sebagai berikut:
a. Thailand Selatan
Kami dua kali berkunjung ke Thailand membantu pemerintah Thailand untuk menciptakan suasana damai dan penyelesaian konflik muslim minoritas Thailand Selatan. Pertama pada Maret-April 2005, yang diterima oleh PM Thailand Thaksin Shinawatra, Raja Thailand Bhumibol Adulyadej dan pejabat tinggi lainnya. Kedua, 11-12 September 2006, sepekan sebelum Thaksin dikudeta oleh militer setempat. Kami dan NU memberikan beberapa masukan dan semacam urun rembug kepada pemerintah Thailand untuk menyelesaikan konflik di tiga provinsi di Thailand Selatan, yaitu Yala, Pattani, dan Narathiwat.yang mayoritas penduduknya Muslim. Pasca penyerangan militer Thailand terhadap Masjid Krue Se di Pattani dan terbunuhnya 84 demonstran Muslim di Tak Bat, Narathiwat (Oktober 2004). Rupanya, dua peristiwa berdarah ini, telah mengundang keprihatinan Raja Thailand Bhumthol Adulyadej dan PM Thaksin Shinawatra. Kami berterimakasih kepada pemerintah Thailand yang telah memberikan resonansi dan penilaian bahwa NU sebagai kelompok Islam yang moderat. Sepanjang sejarah Indonesia merdeka, NU memang belum pernah menempuh jalan kekerasan untuk memperjuangkan aspirasinya. Selain itu, kultur masyarakat NU dinilai sama dengan budaya masyarakat Islam di Thailand Selatan. Karena itu, NU sudah dikenal masyarakat muslim Thailand Selatan.
Harapan kami, agar segera terwujud resolusi konflik di Thailand Selatan, karena itu dalam kunjungan kami yang kedua kalinya, kami memberikan beberapa masukan yang bersifat saran. Pertama, kami berpandangan bahwa konflik di Thailand sepatutnya dianggap sebagai konflik nasional. Untuk itu, saran kami hendaknya Thailand menjauhkan anasir internasionalisasi dalam penyelesaian konflik.
Yang kedua, kami beranggapan bahwa muslim Thailand adalah bagian dari anak kandung asli warga Thailand, sehingga saran kami kepada pemeritahan Thailand agar masyarakat Thailand Selatan ini diciptakan situasi Thai Muslem, bukan diorientasikan muslim luar Thailand. Sehubungan dengan hal tersebut, kami menyarankan pemerintah setempat memberikan perlindungi terhadap semua warga muslim Thailand Selatan, terkecuali bagi mereka yang terlibat tindakan terorisme. Khusus mengenai teroris, pendekatannya bisa melalui pendekatan militer, tetapi penyelesaiannya harus lewat pengadilan. Karena dengan penyelesaian di pengadilan akan segera diketahu anatomi dan teroris ini: apakah dari domestik warga Thailand Selatan atau karena provokasi dan luar negeri. Kalau dan luar negeri dan unsur mana? Dan garis ekstrim kiri atau ekstrim kanan? Kami juga mengusulkan agar pendekatan militer dan scurity hendaknya diseimbangkan dengan pendidikan, kesejahteraan dan keadilan.
Selanjutnya, kami juga memohon kepada pemerintah Thailand agar mempunyai advisor yang mengerti agama Islam, dengan maksud agar terjadi saling mengerti dan tidak terjadi salah paham. Misalnya saja, tentara Thailand agar dapat memahami bahwa kalau masuk masjid tidak boleh pakai sepatu, karena masjid itu tempat yang disakralkan oleh umat Islam. Juga misalnya, tata cara bertamu, kalau mengundang tokoh Islam jangan ditepatkan waktunya ketika saat maghrib, karena saat-saat seperti itu waktu orang Islam mau shalat. Saya karena musafir, saya boleh salat jamak dengan sholat Isya’. Tetapi, ulama atau tokoh Islam yang di situ kan merasa tidak dihargai. keyakinannya.
Kami juga memberikan masukan, agar pemerintaah Thailand mewaspadai terhadap infilterasi, seperti mereka yang biasa melakukan bisnis bencana, orang yang memanfaatkan konflik untuk ajang jual beli senjata. Karena sekarang ini, di kampung-kampung Thailand banyak orang sipil yang dipegangi senjata. sementara pemerintahnya takut pemberontakan. Di sisi lain, invisible hand juga perlu diperhatikan, karena setiap konflik itu mesti ada sesuatu di bawah permukaan.
Para guru agama Islam di sana hendaknya jangan mengajarkan formalisme khilafah Islam di tengah-tengah mayoritas orang-orang Hindu-Budha, sebab yang demikian dapat mengganggu proses-proses demokrasi yang ada di sana. Andaikan Thailand membutuhkan guru-guru lulusan pesantren NU, maka kami akan mengirimkannya. Karena, NU mempunyai pengalaman cara berkomunikasi dengan orang-orang Hindu dan Budha. Kami pun memberi kabar gembira kepada Raja Bhumibol, Thaksin, Menlu Kanthathi maupun pemimpin Budha Thailand Somdej Phra Buddhacharya. bahwa Islam adalah agama rahmatan Iil ‘alamin (pemberi kasih sayang untuk seluruh alam). Islam mengajarkan pemeluknya untuk berbuat baik, membantu orang lain yang kesusahan, dan hidup harmonis dengan lingkungan. Prinsip ini tidak hanya berlaku bagi sesama muslim, terhadap pemeluk agama lain pun berlaku sama.
Meski demikian, setiap agama juga mempunyai kekhususan yang berbeda dan agama lain. Perbedaan ini terutama menyangkut akidah dan ritual. Karena itulah yang sama tidak perlu dijadikan beda dan yang beda tidak perlu disamakan. Dalam kondisi seperti ini, negara wajib melindungi dan memberi kebebasan yang sama kepada semua umat beragama dalam menjalankan ajaran agama mereka.
b. Syiria
Kami datang ke Syiria atas undangan Dubes Syiria yang ada di Jakarta. Kunjungan itu kami manfaatkan untuk silaturrahmi dengan kalangan pejabat pemerintah maupun dengan kalangan ulama dan intelektual di Syiria. Kebetulan ketika kami berkunjung, banyak masalah yang menekan posisi Syiria, karena sesama muslim, kami memberikan dukungan secara moral bagi Syiria agar dapat keluar dan persoalannya. Kami sempat bertemu dengan Menteri Wakaf dalam suatu arena media perlemen rakyat di Damaskus, yaitu sebuah kemah tempat rakyat menanyakan sesuatu terhadap wakil-wakilnya di parlemen. Kami juga menandatangani sebuah statemen bahwa lCIS dan NU mendukung moral terhadap perjuangan rakyat Syiria untuk menghadapi tekanan dan negara luar. Alhamdulillah sampai sekarang tidak ada peristiwa-peristiwa lagi yang agak mengganggu stabilitas negara yang dulu bernama negeri Syam itu.
Di Syiria banyak ulama kaliber dunia, seperti Syaikh Wahbah az-Zuhaili, Said Ramadhan dan Dr Salahuddin Kaftaru yang mempunyai banyak tulisan ilmiah tentang agama, baik di bidang tasawuf, tafsir, tauhid, syariah maupun masalah-masalah muamalah dan politik Islam. Tulisan-tulisan tersebut banyak menjadi referensi kita karena bervisi ahlussunna wal Jama’ah. Di samping itu, karena saya berangkat dengan Kiai Masruri, Kiai Nun Muhammad Iskandar, dan Kiai Idris Marzuki, maka bersama-sama dengan saya diberi ijazah oleh Syaikh Wahbah Zuhaili dan Said Ramadhan untuk mengajarkan kitab-kitab beliau dan mengharapkan kepada PBNU agar meterjemahkan kitab-kitab tersebut, Alhamdulillah sekanang sudah dalam proses penerbitan oleh LTN (Lajnah ta‘lif wa an-nasr) NU.
Dengan demikian maka tawassuth yang dianut oleh NU bukan berarti tidak punya sikap. Tawassuth adalah jalan tengah tetapi berdasarkan kebenaran dan keadilan, bukan jalan tengah yang tidak bersikap, sehingga selalu melakukan pembelaan terhadap prinsip-prinsip keadilan yang tidak terbatas pada negara. Misalnya sewaktu AS diserang pada 11 September 2001, kita ke AS untuk menyampaikan simpati dan bela sungkawa; kita berpihak kepada pemberantasan terorisme. Tatapi saat AS hendak menyerang Irak tentu kita cegah. Sama halnya dengan yang kita lakukan di Syiria. Jadi kita tidak melakukan pembelaan terhadap salah satu pihak, tetapi. kita melakukan pembelaan terhadap prinsip-prinsip keadilan. Siapa pun yang dirusak atau tidak diperlakukan dengan adil maka kita akan melakukan minimal moral support.
c. Iran
Timbul polemik yang memanas di Iran tentang senjata nuklir untuk tujuan damai dan juga diancam oleh AS untuk diberlakukan sanksi lewat Dewan Keamanan PBB. DK PBB akan memberi sanksi kepada Iran karena pihak AS dan Barat tidak percaya kalau nuklir itu untuk tujuan damai atau teknologi damai. Ketidakpercayaan itu tidak juga hilang sekalipun tanpa bukti. Di sinilah kedigdayaan AS. Kita datang ke Iran untuk mempelajari persoalannya. Setelah mendapat jawaban pasti dan Presiden Mahmud Ahmadi Nejad, Ketua Parlemen dan para ulama Syi’ah di sana, bahwa tidak ada nuklir untuk senjata, maka kita melakukan dukungan moral terhadap Iran dalam masalah nuklir untuk tujuan damai. Inilah yang menarik perhatian dan Iran, sehingga ketika Presiden Iran berkunjung ke Indonesia memerlukan mampir di PBNU.
Persoalan ini jangan disalah pahami bahwa kita setuju pada ajaran Syi’ah. Tetapi kita sedang bicara tentang keadilan dan hak-hak setiap negara untuk membela kepentingan dan hak-haknya tanpa harus ketakutan dengan hegemoni AS. Sekarang hubungan NU dengan Iran menjadi meningkat. Kita tidak pernah masuk level pembicaraan tentang ideologi, karena memang syi’ah dan sunni berbeda, tetapi perbedaan itu tidak boleh menghilangkan pembelaan terhadap ketidakadilan.
Mengenai isu nuklir Iran, PBB agar menghormati dan menjamin keinginan tiap negara melaksanakan sesuai Traktat Non-Proliferasi yang membolehkan mengembangkan teknologi nuklir untuk maksud dan tujuan damai, termasuk Iran. Sebaliknya, Iran harus memenuhi komitmennya sebagai Negara Pihak NPT. AS beserta sekutunya, hendaknya menjauhi cara-cara kekerasan dalam penyelesaian kasus Iran, seperti tindakan yang dilakukan terhadap Irak dan Afghanistan.
d. Pakistan
Ketika ICIS menghadiri Konferensi II OIC CEP (Commission of Eminent Persons) di Islamabad, 28- 29 Mei 2005 untuk memperbaiki dokumen-dokumen OKI, saya menyempatkan datang ke para ulama sunni dan syi’ah yang ada di sana. Kemudian saya presentasikan wawasan tentang ukhuwwah Islamiyah dan bahaya pemecahbelahan dan orang luar ke dalam kelompok-kelompok sunni vs syi’ah. Dalam pertemuan itu, saya dipanelkan dengan Menteri Agama Pakistan, dihadiri pula ulama-ulama sunni dan syi’ah.
Satu hari sebelumnya, ada bom meledak melanda kelompok syi’ah. Serta merta yang diduga memprovokasi adalah kelompok sunni. Kemudian memang ada aksi pembalasan dari kelompok syi’ah terhadap kelompok sunni. Akhirnya kita mempelajari kasus Islamabad ini. Setelah kita konfirmasikan, ternyata memang ada konflik, tapi konflik itu belakangan meningkat karena ada tangan-tangan kotor dari luar yang mengipasi.
Kasus ini memberi pengertian kepada kita, bahwa setiap ada celah pertikaian selalu dimasuki oleh orang luar. Pertikaian itu adalah larangan agama, sehingga setiap larangan agama kita langgar, maka akan masuk angin. Di sini tugas ICIS adalah menggerakkan ukhuwwah Islamiyah di Pakistan. Pakistan sarat masalah politik, karena menjadi tempat berpijak AS untuk menyerang Afghanistan dan memberantas ‘terorisme’, sehingga sangat kental nuansa politiknya dalam pertikaian atau konflik agama.
e. Vatikan
Kami dua kali berkunjung ke Tahta Suci Vatikan, di Roma dalam rangka memperkenalkan dan memberi pemahaman Islam moderat yang rahmatan lil’alamin. Yang pertama pada waktu Paus Yohannes Paulus II, ketika AS belum menyerang Irak. Misi kedatangan kami ke sana adalah meminta dukungan Paus supaya memperkuat penolakan kita terhadap rencana serangan AS ke Irak. Semula kita menduga mungkin Paus tidak merespon persoalan serangan Irak ini. Ketika itu rombongan dipimpin oleh Kardinal Darmaatmadja, sejawat dan KWI. Ternyata di luar dugaan, sikap Paus jauh lebih keras dari umat Islam di Indonesia, ia mengatakan serangan terhadap Irak bukan hanya tragedi kemanusiaan tetapi tragedi agama, bahkan tragedi sejarah. Begitu kita sampai di sana, langsung Kardinal yang ada di AS diberi tugas oleh Paus untuk mendukung Deklarasi Anti Perang Lintas Agama yang dimotori oleh Gerakan Moral Nasional (Geralnas) Indonesia, supaya segera menyampaikan ke pemerintah AS. Ketika itu kelihatan bahwa sesungguhnya agresi-agresi AS tidaklah didukung oleh agama, baik agama Islam, Katolik, maupun Protestan. Sehingga dapat dikatakan bahwa agresi-agresi AS itu tidak muncul dari agama.
Kali kedua, saya datang ke Vatikan atas undangan Duta Besar Indonesia di Vatikan untuk mempromosikan Islam moderat. Kami bertemu HE Archbishop Michael Fitzgerald (President of Pontical Council for Interreligious Dialogue) pada 28-30 September 2005 dengan tema Dialog “Islam in Pluralistic Society”. Kita berdiskusi tentang co-eksistensi, pro-eksistensi dan toleransi. Co-eksistensi adalah menghargai eksistensi masing-masing tanpa harus mengintervensi hal-hal dan agama lain yang mernang berbeda dan tidak pula menyerang secara apriori keyakinan agama lain yang memang berbeda. Pro-eksistensi adalah inisiatif dan kreasi dan masing-masing agama untuk menciptakan modus-modus bersama, modus vevendi. Ketika itu kita rumuskan toleransi dan moderasi. Moderasi menurut NU-Vatikan adalah moderasi pemikiran dalam agama, yaitu keseimbangan antara keyakinan dan toleransi. Jadi seorang moderat harus menghargai keyakinan yang lain, tetapi tidak perlu mereduksi agamanya sendiri hanya untuk melakukan toleransi.
Hal-hal seperti itulah yang pada tahun 2006 juga kita bawa ke Porto Alegro dalam Assembly IX di Brasil, WCC (Wolrd Council of Churches) milik Protestan yang berpusat di Genewa. Di Assembly ini saya bawakan tentang garis moderasi NU dan Islam di Indonesia serta kesepakatan-kesepakatan yang pernah kita ambil. Ternyata hal itu juga disetujui oleh kelornpok Krsiten Protestan. Pada saat itulah tanggal 16 Februari 2006 ada statement bahwa gereja-geraja Protestan di AS meminta maaf kepada dunia karena tidak mampu mencegah pemerintah dan presiden AS melakukaan agresi. Ini semua memperlihatkan, bahwa kemelut dunia itu hakikatnya tidak timbul karena semata-mata faktor agama. Faktor agama berabad-abad tenang, sekalipun diakui bahwa masingmasing agama mengidap penyakit ekstrimisme, baik di Islam, Kristen, Hindu, Budha, maupun Katolik.
Konflik yang sekarang terjadi di mana-mana adalah hegemoni politik dan ekonomi yang menggunakan label agama secara timbal-balik dalam hukum sebab-akibat. Karenanya, maka perjuangan kita sekarang ini adalah bagaimana memurnikan agama sebagai agama, kemudian memilah agama dan faktor non-agama yang diagamakan. Di samping itu juga memperdekat jarak antara agama dengan perilaku pemeluk agama, karena pemeluk agama itu tidak selalu berbuat sesuai ajaran agamanya. Ini semua adalah perjuangan besar di dunia yang dipromosikan oleh NU melalui ICIS dan mendapat sambutan positif di mana-mana.
f. Uni Eropa
Pertemuan kami dengan Presiden Uni Eropa, Javier Solana juga dalam misi yang sama dengan ke Vatikan, yaitu mencari dukungan untuk mencegah agresi Bush ke Irak. Tetapi Uni Eropa waktu itu terbelah, sebagian pro serangan ke Irak dan sebagian anti serangan ke Irak. Sesuai penjelasan Solana ketika datang ke PBNU baru-baru ini, diakui di Uni Eropa sendiri sudah melihat ekses-ekses dan serangan AS ini. Karena itu, timbullah demo-demo anti Bush, demo-demo anti serangan AS ke Irak di daratan Eropa sendiri Sekalipun ketika sebelum penyerangan sebagian mereka mendukung. Gelombang ini merembet ke mana-mana, sehingga kehadiran Bush di Indonesia pun disambut dengan bermacam demo dimana-mana. Apalagi Indonesia sebagai negara yang jumlah umat Islamnya tersebar di dunia, tentu mempunyai empati terhadap hancurnya negara-negara yang berpenduduk muslim.
Dalam penanganan Irak pasca agresi AS, semua pihak harus menghormati kedaulatan Irak sebagai negara merdeka. Karena itu, seluruh pasukan asing di Irak harus ditarik dan digantikan pasukan PBB. PBB hendaknya mengkoordinasikan seluruh Negara untuk pembangunan kembali Irak. Kepada para pemimpin dan Seluruh rakyat Irak untuk bersatu dan membangun kembali Irak pasca agresi.
Maqsud al-a’dham (main goal) konteks hubungan dengan Negara-negara Barat agar kita tidak melakukan dikotomi antara Islam dengan Barat. Upaya yang kita lakukan adalah mempromosikan nilai-nilai tawassuth di kalangan ulama muslimin seluruh dunia dan segala madzhab dan aliran pemikiran. Di samping itu kita juga mengundang observer dan Negara-negara Barat yang memiliki studi Islam di negaranya masing-masing. Dengan demikian, maka hubungan internasional NU dengan dunia Barat menjadi baik karena sudah terprogram dalam kerangka rahmatan lii ‘alamin.
Semua ini kita lakukan dalam lima tahun terakhir. Inilah upaya-upaya yang dilakukan NU dalam rangka menyebarkan Islam rahmatan lil’alamin dengan pendekatan tawassuth dan i’tidal-nya dalam konteks internasional dengan suatu muara akhir terciptanya keseimbangan antara Timur Tengah dengan Barat.
g. Australia
Waktu orang Australia menjadi korban bom Bali I, maka kita kesana untuk menyampaikan bela sungkawa dan berziarah ke makam korban. Kita nyatakan; kami adalah Islam moderat yang anti terorisme dan kami bersama Australia juga bertekad memerangi terorisme. Tetapi ketika Australia mendukung serangan AS ke Irak, kebetulan saya ada di Melbourne, banyak sekali masyarakat Melbourne yang demosntrasi menentang perang itu, dan saya selaku delegasi juga ikut terjun menentang dalam demonstrasi tersebut.
