Selamat Datang di http://ghanie-np.blogspot.com Dan Selamat Menikmati Sepenggal Taqdir Dari Anak Kepulauan Ini
Mohon ma'af sebelumnya, sudah lama tidak saya Update, karena masih banyak kesibukan yang harus saya selesaikan.
Sekedar Kata Pengantar :
Kureguk kopi sambil menyelesaikan satu puisi. Kamu di sisiku, menjadi kitab refrensiku. Kubuka halaman hatimu, tak kutemukan kata pengganti yang lebih indah untuk kutulis. Selamat Menikmati...

Perso’alan Qurban, Berobat Dengan Barang Haram, Tranfusi Darah, Dan Nikah Mut’ah

1. Bolehkah daging kurban yang disembelih dipotong-potong dan diambil sebagian oleh orang yang berkurban, dan sisanya dibagikan atau diawetkan dalam bentuk pengalengan sehingga dapat bertahan lama untuk dibagikan setelah hari tasyrik. Jelaskan dan berikan dalil al-Qur’an dan hadits serta argumentasinya?.
Dalam beberapa kitab atau buku dikatakan bahwa orang yang berqurban lalu dia mengambil dan memakan hewan yang diqurbankannya serta sisanya dibagikan atau diawetkan dalam bentuk pengalengan sehingga dapat bertahan lama untuk dibagikan setelah hari tasyrik ialah boleh, bahkan ada yang mengatakan sunnah. Namun sebelum menguraikan sebuah argumentasinya, perlu diketahui bahwa ada dua hukum menyembelih hewan kurban. Yang pertama, berkurban yang hukumnya sunnah. Dan kedua, berkurban yang hukumnya wajib. Memang Secara umum, hukum menyembelih hewan kurban adalah sunnah, bukan wajib. Tetapi memang ada yang hukumnya wajib, yaitu kurban nadzar. Maksudnya ada seseorang yang berhajat, lalu dia bernadzar seandainya keinginannya tercapai, maka nanti dia akan menyembelih hewan kurban. Kurban yang sejak awal diniatkan demikian, maka hukumnya bukan lagi sunnah, melainkan hukumnya wajib. Karena nadzar itu merupakan janji kepada Allah SWT. Sedangkan bila bukan karena janji tertentu kepada Allah SWT, hukum kurban bukan wajib melainkan sunnah. Berkaitan dengan dibolehkannya orang yang berqurban lalu dia mengambil dan memakan hewan yang diqurbankannya serta sisanya dibagikan atau diawetkan dalam bentuk pengalengan sehingga dapat bertahan lama untuk dibagikan setelah hari tasyrik. Maka Daging hewan kurban yang hukumnya sunnah tentu boleh dimakan sendiri oleh pihak yang berkurban, tidak harus semuanya disedekahkan kepada fakir miskin. Dalam hal ini boleh dikatakan bahwa seluruh ulama sepakat atas hal tersebut. Tidak ada seorang pun yang mengharamkannya. Sebab dalilnya jelas dan tegas sekali, yaitu hadits berikut ini:

عن عائشة رضي الله عنها أن النبي – صلى الله عليه وسلم - قال:(… فكلوا وادخروا وتصدقوا ) متفق عليه.

Yang artinya : “Dari Aisyah radhiyallahu 'anha bahwa Nabi SAW bersabda, "(daging kurban itu) makanlah, simpanlah dan sedekahkanlah.” (HR Bukhari dan Muslim)
Hadi yang lain juga mengatakan :

وما ورد في حديث جابر – رضي الله عنه - أنه عليه الصلاة والسلام قال:(… كلوا وتزودوا ) رواه البخاري ومسلم

Yang artinya : “Dari Jabir radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi SAW bersabda (tentang daging hewan kurban), "Makanlah dan jadikanlah bekal.” (HR Bukhari dan Muslim)
 Dari penjelasan dan hadit diata, ada sedikit catatan yang mungkin kurang dipahami oleh sebagian kita, yakni tuntunan untuk memakan daging hewan kurban kita. Sesuai dengan tuntunan dari Nabi, maka satu ekor kambing mewakili 1 (satu) orang (dan ini sudah mencukupi untuk seluruh keluarganya), dan sapi/unta untuk 7 (tujuh) orang. Disamping itu Al-Quraan juga memberikan keterangan secara umum. Dalam surat al-Hajj : 28 dan 38 Allah berfirman yang artinya, "Maka makanlah sebagian darinya (kurban) dan beri makanlah orang yang sengsara dan fakir," dan "Maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang miskin yang tidak meminta-minta dan orang miskin yang meminta." Dikatakan juga dalam riwayat Ahmad, Nabi saw. bersabda, "Janganlah kamu jual daging denda haji dan daging kurban, tetapi makanlah, sedekahkanlah, manfaatkanlah kulitnya, dan janganlah dijual”. Oleh karena itu, Berkaitan dengan sebagian Ulama’ yang mengatakan sunnah memakan daging kurban yang dikurbankan oleh orang yang berkurban dan dengan berdasarkan ayat dan hadis-hadis ini. Maka sudah jelas sekali bahwa disunnahkan bagi orang yang berkurban untuk makan daging korbannya dan menghadiahkan kepada sanak saudara dan tetangga serta memberi fakir miskin sebagai sedekah. Dan dikatakan juga mengenai pembagian daging kurban, bahwa sepertiga untuk dirinya sendiri, sepertiga untuk hadiah bagi orang kaya dan sepertiga sisanya untuk shodaqoh bagi fakir miskin. Dan tidak boleh bagi pemotong hewan dibagi daging korban sebagai upah .

