Selamat Datang di http://ghanie-np.blogspot.com Dan Selamat Menikmati Sepenggal Taqdir Dari Anak Kepulauan Ini
Mohon ma'af sebelumnya, sudah lama tidak saya Update, karena masih banyak kesibukan yang harus saya selesaikan.
Sekedar Kata Pengantar :
Kureguk kopi sambil menyelesaikan satu puisi. Kamu di sisiku, menjadi kitab refrensiku. Kubuka halaman hatimu, tak kutemukan kata pengganti yang lebih indah untuk kutulis. Selamat Menikmati...

Bias Gender Dalam Perspektif Pendidikan Agama Islam

(Oleh : Abd Ghani)  
Gender dalam Diskursus Sosial
Istilah gender masih relatif baru dalam tradisi kamus sosial, politik, hukum dan terutama agama di Indonesia. Di sisi lain, terma gender masih cenderung dipahami secara pejoratif. Banyak orang masih sangat antipati dan apriori terhadap istilah gender. Bagi banyak orang, kata gender bernuansakan semangat pemberontakan kaum perempuan yang diadopsi dari nilai-nilai Barat yang tidak bermoral dan tidak religius. Jauh dari apa yang sudah terlanjur dituduhkan banyak orang mengenai isu gender selama ini, sesungguhnya diskursus gender mempersoalkan terutama, hubungan sosial, kultural,hukum dan politik antara laki-laki dan perempuan. Karena itu, satu hal yang harus ditegaskan bahwa pemikiran tentang gender, pada intinya hanya ingin memahami, mendudukkan dan menyikapi relasi laki-laki dan perempuan secara lebih proporsional dan lebih berkeadilan dalam relasi antara keduanya sebagai hamba tuhan. 
Konsep gender sendiri sebetulnya sangat sederhana walau ia sering dikaburkan dengan pengertian jenis kelamin.Masyarakat umumnya mengidentifikasikan gender dengan jenis kelamin (sex). Sebagai langkah awal perlu ditegaskan bahwa isu gender tidak dapat dipisahkan dari variabel jenis kelamin; bahkan gender secara sosiologis berawal dari perbedaan jenis kelamin. Jenis kelamin adalah konsep biologis sebagai identitas kategorial yang membedakan laki-laki (jantan) dan perempuan (betina). 
Identitas jenis kelamin dikonstruksikan secara alamiah, kodrati, yang merupakan pemberian distingtif yang kita bawa sejak lahir. Akibatnya, jenis kelamin bersifat tetap, permanen, dan universal. Sedangkan gender adalah seperangkat atribut dan peran sosial-kultural yang menunjukkan kepada orang lain bahwa kita adalah feminin atau maskulin.Tidak seperti jenis kelamin yang bersifat kodrati, gender dikonstruksikan secara sosial maupun kultural melalui proses sosial yang sangat dinamis. Sesuai dengan asal usulnya, pembentukan gender didasarkan pada espektasi nilai-nilai sosial dan kultural. Oleh sebab itu, gender dapat berubah (changeable) sewaktu-waktu seiring dengan perubahan dimensi ruang dan waktu. 
Menurut Faqih, gender dipengaruhi dan dibingkai oleh banyak hal, dan komponen determinatifnya sangat variatif, seperti nilai-nilai budaya, tradisi agama, sosial dan sistem politik. Gender dikonstruksi baik sengaja maupun tidak, dan disosialisasikan pertama kali melalui institusi keluarga, lingkungan sosial dan sekolah, dan kemudian dicarikan dasar penopang ideologisnya untuk menguatkan jenis perbedaan tersebut. Dalam kaitan di atas, teks dan doktrin keagamaan sering dijadikan sebagai tempat berlindung dan acuan utama untuk merumuskan pemikiran diskursif tentang gender 
Meski demikian perlu dicatat bahwa gender tidak semata –mata mempersoalkan perbedaan dan pembedaan un sich antara laki-laki dan perempuan; terlebih penting lagi ia menyangkut dominasi baik dari konteks relasi maupun distribusi kekuasaan. Kondisi inilah –disadari atau tidak-yang seringkali melahirkan dan melembagakan berbagai ketidakadilan gender. 

Secara konseptual ketidakadilan yang berbasis gender sebagai sebuah bentuk refleksif pendefinisian dan pembakuan atas peran-peran yang berbeda (yang seringkali diskriminatif) pada laki-laki dan perempuan terhadap sesuatu yang didasarkan atas pembagian kerja menurut kategori jenis kelamin dan asumsi ideologi patriarki. Akibat kuatnya ideologi gender yang patriarkis yang berkembang di masyarakat ini, maka laki-laki dan perempuan tidak mempunyai kebebasan untuk menentukan pilihan peran-peran sosial dan kultural karena secara faktual ketidakadikan gender telah termanifestasikan dalam pelbagai bentuk keyataan sosial, budaya, ekonomi, politik dan agama. 
Bias Gender dalam Budaya Masyarakat
Jika ditelusuri keberlangsungan keterpurukkan perempuan salah satunya dilatarbelakangi oleh “kekurangarifan” dalam menafsirkan dalil-dalil agama Islam yang kemudian seringkali dijadikan dasar utuk menolak kesetaraan jender. Kitab-kitab tafsir dijadikan referensi untuk melegitimasi paradigma patriarki, yang memberikan hak-hak istimewa kepada laki-laki dan cenderung memojokkan perempuan dengan pendefinisian yang negatif. Pendefinisian sosok perempuan yang negatif ini kemudian diwariskan secara turun temurun yang pada akhirnya mengendap dalam alam bawah sadar perempuan yang menimbulkan ketimpangan relasi antara laki-laki dan perempuan dalam hubungannya sebagai hamba tuhan. Dengan kata lain pemahaman akan posisi perempuan yang bias gender sudah dengan sendirinya tertradisikan di masyarakat yang dibakukan oleh konstruksi budaya dan doktrin keagamaan serta ditopang oleh nilai-nilai kultural dan ideologis. 
Menurut Mohammad Yasir Alimi, ketidakadilan dan diskriminasi perempuan disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor budaya dan hukum. Dalam masyarakat terdapat budaya yang cenderung male chauvinistic, dimana kaum laki-laki menganggap diri dan dianggap sebagai makhluk yang kuat dan superior.Budaya male chauvinistic itu diperkokoh dengan ideologi misoginis (sikap benci kepada perempuan) dan ideologi patriarki. Dalam isi hukum, budaya hukum, serta proses dan pembuatan dan penegakkan hukum yang dibuat negara, seringkali diskriminatif terhadap perempuan, karena pembuat hukum tidak respon terhadap kebutuhan masing-masing jenis kelamin (gender blind) dan tidak memahami kebutuhan spesifik perempuan. 
Sementara itu menurut Masdar. F. Mas’udi ketidakadilan dan diskriminasi terhadap perempuan dalam masyarakat disebabkan oleh banyak faktor. Pada awalnya adalah disebabkan adanya stereotype yang cenderung merendahkan posisi kaum perempuan, seperti bahwa perempuan itu lemah, lebih emosional daripada nalar, cengeng tidak tahan banting, tidak patut hidup selain di dalam rumah, dan sebagainya. 
Mmenurutnya ada empat persoalan yang menimbulkan stereotype terhadap perempuan. Pertama, melalui subordinasi, kaum perempuan harus tunduk kepada kaum laki-laki. Pemimpin (imam) hanya pantas dipegang oleh laki-laki, sedangkan perempuan hanya boleh menjadi yang dipimpin (ma’mum). Perempuan boleh menjadi pemimpin hanya terbatas pada kaumnya saja, yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan utama kaum laki-laki, misalnya di Dharma Wanita, Muslimat, Aisyiah, Fatayat dan sebagainya. Kedua, Perempuan cenderung dimarginalkan, yaitu diposisikan dipinggir. Dalam kegiatan masyarakat, perempuan paling tinggi hanya menjadi seksi konsumsi atau penerima tamu saja. Dalam rumah tangga, perempuan adalah konco wingking di dapur. Ketig,, kaum perempuan berada dalam posisi yang lemah, karenanya kaum perempuan sering menjadi sasaran tindak kekerasan (violence) oleh kaum laki-laki. Dalam masyarakat, bentuk kekerasan itu mulai dari digoda, dilecehkan, dipukul, dicerai sampai diperkosa. Keempat, akibat ketidak adilan gender itu, kaum perempuan harus menerima beban pekerjaan yang lebih berat dan lebih lama daripada yang dipikul kaum laki-laki. Dalam bekerja, laki-laki paling aktif maksimal bekerja rata-rata 10 jam/hari, sedangkan perempuan bekerja 18 jam/hari. Pada umumnya beban ini dianggap remeh oleh kaum laki-laki, karena secara ekonomi dinilai kurang berarti. Kelima, perempuan sangat rawan perkosaan atau pelecehan seksual dan bila ini terjadi akan merusak citra dan norma baik di keluarga dan masyarakat, sehingga perempuan harus di kekang oleh aturan-aturan khusus yang memenjarakan perempuan dalam tugas domestik saja. 
Dengan demikian bisa dipahami bahwa terbentuknya perbedaan gender yang berakibat pada munculnya ketidakdilan gender tersebut dikarenakan oleh banyak hal, diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat bahkan dikostruksi secara sosial, budaya, melalui ajaran agama bahkan juga oleh negara. Melalui proses yang panjang tersebut akhirnya dianggap menjadi ketentuan Tuhan yang seolah-olah bersifat biologis dan tak bisa diubah lagi. 
Bias Gender dalam Pendidikan
Garis – Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999 – 2004 mengakui secara gamblang bahwa status dan peranan perempuan dalam masyarakat Indonesia dewasa ini masih bersifat subordinatif dan belum sampai pada posisi sebagai mitra sejajar dengan laki-laki. Dengan demikian negara mengakui akan adanya ketimpangan gender tersebut. Indikator dari ketimpangan gender ini tercermin pada tingkat kualitas hidup perempuan Indonesia yang menduduki peringkat paling rendah di ASEAN. 
Rendahnya kualitas hidup perempuan Indonesia terlihat pada beberapa aspek diantaranya adalah pada aspek pendidikan.Fakta menunjukkan rendahnya angka partisipasi perempuan di jenjang pendidikan tinggi, yakni kurang dari 5%. Semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin tinggi tingkat disparitas (ketidakseimbangan) gendernya. Data lainnya adalah angka buta huruf dikalangan perempuan masih sangat tinggi: kurikulum serta materi bahan ajar masih sangat bias gender; dan hampir seluruh proses pengelolaan pendidikan masih dirumuskan berdasarkan pandangan yang male bias sebagai akibat dari masih dipegangnya sebagian besar penentu kebijakan pendidikan oleh laki-laki.
Sebagai bukti bahwa pemegang kebijakan dalam bidang pendidikan lebih di dominasi laki-laki dibandingkan perempuan dapat dilihat pada perbandingan dari setiap 100 guru SD, 54 orang adalah perempuan dan dari 100 guru sekolah menengah, 38 orang diantaranya adalah perempuan. Sementara itu tenaga dosen lebih dominan laki-laki, dari 100 dosen hanya 29 orang adalah perempuan. 
Kepemimpinan dalam pendidikan juga lebih didominasi laki-laki dibandingkan perempuan. Sementara itu komposisi kepala madrasah negeri berdasarkan gender pada tahun yang sama juga lebih di dominasi laki-laki; 80,7 (laki-laki) sementara 19,3 (perempuan).Tabel di atas jelas menunjukkan meski acuan ideologi gender juga melekat dalam dunia madrasah tetapi jumlah keterwakilan perempuan sebagai tenaga kependidikan tidak terpresentasikan dalam kepemimpinan kependidikan, meski kenyataannya rasio perempuan sebagai tenaga kependidikan lebih banyak daripada laki-laki 
Paparan diatas jelas menggambarkan kecenderungan siswa perempuan lebih banyak daripada laki-laki untuk masuk ke madrasah. Kenyataan di atas sesungguhnya banyak mengandung muatan yang berkaitan dengan ideologi gender yang berkembang di masyarakat bahwa perempuan „sebagai penjaga moral“ maka dengan sendirinya banyak anak perempuan yang dimasukkan ke madrasah yang selama ini dikenal sebagai salah satu jenjang pendidikan yang bernuasa agama atau memberikan pendidikan keagaman lebih besar dibandingkan sekolah umum.