Kami juga menjalin hubungan interfaith di Australia bersama para tokoh agama yang lain dan Indonesia, seperti pimpinan Katholik Indonesia Kardinal Nathan Darmaatmadja, pimpin Kristen (PGI) Yewangoe dan lainnya. Kita juga memberikan bantuan dalam usaha memerangi terorisme. Dengan demikian hubungan kita dengan Australia menjadi baik. NU melakukan kerjasama dalam bidang pendidikan sekarang sudah banyak anak-anak NU yang studi di Australia. Program kerjasama yang sekarang sedang berjalan antara PBNU dengan Australia adalah tentang Manajemen Penanganan Kesiapan Penanggulangan Bencana di pesantren-pesantren yang menelan biaya sekitar 700.000 Dolar Australia, atau sekitar Rp 4 miliar.
h. Inggris
Lewat ICIS kita juga melakukan hubungan networking dengan Inggris, yaitu bekerjasama dengan The British Council. Hasilnya yang sudah dan sedang berjalan adalah kita berkali-kali mengirim tenaga-tenaga muda dan pesantren ke Inggris mengikuti Pelatihan Manajemen Pendidikan dalam bentuk kursus singkat (short course). Program pelatihan manajemen pendidikan ini sekarang sudah memasuki angkatan ke empat, masing-masing angkatan memberangkatkan sekitar 20-30 orang. Selain kerjasama dalam bidang kepelatihan. kita juga mengirim beberapa anak NU yang studi lanjut di sana. mereka mendapat beasiswa dari pemerintah Inggris.
i. Jerman
Sementara kerjasama NU dengan negara-negara Eropa, terutama dengan Jerman lewat yayasan Hanns Siedel Stiftung yang merupakan foundation dari Partai Pemenang Pemilu di Jerman yang pada umumnya Katolik. NU juga menjalin hubungan interfaith, persaudaraan roundtable di Brussel. Program kerjasama dengan Jerman dilanjutkan dalam bidang pendidikan yang ditangani Lembaga Ma’arif.
j. Palestina dan Israel
Kami mendukung Pemerintahan Baru Palestina yang melibatkan Partai Fatah. Sebaliknya kita kecam agresi militer Israel di Gaza, Palestina dan penahanan sejumlah anggota Kabinet dan Parlemen Palestina. Penghukuman kolektif dan penghancuran instalasi sipil oleh Israel, jelas bertentangan dengan hukum internasional. Agresi dan tindak kekerasan militer Israel harus dihentikan dari para pemimpin Palestina yang ditahan harus dibebaskan. Baik Palestina maupun Israel hendaknya kembali ke jalur dialog dan negosiasi. Pihak Kuartet perlu menggelar kembali proses damai yang terhenti. Kita dan semua pihak harus mendukung terbentuknya Negara Palestina yang berdaulat.
k. Amerika Serikat
Ketika saya dan tim PBNU menghadiri undangan pemerintah AS, tak berapa lama pasca tragedi 11 September 2001, dan ketika berdialog langsung dengan Presiden AS George W Bush di Bali kami menjelaskan tentang Islam Rahmatan Lil’alamin ini, bahwa wajah Islam yang sebenarnya bukanlah yang dipresentasikan oleh kelompok-kelompok radikal, melainkan wajah yang penuh keramahan dan penghormatan pada sesama dalam realitas keragamannya.
Ironisnya. informasi dan pemahaman terhadap Islam di Barat masih mainstream Islamo phobia, terutama pasca tragedi tumbangnya Twin Tower World Trade Center (WTC) 11 September 2001 di AS. Islam sering disalah mengertikan, sehingga terjadi ‘ketegangan’ antara Islam vis a vis Barat. Barat sendiri sebenarnya sudah mengklarifikasi terhadap opini yang berkembang, bahwa terjadi perbenturan antara Islam dengan Barat. Sebagaimana diakui oleh Samuel P. Huntington bahwa masyarakat Barat, termasuk Presiden AS Bill Clinton waktu itu sepakat, bahwa Barat tidak mempunyai masalah dengan Islam, tetapi memiliki masalah dengan kaum ekstrirnis Islam. konflik abad XX antara demokrasi liberal dengan Marxis-Leninisme hanya bersifat sementara dan superficial dibanding ketegangan antara Islam vis a vis Barat (Kristen).
Maka tatkala terjadi ‘Deklarasi Perang’ terhadap terorisme oleh George W Bush semakin menyuburkan sikap negative thingking terhadap Islam, sehingga Islam diidentikkan dengan segala macam simbol dan fenomena yang cenderung berkonotasi negatif, seperti terorisme, kekerasan, fundamentalis, lusuh, diktator, ortodok, tidak menghargai pluralisme dan sejenisnya. Harus diakui, kesan-kesan negatif terhadap Islam seperti ini adalah akibat dan pemberitaan media massa Barat yang entah sengaja atau tidak, secara sistematis berusaha menyebarluaskan pandangan-pandangan streotipikal dan pejoratif tersebut. Propaganda pembentukan citra negatif terhadap Islam bahkan dilakukan dalam penerbitan buku-buku ilmiah, menurut sebuah survey terdapat sekitar 60 ribu lebih buku yang isinya menentang Islam selama kurun 150 tahun.
l. PBB
Di Markas PBB kami menjelaskan, bahwa NU bisa hidup rukun bersama saudara-saudaranya sesama muslim yang berbeda aliran dan madzhab. NU juga mampu bertoleransi dengan warga non-muslim. Dengan sikap seperti ini. NU bisa meminimalisasi konflik dan ketegangan antar agama. NU menjaga keseimbangan dan keserasian dengan masyarakat lintas budaya dan lintas agama. NU menjadi titik temu dan titik tengah elemen-elemen bangsa, serta perekat hidup rukun dalam berbangsa dan bernegara.
Kita mendesak PBB memfasilitasi dan memediatori dialog antar peradaban agar tercipta kondisi dunia yang aman, tenteram dan damai. Sehingga ketegangan Islam vis a vis Barat, secara bertahap dapat diselesaikan. Dalam penyelesaian konflik Timur-Tengah, misalnya penyelasaian Lebanon pasca agresi militer Israel, PBB harus bertindak tegas terhadap Isra’el yang nyata-nyata melanggar hukum internasional. Beruntung PBB segera mengeluarkan resolusi PBB nomor 1701 yang dapat mengahentikan serangan Israel ke Lebanon. Resolusi tersebut harus ditaati semua pihak, terutama Israel yang beberapa kali melanggar. Negara-negara Islam mesti berpartisipasi dalam Pasukan Perdamaian PBB untuk menjaga perdamaian di Libanon. Israel harus mengganti seluruh kerugian yang diderita Lebanon akibat serangan militer dan membangun kembali fasilitas dan infrastuktur yang rusak. Dalam hal ini, PBB bertindak sebagai koordinatornya.
m. Asia dan Asean
Sedang program rahmatan lil’ alamin NU di negara Asia, terutama di Asean adalah dengan Malaysia. Kerjasama yang sedang dalam proses berjalan sekarang adalah dalam bidang pendidikan, misalnya antara Malaysia dengan Yayasan Pendidikan Khadijah di Surabaya, dalam mengupayakan sistem pendidikan berskala internasional. Yang dalam proses penjajakan adalah sedang diatur hubungan perdagangan di negara Asia lainnya seperti dengan Cina, Yordania dan Syiria. Semua yang disebut belakangan ini masih dalam tingkat penataan, belum membuahkan hasil. Kalau semua sudah berjalan, idealnya nanti perjuangan kita, baik untuk organisasi maupun program sosial pendidikan dan lainnya, tidak lagi dan funding, tetapi dari hasil usaha dan bekerja keras. Bidang kerjasama perdangana yang akan kita garap dengan negara-negara tersebut misalnya, tambang, minyak jarak, sawit, fosfat, dan lain-lain. Namun, semua ini sampai detik ini, baru dalam rancangan, tetapi sudah mulai mau masuk ke taraf kongkrit. Kita juga sedang membuka akses ke jaringan dana moneter internasional dari Negara-negara Islam, yaitu IDB. Kita, nanti akan memediatori negara-negara Islam dalam konteks hubungan perdagangan yang instrumen perbankannya memakai dana dari IDB. Demikian juga, program domestik NU untuk pemberdayaan masyarakat dalam bidang ekonomi lewat pesantren dengan memakai dana dari 1DB. Meski ini masih wacana, satu tahap atau dua tahap lagi akan kita kongkritkan.
n. RAI, OKI dan 1DB
Kami bertolak ke Saudi Arabia pada Selasa 29 Agustus 2006, dengan tujuan bertemu dengan pucuk pimpinan Rabithah Alam Islam (RAI), bertemu dengan Sekjen OKI dan pentolan Islamic Developmen Bank (IDB). Mencari jalan keluar dan konflik Timur Tengah: seperti masalah agresi Israel terhadap negara berdaulat Libanon dan konflik Palestina vs Israel. Kemudian isu nuklir Iran dan penanganan Irak pascara agresi AS. NU sudah lama berfikir untuk mencari jalan keluar dan mencari akar penyebab semua ini. Menurut tatapan kami, negara-negara Islam, terutama Timur Tengah menjadi ajang konflik dan pertikaian oleh karena di antara mereka tidak ada saling pengertian dan saling menolong. Kami juga melihat, justru pada saat negara tetangganya diserang, yang lain malah membantu musuhnya. Contoh, ketika Iran diserang Amerika, Irak memberi fasilitas bagi Amerika. Ketika Irak diserang oleh Amerika, Arab Saudi dan Jordania memberi fasiltas Amerika. Begitu juga, ketika Afghanistan dibombardir AS, Pakistan memberi fasiltas pendaratan pasukan AS. Dalam kasus konflik Israel-Palestina dan konflik Israel-Libanon, di antara mereka juga tidak ada kekompakan. Hemat kami, masalah-masalah seperti ini harus dicarikan pemecahannya, dan itu terutama harus dilakukan oleh negara-negara Timur Tengah sendiri. Jangan terkesan, Negara-negara Timur Tengah rela untuk men jadi sasaran giliran agresi oleh Negara Adi Daya.
Ke depan, kami juga bersepakat melakukan kerjasama antara ICIS dan RAI dalam mengembangkan Islam moderat yang rahmatan lil ’alamin. Indonesia menurut RAl merupakan contoh Negara dengan penduduk mayoritas muslim terbesar di dunia yang demokratis dan dapat menunjukan wajah Islam yang penuh perdamaian dan toleransi. Hasil kongkrit yang menjadi fokus kerjasama antara ICISNU dan RAI, yaitu akan mengembangkan kerjasama di bidang pendidikan, ekonomi dan da’wah yang berorientasi untuk menemukan solusi terhadap masalah umat yang saat ini terjadi. Kesepakatan akan adanya suatu bahasan mendalam mengenai dispute settlement dan conflict resolution merupakan proyek kerjasama awal yang kami gagas akan dilakukan dalam waktu dekat ini, yang semua itu bermuara pada upaya untuk mewujudkan kehidupan global yang lebih damai serta saling menghormati satu sama lain. Keterbatasan informasi, data dan networking serta kemampuan teknologi informasi pada umat Islam menjadi penyebab utama rendahnya mutu dan kualitas umat Islam. Fokus pengembangan ekonomi umat harus tepat sasaran. Pembangunan ekonomi umat di pedesaan dengan memberikan fasilitas modal, training, pembangunan infrastuktur pedesaan, pemberdayaan pesantren adalah bentuk kongkrit yang dapat dimainkan oleh RAI pada saat ini. Pembangunan sarana pendidikan, infrastruktur ekonomi dan kemampuan teknologi informasi umat Islam harus ditingkatkan. Solidaritas umat saat ini kiranya dapat diarahkan pada pengembangan ekonomi dan sumber daya umat kedepan.
1. Perspektif Empiris:
a. Implikasinya terhadap interen NU adalah mempertegas sikap tawassuth dan i’tidal NU, sehingga memperjelas langkah perjuangan NU kembali ke Khittah 1926 dan memberdayakan civil society.
b. Implikasinya terhadap ukhuwah Islamiyah merajut kembali persaudaraan Islam, mengembalikan wajah Islam yang ramah dan membawa rahmat bagi semesta alam, menanggulangi radikalisme dan fondamentalisme di dalam Islam yang mengarahkan Islam sebagai agama kekerasan.
c. Implikasinya terhadap Lintas agama adalah bersama-sama pimpinan lintas agama mencegah terjadinya konflik yang berlatar agama, memerangi provokasi pihak non-agama untuk kepentingaan tertentu yang mengatasnamakan agama, dan menjaga persatuan dan kesatuan dalam wadah NKRI.
d. Implikasinya terhadap hubungan agama dan negara adalah agama-agama bersama negara ikut mengatasi persoalan krisis yang menimpa warga dan negara Indonesia, yang disebabkan oleh krisis moralitas dan krisis kelembagaan. Agama dan negara bersama-sama menjaga semangat persatuan dan kesatuan untuk mempertahankan keutuhan NKRI.
e. Implikasi terhadap globalisasi adalah mengampanyekan Islam rahmatan lil’alamin, mengoreksi kesan Islamo phobia dan kalangan Barat seperti ke AS, Jerman, Inggris, Australia, PBB dan WCRP dll. Dengan sikap tawassuth dan i’tidal mencoba membantu menangani krisis di beberapa negara seperti Thailand Selatan, Palestina’Israel, Lebanon-Israel, isu nuklir Iran, penanganan Irak pasca agresi AS, Syiria, Pakistan dsb.
Perspektif Social Politik, Hukum, dan HAM
Dari perspektif ini, akar permasalahan social, politik, hokum, dan HAM. Terletak pada masalah kebijakan (pilicy). Satu kebijakan sayugyanya berdiri seimbang dit tengah relasi “saling-sadar” antara pemerintah, masyarakat, dan pasar.tidak mungki membanyangkan satu kebijakan hanya menekan aspek kepentingan pemerintah tanpa melibatkan masyarakat. Dalam satu kebijakan harus melihat dinamika yang bergerak di orbit satu pasar. Dalam kasus yang lain tidak akan bias jika pemerintah hanya mepertimbangkan selera pasar tanpa melibatkan masyarakat didalamnya.
Persoalan akan muncul ketika kebijakan dalam tahab perencanaan, penetapan dan pelaksanaannya seringkalai moopoli oleh pemerintah. Selama ini kita melihat sedikit sekali presiden yang menunjukkan keseriusan pemerintah untuk melibatkan masyarakat.kedua, kecenderungan pemerintah untuk selalu tunduk kepada kepentingan pasar, sehingga pada beberapa segi seringkali mengabaikan kepentingan masyarakat. Kondisi tersebut jika dibiarkan akan menggiring masyarakat pada posisi yang selalu dikorbankan atas kepentingan pemerintah dan selera pasar. Dan akan meniptakan kondisi yang memfasilitasi tumbuhnya dominasi bahkan otoritarianisme baru.
Kecenderungan demikian pada beberapa segi mewakili kepentingan untuk melakukan sentralisasi kekuasaan yang akan mengakibatkan munculnya kembali kedzaliman, ketidakadilan, dan ketidak sejahteraan. Dalam realitas demikian harus dilakukan desentralisasi untuk memecah konsentrasi kekuasaan oleh satu pihak secara dominant, sebagai upaya balancing of power, yang diorientasikan untuk mendorong terjadinya perimbangan kekuatan, baik kekuantan masyarakat sipil, kekuatan pasar maupun kekuatan pemerintah.
Bagaimana kemudian PMII merumuskan strategi gerakannya dalam menyikapi kondisi demikian, adalah pekerjaan rumah yang harus segera kita selesaikan. Ini diperlukan terutama untuk memberikan paduan bagi kolektivitas gerakan kader PMII. Selama ini, PMII sebagai organisasi pergerakan masih bergerak ditempat, sehingga kedepan perlu adanya strategi gerakan PMII untuk menyikapi.
Strategi gerakan PMII seharusnya mencakup dua aspek, yaitu internal dan eksternal. Strategi pertama, yaitu melakukan penguatan internal PMII yang meliputi strategi perjuangan, membangun pandangan hidup, dan pegangan hidup. Sehingga, PMII diharapkan memiliki daya dobrak terhadap kekuatan-kekuatan dominant dan otoriter. Yang kedua, aspek eksternal, PMII harus melakukan penyegaran terhadap masyrakat bawah atau sipil atas ketertindasannya dan kekuatan dominant. Dan selanjutnya, adalah PMII harus mengupayakan atau menembus infrastructural terutama dalam persoalan media, karena selama ini masih sangat minim. PMII harus melakukan bargaining power dengan pemerintah melalui jalan structural, termasuk melakukan gerakan empowering civil society.
Kemudian kaitannya dengan ahlus sunnah wal jama’ah yang juga menjadi nilai dasar (NDP) PMII, dimana substansinya adalah jalan tengah, maka sudah sepatutnya bahwa PMII memposisikan diri di tengah untuk mencari titik temu sebagai solusi. Degan sikap seperti itu, PMII mengikuti nilai ahlus sunnah wal jama’ah. Nilai-nilai ahlus sunnah wal jama’ah seperti tawazun, akan dapat melahirkan nilai ahlus sunnah wal jama’ah yang ta’adul. Dalam hal ini,yang menjadi tekan adalah strategi memungkinkan terbentuknya satu tatanan masyarakat yang relasional dan partispatif antara Negara, pasar, PMII dan masyarakat, dimana PMII dengan masyarakat merupakan kesatuan antara system dengan subsistem yang menjembatani masyarakat, Negara dan pasar. PMII dengan demikian berada dalam gerak transformis harapan dan kebutuhan masyrakat di hadapan Negara dan pasar.
Nasionalisme Di Indonesia
A. Epistemologi Nasionalisme
Perspektif etnonasionalisme yang membuka wacana tentang asal-muasal nasionalisme berdasarkan hubungan kekerabatan dan kesamaan budaya bagaimanapun tak mampu memberikan penjelasan yang memuaskan, khususnya jika kita mengamati batas-batas bangsa yang terbentuk dalam masyarakat kontemporer. Yang ditawarkan oleh pendekatan etnonasionalis dapat dipakai untuk mengamati fenomena nasionalisme di negara "monokultur" seperti Jerman, Itali, dan Jepang. Namun, penjelasan yang sama tidak berlaku sepenuhnya ketika dipakai untuk menjelaskan nasionalisme bangsa multikultural seperti Amerika Serikat, Perancis, Singapura, dan Indonesia untuk menyebut beberapa. Tentu saja di bangsa multikultural ini ada dominasi etnik atau ras tertentu yang pada tingkat tertentu menjadi sumber utama inspirasi nasionalisme. Namun, itu tak berarti bangunan nasionalisme menjadi homogen karena fondasi nasionalisme juga ditopang oleh ikatan-ikatan nonetnik.
Lepas dari konundrum tersebut, melacak genealogi nasionalisme melalui jejak-jejak etnik mungkin terlalu jauh mengingat fenomena nasionalisme sebenarnya relatif baru. Ini bisa ditelusuri dari sejarah munculnya konsep bangsa-negara di Eropa sekitar abad ke-18 yang merupakan bagian dari gelombang revolusi kerakyatan dalam meruntuhkan hegemoni kelas aristokrat. Pembacaan sejarah yang demikian memberi indikasi asal-muasal nasionalisme sebagai anak modernitas yang lahir dari rahim Pencerahan, suatu revolusi berpikir yang membawa semangat egaliterianisme. Namun, konsep nasionalisme tidak hanya meliputi aspek-aspek kegemilangan dari gagasan modernitas yang ditawarkan oleh Pencerahan Eropa karena dia merupakan akibat (by-product) dari pengondisian modernitas bersamaan dengan transformasi sosial masyarakat Eropa pada saat itu.