2. Bagaimana menurut pendangan anda tentang berobat dengan benda-benda haram menurut persepsi Islam. Berikan dalil al-Qur’an dan hadits serta argumentasinya?.
Mengenai permasalahan tentang berobat dengan benda-benda haram menurut persepsi Islam. Disini banyak perbedaan pendapat, baik dari kalangan ulama’-ulama’ fiqih dan pemikiran dari para tokoh-tokoh lainnya. Termasuk dalam hal ini berobat dengan obat yang mengandung alkohol, sebab alkohol adalah haram dan najis. Ada yang mengharamkan, seperti Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Ada yang membolehkan seperti ulama Hanafiyah. Ada yang membolehkan dalam keadaan darurat, seperti Yusuf Al-Qaradhawi. Ada pula yang memakruhkannya, seperti Taqiyuddin An-Nabhani. Pendapat yang kuat adalah yang memakruhkannya. Terdapat dua kelompok hadits yang nampak bertentangan (ta’arudh) dalam masalah ini. Di satu sisi, ada hadits-hadits yang melarang berobat dengan benda yang haram dan najis, misalnya hadits Rasulullah SAW bersabda,”Sesungguhnya Allah tidak menjadikan obat bagimu pada apa-apa yang diharamkan atasmu.” (HR Bukhari dan Baihaqi). Di sisi lain, ada hadits-hadits yang membolehkan berobat dengan benda najis dan haram. Misalnya hadits “bahwa Nabi SAW membolehkan suku ‘Ukl dan ‘Uraynah berobat dengan meminum air kencing unta” (HR Muslim). Hadits ini membolehkan berobat dengan benda najis, sebab air kencing unta itu najis.Dalam hadits lain dari Anas RA, Rasulullah SAW memberi keringanan (rukhsah) kepada Zubair bin Al-‘Awwam dan Abdurrahman bin Auf untuk memakai kain sutera karena menderita penyakit gatal-gatal, (HR Bukhari dan Muslim). Hadits ini juga menjelakan tentang dibolehkannya berobat dengan benda yang haram (dimanfaatkan), sebab sutera haram dipakai oleh laki-laki, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits lain dalam riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan At-Tirmidzi.Di sinilah lalu Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani mengkompromikan (men-jama’) kedua kelompok hadits di atas. Menurut An-Nabhani, sabda Nabi SAW untuk tidak berobat dengan yang haram tidak otomatis menunjukkan keharaman, tapi sekedar menunjukkan tuntutan (thalab) untuk meninggalkan perbuatan. Sedangkan dua hadits di atas yang membolehkan berobat dengan benda najis dan haram, oleh An-Nabhani dijadikan qarinah (petunjuk) yang memperjelas sifat tuntutan tersebut. Kesimpulannya, tuntutan tersebut adalah tuntutan (thalab) yang tidak tegas (ghairu jazim), sehingga hukum syara’ yang diistinbath adalah makruh, bukan haram. Dengan demikian, berobat dengan suatu materi yang zatnya najis, atau zat yang haram untuk dimanfaatkan (tapi tidak najis), hukumnya adalah makruh. Jadi, berobat dengan obat yang mengandung alkohol adalah makruh, tidak haram. Dan selebihnya Wallahu A’lam.
3. Jelaskan hukum tranfusi dan menjual darah untuk kepentingan tranfusi darah menurut syariah Islam?.
Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu berbicara tentang tiga hal. Pertama : Siapakah orang yang dberi tambahan darah? Kedua: Siapakah si pendonor darah? Ketiga : Siapakah orang yang menjadi rujukan dalam masalah perlu transfusi darah ini?.
Pertama : Orang yang perlu diberi tambahan darah ialah orang sakit atau terluka, yang keberlangsungan hidupnya sangat tergantung pada donor darah. Dasarnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala. Yang artinya : “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang (yang ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak meginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya”. (Al-Baqarah : 173). Ayat-ayat ini memberikan pengertian, jika kesembuhan orang yang sakit atau terluka serta keberlangsungan hidupnya tergantung pada transfusi darah dari orang lain kepadanya, sementara tidak ada obat yang mubah yang dapat menggantikan darah dalam usaha penyembuhan dan penyelamatannya, maka boleh mentransfusi darah kepadanya. Ini sebenarnya, bukan pengobatan namun hanya memberi tambahan yang diperlukan.
Kedua : Si pendonor darah adalah orang yang tidak terancam resiko jika ia mendonorkan darah. Berdasarkan keumuman sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Artinya : “Tidak membahayakan diri dan orang lain” (Riwayat Imam Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani).
Ketiga : Orang yang didengar ucapannya dalam masalah perlunya transfusi darah adalah dokter muslim. Jika kesulitan mendapatkannya, saya tidak mengetahui adanya larangan untuk mendengar ucapan dari dokter non muslim, baik Yahudi ataupun Nasrani, jika ia ahli dan dipercaya orang banyak. Dalam (kisah) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyewa Abdullah bin Uraiqith Ad-Daili sebagai pemandu saat berhijrah padahal dia seorang kafir, terdapat dalil bolehnya meruju’ kepada orang kafir dalam bidang kedokteran, celak, obat, tulis menulis, hitungan, cacat atau yang lainnya, selama tidak masuk wilayah yang mengandung keadilan. Keberadaannya sebagai seorang kafir tidak serta merta menyebabkannya tidak bisa dipercaya sama sekali dalam segala hal. Dan tidak ada yang lebih beresiko ketimbang menjadikannya sebagai pemandu jalan, terutama seperti perjalanan melakukan hijrah. Oleh karena itu, Jika ada seorang Yahudi atau Nasrani yang ahli dalam masalah kedokteran serta dipercaya banyak orang, maka boleh bagi seorang muslim untuk berobat kepadanya, sebagaimana juga boleh menitipkan harta kepadanya dan bermu’amalah dengannya. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang artinya : “Di antara Ahli Kitab ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu ; dan di antara mereka ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya satu dinar, tidak dikembalikannya kepadamu, kecuali jika kamu selalu menagihnya” (Ali-Imran : 75). Jadi pad intinya ialah Menjual darah atau hukum dari mendonorkan darah adalah boleh dengan syarat dia tidak boleh menjual darahnya, karena Rasulullah -Shallallahu alaihi wasallam- bersabda dalam hadits Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma :
إِنَّ اللهَ إِذَا حَرَّمَ عَلَى قَوْمٍ أَكْلَ شَيْءٍ, حَرَّمَ عَلَيْهِمْ ثَمَنَهُ
"Sesungguhnya jika Allah mengharamkan sebuah kaum untuk memakan sesuatu maka Allah akan haramkan harganya." Sedangkan darah termasuk dari hal-hal yang dilarang untuk memakannya, sehingga harganya pun (diperjual belikan) diharamkan. Adapun jika yang membutuhkan darah memberikan kepadanya sesuatu sebagai balas jasanya, maka boleh bagi sang pendonor untuk mengambilnya, tapi dengan syarat, dia tidak memintanya sebelum dan sesudah donor, tidak mempersyaratkannya, baik secara langsung maupun tidak langsung, baik secara jelas maupun dengan isyarat, baik secara zhohir maupun batin. Kapan dia melaksanakan salah satu dari perkara-perkara di atas, maka haram baginya untuk menerima pemberian dari orang tersebut. Adapun orang yang membutuhkan darah, sementara dia tidak mendapatkan darah yang gratis, maka boleh baginya membeli darah dari orang lain karena darurat, sedangkan dosanya ditanggung oleh yang menjualnya. Wallahu A’lam.
4. Nikah mut’ah adalah salah satu persoalan yang marak dibicarakan sejak dahulu hingga kini, ada yang menyatakan halal dan ada pula yang menyatakan haram. Bagaimana pendapat anda tentang hal tersebut. Jelaskan dan berikan dalil al-Qur’an dan hadits serta argumentasinya?.
Walaupun menurut pendapat ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah, khususnya mazhab empat, hukumnya nikah mut’ah adalah haram dan tidak sah (batal). Akan tetapi menurut pendapat saya nikah mut’ah adalah boleh asalkan tidak diucapkan didalam aqad. Karena Jumhur fuqaha berpendapat, bahwa ada 4 macam nikah fasidah, nikah yang rusak atau tidak sah, yakni nikah syighar (tukar menukar anak perempuan atau saudara perempuan tanpa mahar), nikah mut’ah (dibatasi dengan waktu tertentu yang diucapkan dalam ‘aqd), nikah yang dilakukan terhadap perempuan yang dalam proses khitbah (pinangan) laki-laki lain, dan nikah muhallil (siasat penghalalan menikahi mantan istri yang ditalak bain atau talak yang tidak bisa dirujuk lagi). Berkaitan dengan nikah mut’ah, jumhur ulama’ ini berpendapat bahwa ada 4 macam nikah fasidah (nikah yang merusak), diantaranya ialah nikah mut’ah (nikah yang dibatasi dengan waktu tertentu yang diucapkan dalam ‘aqd). Jadi kalau seandainya nikah mut’ah terebut tidak diucapkan pada waktu aqad maka nikah mut’ah terebut boleh-boleh saja. Disamping itu Firman Allah dalam suat An-Nisa' ayat 24: 
فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً
Artinya : “Maka isteri-isteri yang telah kamu campuri di antara mereka, berikanlah kepada mereka biaya kontrak, sebagai suatu kewajiban”. (“Ujrah” yang umumnya diartikan sebagai mahar ini oleh kalangan yang membolehkan nikah mut’ah diartikan sebagai biaya kontrak).
 Dan akan tetapi pendapat yang mengharamkan nikah mut’ah ialah sangat banyak dan sangat kuat sekali. Seperti halnya, Imam Syafi’i mengatakan, semua nikah yang ditentukan berlangsungnya sampai waktu yang diketahui ataupun yang tidak diketahui (temporer), maka nikah tersebut tidak sah, dan tidak ada hak waris ataupun talak antara kedua pasangan suami istri. Bahkan tidak hanya Imam Syafi’i saja yang mengharamkan, akan tetapi Ulama Ahlus Sunnah wal Jamaahpun, khususnya mazhab empat, mengharam dan mentidak sahkan (batal) nikah mut’ah. Dan para ulama bersepakat, bahwa nikah mut’ah itu tidak sah, dan hampir tidak ada perselisihan pendapat. Bentuknya adalah, misalnya seseorang mengawini perempuan untuk masa tertentu dengan berkata: “Saya mengawini kamu untuk masa satu bulan, setahun dan semisalnya.” Dan sayapun juga sepakat jika alasan mengharamkannya nikah mut’ah itu adalah seperti yang telah dijabarkan diatas. Akan tetapi dari alasan tersebut endingnya ialah kepada permasalahan menyebutkannya lama waktu atau kontraknya dalam waktu aqad. Seperti seseorang mengawini perempuan untuk masa tertentu dengan berkata: “Saya mengawini kamu untuk masa satu bulan, setahun dan semisalnya.” Baru jika dakatakan dalam waktu aqad seperti ini tidak sah atau haram. Akan tetapi jika tidak disebutkan atau dikatakan pada waktu aqad menurut saya adalah sah-sah saja atau boleh dan tidak HARAM.
5. Rumuslah tugas presentasi anda msing-masing 2 exsp.

 Transplantasi organ tubuh dan darah
a. pengertin transplantasi 
Transpalantasi menurut ilmu kedokteran adalah pemindahan jaringan atau organ tubuh dari tempat satu ketempat yang lain, bisa dari satu tubuh atau dari tubuh yang lain. 
b. macam-macam transplantasi
dilihat dari hubungan genetic antara donor dan resipien transplantasai dapat dibagi menjadi tiga macam:
1. Auto Transplantation, yaitu transplantasi dimana donor dan resipiennya adalah satu individu.
2. Homo Transplantation, yaitu ransplantasi dimana donor dan resipiennya terdiri dari individu yang sama jenis. Pada transplantasi ini bisa terjadi donor dan resipiennya dari dua individu yang masih hidup

Dasar pengambilan, antara lain dari kitab Al-Umm Imam Asy-Syafi’i juz V hlm 71, Fatawi Syar'iyyah Syaikh Husain Muhammad Mahluf juz II hlm 7, kitab Rahmatul Ummah hlm 21, I’anatuth Thalibin juz III hlm 278 – 279, Al-Mizan al-Kubraa juz II hlm 113, dan As-Syarwani 'alat Tuhfah juz Vll hlm. 224.

comment 2 komentar:

Abd Ghani mengatakan...

Tes-test....

Bahauddin on 3 Mei 2009 pukul 06.53 mengatakan...

Yo opo...

Posting Komentar

 
© Sepenggal Taqdir | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger