Menjenuhkan memang hari ini, tulang rusuk sudah terasa keras layaknya batu, perlahan dagu juga terebahkan ke tangan. Mata sudah tak sunggup lagi untuk di angkat, semua terjerumus dalam sebuah lamunan masa lampau. Indah nian lingkaran kehidupan, tak terasa sudah tua renta, retakan tulang pada sum-sum sudah memecahkan buih ini. Alam raya bersinar, namun buram terlihat.
Siapa tau kilauan matahari membuat terbelenggu, selalu takut menunggu datangnya pagi. Misterius layaknya mistikus kehidupan. Rangkaian bunga kematian tersugukan dalam dunia maya. Malam adalah beban menghempaskan kerisauan, karena adanya adalah kesendirian. Tidak ada benda mati yang menemaninya. Borok nabi Luth masih ada yang mau menemuinya memberikan makanan. Namun, jelek keriput wajahnya banyak orang enggan melihatnya apalagi menyapanya.
Wajahnya bak desiran pasir berceceran, hilang ketika angin berhembus. Lucut satu persatu kulit hitamnya, warna putih timbul. Bintik-bintik tul-tul tak terhindarkan. Wajahnya berbedak kegalauan, tinta hitam tak menyeluruh. Tulisan saja menjadi yang terdholimi. Bukan di kulit yang tercabik-cabik melainkan dipikirannya yang tak terterka.
Malam menyapanya, senyum giginya adalah gergaji besi pencabik kerasnya besi. Cukup kegelapan yang sanggup menghadapi dan mengajak bicara, pada saat itu wujudnya adalah sebuah halimun, manusia yang tak terlihat. Hitam pekat pikirannya kalahkan keluhan batu Nisan. Putihnya matanya juga berhaluan pada kain kafan. Hah itukan sebuah ilusi ketuaan, bukannya keringnya dedauanan pernah hijau, dan menjadi pilihan orang untuk dimakan, meski tuanya akan dibakar bahkan dibuang menjadi sampah. Kehijauan itu tak sendiri, batang-batang pepohonannya selalu mampu menundukkan kepalanya untuk menahan reruntuhan. Akar-akar serabutnya mencari mangsa bawah tanah untuk bisa mengembalikan kehidupannya. Kerentaannya tak akan sanggup untuk selalu hidup terdiam. Disela kesibukan sang pohon manusia, bersama-sama menanamkan hunusan pedangnya. Pohon adalah benda mati yang selalu dimanfaatkan.
***
“Pak boleh tanya dimana sudut desa ini” tegas seorang anak Muda. “Ada apa nak?” Jawab bapak itu tidak mendengar ucapan sang Anak. “Ujung desa pak ?” tegasnya. “Oo..!, desa ini tak berujung, namun bersambung terus karena ini adalah awal perkampungan nak,.” Jawabnya. Orang tua yang lagi memikul tumpukan kayu-kayu hutan yang baru ditebang. Bapak itu memang asli warga sekitar Desa Rempulawang. Desa yang dekat hutan lindung. Desa yang mayoritas orangnya, masih tradisionalis. Kompor tidak ada apa lagi tabung gas.
Anak kembali bertanya “Pak, kalau kantor desanya mana?”. Berusaha mengalihkan pembicaraan. “Di ujung sana, nak!”, ucapnya sambil menunjukkan tangan kanannya kearah utara. “Ya sudahlah pak, makasih ya”. Lirih suaranya menandakan kebingungan. Bapak itu meninggalkannya sendirian. Sambil melewati jalan yang juga belum teraspal. Kakinya terpincang-pincang karena kesakitan. Sepertinya tidak satupun masyarakat desa itu terlihat menggunakan sandal. Lembaran kakinya terpahat goresan berwarna kelabu. Anak yang sudah linglung akan arah hidupnya ini menghaluskan nafasnya, berseru seakan-akan menyesakkan.
Anak yang biasa akrab dipanggil Moyo ini mengangakan pikirannya. Tolonglah aku Tuhan tuk bebas dari kehidupan yang fana ini. Moyo kebingungan berada di tempat yang sebenarnya baru dia datangi. Tangan kanannya tertanda tangan jam. Pilihan wajahnya adalah melihat tangannya. Jam saat itu menunjukkan jam 17.00. “Sebentar lagi, aku akan lihat manusia tanpa perbedaan” Malam sudah mulai menyapa tenggelamnya sang matahari. Suasana desa sudah senyap, lampu teplok menghiasi dinding-dinding rumah. Tanpa dia sadari diapun tidak melihat kantor desa yang sebenarnya dia cari. Perjalannya membuat takut mengangkat tulang kakinya.
Moyo memahat keyakinan. “Aku akan temukan apa yang aku cari”. Bak jawaban yang dia dapatkan dari langit. Suara kecil dari percikan tanah menyapanya. Ada orang berjalan. Saatnya aku bertanya pada dia. “Numpang tanya, pak!, alamat lengkap kantor desa sini di mana ya, pak”. Pertanyaan yang tidak begitu mengharapkan sebuah jawaban. Karena sudah sejak tadi pertanyaan itu di tanyakan kepada beberapa orang yang ditemuinya. Dengan sedikit ekspresi tangan kanan memegang kepala, sedikit mengerutkan dahi hingga terlihat bayang kerutannya. “Nak, coba kamu ikuti jalan setapak ini, belok kiri, di sana nanti terdapat sebuah warung dengan plang bertuliskan “Pos Kamling”, ada jalan setapak masuk ke kanan, lurus, ke kiri kemudian ke kanan, melewati rimbunan pohon bambu. Ke kanan, nah dar sana nanti terlihat Kantornya”. Begitulah jawabannya. Mungkin menurutnya alamat lengkap yang ku maksudkan seperti itu.
Dengan langkah lesu, sembari menghafal berulang-ulang petunjuk alamat tadi, ku ikuti jalan setapak yang tak terawat itu. Di sebelah kanan-kiri jalan masih tumbuh liar semak belukar. Meskipun menghijau, merinding juga kalau perjalanan di gelapnya malam.
“Yach.. sampai juga ke tempat yang aku tuju”. Dengan menghela nafas panjang, sedikit mendongakkan kepala, mencibirkan sudut bibir yang kering.
“Pagi, pak!”. Sapaan pertama terucap memecahkan keheningan pagi. “Pagi juga, nak!, ada yang bisa saya bantu?”. Suara rendah dari sudut bibirnya.
Aku yang terdzalimi,
Aku yang di dzalimi,
Aku yang mendzalimi.
Mohon ma'af sebelumnya, sudah lama tidak saya Update, karena masih banyak kesibukan yang harus saya selesaikan.
Sekedar Kata Pengantar :
Kureguk kopi sambil menyelesaikan satu puisi. Kamu di sisiku, menjadi kitab refrensiku. Kubuka halaman hatimu, tak kutemukan kata pengganti yang lebih indah untuk kutulis. Selamat Menikmati...
Sekedar Kata Pengantar :
Kureguk kopi sambil menyelesaikan satu puisi. Kamu di sisiku, menjadi kitab refrensiku. Kubuka halaman hatimu, tak kutemukan kata pengganti yang lebih indah untuk kutulis. Selamat Menikmati...
Puisi
Ruang Sahabat
Ruang Sahabat
0 komentar:
Posting Komentar