Dari situ dapat dikatakan bahwa nasionalisme adalah penemuan bangsa Eropa yang diciptakan untuk mengantisipasi keterasingan yang merajalela dalam masyarakat modern (Elie Kedourie, 1960). Sebagai sebuah ideologi, nasionalisme memiliki kapasitas memobilisasi massa melalui janji-janji kemajuan yang merupakan teleologi modernitas. Kondisi-kondisi yang terbentuk ini tak lepas dari Revolusi Industri ketika urbanisasi dalam skala besar memaksa masyarakat pada saat itu untuk membentuk sebuah identitas bersama (Ernest Gellner, 1983). Dengan kata lain, nasionalisme dibentuk oleh kematerian industrialisme yang membawa perubahan sosial dan budaya dalam masyarakat. Dari sudut pandang deterministik ini Gellner sampai pada satu argumen bahwa nasionalismelah yang melahirkan bangsa, bukan sebaliknya.
SEBAGAI sebuah produk modernitas, perkembangan nasionalisme berada di titik persinggungan antara politik, teknologi, dan transformasi sosial. Namun, nasionalisme tidak hanya dapat dilihat sebagai sebuah proses dari atas ke bawah di mana kelas dominan memiliki peranan lebih penting dalam pembentukan nasionalisme daripada kelas yang terdominasi. Artinya, pemahaman komprehensif tentang nasionalisme sebagai produk modernitas hanya dapat dilakukan dengan juga melihat apa yang terjadi pada masyarakat di lapisan paling bawah ketika asumsi, harapan, kebutuhan, dan kepentingan masyarakat pada umumnya terhadap ideologi nasionalisme memungkinkan ideologi tersebut meresap dan berakar secara kuat (Eric Hobsbawm, 1990). Pada level inilah elemen-elemen sosial seperti bahasa, kesamaan sejarah, identitas masa lalu, dan solidaritas sosial menjadi pengikat erat kekuatan nasionalisme.
B. Gerakan Nasionalisme Dari Masa Ke Masa
Pada 28 Oktober, 79 tahun silam di Jakarta berkumpul berbagai kelompok anak muda yang datang dari berbagai pelosok Indonesia: Maluku, Sulawesi, Jakarta, Sunda, Sumatra, dan lain-lain. Konsolidasi nasional yang mereka lakukan dalam bentuk Sumpah Pemuda 1928 merupakan cita-cita bersama para pemuda Indonesia untuk mengokohkan nasionalisme dan membebaskan bangsanya dari penjajahan. Harmonisasi antara militansi, kemampuan berorganisasi, sensitivitas global telah mendorong mereka untuk selanjutnya meletakkan pijakan dalam pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dalam perjalanan sejarah Indonesia, periodesiasi gerakan kaum muda dapat dibagi dalam beberapa angkatan yaitu; angkatan 1908, 1928, 1945, 1966, 1974, 1980-an, hingga 1990-an. Angkatan 1908 dan 1928 adalah wujud gerakan intelektual muda yang mampu menghidupkan iklim politik waktu itu dengan membangun nasionalisme melalui pikiran dan cita-cita yang digerakkan dalam organisasi pemuda. Secara ideologis, mereka adalah golongan yang kritis adaptif serta sanggup melahirkan ide-ide baru yang dibutuhkan masyarakatnya. Sementara secara kultural, mereka adalah produk sistem nilai yang mengalami proses pembentukan kesadaran dan pematangan identitas dirinya sebagai aktor penting perubahan. Sehingga para kaum tua pun merespon gerakan mereka dengan baik. Sebagai kaum intelektual muda yang berada di tengah masyarakat, dalam banyak kasus, peran kaum muda amat menentukan arah kehidupan bangsanya. Seperti diulas Pareto, Mosca, atau Michel (1982), mereka (kaum muda) adalah kaum elite yang memiliki mobilitas tinggi dan peran sentral dalam menentukan opini dan keputusan mayoritas. Pada gilirannya, kaum elite itulah yang mengontrol berbagai akses atas sumber daya ekonomi dan politik negara.
Jika pemuda angkatan 1908 dan 1928 berhasil memupuk bibit nasionalisme dan menggalang ideologi persatuan nasional. Lantas pemuda angkatan 45 dapat merealisasikan cita-cita besar, yaitu kemerdekaan. Angkatan 66, 74, 80, hingga 98-an hampir bisa dikatakan hanya sebatas kekuatan korektif.
Pascatumbangnya Orde Baru dengan lengsernya Soeharto sekaligus membuka kran demokrasi, nyaris tak ada pembaruan mendasar yang bisa dilakukan pemuda dan gerakan mahasiswa. Mengutip hasil penelitian Lembaga Survei Indonesia (2007), salah satu kendala utama dalam menuntaskan agenda reformasi adalah sulitnya mencari sosok muda tampil mengimbangi peran elite mapan produk kepemimpinan politik Orde Baru. Walaupun kejatuhan rezim Soeharto menjadi momentum bagi para mantan aktivis mahasiswa untuk memasuki dunia politik praktis. Banyak di antara mereka, terutama mantan aktivis duduk di lembaga legislatif maupun eksekutif, di level nasional maupun daerah. Namun di lembaga legislatif, tercatat bahwa pada pemilu 2004 dari 550 kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), hanya 33 orang (6%) saja dari anggota DPR yang berasal dari kaum muda. Tentunya jumlah ini tidak sebanding dengan jumlah pemuda Indonesia yang mencapai sekitar 80,7 juta orang dari total 220 juta rakyat Indonesia. Bahkan tak sedikit dari mereka yang memasuki arena kekuasaan harus mengalami disorientasi visi dan terjebak dalam arus pragmatisme politik.
Salah satu penyebabnya adalah iklim politik yang masih kental akan warna kegiatan ekonomi ’pasar’. Dalam sebuah disertasinya, Akbar tanjung menyentil para politisi dengan mengatakan para elit politik terlalu berorientasi pada kekuasaan. Maka berkembanglah kemudian wacana tentang politik saudagar (pengusaha) atau saudagar yang berpolitik demi ambisi kekuasaan. Bukan rahasia umum bahwasannya uang (kekuatan modal) masih menjadi kebutuhan dan simbol kekuasaan. Tidak mungkin partai politik berjalan tanpa dukungan keuangan yang kuat. Arena politk baru yang dalam wujud ’pasar’ telah terbentuk yang daya penetrasinya telah memasuki wilayah politik dan para elit. Dalam buku The Rise of Capital (1986), Richard Robinson menjelaskan bagaimana pengusaha mengendalikan negara melalui arena politik. Realitas politik itu sesungguhnya adalah wajah lain dari watak kekuasaan Orde Baru yang nepotik, kolutif, dan koruptif. Ketika sikap pragmatisme para politico-business itu bersinerji dengan iklim politik pasar, maka bisa dipastikan dunia politik akan menjadi lawan dari demokrasi.
Pada hari Sabtu, 2 Desember lalu, Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi dikukuhkan sebagai Doktor Honoris Causa oleh lAIN Sunan Ampel Surabaya dalam bidang Peradaban Islam. Tarnpak hadir Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla, KH MA Sahal Mahfudh Rais ‘Aam PBNU yang juga memberikan sambutan mewakili tokoh masyarakat, KH Maimun Zuber (Sarang), Prof Jimly Asshiddiqie (Ketua Mahkamah Konstitusi), A Syafli Maarif (Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah), Ir Akbar Tandjung (Mantan Ketua DPR RI), Prof DR Din Syamsuddin (Ketua Umum PP Muhammadiyah), beberapa duta besar negara sahabat, serta kolega beliau dan lintas agama.
Berikut pidato beliau:
Syukur alhamdulillah berkat taufiq dan hidayah serta inayah Allah Swt., pada hari ini tanggal 2 Desember 2006, saya memperoleh kehormatan akademik gelar Doktor Honoris Causa dalam ‘Peradaban Islam’. Sungguh ini merupakan kehormatan yang begitu besar bagi saya pribadi khususnya dan bagi Nahdllatul Ulama secara keseluruhan. Kanena itu, saya menyampaikan ucapan terima kasih kepada Rektor sekaligus sebagai Ketua Senat lAIN Sunan Ampel, Prof. Dr. HM. Ridiwan Nasir, MA., kepada Direktur yang sekaligus sebagai Ketua Majells Pertimbangan Akademik (MPA) Program Pascasarjana lAIN Sunan Ampel, Prof. Dr. H. Ahmad Zabro, MA dan para Anggota Senat lAIN Sunan Ampel yang telah menyetujui saya untuk mendapat penghargaan gelar akademik ini.
Selanjutnya, saya juga mengu capka terima kasih kepada para guru, dosen, dan ulama yang ikut membesarkan saya dengan ilmu, mujadalah dan kearifan hingga saya bisa mendapat kehormatan seperti sekarang mi. Teman dan sahabat saya dalam perjuangan menegakkan izzul Islam wal muslimin baik dan kalangan NU, Muhammadiyah dan Ormas Islam lainnya. Kemudian ucapan terima kasih kepada teman seper juangan saya dalam Forum Lintas Agama yang tergabung dalam Gerakan Moral Nasional (Geralnas) yang juga besar jasanya menemani saya untuk berkampanye Islam Rahmatan Lil’alamin ke seluruh belahan dunia sehingga saya akhirnya terpilih sebagai salah satu Presiden dalam World Conference of Religions for Peace (WCRP) dalam Pertemuan Pimpinan Agama se-Dunia ke-Delapan di Kyoto Jepang tanggal 29 Agustus 2006. Sekitar 800 pemimpin agama dan 100 negara seluruh dunia ikut dalam acara tersebut yang menghasilkan Dekiarasi Kyoto, meski sebenarnya saya tidak berada di Jepang, melainkan ketika itu saya berada di Arab Saudi bertemu dengan Pimpmnan Rabithab Alam Islarni (RAI), Sekjen OKI (Organisasi Konferensi Islam) di Makkah dan pimpinan Islamic Develop-Iment Bank (1DB) di Jeddah.
Last but not least, saya juga menyampaikan terimakasih dan penghargaan yang tulus kepada keluarga saya. Isteri saya, yang selalu setia menemani dalam keadaan suka maupun duka, memberi dorongan dan menghibur ketika saya letih di tengah perjuangan. Anak-anak dan para menantu serta cucu, yang semuanya memberi arti dalam kehidupan saya. Kedua orang tua dan mertua, semoga amal mereka diterima di sisi Allah Swt. Tanpa mereka, saya mungkin tidak sampai seperti sekarang ini.
I. PENDAHULUAN
Dalam kesempatan terhormat ml, saya akan menyampaikan pidato ilmiah dengan judul: Islam Rahmatan Lil’alamin Menuju Keadilan dan Perdamaian Dunia (Perspektif Nahdlatul Ulama). Pemilihan tema ini didasarkan atas beberapa pemikiran.
Pertama, pengalaman saya dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir, yang mendapat amanah memimpin Nahdlatul Ulama (NU), ormas Islam yang didirikan di kampung Kentopaten, Surabaya tak jauh dan kampus ini. Pengalaman NU mengimplementasikan ajaran Islam rahmatan lil’alamin dan pengembangan sikap kemasyarakatan NU seperti tawassuth (moderat), i’tidal (tegak), tasamuh (toleran) dan tawazun (seimbang) serta tasyawur (musyawarah/dialog) telah menjadikan NU sebagai organisasi yang besar dan mempunyai karakter kemasyarakatan yang khas. Internalisasi Islam Rahmatan lil’alamin dan pengembangan sikap ke-NU-an itu menjadi modal NU dalam pergaulan dengan masyarakat domestik, NU berhasil menjalin ukhuwwah lslamiyah dengan ormas Islam lainnya seperti Muhammadiyah, DDI, al-Irsyad, Persis, Al-Wasliyah dan sebagainya. Dengan modal pemikiran ulama itu pula, NU berhasil bergandengan tangan menjaga kerukunan antar umat beragama sehingga terbentuk Forum Lintas Agama dan Gerakan Moral Nasional (Geralnas). Berkat pengalaman menciptakan situasi yang kondusif dalam hubungan antar umat beragama di Indonesia, NU menjadi duta bangsa memperkenaLkan ke berbagai belahan dunia tentang ajaran Islam rahmatan lil’alan2in ini.
Kedua, masih merebaknya Islamo Phobia yang menjadi mainstream pandangan masyarakat Barat, termasuk di Amerika Serikat (AS). Meningkatnya ketegangan ini, terutama pasca tragedi tumbangnya Twin Tower World Trade Center (WTC) 11 September 2001. Apalagi Presiden AS, George W Bush menyebut-nyebut pelaku serangan ini adalah teroris al-Qaidah yang dikomandoi Usamah bin Laden, pengusaha asal Arab Saudi.
Ketiga, sebagai bagian integratif dan upaya pembangunan infrastruktur dan keterlibatan agama untuk keadilan dan perdamaian dunta. Sejak tahun 1960-an sejumlah tokoh agama dunia berusaha membangun infrastruktur korporasi lintas agama dalam mengatasi isu dan konfilk global yang ditandai dengan lahirnya Konferensi Agama Dunia untuk Perdamaian (World Conference of Religions for Peace) di Kyoto, Jepang. Kemudian, secara berturut-turut setiap 5 tahun WCRP mengadakan Assembly, yaitu pada tahun 1974 di Leuven Belgia. 1979 di Princeton USA, 1984 di Nairobi Kenya, 1989 di Melbourne Australia, 1994 di Riva del Garda Italy, 1999 di Amman Yordania, dan tahun 2006 di Kyoto Jepang.
Keempat, sebagai basis nilal dan pendekatan. Dasar pemikiran lahirnya sejumlah infrastruktur perdamaian dunia sejatinya bukan saja sebagai kebutuhan pentingnya membangun kesadaran bersama (shared conciousness), tetapi jdga sebagai pendekatan bahwa keamanan dan perdamaian haldki (real security and peace) tidak mungkin terjadi bagi sebuah komunitas tanpa menjamin keamanan komunitas lainnya. Cita-cita itu tidak bisa terwujud tanpa dilandasi oleh basis pemikiran keagamaan moderat termasuk tawassuth (moderat). Maka, upaya membangun persepsi positif tentang Islam di mata dunia akan sulit terwujud manakala paradigma ke-Islaman tidak mengedepankan visi Islam rahmatan lil’alamin dalarn membangun perdarnalan dunia yang hakiki.
II. PERSPEKTIF TEORITIS
1. Islam Rahmatan Lil’alamin
Ajaran Islam rahmatan lil’alamin sebenarnya bukan hal baru, hasisnya sudah kuat dalam al-Qur’an, dan al-Hadits, bahkan telah banyak diimplementasikan dalam sejarah Islam, baik pada abad klasik maupun pada abad pertengahan. Secara etimologis, Islam berarti “damai”, sedangkan rahmatan lii ‘alamin berarti” kasih sayang bagi semesta alam”. Maka yang dimaksud dengan Islam rahmatan lil’alamin adalah Islam yang kehadirannya di tengah kehidupan masyarakat mampu mewujudkan kedamaian dan kasih sayang bagi manusia maupun alam.
Rahmatan lil’alamin adalah istilah qurani. dan istilah itu sudah terdapat dalam al-Quran , yaitu sebagaimana firman Allah dalam Surat al-Anbiya’ ayat 107: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam (rahmatan 1i1’alamin)”.
Ayat tersebut menegaskan bahwa kalau Islam dilakukan secara benar dengan sendirinya akan mendatangkan rahmat, balk itu untuk orang Islam maupun untuk seluruh alam. Rahmat adalah kurnia yang dalam ajaran agama terbagi men jadi dua: rahmat dalam konteks rahrnan dan rahrnat dalam konteks rahim. Rahmat dalam konteks rahman adalah bersifat amma kulla syai’, meliputi segala hal, sehingga orang-orang non-muslim pun mempunyai hak kerahmanan.
Rahim adalah kerahmatan Allah yang hanya diberikan kepada orang Islam. Jadi rahim itu adalah khasshun lil muslimin. Apabila Islam dilakukan secara benar, maka rahman dan rahim Allah akan turun semuanya. Dengan demlkian berlaku hukum sunnatullah; baik muslim maupun non-muslim kalau mereka melakukan hal-hal yang diperlukan oleh kerahmanan, maka mereka akan mendapatkanya. Kendatipun mereka orang Islam, tetapi tidak melakukan llthtiar kerahmanan, maka mereka tidak akan mendapatkan hasilnya. Dengan kata lain, kurnia rahman ini berlaku hukum kompetitif. Misalnya, orang Islam yang tidak melakukan kegiatan ekonomi, maka mereka tidak bisa dan tidak akan menjadi makmur. Sementara orang yang melakukan ikhtiar kerahmanan adalah non-muslim, maka mereka akan mendapatkan kemakmuran secara ekonomi. Karena dalam hal mi mereka mendapat sifat kerahmanan Allah yang berlaku universal (amma kulla syain)’.
Sedangkan hak atas surga ada pada sifat rahimnya Allah Swt, maka yang mendapat kerahiman ini adalah orang mukminin. Dengan demikian, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa rahmatan li1’alamin adalah bersatunya kurnia Allah yang terlingkup di dalam kerahiznan dan kerabmanan Allah.
Dalam konteks Islam rahmatan lil’alamin, Islam telah mengatur tata hubungan menyangkut aspek teologis, ritual, sosial, dan humanitas. Dalam segi teologis, Islam member! rumusan tegas yang harus diyakini oleh setiap pemeluknya, tetap hal ini tidak dapat dijadikan alasan untuk memaksa non-muslim memeluk Islam. Begitu halnya dalam tataran .ritual yang memang sudah ditentukan operasionalnya dalam al-Quran dan al-Hadits.
Namun dalam konteks sosial, Islam sesungguhnya hanya berbicara mengenai ketentuan-ketentuan dasar atau pilar-pilarnya saja, yang penerjemahan operasionalnya secara detail dan konperehensif tergantung pada kesepakatan dan pemahaman masing-msing komunitas, yang tentu memiliki keunikan berdasarkan keberagaman lokalitas nilai dan sejarah yang dimilikinya.
Entitas Islam sebagal rahmat lil’alamin mengakui eksistensi pluralitas, karena Islam memandang pluralitas sebagai sunnatullah, yaitu fungsi pengujian Allah pada manusia, fakta sosial, dan rekayasa sosial (social engineering) kemajuan umat manusia.
Pluralitas, sebagai sunnatullah telah banyak diabadikan dal am alQuran, diantaranya firman Allah Jalam surat ar-Rum ayat 22 yang maknanya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sungguh pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.”
Juga firman Allah dalam surat al-Hujurat ayat 13 yang maknanya: “Hai manusia, sungguh Kami menciptakan kalian dan jenis laki-laki dan perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sungguh orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Ayat-ayat tersebut menempatkan kemajemukan atau pluralitas sebagai syarat diterminan (conditio sine qua non) dalam penciptaan makhluk.
Dalam al-Quran banyak ayat yang menyerukan perdamaian dan kasih-sayang, antara lain surat al-Hujurat ayat 10 yang memerintahkan kita untuk saling menjaga dan mempererat tall persaudaraan. Allah SWT berfirman, maknanya: “Sungguh orang-orang beriman itu bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.”
Benang merah yang bisa kita tank dan perintah ini adalah untuk mewujudkan perdamahan, semua orang harus merasa bersaudara. Dalam konteks ini KH. Achmad Siddiq, Rais ‘Am PBNU era 1980-an mengajukan tiga macam persaudaraan (ukhuwwah). Pertama, ukhuwwah Islamiyyah artinya persaudaraan yang tumbuh dan berkembang atas dasar keagamaan (Islam), balk dalam skala lokal, nasional maupun internasional. Kedua, ukhwuwah wathaniyyah artinya persaudaraan yang tumbuh dan berkembang atas dasar kebangsaan. Ketiga, ukhuwwah basyariyyah, artinya persaudaraan yang tumbuh dan berkembang atas dasar kemanusiaan. Ketiga macam ukhuwwah ini harus diwujudkan secara berimbang menurut porsinya masing-masing. Satu dengan lainnya tidak boleh dipertentangkan, sebab hanya melalul tiga dimensi ukhuwah inilah rahmatan lil ‘alamin akan terealisasi.
Masih dalam pandangan KH. Ahmad Shiddiq, Ukhuwwah Isiamiyyah dan ukhuwwah wathaniyyah merupakan landasan bagi terwujudnya ukhuwwah insaniyah. Baik sebagai umat Islam maupun bangsa Indonesia, kita harus memperhatikan secara serius, seksama, dan penuh kejernihan terhadap ukhuwwah Isiamiyyah dan ukhuwwah wathaniyyah. Kita tidak boleh mempertentangkan kedua macam ukhuwwah ini. Dalam hidup bertetangga dengan orang lain, bukan famili, bahkan non-muslim atau non-Indonesia, kita diwajibkan berukhuwwah dan memuliakan mereka dalam arti kerjasama yang baik. KR. Achmad Siddiq menjelaskan bahwa persaudaraan ‘inda al-islam (versi Islam) bukanlah persaudaraan yang bersifat ekskiusif, persaudaraan yang terbatas pada umat Islam saja. Persaudaraan Islam adalah persaudaraan yang luas, bahkan meliputi orang ateis sekalipun selama mereka tidak berniat memusuhi umat Islam.
Rasulullah SAW memberikan contoh hidup damai dan penuh toleransi dalam lingkungan yang plural. Ketika di Madinah, beliau mendeklarasikan Piagam Madinah yang berisi jaminan hidup bersama secara damai dengan umat agama lain. Begitu juga ketika menaklukkan Makkah, beliau menjamin kepada setiap orang, termasuk musuh yang ditaklukkannya, agar tetap merasa nyaman dan aman. Gereja-gereja dan sinagog-sinagog boleh menyelenggarakan peribadatan tanpa harus ketakutan.
Selama hampir 23 tahun perjuangan kenabiannya, Rasulullah SAW selalu menggunakan pendekatan dialog secara konsisten sehingga misi kerahmatan lintas suku, budaya dan agama dapat dicapai dengan baik. Selama lebih 12 tahun di Makkah, perjuangan beliau penuh resiko, bahkan nyawa beliau terancam. Beliau meminta pada para sahabat untuk tetap bersabar, tidak menggunakan kekerasan dan pemaksaan, apalagi pembunuhan. Bahkan untuk menjaga keselamatan kaum musilmin, karena waktu itu kekuatan Islam masih lemah, pada tahun ke-12 masa kenabian, beliau memutuskan untuk berhijrah ke Madinah. Pada periode Madinah ini pun, beliau tetap konsisten menggunakan pendekatan peradaban, yaitu membangun ketenangan masyarakat, menerapkan kebebasan beragama dan kebèbasan dalam melaksanakan ajaran agama masing-masing yang dituangkan dalam Mitsaq Madinah, yang terkenal dengan sebutan Piagam Madinah.
Hal tersebut terkandung maksud bahwa kendatipun terjadi perang maka motifnya bukan ekonomi atau politik, tetapi motifnya adalah dakwah. Karena itu perangi 1 tidak bersifat ofensif tetapi defensif, yaitu semata-mata sebagai jalan (washilah) menuju perdamaian. Untuk itu, perang tidak boleh eksesif, tidak boleh destruktif dan harus tetap menghargai HAM, yaitu tidak boleh membunuh orang sipil, anak-anak, perempuan, orang tua, dan tidak boleh menghancurkan lingkungan, fasilitas umum dan simbol-simbol agama, serta tidak boleh membunuh hewan. Demikianlah inti wasiat Rasulullah yang disampaikan kepa1a pasukan perang Islam pada saat Perang Mu’tah dan Fath Makkah.
Dalam konteks ini, rahmatan l il’alarnin yang diimplementisakan oleh NU didasarkan pada basis pemikiran Aswaja (ahlussunnah waljama’ah), sebagai kebalikan dan ahlul bid’ah wadldaolalah yang biasanya membuat kreasi-kreasi keagamaan yang bertentangan dengan ajaran sunnah.
Bagaimana Islam rahmatan lil’alamin diimplementasikan ke dalam NU? NU menerjemahkan konsepsi rahmatan lil’alamin lewat pendakatan tawassuth dan i’tidal yang dikongkritisasikan ke dalam sikap nahdliyah. Tawassuth atau garis tengah adalah cara membawakan atau menampilkan agama yang kontekstual. Sedangkan i’tidal adalah menyangkut kebenaran kognitifnya. Jadi tawassuth itu menjelaskan posisi, sedangkan i’tidal adalah akurasi dan konsistensi. Penggabungan tawassuth dan i’tidal dapat didefinisikan sebagai pengertian terhadap Islam yang tepat dan benar, kemudian dibawakan secara metodologi yang benar pula. Kalau digabungkan .melahirkan kebenaran againa yang dibawakan secara benar pula. Dapat dikatakan pula, tawassuth dan i’tidal sebagai suatu sikap yang mengambil posisi di tengah, tetapi jalannnya lurus. Dalam menjalankan posisi tawassuth dan i’tidal di tengah-tengah masarakat, NU menggunakan tiga pendekatan, yaitu: (1) fiqh ul ahkam, dalam rangka menentukan hukum fiqth dan ini berlaku untuk untuk umat yang telah siap melakukan hukum positif Islam (umat ijabah). Proses pencariannya di kalangan NU dikenal dengan .bahtsul masa’il (BM). (2) fiqhu Dakwah dalam rangka mengembangkan agama di kalangan masyarakat luas yang beraneka ragam, sehingga pen dekatanny tidak menggunakan pendekatan fiqth yang legal formal, namun melalui pembinaan (guidance and counseling). (3) Fiqhu Siyasah, bagaimana membawakan hubungan agama dengan politik, dan kekuasaan negara.
Ketiga unsur ini masing-masing mempunyal implikasi dalam pelaksanaannya, yaitu pendekatan. fiqhul ahkam melahirkan tradisi bahtsul masa’il untuk mencari solusi hukum Islam. Kemudian, fiqhu dakwah melahirkan cara-cara metodologi penyampaian dakwah keagamaan secara baik dan benar dan juga dengan lintas budaya yalatu dan segi pendekatan nilai. Gabungan antara keduanya benimplikasi penciptaan hubungan ukhuwah islamiyah dengan sesama Islam yang beda aliran pikiran dan madhabnya. Fiqhu siyasah pola-pola pendekatan yang menjelaskan kaitan-kaitan agama dengan politik dan hubungan agama dengan negara.
Selanjutnya, tawassuth dan i’tidal melahirkan langkah lanjutan yaitu tasamuh (toleran), tawazun (berimbang) dan tasyawur (musyawarah/dialog). Tasamuh, pengertannnya adalah keseimbangan antara prinsip dan penghargaan kepada prinsip orang lain. Tasamuh lahir karena orang mempunyai prinsip, tetapi menghörmati prinsip orang lain. Mempunyai prinsip, tetapi tanpa menghormati prinsip orang lain mengakibatkan i’tizal (eksklusif), mengaku dinmnya yang paling benar. Maka, jika seseorang sudah melakukan tasamuh, maka akan berlanjut dengan melakukan tawazun (kesimbangan-keseimbangan). Dan, jika sudah melakukan tasamuh dan tawazun orang akan terdorong untuk melakukan tasyawur, yaitu melakukan dialog dalam setiap penyelesalan persoalan.
2. Fikrah Nahdliyyah dan Sikap Kemasyarakatan NU
Dalam konteks keagamaan, NU membentuk Komite Hijaz yang mengutus KH A Wahab Hasbullah dan Syaikh A Ghonaim al-Amir untuk menyampaikan surat kepada penguasa negeni Hijaz dan Najed, yaitu Raja Abdul Azis Bin Abdurrahman al-Su’ud. Surat Komite Hijaz tersebut intinya meliputi empat hal; (1) diberlakukannya kebebasan bermadzhab, (2) diperbolehkannya ziarah ke tempat-tempat bersejarah (3) diumumkannya tarif ibadah haji ke seluruh dunia dan (4) dljadikannya seluruh hukum yang berlaku di Hijaz sebagai undang-undang.
Komite Hijaz diterjma dan langsung mendapat jawaban dan Raja Su’ud bahwa kerajaan tidak melarang semua amalan yang dilakukan jamaah haji di Masjidil Haram, Makkah dan madzhab apapun, termasuk berkunjung ke tempat-tempat ziarah. NU dengan Komite Hijaz-nya merupakan satu-satunya ormas Islam di dunia yang berani mengoreksi kebijakan penguasa Arab Saudi agar memberikan ruang kebebasan dalam bermadzhab dalam Islam, karena Makkah dan Madinah merupakan kota suci bagi umat Islam di seluruh dunia, bukan hanya milik kelompok umat Islam yang berpaham Wahabi saja.
Embrionya dimulai dan munculnya organisasi rintisan seperti Nahdlatul Wathan, yaitu perkumpulan untuk memupuk semangat kebangsaan dan rasa nasionalisme dan Tashwirul Afkar, untuk melakukan pencerahan berfikir yang sebenarnya keduanya lebih berciri semacam study club. Puncaknya adalah kristalisasi ide-ide dan gagasan dan para ulama yang berhaluan ahlussunnah waijama’ah untuk mendirikan apa yang disebut Nahdlotoel Oelama’ pada tanggal 31 Januari 1926 (16 Rajab 1344 H). Dalam penjalanan waktu, NU telah bersinggungan dan berhubungan dengan organisasi lain, yang sedikit banyak mengubah, bahkan ada kekhawatirn belakangan ini kader NU kehilangan jati dirinya. Bertolak dan fakta sosial dan fakta sejarah inilah, kemudian timbul gagasan untuk membingkai Fikrah Nahdliyah. Refonmulasi Fikrah Nahdliyah dimaksudkan untuk menjaga nilai-nilai historis dan tetap meneguhkan garis-garis perjuangan Khittah 1926, serta menjaga konsistensi warga NU agar berada dalam koridor yang ditetapkan organisasi.
Dengandemildan Fikrah Nahdliyah adalah kerangka berfikir yang didasarkan pada ajaran ahlussunnah waljama’ah yang dijadikan landasan berfikir untuk menentukan arah perjuangan dalam rangka islah al-ummah (perbaikan umat). Dalam merespon permasalahan baik yang berkenaan dengan isu-isu keagamaan maupun kemasyarakatan. NU memiliki manhaj sebagai berikut: (1) dalam bidang aqidah/teologi mengikuti pemikiran ahlussunnah waljama’ah khususnya pemikiran Abu Hasan al-Asy’ariy dan Abu Mansur al-Maturidiy (2) dalam bidang fiqih/ hukum Islam bermadzhab qauliy dan manhajiy kepada al-madzahth al-Arba’ah (3) dalam bidang tasawuf mengikuti Syaikh Junaid al-Baghdadiy dan Abu Hanud al-Ghazally.
Kemudian ciri-ciri (khashaish) kader yang mempunyai fikrah nahdliyah adalah sebagai benikut: (1) Fikrah Tawassuthiyyah (pola pikir moderat), artinya warga NU senantiasa bersikap tawazun (seimbang) dalam menyikapi berbagai persoalan. Maka, NU tidak tafrith atau ifrath, yaitu melakukan sikap ekstrim baik ekstrim kiri maupun ekstrim kanan. (2) Fikrah Tasamuhiyyah (pola pikir toleran), yaitu warga NU dapat hidup berdampingan secara damai dengan pihak lain walaupun cara pikir. budaya dan aqidahnya berbeda. (3) Fikrah Islahiyyah (pola pikir reformatif), artinya warga NU senantiasa mengupayakan perbaikan menuju ke arah yang lebih baik (al-islah ila ma huwa al-ashlah). (4) Fikrah Tathawwuriyyah (pola pikir dinamis), artinya warga NU senantiasa melakukan kontekstualisasi dalam merespon berbagai persoalan. (5) Fikrah Manhajiyyah (pola pikir metodologis), artinya waiga NU selalu menggunakan kerangka pikir yang mengacu kepada manhaj yang telah ditetapkan oleh NU.
3. Hubungan Agama dan Negara
Ajaran Islam rahmatan lil’alamin dengan pendekatan tawassuth dan i’tidal juga menyediakan konsep dalam kaitan hubungan agama dan negara. Discourse hubungan agama dan negara sampai saat ini masih menjadi perdebatan. Hal ini karena konsep tersebut multitafsir: Islam sebagai agama dan Islam sebagai negana, sehingga penafsirannya menjadi beragam. Sementara sistem pemenintahan setelah wafatnya Rasulullah adalah sistem khilafah yang berbeda dengan konsep negara.
Pandangan hubungan agama dan negara dapat dikelompokkan menjadi tiga paradigma. yaitu:
Pertama, paradigma integeralistik, yakni paham yang beranggapan bahwa agama dan negara rnerupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu (integrated). Itu memberikan pengertian bahwa negara rnerupakan suatu lembaga politik sekaligus lembaga agarna. Paradigma integralistik ini sama dengan konsep teokrasi. Menurut paham teokrasi, agama dan negana dipahami sebagai dua hal yang tidak dapat dipisahkan, dijalankan berdasarkan firman-firman Tuhan, sehingga segala tata kehidupan masyarakat, bangsa dan negara dilakukan berdasarkan titah Tuhan. Dengan demikian urusan kenegaraan atau politik, menurut paham teoraksi merupakan manifestasi dan titah Tuhan dalam kehidupan manusia. Paradigma ini melahirkan konsep agama negara atau agama resmi, dan menjadikan agarna resmi tersebut sebagai hukum positif.
Kedua, paradigma sekularistik. Paradigrna yang beranggapan, bahwa ada disparitas antara agama dan negara. Agama dan negara merupakan dua entitas yang berbeda dan satu sama lain memiliki wilayah garapan masing-rnasing, sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain malakukan intervensi.
Berdasar pada pemahaman yang dikotomis ini, maka hukum positif yang berlaku adalah hukum yang betul-betul berasal dan kesepakatan manusia melalui social contract serta tidak ada kaitan dengan hukum agama. Bentuk sekularisme yang paling ekstrim adalah pola hubungan agama dan negara yang diletakkan dalam paham komunisme, yaitu memandang hakikat hubungan agama dan negara berdasarkan filsafat meterialisme dialektik dan materialisme historis yang berujung pada paham atheis. Kalaupun eksistensi agama diakui, namun tidak lebih dan sekedar persoalan pribadi, bukan urusan negara, bahkan dipopulerkan sebagai candu masyarakat.
Ketiga, paradigma simbiotik Menurut konsep ini, agama dan negara merupakan entitas yang berbeda, namun keduanya dipahami saling membutuhkan secara timbal balik, yakni agama membutuhkan negara sebagai instrumen dalam melestarikan dan mengembangkan agama, sebaliknya negara juga memerlukan agama, karena agama juga membantu negara dalam pembinaan moral, etika, dan spiritualitas. Pertanyaannya adalah bisakah agama mewarnai konstitusi? Ada kemungkinan bagi agama untuk dapat mewarnai negara dengan syarat agama mampu membangun dirinya melalui jalur social contract, atau demokrasi. Berdasarkan paradigma tersebut, NU lebih menggunakan paradigma simbiotik. Hal ini dapat dilihat dalam sejarah pendirian Republik Indonesia pada tahun 1945 di mana tokoh NU ikut merumuskan Pancasila sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Berdasarkan sejarah ketatanegaraan Indonesia, hubungan agama dan negara tidak berjalan mulus, tetapi penuh liku dan duka berjalan dalam dua gelombang besar antagonistik dan akomodatif. Dalam konstalasi ini, NU berdiri di pihak mana? Sesuai dengan pegangan NU yang tawassuth, maka hubungan agama dan negara dalam pandangan NU berada pada pola akomodatif, yaitu memilih paradigma simbiotik karena sesuai dengan cara pandang NU dengan pemahaman bahwa Indonesia bukan negara sekuler, dan juga bukan negara agama, tetapi Negara Pancasila.
Dengan demikian, agama dalam konteks negara diletakkan sebagai sumber nilai, dan secara fungsional agama mengambil peran tawassuth, dalam arti NU menentukan visi kenegaraannya dengan pendekatan membangun masyarakat Islam (Islamic society) daripada membangun negara Islam (Islamic state). Namun tidak berarti kehadiran agama tidak fungsional di hadapan negara. Agama menjadi spirit konstitusi negara. Hadirnya lima prinsip dasar Negara Republik Indonesia, yang disebut Pancasila yaitu Ketuhanan yang Maha Esa, Kamanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial merupakan bukti hadirnya spirit agama dalam sistem ideologi nasional karena kelima prinsip dasar tersebut berada dalam sistem ajaran semua agama dan diakui oleh semua tokoh agama di saat awal pendirian Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1945. Ideologi Pancasila dan tata cara pelaksanaan serta konsepsi agamanya sudah disesuaikan dengan kondisi Indonesia. Hal ini terbukti ketika setiap kali terjadi goncangan di Indonesia, NU menjadi unsur penting dan bangsa ini. Misalnya ketika penjajah akan masuk kembali ke Indonesia tahun 1946, para ulama ikut berjuang melawan penjajah. Para ulama NU melahirkan konsep jihad ini tidak ditujukan untuk bangsa sendiri yang sudah Islam tapi untuk orang-orang yang membahayakan bangsa. Namun sejak tahun 1967, Soeharto berkuasa sampai 30 tahun lebih dengan kendaraan Orde Baru. NU didiskriminasikan dan diinjak-injak sampai tahun 1997 hingga pecah reformasi. Kemudian NU menjadi penting lagi ketika tahun 1999 Gus Dur menempati kursi presiden meskipun hanya menjabat kurang dan 2 tahun. Jadi, kehadiran Pancasila sebagai pilihan ideologi Negara Republik Indonesia pada hakekatnya merupakan formula Islam tawassuth khas Indonesia. Karena pilihan tersebut, atau ada yang menyebutnya “hadiah umat Islam”, yaitu penghapusan terhadap teks “kewajian melaksanakan syariat Islam” pada sila pertama, merupakan keputusan menghindari ekstrimitas penerapan Islam dalam sistem ideologi Negara Republik Indonesia. Jika seandainya tokoh Islam ketika itu, di antaranya dan unsur NU KH A. Wahid Hasyim tidak menyetujui perubahan itu, niscaya Negara Kesatuan Republik Indonesia belum terbentuk. Inilah visi yang selalu dibina, diupayakan dan ditegakkan oleh NU dalam membangun hubungan moderasi antara agama dan negara sebagaimana keputusan Muktamar NU tahun 1984 di Situbondo yang memutuskan Pancasila sebagai falsafah dan ideologi final NKRI. Ini karena komitmen kebangsaan NU yang didasarkan pada konsep tawassuth, yaitu tasyawur, i’tidal, tasamuh dan tawazun.
III. PERSPEKTIF EMPIRIS
1. Implikasi terhadap Interen Organisasi NU:
Mempertegas Khittah 1926 dan Memberdayakan Civil Society Implikasi sikap rahmatan lii’alamin yang diterjemahkan ke dalam sikap tawassuth dan i’tidal terhadap interen organisasi NU adalah dikembangkannya wawasan sikap moderat, menghargai pendapat orang, melakukan praktikpraktik musyawarah dalam setiap pengambilan keputusan organisasi. Terhadap jamaahnya dikembangkan sikap-sikap bertoleransi dan saling tolong-menolong dalam kebaikan dalam rangka secara terus menerus memperbaiki kualitas umat demi tegakkannya izazul Islam wal muslimin.
Dalam menghadapi tragedi politik ketika terjadi suksesi kepemimpinan nasional di tengah jalan, NU berada dalam posisi dilematis. Maka, yang dilakukan oleh NU adalah mengembangkan sikap tawassuth dan i’tidal dengan cara meredam gejolalc warga NU yang emosional karena kecewa terhadap realitas politik. NU menegaskan sikapnya untuk kembali ke Khittah 1926, dengan menegaskan pengurus NU tidak boleh merangkap jabatan dengan parpol manapun dan bersikap independen. Setelah suhu politik mulai mendingin dan keadaan sudah berangsur-angsur normal, NU mulai introspeksi, megevaluasi dan merenungkan peran yang telah diambil sebelumnya yang menyebabkan berada dalam kumpanan badai politik yang membuat tidak nyaman seluruh warganya. Hasilnya adalah kesimpulan bahwa penegasan komitmen terhadap Khittah 1926 merupakan pilihan terbaik yang harus diambil demi menghindari terjadinya disfungsi organisasi yang berlarut-larut akibat pergeseran dan perluasan wilayah kerja dalam jangka waktu relatif lama. Maka PBNU berkeputusan mengambil tindakan penyelamatan dengan mengadakan safari ke basis-basis NU seluruh Indonesia. Safari ini dimaksudkan untuk meredakan emosi warga NU sekaligus melakukan konsolidasi lewat dialog-dialog intensif demi meretas jalan yang lebih baik bagi organisasi di masa datang. Ada tiga isu itama yang disampaikan PBNU dalam safari tersebut. .Pertama, NU harus berketepatan untuk menarik diri dari garis konflik kepentingan yang hanya berorientasi pada kekuasaan. Kedua, NU harus diposisikan kembali sebagai organisasi sosial keagamaan yang dapat diterima oleh seluruh elemen bangsa, tanpa dibatasi oleh sekatsekat primordialistik atau yang berwatak partisan. Ketiga, mengembalikan NU sebagai gerakan yang bersifat rahmatan lil’alamin. Untuk mewujudkan keinginan menata kembali organisasi, PBNU mengajak warga untuk kembali ke garis khittah perjuangan NU sebagaimana yang dirumuskan oleh para founding fathers NU. Rumusan awal maksud pendirian NU adalah: memegang dengan teguh pada salah satu dan madzhabnya Imam empat, yaitu Imam AsjSjafi’i, Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad bin Hambal, dan mengerjakan apa saja yang menjadikan kemaslahatan agama Islam. Dalam konteks menciptakan kemaslahatan masyarakat, dirumuskan pula usahausaha yang mesti dilakukan, yaitu: memperhatikan hal-hal jang berhubungan dengan masdjid2, langgar2 dan pondok2, begitu juga dengan hal-ihwalnya anak2 jatim dan orang-orang yang fakir miskin ... Mendirikan badan-badan untuk memajukan urusan pertanian, perniagaan dan peroesahaan. Mengacu pada kondisi warga NU pasca tragedi politik nasional itu, dan faktor kesejarahan NU sendiri, khususnya Khittah 1926 yang berlaku hingga sekarang, tidak ada jalan lain bagi NU kecuali kembali kepada posisi awalnya sebagai organisasi sosial keagamaan yang mengemban tugas-tugas sosial kemasyarakatan. Lebih dan itu, NU harus kembali menjadi bagian dan kekuatan civil society.
2. Implikasi terhadap Ukhuw-wah Islamiyyah:
Membangun Islam Ramah dan Menangkal Radikalisme Sudah bukan rahasia lagi, hubungan NU-Muhammadiyah pasca lengsernya Gus Dur dan kursi kepresidenan menjadi carut-marut. Kemesraan yang sebelumnya sempat terjalin, nyaris putus dan bahkan sudah dalam posisi berlawanan. Maka langkah yang ditempith PBNU adalah melakukan dialog-dialog untuk mencairkan kembali hubungan ukhuwwah yang sempat retak. NU-Muhammadiyah akhinnya sepakat untuk membuat program bersama yang disebut dengan ‘Gerakan Kultural’. Dalam konteks NU-Muhammadiyah, langkah-langkah bersama tersebut dapat mencairkan kembali hubungan yang nyaris ambruk. Kesan kurang harmonisnya komunikasi NU-Muhammadiyah begitu tampak tatkala kedua ormas Islam ini sama-sama terseret arus konflik politik praktis yang melibatkan dua tokoh sentral NU dan Muhammadiyah. Sebagai sesama organisasi keagamaan, keduanya sering disibukkan oleh upaya pemberian dukungan politik kepada partai yang didirikan warganya.
Hasil penegakan ukhuwwah NU-Muhammadiyah adalah dicapainya kata sepakat antara keduanya untuk menegaskan din masingmasing tentang ketiadaan hubungan organisatoris dengan partai manapun, serta tidak akan memasuki wilayah politik yang berorientasi pada kekuasaan. Bagi NU sendiri hal ini berarti kembalinya NU ke masa-masa sebelum 1998, yaitu suatu era NU berkhidmat dalam gerakan pengembangan pluralisme, pemberdayaan civil society, serta penegakan sendisendi demokrasi. Ada lima agenda utama yang disepakati keduanya, yaitu: Pertama, NU-Muhammadiyah tidak perlu lagi menempatkan politik sebagai kebutuhan atau tujuan utama yang dominan. NU dengan kredonya: kembali ke Khittah 1926, sedang Muhammadiyah dengan semboyannya: high politics. Kedua, merumuskan agenda aksi bersama pada tingkat praksis di lapangan untuk kegiatan ekonomi rakyat, khususnya mereka yang berada di lapis bawah. Karena mereka inilah yang menjadi korban paling mengenaskan akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan. Ketiga, merumuskan program pengembangan kualitas SDM pada masing-masing pihak, yang kelak diharapkan dapat disinergikan untuk membenahi sistem pendidikan yang ada di masing-masing, terutama bagi perbaikan sistem pendidlkan di pesantren-pesantren NU. Keempat, memikirkan secara serius mekanisme komunikasi yang produktif antara keduanya agar diperoleh titik temu untuk mencegah perpecahan. Kelima, sama-sama mengorientasikan diri ke arah pencarian jawaban atas krisis multi dimensional yang sedang melanda bangsa ini, karena tidak mungkin untuk menyerahkan semua proses pemulihan atau penyelesaian ini hanya kepada pemerintah.
3. Implikasi terhadap Lintas Agama:
Menangkal Provokasi terhadap Agama untuk Kepentingan Non-Agama.
Di luar memburuknya citra Islam secara global akibat kampanye terorisme, ternyata radikalisme dan konflik atas nama agama menjadi trend di Indonesia yang jika tidak disikapi secara tepat akan mengakibatkan agama kehilangan sifat rahmatan lil’alamin-nya, sebagaimana yang terjadi di Ambon dan Poso. Untuk mengatasi dan mencani solusi problem yang mengancam keutuhan bangsa, PBNU berkoordinasi dengan Muhammadiyah karena kedua ormas Islam terbesar ini sama-sama menggemban tanggung jawab untuk menciptakan wajah Islam yang damai, ramah, serta memiliki kepedulian tinggi terhadap peningkatan harkat dan martabat kemanusiaan. Dalam kaitan ini, pada tanggal 2 Januari 2002 Ketua Umum PBNU bertemu Ketua Umum PP Muhammadiyah guna membicarakan dua agenda penting: Pertarna. menciptakan wajah Islam yang ramah. Kedua, menghilangkan friksi-friksi yang bersifat destruktif di kalangan Islam sehingga dalam pengembangan Islam terdapat visi yang sama, sekalipun strateginya berbeda. Baik NU maupun Muhammadiyah memberikan penilaian terhadap kondisi bangsa yang semakin menggelisahkan. Karena itu keduanya merasa perlu bergandengan tangan memberikan masukan kepada pemerintah, elite politik, dan seluruh komponen bangsa hingga ke lapisan akar rumput. untuk mencari solusinya terutama yang terkait dengan dua isu krusial, yaitu tegaknya negara dan persatuan nasional. Karena itu, kedua belah pihak berkomitmen untuk memelihara pluralitas bangsa dan akan mengkampanyekan kerukunan lintas agama. lintas golongan, lintas suku, dan organisasi politik. NU-Muhammadiyah menyatukan persepsi meithat persoalan ekonomi dan politik yang melilit bangsa dan sepakat akan membantu mencari jalan keluarnya. Komitmen ini tak hanya menyangkut masalah bangsa dan negara, tetapi juga mengandung kesepakatan bahwa perbedaan furu’iyah tidak akan menjadi tema perdebatan sampai kapan pun. Keduanya juga sepakat untuk menjaga independensi, yaitu bebas dan kepetthgan politik partisan. Menjadi pembahasan yang serius pula adalah mengenai fenomena gerakan Islam radikal yang mewarnai negeri ini.
Menurut pandangan NU-Muhammadiyah munculnya Islam radikal merupakan kegagalan bangsa dalam membumikan Pancasila. Bangsa ini hanya terlena dalam pengagungan Pancasila, tanpa benar-benar berusaha mewujudkan nilai-nilainya yang merefleksikan semangat syariat Islam. Mereka yang beraliran keras itu Sebenarny juga merupakan “anak-anak NU dan Muhammadiyah” yang tidak terawat. Karena itu, tugas kedua ormas Islam ini adalah merawat kembali anggota keluarganya, mulai dari yang paling tinggi hingga masyarakat terbawah. NU-Muhammadiyah bertekad memberikan perhatian lebih besar pada persoalan-persoalan yang melibatkan konflik antar agama. Namun dengan catatan, persoalan tersebut tidak akan segera tuntas, jika tidak didukung aparat keamanan yang menindak tegas setiap pelanggaran hukum. Untuk merealisasikan Semua kesepakata ini. NU-Muhammadiyah menggelar pertemuan lanjutan, yaitu tanggal 15 Maret 2002. Kali ini melihatkan sejumlah tokoh agama seperti Kardinal Julius Dharmaatmadja (Katolik), Nurcholish Madjid (almarhum, cendekiawan Islam), Roeslan Abdulgani (almarhum, nasionalis), dan A.A. Yewangoe dan PGI. Hadir juga pengamat politik asal Jepang, Mitsuo Nakamura. Pertemuan ini menghasilkan Deklarasi Gerakan Moral Nasional Indonesia (Geralnas). Inti deklarasi adalah kesepakatan untuk membangun kembali moral bangsa yang nyaris ambruk. Karena bersifat lintas agama, gerakan ini memprioritaskan penanganan daerah yang dilanda konflik bertendensi agama seperti Maluku dan Poso. Tujuannya adalah berupaya memadamkan api konflik di kedua wilayah tersebut. Kunjungan ke daerah konflik ini, merupakan wujud gerakan moral untuk rnenunjukkan pada dunia internasional adanya kesungguhan para pemimpin yang tidak hanya menangani masalah konflik keagamaan, tapi juga bersedia memadamkan konflik ke-Indonesiaan. Karena itu para pemimpin agama juga mengagendakan pertemuan dengan Dubes Negara-negara Amerika, Eropa. Asia, dan Australia, bahkan juga Vatikan. Selain ke Ambon dan Poso, tujuan kunjungan adalah ke Sampit, Atambua, Papua. Aceh dan kawasan-kawasan konflik lainnnya.
Dengan berbekal Islam rahmatan liI’alarnin dan sikap kemasyarakatannya, NU mecoba mengurai secara hati-hati untuk menyikapi berbagai konflik yang terjadi di tanah air. Setidaknya ada tiga faktor yang bisa menjadi jalan keluar untuk memecahkan konflik tersebut. Pertama, faktor utama adalah ketegasan aparat keamanan yang dapat menentukan berhasil tidaknya proses pemulihan pasca konflik. Kedua, konflik yang terjadi di Ambon maupun di Poso bukan konflik agama, melainkan konflik politik yang sengaja dibungkus dengan simbol-simbol agarna. Ketiga radikalisme di semua sektor harus dihentikan, baik di kalangan Islam maupun Kristen. Setelah itu, baru dilakukan rehabilitasi moral dan terapi mental masyarakat yang menyimpan pengalaman traumatik pasca konflik. Pada saat bersamaan harus diupayakan pula rehabilitasi sarana umum.
Hasil kunjungan ke daerah konflik membenarkan analisa PBNU, bahwa kasus ambon bukan konflik agama. NU memperoleh masukan informasi dan semua komponen yang terlibat dalam pertikaian, dan kalangan Islam, Kristen, jajaran Muspida Maluku dan pihak-pihak yang menolak perjanjian malino II. Mereka menyatakan bahwa konflik ambon adalah gerakan separatis yang memanfaatkan isu agama untuk menghembuskan angin permusuhan. Semua pihak yang terlibat konflik, merasa tidak diuntungkan denga kerusuhan yang merenggut korban ribuan jiwa itu. Mereka mengaku sudah lelah bertikai dan ingin segera berdamai, dengan demikian yang tersisa adalah para provokator yang mengganggu upaya perdamaian. Karena itu, kasus yang terakhir ini adalah bagian pihak keamanan untuk menindak tegas mereka.
Semua ajaran agama mengajarkan perdamaian, kesejahteraan dan toleransi. Jika terdapat kelompok agama yang melakukan gerakan anti damai, dan sebaliknya melakukan tindak kekerasan dan tidak toleran, bias dipastikan saat itu agama sedah dibijak. Karena itu agama harus dilepaskan dari setiap tindakan atau perilaku yang tidak bertujuan untuk agama itu sendiri. Agama tidak dapat dijadikan alat untuk kepentingan politik atau ekonomi. Menciptakan perdamaian dan ruang yang harmonis, menjadi kewajiban semua agama. Menciptakan kehidupan harmonis antarumat beragama tidak boleh mengorbankan perintah agama itu sendiri. Agama harus dilepaskan dari konflik yang terjadi di beberapa wilayah dan bagian di Dunia ini. Islam mengajarkan nilai-nilai universal dan menjunjung tinggi toleransi, pluralislisme, moderat, dan perdamaian. Islam merupakan berkat bagi semua bangsa. Berkembangnya islamo fobia, karena tindakan dan perbuatan sebagian orang yang mengatasnamakan Islam untuk menjustifikasi tindak kekerasan yang dilakukan. Padahal, perbuatan tersebut merupakan bentuk kesalah pahaman tanatang ajran dan nilai Islam yang sebenarnya.
Justru yang melegakan adalah pernyataan PGI dan KWI, bahwa umat Kristen dan Katolik sama sekali tidak identik dengan RMS (Republik Maluku Selatan), kelompok separatis yang belakangan bermetamorfosis menjadi FKM (Front Kedaulatan Maluku). Memang harus diakui, ada pihak-pihak yang tidak setuju dengan perjanjian Malino II baik dan Kristen maupun Islam. Mereka yang dan Islam adalah Komando Laskar Jihad, Front Pembela Islam, Laskar Ahlussunnah Wal Jamaah, Lembaga Bantuan Hukum Muslim, dan kelompok Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Mereka yang mengambil posisi berbeda ini terdapat tiga kelompok: (1) kelompok yang sama sekali tak mau berdamai, jumlahnya sangat kecil. (2) kelompok yang kecewa karena tidak dilibatkan dalam proses perdamaian dan (3) kelompok yang salah paham, yang sebenarnya ingin mempertegas isi perjanjian malino namun kemudian disebut tidak menyetujui Malino.
4. Implikasi Terhadap Hubingan Agama Dan Negara
Membantu Mengatasi Krisis dan Menjaga Keutuhan NKRI
Tanpa menarik din dan garis politik kekuasaan, NU tidak akan memperoleh legitimasi moral untuk memposisikan dan memfungsikan dirinya kembali sebagai esentasi civil socity. Karena itu NU merasa berkepentingan melibatkan diri dalam upaya mencari penyelesaian krisis bangsa yang belum terlihat reda. NU lalu merumuskan setidaknya ada tiga titik krisis utama yang melanda bangsa ini.
Pertama, krisis nilai (moral). Kita sudah kehilangan moralitas, khususnya moralitas sosial. Inilah yang memicu konflik-konflik horisontal, karena semua masalah disubordinasikan di bawah kepentingan, baik masalah hukum, politik, sampai ekonomi. Partai-partai politik pun gagal melahirkan negarawan, mereka hanya mencetak politisi yang melakukan semua hal untuk kepentingan kelompoknya. Para pemimpin dilanda virus pragmatisme. Aturan-aturan dan platform diperdagangkan, rasa malu sudah hilang, sehingga KKN dilakukan terang-terangan di depan publik. Pemberantas KKN juga kehilangan malu dengan membiarkan pelaku KKN bebas melakukan apa yang mereka mau.
Kedua, krisis kelembagaan (sistem). Runtuhnya moralitas publik menyebakan sistem penyangganya ambruk. Sistem runtuh akibat moralitas pelaksananya yang buruk atau sistemnya sendiri memang tidak benar. Di tangan pelaksana yang bermoral korup, sistem hukum akan menjelma menjadi bisnis hukum, bukan tempat untuk mencari keadilan hukum. Lembaga perwakilan atau legislasi yang dikendalikan para politisi busuk yang tidak mempunyai visi kenegarawanan, akan menjadi instrumen legislator untuk meladeni kepentingan pihak-pihak yang sanggup memberi keuntungan pribadi dan kelompoknya. Lembaga perwakilan putus hubungan dengan rakyat yang diwakilinya. Apa yang terjadi di gedung parlemen tidak berhubungan bahkan bertentangan dengan yang terjadi di masyarakat. Demokrasi menjadi ibarat permadani indah di ruang tamu, untuk sekadar menyembunyikan timbunan sampah di bawahnya.
Ketiga, krisis persatuan. Tanpa moralitas publik dan sistem yang baik, persatuan dalam konteks keIndonesiaan menjadi terancam. Sentimen kesukuan dan daerahisme (yang semakin merajalela dengan berselimut otonomi daerah) yang berlebihan, misalnya. tumbuh bak jamur di musim penghujan dan kerap melahirkan konflik terbuka yang diwarnai kekerasan. Kondisi seperti ini menuntut NU untuk memberikan kontribusinya, baik berupa pemikiran maupun aksi yang cenderung memperlihatkan sebuah gerakan moral. Mengapa demikian? Karena problem ini bukan lagi ada di wilayah politik kepartaian, melainkan politik kebangsaan. Inilah sebenarnya politik yang digariskan dalam Muktamar Yogyakarta. Kembali ke Khittah bukan berarti warga NU tidak berpolitik. Berpolitik yang diwajibkan oleh NU adalah politik kebangsaan. politik yang benar-benar diabdikan untuk kepentingan bangsa secara keseluruhan, bukan politik partisan.
Berkait dengan kepentingan untuk menjaga persatuan dan keutuhan NKRI, NU lewat Munas Alim Ulama dan Konbes di Surabaya, membuat pernyatan sikap yang diterbitkan dalam bentuk Maklumat Nahdlatul Ulama, yang isi lengkapnya sebagai berikut:
Bahwa sepanjang sejarah Republik Indonesia, setiap upaya mempersoalkan Pancasila sebagai ideologi negara apalagi upaya untuk menggantinya, terbukti senantiasa menimbulkan perpecahan di kalangan bangsa dan secara realistis tidak menguntungkan umat Islam sebagai mayoritas bangsa.
Hingga kini Pancasila sebagai ideologi negara masih tetap merupakan satu-satunya ideologi yang secara dinamis dan harmonis dapat menampung nilai-nilai keanekaan agama maupun budaya, sehingga Indonesia kokoh dan utuh tidak terjebak menjadi negara agama (teokrasi) maupun menjadi negara sekuler yang mengabaikan nilainilai keagamaan.
Dewasa ini, mulai terasa upaya menarik Pancasila ke kiri dan ke kanan, yang apabila tidak diwaspadai oleh seluruh komponen bangsa akan membahayakan dan menggoyahkan eksistensi dan posisi Pancasila itu sendiri.
UUD 1945 merupakan pengejawantahan yang memuat tata nilai yang ada dalam Pancasila. Sementara, amandemen terhadap UUD 1945 telah menjadi kenyataan sejarah karena perkembangan kebangsaan, namun pemenuhan terhadap kebutuhan tersebut, tidak boleh melampaui tata nilai Pancasila itu sendiri.
Gerakan reformasi yang melahirkan amandemen terhadap UUD 1945, diakui telah banyak menyumbangkan demokrasi dan kebebasan hak asasi, namun dirasakan pula bahwa reformasi juga melahirkan problem-problem tertentu, maka wajar kalau reformasi direnungkan kembali.
Pancasila sebagai landasan yang berkerangka UUD 1945 melahirkan ketatanegaraan yang diwadahi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), oleh karenanya maka sistem otonomi daerah dan otonomi khusus sama sekali tidak boleh menjurus kepada disintegrasi bangsa, apalagi pemisahan kewilayahan.
Perjuangan menegakkan agama dalam negara Pancasila haruslah ditata dengan pririsip kearifan, tidak boleh menghadapkan agama versus negara atau sebaliknya. tetapi dengan meletakkan agama sebagai sumber aspirasi serta menyumbangkan tata nilai agama yang kemudian diproses melalui prinsip demokrasi dan perlindungan terhadap seluruh kepentingan bangsa. Sedangkan masing-masing agama di Indonesia dapat melakukan kegiatannya dengan leluasa dalam dimensi kemasyarakatan (civil society).
Maka dengan ini Nahdlatul Ulama meneguhkan kembali komitmen kebangsaannya untuk mempertahankan dan mengembangkan Pancasila dan UUD 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Peneguhan ini dilakukan karena menurut NU, Pancasila, UUD 45 dan NKRI adalah upaya final umat Islam dan seluruh bangsa.
5. Implikasi Terhadap Dunia Global:
ICIS dan Upaya Globalisasi Islam Rahmtan Lil ‘Alamin
Keterlibatan NU di forum internasional mulai meningkat pasca tragedi 11 September 2001 di AS, yang mendorong meningginya suhu ketegangan Barat vis a vis Islam. Islam moderat dengan visi Islam rahmatan lil’alamin yang dipromosikan NU ke forum global kini mulai menjadi trend setter dalam wacana dunia.
NU termotivasi untuk ikut menyelesaikan problem dunia ini. Karena itu NU melakukan dua “jurus”, yakni: lewat jalur silaturrahmi ke negara daerah konflik dan melakukan upaya advokasi institusional dengan membentuk Wadah internasional yang bernama Internasional Conference of Islamic Scholars (ICIS). Sudah dua kali ICIS mengadakan konferensi internasional di Jakarta, yang pertama 23-25 Februari 2004 dan yang kedua 20-23 Juni 2006.
Filosofi pembentukan ICIS tidak lain terinspirasi oleh para foundirig fathers NU, yaitu pembentukan Komite Hijaz ketika Indonesia masih dalam genggaman penjajah Belanda. Para pendahulu NU saat itu sudah berani melakukan terobosan canggih. Inti filosofinya adalah kepercayaan diri para ulama tempo dulu untuk memperkenalkan Islam ala Indonesia ke Timur Tengah. Dengan kata lain, apa yang dilakukan oleh K HA. Wahab Hasbullah dan kawan-kawan bukan menjadi agen atau “pengimpor” pemikiran ke-Islaman dan luar. tetapi justru mereka sudah bertindak sebagai “pengekspor” pemikiran ke-Islaman. Sama seperti apa yang dilakukan oleh ICIS sebagai instrumen NU untuk mengintrodusir pemikiran keIslaman ke forum internasional. Dengan kata lain, NU bukan bagian dan international movement dan pihak manapun termasuk dan Timur Tengah. tetapi justru akan bertindak sebagai inspirator menegakkan keadilan dan perdamaian lewat Islam moderat yang mempunyai “knedo”: Islam rahmatan lil’alamin. Dengan kata lain lewat ICIS. NU akan melakukan globalisasi nilai-nilai Islam rahmatan lil’alamin.
Kini ICIS sudah menjadi lembaga internasional yang terdaftar di OKI (Organisasi Konferensi Islam, Organization of the Islamic Conference) dan Rabithah Alam Islami (Liga Muslim Dunia) yang berpusat di Makkah dan terdaftar di PBB. Sejauh ini, kami sudah mengadakan beberapa kesepakatan untuk mengatasi problem dunia Islam. Baik dengan OKI, Rabithab, PBB, maupun World Conference of Religions for Peace (WCRP) kami membicarakan tentang bagaimana menangani konflik Timur Tengah; problem Israel-Palestina, Lebanon-Israel, rehabilitasi Irak setelah diagresi oleh AS, hingga soal isu nuklir Iran. Dengan pihak PBB, AS maupun dengan pihak Eropa dan Australia kami membicarakan soal Islamo phobia, penanganan terorisme dan memperkecil kesenjangan antara negara terbelakang dengan negara maju yang kerap mengakibatkan terjadinya ketidakadilan yang bisa memicu konflik.
Untuk menciptakan perdamaian di Timur Tengah, NU bentemu dengan tokoh kunci Timur Tengah: dengan Sekjen Rabithah Alam Islami, DR Abdullah Atturki dan Sekjen OKI, Elimeleddin Ihsanoglu. keduanya di Makkah. Juga bertemu dengan pimpinan Islamic Devel opment Bank (1DB) di Jeddahi.
OKI sebagai organisasi Islam formal terbesar di dunia yang mempunyai posisi strategis, membershipnya adalah negara. Sedangkan ICIS membership-nya adalah kalangan ulama. cendekiawan muslim dan pengamat atau pemerhati Islam. Acapkali kebijakan atau keputusan-keputusan negara Islam tidak selalu sama dengan pendapat ulamanya. Karena sikap-sikap negara Islam itu tidak hanya dipengaruhi oleh agama, tapi juga dipengaruhi oleh kepentingan politik. ekonomi, polanisasi global, serta watak dan pada nezim pemerintahan yang bensangkutan. Oleh karenanya, dalam sidang-sidang OKI tidak selalu mencerminkan pertimbangan agama murni. Ini berbeda dengan ICIS yang tidak ada kaitannya dengan ekonomi, politik, polarisasi dan sebagainya, sehingga gerakannya lebih bensifat murni agama. Kalaupun ada kemasan-kemasan lain di luar agama. hal itu hanya merupakan instrumen untuk mendukung kemurnian agama itu sendini. Dengan demikian, apabila terjadi kerjasama yang baik antana ICIS dengan OKI, maka akan melahirkan sinergi yang memiliki kemampuan dan kekuatan besar.
Kesadaran semacam ini memicu ICIS untuk melakukan pendekatan-pendekatan terhadap OKI. Sebagai Sekjen ICIS, alhamdulillah saya juga anggota dan Eminent Person OKI. Eminent person adalah komisi yang tendiri dan perorangan yang diambilkan dari ulama-ulama atas rekomendasi pemenintah. Dalam komisi eminent person inilah, ICIS bersama Malaysia melakukan kegiatan enlightment moderation (pencenahan penjuangan moderasi). ICIS dengan “slogan” Islam rahmatan lil’alamin, sedang Malaysia menggunakan istilah Islam Hadhari yang sesungguhnya hampir sama. Mengapa ICIS menggunakan “slogan” Islam Rahmatan lil’alamin, karena idiom itu yang secana otentik tertera dalam al-Qun’an. Kerjamasa ini menghasilkan perbaikan dan dokumen OKI yang selama ini masih cenderung pada Pan Arabisme dan Pan Islamisme, yang seakan-akan Islam adalah dunia tensendiri dan dunia global adalah dunia tersendiri pula. ICIS dan Malaysia benusaha agar semangat dikotomi ini bisa dicairkan. Maka dibuatlah tema-tema Islam dan tekonologi yang saling melengkapi. Pergaulan global dewasa ini tidak mungkin lagi dicegah, karena arus teknologi tidak mengenal batas-batas wilayah. Alhamdullilah upaya ICIS dan Malaysia ini benhasil. sehingga dokumen-dokumen yang ada di OKI telah diperbaiki dalam Summit Conference Kepala-kepala Negana OKI di Makkah, Manet 2006.
Langkah selanjutnya. ICIS II berusaha kenas agar presiden OKI bisa hadir dalam pembukaan dan menjadi pembicana di ICIS. Alhamdulilah Presiden OKI yang dijabat Abdullah Ahmad Badhawi benkenan hadir, sehingga penuangan-penuangan itu bisa diterima oleh ICIS. Dan kerjasama ini melahirkan langkah yang lebih kongkrit, seperti dalam bidang pendidikan dengan tukar menukar refenensi pemikiran dan para ulama, usaha untuk melakukan peningkatan di bidang ekonomi. rumusan-rumusan di bidang budaya. Hal inilah yang membuat hubungan antana ICIS dan OKI menjadi lebih kuat. Sebelum ICIS II digelar, terdapat dua kali pertemuan The Inaugural Meeting of the OIC Commision of Eminent Persons (CEP), dalam rangka perbaikan dokumen-dokumen. Pertama di Kuala Lumpur. 27- 28 Januari 2005 dan kedua di Islamabad, 28-29 Mei 2005. Dalam forum itu saya sampaikan aspirasi ICIS.
Kemudian pada tanggal 28 Agustus 2006 saya sebagai Sekjen ICIS mendatangi Sekretaniat Jenderal OKI di Jeddah, kita kemukakan ide-ide itu dan OKI tertarik karena ICIS independen, tidak dipengaruhi oleh berbagai polarisasi politik, sehingga usul-usul ICIS bisa mendukung kemurnian dan kebaikan agama dan tidak lagi terkontaminasi oleh pro-kontra kepentingan sesaat. Hingga kini secara resmi ICIS adalah anggota peninjau OKI.
Sekarang ICIS sedang diproses juga untuk menjadi anggota Rabithah Alam Islami atas permintaan lembaga itu sendiri. Ketika bertemu dengan Presiden Rabithah Alam Islami, Syaikh Abdullah Atturki, sempat saya tanyakan mengapa saya dimasukkan menjadi pengurus Rabithah, jawabannya karena mereka ingin tahu Islam di Indonesia, dan kita diminta berpartisipasi. Saya presentasikan mengenai Islam di Indonesia, yang mungkin beda dengan Islam di Arab Saudi, walau perbedaannya bukan mengenai substansi, melainkan lebih pada aspek kultural. Saya terangkan Islam rahmatan lil’alamin, Islam kualitas, sikap muslimin nasional dan sikap terhadap Barat. Rupayanya mereka tertarik dan meminta tulisan Islam secara luas. Harapan ICIS agar mereka bisa mengerti manhaj, pemikiran maupun tata laksana NU. Hal ini penting, karena selama ini proses akulturasi NU itu sering dipersoalkan oleh tokoh-tokoh Islam yang menganut paham puritan, sehingga perlu tabayun (klarifikasi).
Kemudian pada tanggal 20 Sepetember 2006 saya bersama tim PBNU dan Deplu RI berangkat ke New York untuk menghadiri High Level Interfaith, diskusi tentang lintas agama yang diselenggarakan oleh PBB bersamaan dengan Sidang Umum PBB23. Pada 22 September 2006 dalam forum tersebut saya presentasi prinsip-prinsip Islam rahmatan lil’alamin, dan ternyata dapat sambutan yang cukup positif. Saya berkunjung ke Sekretariat WCRP di lingkungan Markas Besar PBB, karena WCRP adalah bagian dan PBB, sebagaimana lembaga WHO, Unesco dil. Saya bertemu Sekjen WCRP Mr. Findley, saya sampaikan hasil-hasil ICIS I dan II, dan tentu prinsip Islam rahmatan lil’alamin. Saya juga memberikan usulan kongkrit, pertama, WCRP hendaknya melihat gejala kekerasan dalam agama dan lintas agama, serta hubungannya dengan Barat secara obyektif, tidak sepihak. Kedua, WCRP hendaknya menegur kelompok-kelompok agama yang menimbulkan konflik baik Islam, Kristen, Budha, Hindu dll, sehingga fungsinya menjadi kongkrit. Ketiga, meminta WCRP membuat langkah-langkah penyelamatan ajaran agama dan kekerasan non-agama. Karena faktor-faktor kekerasan konflik lintas agama itu hanya 30 persen saja, sedangkan yang 70 persen berasal dan non-agama; politis, ekonomis dli. Kekerasan non-agama itu dibungkus oleh agama, sehingga agama jadi limbah kekerasan non-agama. Kalau bisa agama-agama yang ada dirakit untuk menghadapi kekerasan secara bersama-sama. Saya meminta agar WCRP melihat dan mempelajari Indonesia, barangkali bisa menjadi model dunia untuk penyelesaian konflik keagamaan.
Adapun langkah-langkah kongkrit yang sudah dilakukan ICIS guna mengampanyekan Islam rahmatan lil’alamin adalah sebagai berikut:
a. Thailand Selatan
Kami dua kali berkunjung ke Thailand membantu pemerintah Thailand untuk menciptakan suasana damai dan penyelesaian konflik muslim minoritas Thailand Selatan. Pertama pada Maret-April 2005, yang diterima oleh PM Thailand Thaksin Shinawatra, Raja Thailand Bhumibol Adulyadej dan pejabat tinggi lainnya. Kedua, 11-12 September 2006, sepekan sebelum Thaksin dikudeta oleh militer setempat. Kami dan NU memberikan beberapa masukan dan semacam urun rembug kepada pemerintah Thailand untuk menyelesaikan konflik di tiga provinsi di Thailand Selatan, yaitu Yala, Pattani, dan Narathiwat.yang mayoritas penduduknya Muslim. Pasca penyerangan militer Thailand terhadap Masjid Krue Se di Pattani dan terbunuhnya 84 demonstran Muslim di Tak Bat, Narathiwat (Oktober 2004). Rupanya, dua peristiwa berdarah ini, telah mengundang keprihatinan Raja Thailand Bhumthol Adulyadej dan PM Thaksin Shinawatra. Kami berterimakasih kepada pemerintah Thailand yang telah memberikan resonansi dan penilaian bahwa NU sebagai kelompok Islam yang moderat. Sepanjang sejarah Indonesia merdeka, NU memang belum pernah menempuh jalan kekerasan untuk memperjuangkan aspirasinya. Selain itu, kultur masyarakat NU dinilai sama dengan budaya masyarakat Islam di Thailand Selatan. Karena itu, NU sudah dikenal masyarakat muslim Thailand Selatan.
Harapan kami, agar segera terwujud resolusi konflik di Thailand Selatan, karena itu dalam kunjungan kami yang kedua kalinya, kami memberikan beberapa masukan yang bersifat saran. Pertama, kami berpandangan bahwa konflik di Thailand sepatutnya dianggap sebagai konflik nasional. Untuk itu, saran kami hendaknya Thailand menjauhkan anasir internasionalisasi dalam penyelesaian konflik.
Yang kedua, kami beranggapan bahwa muslim Thailand adalah bagian dari anak kandung asli warga Thailand, sehingga saran kami kepada pemeritahan Thailand agar masyarakat Thailand Selatan ini diciptakan situasi Thai Muslem, bukan diorientasikan muslim luar Thailand. Sehubungan dengan hal tersebut, kami menyarankan pemerintah setempat memberikan perlindungi terhadap semua warga muslim Thailand Selatan, terkecuali bagi mereka yang terlibat tindakan terorisme. Khusus mengenai teroris, pendekatannya bisa melalui pendekatan militer, tetapi penyelesaiannya harus lewat pengadilan. Karena dengan penyelesaian di pengadilan akan segera diketahu anatomi dan teroris ini: apakah dari domestik warga Thailand Selatan atau karena provokasi dan luar negeri. Kalau dan luar negeri dan unsur mana? Dan garis ekstrim kiri atau ekstrim kanan? Kami juga mengusulkan agar pendekatan militer dan scurity hendaknya diseimbangkan dengan pendidikan, kesejahteraan dan keadilan.
Selanjutnya, kami juga memohon kepada pemerintah Thailand agar mempunyai advisor yang mengerti agama Islam, dengan maksud agar terjadi saling mengerti dan tidak terjadi salah paham. Misalnya saja, tentara Thailand agar dapat memahami bahwa kalau masuk masjid tidak boleh pakai sepatu, karena masjid itu tempat yang disakralkan oleh umat Islam. Juga misalnya, tata cara bertamu, kalau mengundang tokoh Islam jangan ditepatkan waktunya ketika saat maghrib, karena saat-saat seperti itu waktu orang Islam mau shalat. Saya karena musafir, saya boleh salat jamak dengan sholat Isya’. Tetapi, ulama atau tokoh Islam yang di situ kan merasa tidak dihargai. keyakinannya.
Kami juga memberikan masukan, agar pemerintaah Thailand mewaspadai terhadap infilterasi, seperti mereka yang biasa melakukan bisnis bencana, orang yang memanfaatkan konflik untuk ajang jual beli senjata. Karena sekarang ini, di kampung-kampung Thailand banyak orang sipil yang dipegangi senjata. sementara pemerintahnya takut pemberontakan. Di sisi lain, invisible hand juga perlu diperhatikan, karena setiap konflik itu mesti ada sesuatu di bawah permukaan.
Para guru agama Islam di sana hendaknya jangan mengajarkan formalisme khilafah Islam di tengah-tengah mayoritas orang-orang Hindu-Budha, sebab yang demikian dapat mengganggu proses-proses demokrasi yang ada di sana. Andaikan Thailand membutuhkan guru-guru lulusan pesantren NU, maka kami akan mengirimkannya. Karena, NU mempunyai pengalaman cara berkomunikasi dengan orang-orang Hindu dan Budha. Kami pun memberi kabar gembira kepada Raja Bhumibol, Thaksin, Menlu Kanthathi maupun pemimpin Budha Thailand Somdej Phra Buddhacharya. bahwa Islam adalah agama rahmatan Iil ‘alamin (pemberi kasih sayang untuk seluruh alam). Islam mengajarkan pemeluknya untuk berbuat baik, membantu orang lain yang kesusahan, dan hidup harmonis dengan lingkungan. Prinsip ini tidak hanya berlaku bagi sesama muslim, terhadap pemeluk agama lain pun berlaku sama.
Meski demikian, setiap agama juga mempunyai kekhususan yang berbeda dan agama lain. Perbedaan ini terutama menyangkut akidah dan ritual. Karena itulah yang sama tidak perlu dijadikan beda dan yang beda tidak perlu disamakan. Dalam kondisi seperti ini, negara wajib melindungi dan memberi kebebasan yang sama kepada semua umat beragama dalam menjalankan ajaran agama mereka.
b. Syiria
Kami datang ke Syiria atas undangan Dubes Syiria yang ada di Jakarta. Kunjungan itu kami manfaatkan untuk silaturrahmi dengan kalangan pejabat pemerintah maupun dengan kalangan ulama dan intelektual di Syiria. Kebetulan ketika kami berkunjung, banyak masalah yang menekan posisi Syiria, karena sesama muslim, kami memberikan dukungan secara moral bagi Syiria agar dapat keluar dan persoalannya. Kami sempat bertemu dengan Menteri Wakaf dalam suatu arena media perlemen rakyat di Damaskus, yaitu sebuah kemah tempat rakyat menanyakan sesuatu terhadap wakil-wakilnya di parlemen. Kami juga menandatangani sebuah statemen bahwa lCIS dan NU mendukung moral terhadap perjuangan rakyat Syiria untuk menghadapi tekanan dan negara luar. Alhamdulillah sampai sekarang tidak ada peristiwa-peristiwa lagi yang agak mengganggu stabilitas negara yang dulu bernama negeri Syam itu.