Sementara untuk anak laki-lakinya dipilihkan sekolah umum dengan harapan setelah menyelesaikan sekolahnya dapat dengan mudah memperoleh pekerjaan hal ini sesuai dengan konstruksi masyarakat yang menempatkan laki-laki sebagai kepala keluarga yang berkewajiban mencari nafkah. 
Jika dianalisa lebih mendalam sesungguhnya ketika orang tua lebih banyak yang memasukkan anak perempuannya ke Madrasah Aliyah dibandingkan anak yang laki-laki hal ini juga dikarenakan berkembangnya ideologi gender di masyarakat yang menganggap peran perempuan lebih banyak dalam ranah domestik ( rumah tangga), dengan sendirinya perempuan dituntut untuk menjadi ibu dan isteri yang baik dengan kriteria antara lain; patuh dan taat kepada suami dan menjadi pelayan yang baik bagi anak dan suaminya. Dengan kata lain tugas mulia perempuan adalah –menjaga tatanan moral-Keluarga. 
Bias Gender dalam Pendidikan Agama Islam
Terdapat beberapa bagian bias gender dalam kurikulum agama Islam diantaranya pada materi aqidah-akhlaq dan fiqh-ibadah. Sebagai contoh dalam buku ajar agama Islam untuk kelas 4 SD,bab XIV tentang “Iman kepada Rasul-rasul Allah, “ dijelaskan bahwa ‘pengertian Nabi ialah seorang manusia biasa (laki-laki) yang menerima wahyu dari Allah Swt. Untuk dirinya sendiri. Rasul ialah seorang manusia biasa (laki-laki) yang diutus oleh Allah dan menerima wahyu untuk dirinya sendiri dan untuk umatnya”.
Selain itu, dalam buku-buku ajar agama Islam untuk SD mulai kelas 1-3, Kisah-kisah Nabi dan Rasul diceritakan hanya kisah Nabi dan Rasul dari kaum laki-laki saja. Hal senada juga dapat dilihat pada tema Profil tokoh di dalam buku ajar SMP kelas 3 terbitan Ganeca juga pada tema Sepenggal Kisah atau Kisah Islami dalam buku ajar SD Kelas 1-6 terbitan Erlangga. Di dalam dua buku terakhir yang penulis sebutkan profil tokoh yang dikisahkan lebih banyak pada gambaran ketokohan dan ketauladanan seorang laki-laki dibandingkan perempuan. Dari teks di atas dapat dipahami bahwa yang dapat menjadi nabi dan rasul hanyalah seorang yang berjenis kelamin laki-laki, sedangkan perempuan tidak dapat menjadi seorang nabi dan rasul. 
Bias Gender yang lain dalam Pendidikan Agama Islam juga terdapat dalam bentuk gambar dimana dalam topik Takabur(sombong) digambarkan sekelompok perempuan yang sedang membicarakan seorang perempuan yang sombong. 
Secara implisit ilustrasi gambar yang diberikan juga telah menumbuhkan dan membangun bias gender bagi yang membaca ataupun melihatnya dimana perempuan akan diidentikan dengan sosok yang suka mengunjing, menggosip dan sebagainya. Hal senada juga dapat dilihat pada bahasan rukun iman dimana terdapat satu keluarga yang sedang beraktifitas; sosok anak laki-lakinya digambarkan sedang belajar, Ayahnya sedang melihat pemandangan, sementara si Ibu memasak di dapur. 
Selain melalui gambar, bias gender juga dapat terlihat pada ungkapan ataupun narasi kalimat dalam uraian materi.Dalam uraian pokok bahasan adab makan dan minum, terdapat kalimat,” kemudian bantulah ibumu membereskan meja makan’ dengan ilustrasi gambar adegan keluarga yang selesai makan,si Ibu dan anak perempuan membereskan peralatan makan, sementara ayah dan anak laki-lakinya sedang berbincang-bincang.Hal ini jelas sekali menunjukkan domestifikasi pekerjaan perempuan. 
Persoalan bias gender kedua dalam masalah fiqih, yang lain adalah tentang salat jama’ah, munakahat, udhiyah dan mawarits. Dalam buku pendidikan Agama Islam untuk SD KELAS 3 Bab VI tentang Shalat jama’ah dijelaskan bahwa ketentuan menjadi imam, yaitu : (a) laki-laki mengimami laki-laki-laki, (b) laki-laki mengimami perempuan, (c) perempuan mengimami pertempuan, (d) laki-laki mengimami banci, (e) banci mengimami perempuan. 
Dalam buku Integrasi Budi Pekerti dalam Pendidikan Agama Islam untuk kelas 1 SLTP, Bab VII juga terdapat tentang salat berjama’ah, dijelaskan bahwa syarat-syarat menjadi imam, yaitu; (a) sehat akalnya, (b) harus baik dan benar bacaannya, (c) harus laki-laki (tidak boleh perempuan menjadi imam laki-laki, (d) lebih tua umurnya, (f) hendaknya memiliki pengetahuaan yang memadai, khususnya tentang salat berjama’ah .
Dari teks di atas, dapat dipahami bahwa perempuan tidak dapat menjadi imam bagi laki-laki dengan dipertegas salah satu syarat untuk menjadi imam adalah harus laki- laki (tidak boleh perempuan menjadi imam). 
Berdasarkan Asbab an-Nuzul diketahui jelas permasalahan ayat tersebut bukan dalam konteks perkawinan melainkan dalam konteks pemeliharaan anak yatim. Dalam masalah ini penyusun buku tampaknya memandang alasan dibolehkannya praktik berpoligami hanya dilihat dari perspektif kepentingan laki-laki, tidak mempertimbangkan kepentingan perempuan. Dalam buku Pedoman Belajar Agama Islam untuk SLTP kelas 2, bab 13 tentang udhiyah, dijelaskan bahwa,” aqiqah untuk anak laki-laki adalah dua ekor kambing dan anak perempuan sebanyak satu ekor kambing .Dari teks ini dipahami bahwa adanya diskriminasi terhadap anak, yaitu harga anak laki-laki dua kali lipat harga anak perempuan . dan dalam hal mawarits, dijelaskan bahwa bagian satu anak laki-laki dua kali lipat bagian satu anak perempuan ketentuan mawarits ini didasarkan pada surah an-Nisa ayat 11 bahwa “Allah mensyariatkan bagimu tentang pembagian pusaka untuk anak-anakmu, bagian anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan”.

Rekonstruksi Teks Kesetaraan Gender
Dalam upaya mewujudkan pemahaman keagamaan yang bersifat gender, maka sudah selayaknya diperlukan revisi terhadap hal-hal yang bias gender dalam buku ajar Agama Islam tersebut. Revisi ini menjadi penting dikarenakan pemahaman keagamaan yang bias ini jusru menjadi pemahaman mayoritas di masyarakat. Kenyataan ini dilatar belakangi karena umat Islam memahami ajaran agamanya secara dogmatis dan bukan berdasarkan penalaran yang kritis kususnya pengetahuan agama yang menjelaskan peran dan kedudukan perempuan. Perlu ditekankan pula penyadaran tentang nilai-nilai pendidikan yang berperspektif gender kepada semua pihak khususnya para pengarang dan editor buku tentang kenyataan bahwa kurikulum yang ada tidak netral gender artinya disusun dan dirumuskan dengan sudut pandang laki-laki sehingga mereka tidak lagi membuat gambar ataupun narasi bahan ajar agama yang bias gender. Sementara itu, bagi para guru agama dituntut untuk lebih kritis dan sensitif dalam menelaah dan mencermati segala hal yang terkait dengan ketimpangan gender dalam proses pembelajaran yang berlangsung dalam kerja kesehariannya. 
Penutup
Kita tidak dapat mengingkari bahwa banyak ketentuan hukum Islam yang membedakan norma hukum untuk laki-laki dan perempuan.Namun perbedaan tersebut tidak bersifat kodrati dengan mengacu pada faktor biologis manusia (jenis kelamin).Karenanya, seharusnya perbedaan yang kemudian dibakukan dalam beragam norma hukum dan sosial yang ada selama ini lebih dipandang sebagai akibat dari upaya masing-masing individu manusia berdialektis dalam ‘proses menjadi” atau bereksistensi, mewujudkan kehidupan relasi gender yang berkeadilan di hadapan Tuhan dalam kedudukannya sebagi khalifah Tuhan di bumi. 
Wallahu Al Muafiq Ila Aqwatthariq Wassalam…..

comment 0 komentar:

Posting Komentar

 
© Sepenggal Taqdir | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger