Awan mendung bertiup dan mulai bergemuruh di langit yang sebelumnya biru. Kilat dengan serta merta menyambar turun ke Bumi, dan baru beberapa detik kemudian suara guntur terdengar menggelegar bagai dentuman meriam langit atau letusan gunung berapi yang memuntahkan magma serta debu vulkanik jauh ke angkasa. Tak sampai di situ saja pengaruhnya, awan itu juga menebar teror kegelapan dan seketika langsung merasuk juga mencengkeram dengan membonceng ketakutan, hingga dapat melelehkan kebahagiaan yang tersimpan dalam frame-frame kenangan masa lalu.
Di padang rumput laut kepulauan kecil terlingkar samudera, aku berdiri kokoh bagai patung di tengah kota. Di atas sebuah pulau kecil, di mana sepasang kaki sejak tadi menapak mengakar. Akupun menatap ke langit, ke sebuah gumpalan awan yang makin menghitam tiap detiknya. Fisikku yang tinggi dan sedikit besar terlihat samar saat sekelebat cahaya petir menyambar dengan gila, merambat pada sela-sela udara yang berubah dingin.
“Kau tidak adil padaku?” teriakku entah kepada siapa.
Mungkin ditujukan kepada salah satu gumpalan awan di atas sana atau petir, atau bahkan untuk Sang Khalik pemilik segalanya, di mana wujud-Nya tak akan pernah nampak oleh sepasang indera yang berbinar murka’. Tidak mungkin ada organ bahkan alat buatan makhluk manapun yang bisa melakukannya. Kecerdasan manusia itu terbatas. Semua telah diatur dalam sekat-sekat sel yang ada di otak.
“Mengapa Kau ciptakan takdirku seperti ini?, Nasibku merana menjadi hamba terhina. Apa Kau tidak mendengar sebutan mereka padaku?, Mereka bilang kalau aku ini tidak berguna, lemah, bodoh, goblok, tolol, kuno, primitif atau apalah terserah kata mereka.”
Air mata membasahi binaran indera lalu mengeluarkan letusan pilu kesedihan.
“Di mata mereka, aku ini sangat rendah. Lebih rendah dari kumpulan sampah yang terbuang, Cacat dan tak pantas berada di antara mereka”.
“Sesungguhnya, mereka itu salah. Kau bisa lihat sendiri, tak ada kecacatan dari fisik yang kau ciptakan ini. Semua organku lengkap, otakku juga masih betah bersemayam di kepala, dan hati serta jantungku juga tetap pada tempatnya. Sama seperti mereka. Lalu mengapa mereka terus saja memanggilku seperti itu?. Merendahkanku di muka umum?. Apa yang salah pada diriku?.”
Dengan punggung tangan, aku mengusap mata.
“Mengapa Kau tetap diam?. Apa Kau Bisu?, Tuli?. Katanya, Kau selalu mendengarkan keluh-kesah semua hamba-Mu. Mana buktinya?, Mana?!!. Omong kosong. Semua itu ternyata bohong.”
Aku diam sesaat, mencoba mengatur tingkat emosi yang semakin meluap-luap dalam diriku.
“Jika Kau memang adalah Sang Penguasa. Raja di atas segala raja, buktikan padaku!” teriakanku semakin lantang.
“Tunjukkan kekuatanmu...!, Mana kekuasaanmu...!.”
Aku menghela napas sekali, seakan ingin menyampaikan sebuah ultimatum yang harus terlaksana.
“Aku ingin punya sayap. Sayap indah yang bisa membuatku terbang dan tak lagi mendengarkan sebutan merendahkan mereka kepadaku. Aku ingin menjauh dari koloni mereka. Menjauh sejauh-jauhnya. Aku ingin terbang. Terbang seperti burung yang bebas di angkasa. Setinggi-tingginya hingga mencapai puncak awan.”
Pagi telah datang lagi, mataharipun belum menampakkan semburat sinarnya dari kejauhan ufuk timur. Tampaknya sang surya masih terlelap di peraduan angkasanya. Kabut semi transparan juga masih menguasai sebagian badan jalan memenuhi ruas-ruas desa didaerahku. Tetes embun belum memuai menjadi uap air dan menyatu dengan udara, menyebabkan udara makin lembab. Sayup angin seakan menguak sebab keheningan di beberapa lorong sempit ditempat aku berpijak. Makhluk-makhluk belum menampakkan diri. Masih bersemayam di balik selimut kehangatan.
Jam wekerpun berbunyi nyaring, bergema menguasai ruas-ruas dindig telinga bagai bunyi lonceng emas di puncak kuil Olympus, seakan meramalkan kejadian mengerikan yang nanti akan terjadi.
Ketika selimut disibakkan, tubuh setengah telanjang ada di baliknya. Deretan tulang rusuk tercetak di sana, bagai urat yang menonjol dari balik kulit. Ku buka mata, Sedikit demi sedikit suasana sekitar mulai tertangkap oleh indera, menampilkan susunan langit-langit kamar berwarna putih dengan lampu kecil yang masih menyala.
Sa’at ini aku baru merasakan pagi yang mungkin cerah. Kantuk yang masih terasa, aku paksa pergi dan menghilang. Sekarang waktunya melanjutkan hidup.
Sejenak, aku menggeliat keenakan lalu menguap bagai sang penguasa rimba. Setiap bukaan mulut bagai menghisap ion-ion kehidupan yang ada disekitarku hingga tak bersisa. Sungguh aku rakus sekali. Tak puas atas apa yang telah ada padaku. Ingin terus menambah, menambah, dan menambah.
Sinar matahari menerobos masuk melalui sela-sela tirai penutup jendela hatiku. Cahayanya menghangatkan aliran darah dan mencairkan keheningan. Seolah-olah kehidupan mulai tersusun kembali setelah tidur sekian lama, setelah berhibernasi dalam kegelapan.
Aku tersenyum simpuh seakan tak percaya, “Mimpi itu benar-benar aneh. Aku seolah-olah berbicara kepada Tuhan. Bagaimana mungkin?”. “Tidak masuk akal.”
Namun jauh di lubuk hatiku, aku bener-benar menginginkan hal itu terjadi. Mimpi itu seolah-olah mencerminkan isi hatiku. Menggambarkan kalut yang selama ini menyiksa batin dan jiwaku. Aku tak bisa berbohong lagi. Walau hanya di dalam mimpi, aku telah puas. Yang jelas, aku telah menumpahkan suara hatiku. Lainnya, bagiku tak penting. Hari ini harus dijalani dengan perasaan bahagia. Tak ada beban sedikit pun yang lagi menghinggap. Telah hilang dan menguap bersama embun.
Ketika aku berdiri, sesuatu seperti bergoyang dari punggungnku bergerak-gerak. Aku merasakan keanehan terjdi dikepulauanku yang hampir tenggelam. Kepalaku coba ditengokkan ke belakang. Secara reflek tanganku ikut membantu.
“A... apa ini?”, aku berteriak kaget. “Mengapa benda ini bisa melekat di tubuhku?”.
Sepasang sayap kecil bergerak-gerak mengikuti gerakan punggungku. Mengibas-ngibas bagai sayap burung yang terbang bebas di angkasa. Sepasang sayap itu berwarna hitam namun tak berbulu. Lembut dan menyerupai daging yang terbalut kulit dengan beberapa tonjolan tulang.
“I... ini sayap kelelawar,” perasaanku berbisik ketakutan. “A... apa yang terjadi?, Sebenarnya apa yang terjadi padaku? Mengapa... mengapa sepasang sayap menakutkan ini tumbuh di punggungku?.”
Dengan terpaksa, aku mencoba melepaskan sayap itu sekuat tenaga. Namun setiap upaya untuk menarik sayap itu agar terlepas dari tubuhku, telah membuat kulitku sakit. Kulit punggungku seperti tertarik dan hampir sobek. Hal itu sia-sia saja. Sayap itu telah bersatu dengan tubuhku dan menjadi bagian atas diriku.
Aku tak terima. Tangis dan teriakan tak ada gunanya. Semua itu tak bisa mengembalikan tubuhku ke kondisi semula dan normal kembali. Aku merenung beberapa menit ke depan ketika matahari kian meninggi. Sedikit demi sedikit aku bisa menerimanya walau tak sepenuhnya. Aku masih tak tahu harus berbuat apa.
Mungkin ini pengaruh dari mimpi itu. Aku benar-benar berbicara kepada Tuhan, gumamku dalam hati antara percaya atau tidak. Dengan kesadaran yang telah kembali, aku berkata setengah berbisik.
“Hidup harus dilanjutkan. Tak ada gunanya penyesalan. Tapi...”
Dua puluh menit kemudian aku ayunkan kaki untuk melangkah. Mencari alat untuk menutupi sepasang sayap itu agar tidak kelihatan. Diambilnya gulungan perban kemudian kulilitka ke punggungku. Terus, terus dan terus, hingga tonjolan sayap itu tak tampak. Setelah selesai, lanjut aku memulai hidup dalam lalu kemeja yang dikombinasikan dengan semangat hitam bergaris. Aku berdiri di depan cermin, memperhatikan sejenak keadaan jiwaku, lalu berputar beberapa kali.
Aku terlihat seperti manusia normal kembali dan topeng ini akan membuatku menyerupai mereka. Bibirnya dipaksa mengurai senyuman. Ditepuknya bagian jiwaku yang terlihat berdebu duka, simpul keputus asaan dirapihkan dan disembunyikan di bawah kerah kesemangatanku.
Di padang rumput laut kepulauan kecil terlingkar samudera, aku berdiri kokoh bagai patung di tengah kota. Di atas sebuah pulau kecil, di mana sepasang kaki sejak tadi menapak mengakar. Akupun menatap ke langit, ke sebuah gumpalan awan yang makin menghitam tiap detiknya. Fisikku yang tinggi dan sedikit besar terlihat samar saat sekelebat cahaya petir menyambar dengan gila, merambat pada sela-sela udara yang berubah dingin.
“Kau tidak adil padaku?” teriakku entah kepada siapa.
Mungkin ditujukan kepada salah satu gumpalan awan di atas sana atau petir, atau bahkan untuk Sang Khalik pemilik segalanya, di mana wujud-Nya tak akan pernah nampak oleh sepasang indera yang berbinar murka’. Tidak mungkin ada organ bahkan alat buatan makhluk manapun yang bisa melakukannya. Kecerdasan manusia itu terbatas. Semua telah diatur dalam sekat-sekat sel yang ada di otak.
“Mengapa Kau ciptakan takdirku seperti ini?, Nasibku merana menjadi hamba terhina. Apa Kau tidak mendengar sebutan mereka padaku?, Mereka bilang kalau aku ini tidak berguna, lemah, bodoh, goblok, tolol, kuno, primitif atau apalah terserah kata mereka.”
Air mata membasahi binaran indera lalu mengeluarkan letusan pilu kesedihan.
“Di mata mereka, aku ini sangat rendah. Lebih rendah dari kumpulan sampah yang terbuang, Cacat dan tak pantas berada di antara mereka”.
“Sesungguhnya, mereka itu salah. Kau bisa lihat sendiri, tak ada kecacatan dari fisik yang kau ciptakan ini. Semua organku lengkap, otakku juga masih betah bersemayam di kepala, dan hati serta jantungku juga tetap pada tempatnya. Sama seperti mereka. Lalu mengapa mereka terus saja memanggilku seperti itu?. Merendahkanku di muka umum?. Apa yang salah pada diriku?.”
Dengan punggung tangan, aku mengusap mata.
“Mengapa Kau tetap diam?. Apa Kau Bisu?, Tuli?. Katanya, Kau selalu mendengarkan keluh-kesah semua hamba-Mu. Mana buktinya?, Mana?!!. Omong kosong. Semua itu ternyata bohong.”
Aku diam sesaat, mencoba mengatur tingkat emosi yang semakin meluap-luap dalam diriku.
“Jika Kau memang adalah Sang Penguasa. Raja di atas segala raja, buktikan padaku!” teriakanku semakin lantang.
“Tunjukkan kekuatanmu...!, Mana kekuasaanmu...!.”
Aku menghela napas sekali, seakan ingin menyampaikan sebuah ultimatum yang harus terlaksana.
“Aku ingin punya sayap. Sayap indah yang bisa membuatku terbang dan tak lagi mendengarkan sebutan merendahkan mereka kepadaku. Aku ingin menjauh dari koloni mereka. Menjauh sejauh-jauhnya. Aku ingin terbang. Terbang seperti burung yang bebas di angkasa. Setinggi-tingginya hingga mencapai puncak awan.”
Pagi telah datang lagi, mataharipun belum menampakkan semburat sinarnya dari kejauhan ufuk timur. Tampaknya sang surya masih terlelap di peraduan angkasanya. Kabut semi transparan juga masih menguasai sebagian badan jalan memenuhi ruas-ruas desa didaerahku. Tetes embun belum memuai menjadi uap air dan menyatu dengan udara, menyebabkan udara makin lembab. Sayup angin seakan menguak sebab keheningan di beberapa lorong sempit ditempat aku berpijak. Makhluk-makhluk belum menampakkan diri. Masih bersemayam di balik selimut kehangatan.
Jam wekerpun berbunyi nyaring, bergema menguasai ruas-ruas dindig telinga bagai bunyi lonceng emas di puncak kuil Olympus, seakan meramalkan kejadian mengerikan yang nanti akan terjadi.
Ketika selimut disibakkan, tubuh setengah telanjang ada di baliknya. Deretan tulang rusuk tercetak di sana, bagai urat yang menonjol dari balik kulit. Ku buka mata, Sedikit demi sedikit suasana sekitar mulai tertangkap oleh indera, menampilkan susunan langit-langit kamar berwarna putih dengan lampu kecil yang masih menyala.
Sa’at ini aku baru merasakan pagi yang mungkin cerah. Kantuk yang masih terasa, aku paksa pergi dan menghilang. Sekarang waktunya melanjutkan hidup.
Sejenak, aku menggeliat keenakan lalu menguap bagai sang penguasa rimba. Setiap bukaan mulut bagai menghisap ion-ion kehidupan yang ada disekitarku hingga tak bersisa. Sungguh aku rakus sekali. Tak puas atas apa yang telah ada padaku. Ingin terus menambah, menambah, dan menambah.
Sinar matahari menerobos masuk melalui sela-sela tirai penutup jendela hatiku. Cahayanya menghangatkan aliran darah dan mencairkan keheningan. Seolah-olah kehidupan mulai tersusun kembali setelah tidur sekian lama, setelah berhibernasi dalam kegelapan.
Aku tersenyum simpuh seakan tak percaya, “Mimpi itu benar-benar aneh. Aku seolah-olah berbicara kepada Tuhan. Bagaimana mungkin?”. “Tidak masuk akal.”
Namun jauh di lubuk hatiku, aku bener-benar menginginkan hal itu terjadi. Mimpi itu seolah-olah mencerminkan isi hatiku. Menggambarkan kalut yang selama ini menyiksa batin dan jiwaku. Aku tak bisa berbohong lagi. Walau hanya di dalam mimpi, aku telah puas. Yang jelas, aku telah menumpahkan suara hatiku. Lainnya, bagiku tak penting. Hari ini harus dijalani dengan perasaan bahagia. Tak ada beban sedikit pun yang lagi menghinggap. Telah hilang dan menguap bersama embun.
Ketika aku berdiri, sesuatu seperti bergoyang dari punggungnku bergerak-gerak. Aku merasakan keanehan terjdi dikepulauanku yang hampir tenggelam. Kepalaku coba ditengokkan ke belakang. Secara reflek tanganku ikut membantu.
“A... apa ini?”, aku berteriak kaget. “Mengapa benda ini bisa melekat di tubuhku?”.
Sepasang sayap kecil bergerak-gerak mengikuti gerakan punggungku. Mengibas-ngibas bagai sayap burung yang terbang bebas di angkasa. Sepasang sayap itu berwarna hitam namun tak berbulu. Lembut dan menyerupai daging yang terbalut kulit dengan beberapa tonjolan tulang.
“I... ini sayap kelelawar,” perasaanku berbisik ketakutan. “A... apa yang terjadi?, Sebenarnya apa yang terjadi padaku? Mengapa... mengapa sepasang sayap menakutkan ini tumbuh di punggungku?.”
Dengan terpaksa, aku mencoba melepaskan sayap itu sekuat tenaga. Namun setiap upaya untuk menarik sayap itu agar terlepas dari tubuhku, telah membuat kulitku sakit. Kulit punggungku seperti tertarik dan hampir sobek. Hal itu sia-sia saja. Sayap itu telah bersatu dengan tubuhku dan menjadi bagian atas diriku.
Aku tak terima. Tangis dan teriakan tak ada gunanya. Semua itu tak bisa mengembalikan tubuhku ke kondisi semula dan normal kembali. Aku merenung beberapa menit ke depan ketika matahari kian meninggi. Sedikit demi sedikit aku bisa menerimanya walau tak sepenuhnya. Aku masih tak tahu harus berbuat apa.
Mungkin ini pengaruh dari mimpi itu. Aku benar-benar berbicara kepada Tuhan, gumamku dalam hati antara percaya atau tidak. Dengan kesadaran yang telah kembali, aku berkata setengah berbisik.
“Hidup harus dilanjutkan. Tak ada gunanya penyesalan. Tapi...”
Dua puluh menit kemudian aku ayunkan kaki untuk melangkah. Mencari alat untuk menutupi sepasang sayap itu agar tidak kelihatan. Diambilnya gulungan perban kemudian kulilitka ke punggungku. Terus, terus dan terus, hingga tonjolan sayap itu tak tampak. Setelah selesai, lanjut aku memulai hidup dalam lalu kemeja yang dikombinasikan dengan semangat hitam bergaris. Aku berdiri di depan cermin, memperhatikan sejenak keadaan jiwaku, lalu berputar beberapa kali.
Aku terlihat seperti manusia normal kembali dan topeng ini akan membuatku menyerupai mereka. Bibirnya dipaksa mengurai senyuman. Ditepuknya bagian jiwaku yang terlihat berdebu duka, simpul keputus asaan dirapihkan dan disembunyikan di bawah kerah kesemangatanku.
1 komentar:
Tes...
Posting Komentar