Di Syiria banyak ulama kaliber dunia, seperti Syaikh Wahbah az-Zuhaili, Said Ramadhan dan Dr Salahuddin Kaftaru yang mempunyai banyak tulisan ilmiah tentang agama, baik di bidang tasawuf, tafsir, tauhid, syariah maupun masalah-masalah muamalah dan politik Islam. Tulisan-tulisan tersebut banyak menjadi referensi kita karena bervisi ahlussunna wal Jama’ah. Di samping itu, karena saya berangkat dengan Kiai Masruri, Kiai Nun Muhammad Iskandar, dan Kiai Idris Marzuki, maka bersama-sama dengan saya diberi ijazah oleh Syaikh Wahbah Zuhaili dan Said Ramadhan untuk mengajarkan kitab-kitab beliau dan mengharapkan kepada PBNU agar meterjemahkan kitab-kitab tersebut, Alhamdulillah sekanang sudah dalam proses penerbitan oleh LTN (Lajnah ta‘lif wa an-nasr) NU.
Dengan demikian maka tawassuth yang dianut oleh NU bukan berarti tidak punya sikap. Tawassuth adalah jalan tengah tetapi berdasarkan kebenaran dan keadilan, bukan jalan tengah yang tidak bersikap, sehingga selalu melakukan pembelaan terhadap prinsip-prinsip keadilan yang tidak terbatas pada negara. Misalnya sewaktu AS diserang pada 11 September 2001, kita ke AS untuk menyampaikan simpati dan bela sungkawa; kita berpihak kepada pemberantasan terorisme. Tatapi saat AS hendak menyerang Irak tentu kita cegah. Sama halnya dengan yang kita lakukan di Syiria. Jadi kita tidak melakukan pembelaan terhadap salah satu pihak, tetapi. kita melakukan pembelaan terhadap prinsip-prinsip keadilan. Siapa pun yang dirusak atau tidak diperlakukan dengan adil maka kita akan melakukan minimal moral support.
c. Iran
Timbul polemik yang memanas di Iran tentang senjata nuklir untuk tujuan damai dan juga diancam oleh AS untuk diberlakukan sanksi lewat Dewan Keamanan PBB. DK PBB akan memberi sanksi kepada Iran karena pihak AS dan Barat tidak percaya kalau nuklir itu untuk tujuan damai atau teknologi damai. Ketidakpercayaan itu tidak juga hilang sekalipun tanpa bukti. Di sinilah kedigdayaan AS. Kita datang ke Iran untuk mempelajari persoalannya. Setelah mendapat jawaban pasti dan Presiden Mahmud Ahmadi Nejad, Ketua Parlemen dan para ulama Syi’ah di sana, bahwa tidak ada nuklir untuk senjata, maka kita melakukan dukungan moral terhadap Iran dalam masalah nuklir untuk tujuan damai. Inilah yang menarik perhatian dan Iran, sehingga ketika Presiden Iran berkunjung ke Indonesia memerlukan mampir di PBNU.
Persoalan ini jangan disalah pahami bahwa kita setuju pada ajaran Syi’ah. Tetapi kita sedang bicara tentang keadilan dan hak-hak setiap negara untuk membela kepentingan dan hak-haknya tanpa harus ketakutan dengan hegemoni AS. Sekarang hubungan NU dengan Iran menjadi meningkat. Kita tidak pernah masuk level pembicaraan tentang ideologi, karena memang syi’ah dan sunni berbeda, tetapi perbedaan itu tidak boleh menghilangkan pembelaan terhadap ketidakadilan.
Mengenai isu nuklir Iran, PBB agar menghormati dan menjamin keinginan tiap negara melaksanakan sesuai Traktat Non-Proliferasi yang membolehkan mengembangkan teknologi nuklir untuk maksud dan tujuan damai, termasuk Iran. Sebaliknya, Iran harus memenuhi komitmennya sebagai Negara Pihak NPT. AS beserta sekutunya, hendaknya menjauhi cara-cara kekerasan dalam penyelesaian kasus Iran, seperti tindakan yang dilakukan terhadap Irak dan Afghanistan.
d. Pakistan
Ketika ICIS menghadiri Konferensi II OIC CEP (Commission of Eminent Persons) di Islamabad, 28- 29 Mei 2005 untuk memperbaiki dokumen-dokumen OKI, saya menyempatkan datang ke para ulama sunni dan syi’ah yang ada di sana. Kemudian saya presentasikan wawasan tentang ukhuwwah Islamiyah dan bahaya pemecahbelahan dan orang luar ke dalam kelompok-kelompok sunni vs syi’ah. Dalam pertemuan itu, saya dipanelkan dengan Menteri Agama Pakistan, dihadiri pula ulama-ulama sunni dan syi’ah.
Satu hari sebelumnya, ada bom meledak melanda kelompok syi’ah. Serta merta yang diduga memprovokasi adalah kelompok sunni. Kemudian memang ada aksi pembalasan dari kelompok syi’ah terhadap kelompok sunni. Akhirnya kita mempelajari kasus Islamabad ini. Setelah kita konfirmasikan, ternyata memang ada konflik, tapi konflik itu belakangan meningkat karena ada tangan-tangan kotor dari luar yang mengipasi.
Kasus ini memberi pengertian kepada kita, bahwa setiap ada celah pertikaian selalu dimasuki oleh orang luar. Pertikaian itu adalah larangan agama, sehingga setiap larangan agama kita langgar, maka akan masuk angin. Di sini tugas ICIS adalah menggerakkan ukhuwwah Islamiyah di Pakistan. Pakistan sarat masalah politik, karena menjadi tempat berpijak AS untuk menyerang Afghanistan dan memberantas ‘terorisme’, sehingga sangat kental nuansa politiknya dalam pertikaian atau konflik agama.
e. Vatikan
Kami dua kali berkunjung ke Tahta Suci Vatikan, di Roma dalam rangka memperkenalkan dan memberi pemahaman Islam moderat yang rahmatan lil’alamin. Yang pertama pada waktu Paus Yohannes Paulus II, ketika AS belum menyerang Irak. Misi kedatangan kami ke sana adalah meminta dukungan Paus supaya memperkuat penolakan kita terhadap rencana serangan AS ke Irak. Semula kita menduga mungkin Paus tidak merespon persoalan serangan Irak ini. Ketika itu rombongan dipimpin oleh Kardinal Darmaatmadja, sejawat dan KWI. Ternyata di luar dugaan, sikap Paus jauh lebih keras dari umat Islam di Indonesia, ia mengatakan serangan terhadap Irak bukan hanya tragedi kemanusiaan tetapi tragedi agama, bahkan tragedi sejarah. Begitu kita sampai di sana, langsung Kardinal yang ada di AS diberi tugas oleh Paus untuk mendukung Deklarasi Anti Perang Lintas Agama yang dimotori oleh Gerakan Moral Nasional (Geralnas) Indonesia, supaya segera menyampaikan ke pemerintah AS. Ketika itu kelihatan bahwa sesungguhnya agresi-agresi AS tidaklah didukung oleh agama, baik agama Islam, Katolik, maupun Protestan. Sehingga dapat dikatakan bahwa agresi-agresi AS itu tidak muncul dari agama.
Kali kedua, saya datang ke Vatikan atas undangan Duta Besar Indonesia di Vatikan untuk mempromosikan Islam moderat. Kami bertemu HE Archbishop Michael Fitzgerald (President of Pontical Council for Interreligious Dialogue) pada 28-30 September 2005 dengan tema Dialog “Islam in Pluralistic Society”. Kita berdiskusi tentang co-eksistensi, pro-eksistensi dan toleransi. Co-eksistensi adalah menghargai eksistensi masing-masing tanpa harus mengintervensi hal-hal dan agama lain yang mernang berbeda dan tidak pula menyerang secara apriori keyakinan agama lain yang memang berbeda. Pro-eksistensi adalah inisiatif dan kreasi dan masing-masing agama untuk menciptakan modus-modus bersama, modus vevendi. Ketika itu kita rumuskan toleransi dan moderasi. Moderasi menurut NU-Vatikan adalah moderasi pemikiran dalam agama, yaitu keseimbangan antara keyakinan dan toleransi. Jadi seorang moderat harus menghargai keyakinan yang lain, tetapi tidak perlu mereduksi agamanya sendiri hanya untuk melakukan toleransi.
Hal-hal seperti itulah yang pada tahun 2006 juga kita bawa ke Porto Alegro dalam Assembly IX di Brasil, WCC (Wolrd Council of Churches) milik Protestan yang berpusat di Genewa. Di Assembly ini saya bawakan tentang garis moderasi NU dan Islam di Indonesia serta kesepakatan-kesepakatan yang pernah kita ambil. Ternyata hal itu juga disetujui oleh kelornpok Krsiten Protestan. Pada saat itulah tanggal 16 Februari 2006 ada statement bahwa gereja-geraja Protestan di AS meminta maaf kepada dunia karena tidak mampu mencegah pemerintah dan presiden AS melakukaan agresi. Ini semua memperlihatkan, bahwa kemelut dunia itu hakikatnya tidak timbul karena semata-mata faktor agama. Faktor agama berabad-abad tenang, sekalipun diakui bahwa masingmasing agama mengidap penyakit ekstrimisme, baik di Islam, Kristen, Hindu, Budha, maupun Katolik.
Konflik yang sekarang terjadi di mana-mana adalah hegemoni politik dan ekonomi yang menggunakan label agama secara timbal-balik dalam hukum sebab-akibat. Karenanya, maka perjuangan kita sekarang ini adalah bagaimana memurnikan agama sebagai agama, kemudian memilah agama dan faktor non-agama yang diagamakan. Di samping itu juga memperdekat jarak antara agama dengan perilaku pemeluk agama, karena pemeluk agama itu tidak selalu berbuat sesuai ajaran agamanya. Ini semua adalah perjuangan besar di dunia yang dipromosikan oleh NU melalui ICIS dan mendapat sambutan positif di mana-mana.
f. Uni Eropa
Pertemuan kami dengan Presiden Uni Eropa, Javier Solana juga dalam misi yang sama dengan ke Vatikan, yaitu mencari dukungan untuk mencegah agresi Bush ke Irak. Tetapi Uni Eropa waktu itu terbelah, sebagian pro serangan ke Irak dan sebagian anti serangan ke Irak. Sesuai penjelasan Solana ketika datang ke PBNU baru-baru ini, diakui di Uni Eropa sendiri sudah melihat ekses-ekses dan serangan AS ini. Karena itu, timbullah demo-demo anti Bush, demo-demo anti serangan AS ke Irak di daratan Eropa sendiri Sekalipun ketika sebelum penyerangan sebagian mereka mendukung. Gelombang ini merembet ke mana-mana, sehingga kehadiran Bush di Indonesia pun disambut dengan bermacam demo dimana-mana. Apalagi Indonesia sebagai negara yang jumlah umat Islamnya tersebar di dunia, tentu mempunyai empati terhadap hancurnya negara-negara yang berpenduduk muslim.
Dalam penanganan Irak pasca agresi AS, semua pihak harus menghormati kedaulatan Irak sebagai negara merdeka. Karena itu, seluruh pasukan asing di Irak harus ditarik dan digantikan pasukan PBB. PBB hendaknya mengkoordinasikan seluruh Negara untuk pembangunan kembali Irak. Kepada para pemimpin dan Seluruh rakyat Irak untuk bersatu dan membangun kembali Irak pasca agresi.
Maqsud al-a’dham (main goal) konteks hubungan dengan Negara-negara Barat agar kita tidak melakukan dikotomi antara Islam dengan Barat. Upaya yang kita lakukan adalah mempromosikan nilai-nilai tawassuth di kalangan ulama muslimin seluruh dunia dan segala madzhab dan aliran pemikiran. Di samping itu kita juga mengundang observer dan Negara-negara Barat yang memiliki studi Islam di negaranya masing-masing. Dengan demikian, maka hubungan internasional NU dengan dunia Barat menjadi baik karena sudah terprogram dalam kerangka rahmatan lii ‘alamin.
Semua ini kita lakukan dalam lima tahun terakhir. Inilah upaya-upaya yang dilakukan NU dalam rangka menyebarkan Islam rahmatan lil’alamin dengan pendekatan tawassuth dan i’tidal-nya dalam konteks internasional dengan suatu muara akhir terciptanya keseimbangan antara Timur Tengah dengan Barat.
g. Australia
Waktu orang Australia menjadi korban bom Bali I, maka kita kesana untuk menyampaikan bela sungkawa dan berziarah ke makam korban. Kita nyatakan; kami adalah Islam moderat yang anti terorisme dan kami bersama Australia juga bertekad memerangi terorisme. Tetapi ketika Australia mendukung serangan AS ke Irak, kebetulan saya ada di Melbourne, banyak sekali masyarakat Melbourne yang demosntrasi menentang perang itu, dan saya selaku delegasi juga ikut terjun menentang dalam demonstrasi tersebut.
Kami juga menjalin hubungan interfaith di Australia bersama para tokoh agama yang lain dan Indonesia, seperti pimpinan Katholik Indonesia Kardinal Nathan Darmaatmadja, pimpin Kristen (PGI) Yewangoe dan lainnya. Kita juga memberikan bantuan dalam usaha memerangi terorisme. Dengan demikian hubungan kita dengan Australia menjadi baik. NU melakukan kerjasama dalam bidang pendidikan sekarang sudah banyak anak-anak NU yang studi di Australia. Program kerjasama yang sekarang sedang berjalan antara PBNU dengan Australia adalah tentang Manajemen Penanganan Kesiapan Penanggulangan Bencana di pesantren-pesantren yang menelan biaya sekitar 700.000 Dolar Australia, atau sekitar Rp 4 miliar.
h. Inggris
Lewat ICIS kita juga melakukan hubungan networking dengan Inggris, yaitu bekerjasama dengan The British Council. Hasilnya yang sudah dan sedang berjalan adalah kita berkali-kali mengirim tenaga-tenaga muda dan pesantren ke Inggris mengikuti Pelatihan Manajemen Pendidikan dalam bentuk kursus singkat (short course). Program pelatihan manajemen pendidikan ini sekarang sudah memasuki angkatan ke empat, masing-masing angkatan memberangkatkan sekitar 20-30 orang. Selain kerjasama dalam bidang kepelatihan. kita juga mengirim beberapa anak NU yang studi lanjut di sana. mereka mendapat beasiswa dari pemerintah Inggris.
i. Jerman
Sementara kerjasama NU dengan negara-negara Eropa, terutama dengan Jerman lewat yayasan Hanns Siedel Stiftung yang merupakan foundation dari Partai Pemenang Pemilu di Jerman yang pada umumnya Katolik. NU juga menjalin hubungan interfaith, persaudaraan roundtable di Brussel. Program kerjasama dengan Jerman dilanjutkan dalam bidang pendidikan yang ditangani Lembaga Ma’arif.
j. Palestina dan Israel
Kami mendukung Pemerintahan Baru Palestina yang melibatkan Partai Fatah. Sebaliknya kita kecam agresi militer Israel di Gaza, Palestina dan penahanan sejumlah anggota Kabinet dan Parlemen Palestina. Penghukuman kolektif dan penghancuran instalasi sipil oleh Israel, jelas bertentangan dengan hukum internasional. Agresi dan tindak kekerasan militer Israel harus dihentikan dari para pemimpin Palestina yang ditahan harus dibebaskan. Baik Palestina maupun Israel hendaknya kembali ke jalur dialog dan negosiasi. Pihak Kuartet perlu menggelar kembali proses damai yang terhenti. Kita dan semua pihak harus mendukung terbentuknya Negara Palestina yang berdaulat.
k. Amerika Serikat
Ketika saya dan tim PBNU menghadiri undangan pemerintah AS, tak berapa lama pasca tragedi 11 September 2001, dan ketika berdialog langsung dengan Presiden AS George W Bush di Bali kami menjelaskan tentang Islam Rahmatan Lil’alamin ini, bahwa wajah Islam yang sebenarnya bukanlah yang dipresentasikan oleh kelompok-kelompok radikal, melainkan wajah yang penuh keramahan dan penghormatan pada sesama dalam realitas keragamannya.
Ironisnya. informasi dan pemahaman terhadap Islam di Barat masih mainstream Islamo phobia, terutama pasca tragedi tumbangnya Twin Tower World Trade Center (WTC) 11 September 2001 di AS. Islam sering disalah mengertikan, sehingga terjadi ‘ketegangan’ antara Islam vis a vis Barat. Barat sendiri sebenarnya sudah mengklarifikasi terhadap opini yang berkembang, bahwa terjadi perbenturan antara Islam dengan Barat. Sebagaimana diakui oleh Samuel P. Huntington bahwa masyarakat Barat, termasuk Presiden AS Bill Clinton waktu itu sepakat, bahwa Barat tidak mempunyai masalah dengan Islam, tetapi memiliki masalah dengan kaum ekstrirnis Islam. konflik abad XX antara demokrasi liberal dengan Marxis-Leninisme hanya bersifat sementara dan superficial dibanding ketegangan antara Islam vis a vis Barat (Kristen).
Maka tatkala terjadi ‘Deklarasi Perang’ terhadap terorisme oleh George W Bush semakin menyuburkan sikap negative thingking terhadap Islam, sehingga Islam diidentikkan dengan segala macam simbol dan fenomena yang cenderung berkonotasi negatif, seperti terorisme, kekerasan, fundamentalis, lusuh, diktator, ortodok, tidak menghargai pluralisme dan sejenisnya. Harus diakui, kesan-kesan negatif terhadap Islam seperti ini adalah akibat dan pemberitaan media massa Barat yang entah sengaja atau tidak, secara sistematis berusaha menyebarluaskan pandangan-pandangan streotipikal dan pejoratif tersebut. Propaganda pembentukan citra negatif terhadap Islam bahkan dilakukan dalam penerbitan buku-buku ilmiah, menurut sebuah survey terdapat sekitar 60 ribu lebih buku yang isinya menentang Islam selama kurun 150 tahun.
l. PBB
Di Markas PBB kami menjelaskan, bahwa NU bisa hidup rukun bersama saudara-saudaranya sesama muslim yang berbeda aliran dan madzhab. NU juga mampu bertoleransi dengan warga non-muslim. Dengan sikap seperti ini. NU bisa meminimalisasi konflik dan ketegangan antar agama. NU menjaga keseimbangan dan keserasian dengan masyarakat lintas budaya dan lintas agama. NU menjadi titik temu dan titik tengah elemen-elemen bangsa, serta perekat hidup rukun dalam berbangsa dan bernegara.
Kita mendesak PBB memfasilitasi dan memediatori dialog antar peradaban agar tercipta kondisi dunia yang aman, tenteram dan damai. Sehingga ketegangan Islam vis a vis Barat, secara bertahap dapat diselesaikan. Dalam penyelesaian konflik Timur-Tengah, misalnya penyelasaian Lebanon pasca agresi militer Israel, PBB harus bertindak tegas terhadap Isra’el yang nyata-nyata melanggar hukum internasional. Beruntung PBB segera mengeluarkan resolusi PBB nomor 1701 yang dapat mengahentikan serangan Israel ke Lebanon. Resolusi tersebut harus ditaati semua pihak, terutama Israel yang beberapa kali melanggar. Negara-negara Islam mesti berpartisipasi dalam Pasukan Perdamaian PBB untuk menjaga perdamaian di Libanon. Israel harus mengganti seluruh kerugian yang diderita Lebanon akibat serangan militer dan membangun kembali fasilitas dan infrastuktur yang rusak. Dalam hal ini, PBB bertindak sebagai koordinatornya.
m. Asia dan Asean
Sedang program rahmatan lil’ alamin NU di negara Asia, terutama di Asean adalah dengan Malaysia. Kerjasama yang sedang dalam proses berjalan sekarang adalah dalam bidang pendidikan, misalnya antara Malaysia dengan Yayasan Pendidikan Khadijah di Surabaya, dalam mengupayakan sistem pendidikan berskala internasional. Yang dalam proses penjajakan adalah sedang diatur hubungan perdagangan di negara Asia lainnya seperti dengan Cina, Yordania dan Syiria. Semua yang disebut belakangan ini masih dalam tingkat penataan, belum membuahkan hasil. Kalau semua sudah berjalan, idealnya nanti perjuangan kita, baik untuk organisasi maupun program sosial pendidikan dan lainnya, tidak lagi dan funding, tetapi dari hasil usaha dan bekerja keras. Bidang kerjasama perdangana yang akan kita garap dengan negara-negara tersebut misalnya, tambang, minyak jarak, sawit, fosfat, dan lain-lain. Namun, semua ini sampai detik ini, baru dalam rancangan, tetapi sudah mulai mau masuk ke taraf kongkrit. Kita juga sedang membuka akses ke jaringan dana moneter internasional dari Negara-negara Islam, yaitu IDB. Kita, nanti akan memediatori negara-negara Islam dalam konteks hubungan perdagangan yang instrumen perbankannya memakai dana dari IDB. Demikian juga, program domestik NU untuk pemberdayaan masyarakat dalam bidang ekonomi lewat pesantren dengan memakai dana dari 1DB. Meski ini masih wacana, satu tahap atau dua tahap lagi akan kita kongkritkan.
n. RAI, OKI dan 1DB
Kami bertolak ke Saudi Arabia pada Selasa 29 Agustus 2006, dengan tujuan bertemu dengan pucuk pimpinan Rabithah Alam Islam (RAI), bertemu dengan Sekjen OKI dan pentolan Islamic Developmen Bank (IDB). Mencari jalan keluar dan konflik Timur Tengah: seperti masalah agresi Israel terhadap negara berdaulat Libanon dan konflik Palestina vs Israel. Kemudian isu nuklir Iran dan penanganan Irak pascara agresi AS. NU sudah lama berfikir untuk mencari jalan keluar dan mencari akar penyebab semua ini. Menurut tatapan kami, negara-negara Islam, terutama Timur Tengah menjadi ajang konflik dan pertikaian oleh karena di antara mereka tidak ada saling pengertian dan saling menolong. Kami juga melihat, justru pada saat negara tetangganya diserang, yang lain malah membantu musuhnya. Contoh, ketika Iran diserang Amerika, Irak memberi fasilitas bagi Amerika. Ketika Irak diserang oleh Amerika, Arab Saudi dan Jordania memberi fasiltas Amerika. Begitu juga, ketika Afghanistan dibombardir AS, Pakistan memberi fasiltas pendaratan pasukan AS. Dalam kasus konflik Israel-Palestina dan konflik Israel-Libanon, di antara mereka juga tidak ada kekompakan. Hemat kami, masalah-masalah seperti ini harus dicarikan pemecahannya, dan itu terutama harus dilakukan oleh negara-negara Timur Tengah sendiri. Jangan terkesan, Negara-negara Timur Tengah rela untuk men jadi sasaran giliran agresi oleh Negara Adi Daya.
Ke depan, kami juga bersepakat melakukan kerjasama antara ICIS dan RAI dalam mengembangkan Islam moderat yang rahmatan lil ’alamin. Indonesia menurut RAl merupakan contoh Negara dengan penduduk mayoritas muslim terbesar di dunia yang demokratis dan dapat menunjukan wajah Islam yang penuh perdamaian dan toleransi. Hasil kongkrit yang menjadi fokus kerjasama antara ICISNU dan RAI, yaitu akan mengembangkan kerjasama di bidang pendidikan, ekonomi dan da’wah yang berorientasi untuk menemukan solusi terhadap masalah umat yang saat ini terjadi. Kesepakatan akan adanya suatu bahasan mendalam mengenai dispute settlement dan conflict resolution merupakan proyek kerjasama awal yang kami gagas akan dilakukan dalam waktu dekat ini, yang semua itu bermuara pada upaya untuk mewujudkan kehidupan global yang lebih damai serta saling menghormati satu sama lain. Keterbatasan informasi, data dan networking serta kemampuan teknologi informasi pada umat Islam menjadi penyebab utama rendahnya mutu dan kualitas umat Islam. Fokus pengembangan ekonomi umat harus tepat sasaran. Pembangunan ekonomi umat di pedesaan dengan memberikan fasilitas modal, training, pembangunan infrastuktur pedesaan, pemberdayaan pesantren adalah bentuk kongkrit yang dapat dimainkan oleh RAI pada saat ini. Pembangunan sarana pendidikan, infrastruktur ekonomi dan kemampuan teknologi informasi umat Islam harus ditingkatkan. Solidaritas umat saat ini kiranya dapat diarahkan pada pengembangan ekonomi dan sumber daya umat kedepan.
1. Perspektif Empiris:
a. Implikasinya terhadap interen NU adalah mempertegas sikap tawassuth dan i’tidal NU, sehingga memperjelas langkah perjuangan NU kembali ke Khittah 1926 dan memberdayakan civil society.
b. Implikasinya terhadap ukhuwah Islamiyah merajut kembali persaudaraan Islam, mengembalikan wajah Islam yang ramah dan membawa rahmat bagi semesta alam, menanggulangi radikalisme dan fondamentalisme di dalam Islam yang mengarahkan Islam sebagai agama kekerasan.
c. Implikasinya terhadap Lintas agama adalah bersama-sama pimpinan lintas agama mencegah terjadinya konflik yang berlatar agama, memerangi provokasi pihak non-agama untuk kepentingaan tertentu yang mengatasnamakan agama, dan menjaga persatuan dan kesatuan dalam wadah NKRI.
d. Implikasinya terhadap hubungan agama dan negara adalah agama-agama bersama negara ikut mengatasi persoalan krisis yang menimpa warga dan negara Indonesia, yang disebabkan oleh krisis moralitas dan krisis kelembagaan. Agama dan negara bersama-sama menjaga semangat persatuan dan kesatuan untuk mempertahankan keutuhan NKRI.
e. Implikasi terhadap globalisasi adalah mengampanyekan Islam rahmatan lil’alamin, mengoreksi kesan Islamo phobia dan kalangan Barat seperti ke AS, Jerman, Inggris, Australia, PBB dan WCRP dll. Dengan sikap tawassuth dan i’tidal mencoba membantu menangani krisis di beberapa negara seperti Thailand Selatan, Palestina’Israel, Lebanon-Israel, isu nuklir Iran, penanganan Irak pasca agresi AS, Syiria, Pakistan dsb.
Perspektif Social Politik, Hukum, dan HAM
Dari perspektif ini, akar permasalahan social, politik, hokum, dan HAM. Terletak pada masalah kebijakan (pilicy). Satu kebijakan sayugyanya berdiri seimbang dit tengah relasi “saling-sadar” antara pemerintah, masyarakat, dan pasar.tidak mungki membanyangkan satu kebijakan hanya menekan aspek kepentingan pemerintah tanpa melibatkan masyarakat. Dalam satu kebijakan harus melihat dinamika yang bergerak di orbit satu pasar. Dalam kasus yang lain tidak akan bias jika pemerintah hanya mepertimbangkan selera pasar tanpa melibatkan masyarakat didalamnya.
Persoalan akan muncul ketika kebijakan dalam tahab perencanaan, penetapan dan pelaksanaannya seringkalai moopoli oleh pemerintah. Selama ini kita melihat sedikit sekali presiden yang menunjukkan keseriusan pemerintah untuk melibatkan masyarakat.kedua, kecenderungan pemerintah untuk selalu tunduk kepada kepentingan pasar, sehingga pada beberapa segi seringkali mengabaikan kepentingan masyarakat. Kondisi tersebut jika dibiarkan akan menggiring masyarakat pada posisi yang selalu dikorbankan atas kepentingan pemerintah dan selera pasar. Dan akan meniptakan kondisi yang memfasilitasi tumbuhnya dominasi bahkan otoritarianisme baru.
Kecenderungan demikian pada beberapa segi mewakili kepentingan untuk melakukan sentralisasi kekuasaan yang akan mengakibatkan munculnya kembali kedzaliman, ketidakadilan, dan ketidak sejahteraan. Dalam realitas demikian harus dilakukan desentralisasi untuk memecah konsentrasi kekuasaan oleh satu pihak secara dominant, sebagai upaya balancing of power, yang diorientasikan untuk mendorong terjadinya perimbangan kekuatan, baik kekuantan masyarakat sipil, kekuatan pasar maupun kekuatan pemerintah.
Bagaimana kemudian PMII merumuskan strategi gerakannya dalam menyikapi kondisi demikian, adalah pekerjaan rumah yang harus segera kita selesaikan. Ini diperlukan terutama untuk memberikan paduan bagi kolektivitas gerakan kader PMII. Selama ini, PMII sebagai organisasi pergerakan masih bergerak ditempat, sehingga kedepan perlu adanya strategi gerakan PMII untuk menyikapi.
Strategi gerakan PMII seharusnya mencakup dua aspek, yaitu internal dan eksternal. Strategi pertama, yaitu melakukan penguatan internal PMII yang meliputi strategi perjuangan, membangun pandangan hidup, dan pegangan hidup. Sehingga, PMII diharapkan memiliki daya dobrak terhadap kekuatan-kekuatan dominant dan otoriter. Yang kedua, aspek eksternal, PMII harus melakukan penyegaran terhadap masyrakat bawah atau sipil atas ketertindasannya dan kekuatan dominant. Dan selanjutnya, adalah PMII harus mengupayakan atau menembus infrastructural terutama dalam persoalan media, karena selama ini masih sangat minim. PMII harus melakukan bargaining power dengan pemerintah melalui jalan structural, termasuk melakukan gerakan empowering civil society.
Kemudian kaitannya dengan ahlus sunnah wal jama’ah yang juga menjadi nilai dasar (NDP) PMII, dimana substansinya adalah jalan tengah, maka sudah sepatutnya bahwa PMII memposisikan diri di tengah untuk mencari titik temu sebagai solusi. Degan sikap seperti itu, PMII mengikuti nilai ahlus sunnah wal jama’ah. Nilai-nilai ahlus sunnah wal jama’ah seperti tawazun, akan dapat melahirkan nilai ahlus sunnah wal jama’ah yang ta’adul. Dalam hal ini,yang menjadi tekan adalah strategi memungkinkan terbentuknya satu tatanan masyarakat yang relasional dan partispatif antara Negara, pasar, PMII dan masyarakat, dimana PMII dengan masyarakat merupakan kesatuan antara system dengan subsistem yang menjembatani masyarakat, Negara dan pasar. PMII dengan demikian berada dalam gerak transformis harapan dan kebutuhan masyrakat di hadapan Negara dan pasar.
Nasionalisme Di Indonesia
A. Epistemologi Nasionalisme
Perspektif etnonasionalisme yang membuka wacana tentang asal-muasal nasionalisme berdasarkan hubungan kekerabatan dan kesamaan budaya bagaimanapun tak mampu memberikan penjelasan yang memuaskan, khususnya jika kita mengamati batas-batas bangsa yang terbentuk dalam masyarakat kontemporer. Yang ditawarkan oleh pendekatan etnonasionalis dapat dipakai untuk mengamati fenomena nasionalisme di negara "monokultur" seperti Jerman, Itali, dan Jepang. Namun, penjelasan yang sama tidak berlaku sepenuhnya ketika dipakai untuk menjelaskan nasionalisme bangsa multikultural seperti Amerika Serikat, Perancis, Singapura, dan Indonesia untuk menyebut beberapa. Tentu saja di bangsa multikultural ini ada dominasi etnik atau ras tertentu yang pada tingkat tertentu menjadi sumber utama inspirasi nasionalisme. Namun, itu tak berarti bangunan nasionalisme menjadi homogen karena fondasi nasionalisme juga ditopang oleh ikatan-ikatan nonetnik.
Lepas dari konundrum tersebut, melacak genealogi nasionalisme melalui jejak-jejak etnik mungkin terlalu jauh mengingat fenomena nasionalisme sebenarnya relatif baru. Ini bisa ditelusuri dari sejarah munculnya konsep bangsa-negara di Eropa sekitar abad ke-18 yang merupakan bagian dari gelombang revolusi kerakyatan dalam meruntuhkan hegemoni kelas aristokrat. Pembacaan sejarah yang demikian memberi indikasi asal-muasal nasionalisme sebagai anak modernitas yang lahir dari rahim Pencerahan, suatu revolusi berpikir yang membawa semangat egaliterianisme. Namun, konsep nasionalisme tidak hanya meliputi aspek-aspek kegemilangan dari gagasan modernitas yang ditawarkan oleh Pencerahan Eropa karena dia merupakan akibat (by-product) dari pengondisian modernitas bersamaan dengan transformasi sosial masyarakat Eropa pada saat itu.
Dari situ dapat dikatakan bahwa nasionalisme adalah penemuan bangsa Eropa yang diciptakan untuk mengantisipasi keterasingan yang merajalela dalam masyarakat modern (Elie Kedourie, 1960). Sebagai sebuah ideologi, nasionalisme memiliki kapasitas memobilisasi massa melalui janji-janji kemajuan yang merupakan teleologi modernitas. Kondisi-kondisi yang terbentuk ini tak lepas dari Revolusi Industri ketika urbanisasi dalam skala besar memaksa masyarakat pada saat itu untuk membentuk sebuah identitas bersama (Ernest Gellner, 1983). Dengan kata lain, nasionalisme dibentuk oleh kematerian industrialisme yang membawa perubahan sosial dan budaya dalam masyarakat. Dari sudut pandang deterministik ini Gellner sampai pada satu argumen bahwa nasionalismelah yang melahirkan bangsa, bukan sebaliknya.
SEBAGAI sebuah produk modernitas, perkembangan nasionalisme berada di titik persinggungan antara politik, teknologi, dan transformasi sosial. Namun, nasionalisme tidak hanya dapat dilihat sebagai sebuah proses dari atas ke bawah di mana kelas dominan memiliki peranan lebih penting dalam pembentukan nasionalisme daripada kelas yang terdominasi. Artinya, pemahaman komprehensif tentang nasionalisme sebagai produk modernitas hanya dapat dilakukan dengan juga melihat apa yang terjadi pada masyarakat di lapisan paling bawah ketika asumsi, harapan, kebutuhan, dan kepentingan masyarakat pada umumnya terhadap ideologi nasionalisme memungkinkan ideologi tersebut meresap dan berakar secara kuat (Eric Hobsbawm, 1990). Pada level inilah elemen-elemen sosial seperti bahasa, kesamaan sejarah, identitas masa lalu, dan solidaritas sosial menjadi pengikat erat kekuatan nasionalisme.
B. Gerakan Nasionalisme Dari Masa Ke Masa
Pada 28 Oktober, 79 tahun silam di Jakarta berkumpul berbagai kelompok anak muda yang datang dari berbagai pelosok Indonesia: Maluku, Sulawesi, Jakarta, Sunda, Sumatra, dan lain-lain. Konsolidasi nasional yang mereka lakukan dalam bentuk Sumpah Pemuda 1928 merupakan cita-cita bersama para pemuda Indonesia untuk mengokohkan nasionalisme dan membebaskan bangsanya dari penjajahan. Harmonisasi antara militansi, kemampuan berorganisasi, sensitivitas global telah mendorong mereka untuk selanjutnya meletakkan pijakan dalam pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dalam perjalanan sejarah Indonesia, periodesiasi gerakan kaum muda dapat dibagi dalam beberapa angkatan yaitu; angkatan 1908, 1928, 1945, 1966, 1974, 1980-an, hingga 1990-an. Angkatan 1908 dan 1928 adalah wujud gerakan intelektual muda yang mampu menghidupkan iklim politik waktu itu dengan membangun nasionalisme melalui pikiran dan cita-cita yang digerakkan dalam organisasi pemuda. Secara ideologis, mereka adalah golongan yang kritis adaptif serta sanggup melahirkan ide-ide baru yang dibutuhkan masyarakatnya. Sementara secara kultural, mereka adalah produk sistem nilai yang mengalami proses pembentukan kesadaran dan pematangan identitas dirinya sebagai aktor penting perubahan. Sehingga para kaum tua pun merespon gerakan mereka dengan baik. Sebagai kaum intelektual muda yang berada di tengah masyarakat, dalam banyak kasus, peran kaum muda amat menentukan arah kehidupan bangsanya. Seperti diulas Pareto, Mosca, atau Michel (1982), mereka (kaum muda) adalah kaum elite yang memiliki mobilitas tinggi dan peran sentral dalam menentukan opini dan keputusan mayoritas. Pada gilirannya, kaum elite itulah yang mengontrol berbagai akses atas sumber daya ekonomi dan politik negara.
Jika pemuda angkatan 1908 dan 1928 berhasil memupuk bibit nasionalisme dan menggalang ideologi persatuan nasional. Lantas pemuda angkatan 45 dapat merealisasikan cita-cita besar, yaitu kemerdekaan. Angkatan 66, 74, 80, hingga 98-an hampir bisa dikatakan hanya sebatas kekuatan korektif.
Pascatumbangnya Orde Baru dengan lengsernya Soeharto sekaligus membuka kran demokrasi, nyaris tak ada pembaruan mendasar yang bisa dilakukan pemuda dan gerakan mahasiswa. Mengutip hasil penelitian Lembaga Survei Indonesia (2007), salah satu kendala utama dalam menuntaskan agenda reformasi adalah sulitnya mencari sosok muda tampil mengimbangi peran elite mapan produk kepemimpinan politik Orde Baru. Walaupun kejatuhan rezim Soeharto menjadi momentum bagi para mantan aktivis mahasiswa untuk memasuki dunia politik praktis. Banyak di antara mereka, terutama mantan aktivis duduk di lembaga legislatif maupun eksekutif, di level nasional maupun daerah. Namun di lembaga legislatif, tercatat bahwa pada pemilu 2004 dari 550 kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), hanya 33 orang (6%) saja dari anggota DPR yang berasal dari kaum muda. Tentunya jumlah ini tidak sebanding dengan jumlah pemuda Indonesia yang mencapai sekitar 80,7 juta orang dari total 220 juta rakyat Indonesia. Bahkan tak sedikit dari mereka yang memasuki arena kekuasaan harus mengalami disorientasi visi dan terjebak dalam arus pragmatisme politik.
Salah satu penyebabnya adalah iklim politik yang masih kental akan warna kegiatan ekonomi ’pasar’. Dalam sebuah disertasinya, Akbar tanjung menyentil para politisi dengan mengatakan para elit politik terlalu berorientasi pada kekuasaan. Maka berkembanglah kemudian wacana tentang politik saudagar (pengusaha) atau saudagar yang berpolitik demi ambisi kekuasaan. Bukan rahasia umum bahwasannya uang (kekuatan modal) masih menjadi kebutuhan dan simbol kekuasaan. Tidak mungkin partai politik berjalan tanpa dukungan keuangan yang kuat. Arena politk baru yang dalam wujud ’pasar’ telah terbentuk yang daya penetrasinya telah memasuki wilayah politik dan para elit. Dalam buku The Rise of Capital (1986), Richard Robinson menjelaskan bagaimana pengusaha mengendalikan negara melalui arena politik. Realitas politik itu sesungguhnya adalah wajah lain dari watak kekuasaan Orde Baru yang nepotik, kolutif, dan koruptif. Ketika sikap pragmatisme para politico-business itu bersinerji dengan iklim politik pasar, maka bisa dipastikan dunia politik akan menjadi lawan dari demokrasi.
3 komentar:
Sepakat, bro...
Oke juga...
Sangat berguna~ terimakasih
Posting Komentar