“ Kata-kata adalah serdadu, yang siap menyerang dan mematikan”
“Kata-kata adalah gerilya, pasukan bertopeng yang tak hentinya menyerbu”
“Kata-kata adalah gerilya, pasukan bertopeng yang tak hentinya menyerbu”
1. Pendahuluan
Tulisan ini tidak mengantarkan pembaca ke penguasaan hal-hal teknis suatu bahasa jurnalistik. Perihal teknis tersebut pada dasarnya bisa ditemukan dan dipelajari dalam banyak pustaka mengenai tata bahasa, cara menulis yang baik dan benar, dan sebagainya, khususnya yang menyangkut bahasa jurnalistik. Hal yang lebih ditekankan disini adalah bagaimana perspektif bahasa jurnalisme itu sendiri. Pemahaman atas makna dan perspektif bahasa dalam mengungkap dan mengangkat realitas dari yang tersembunyi menjadi nampak jelas dimengerti akan lebih berimspirasi bagi jurnalis dalam menggunakan bahasa jurnalistik. Maka, tulisan ini karena bukan pembeberan hal-hal teknis, ini cuman ditujukan sebagai bahan rujukan dan refleksi bagaimana semestinya menuliskan fakta-realis dalam bahasa jurnalistik, suatu bahasa yang amat menakutkan dan mematikan itu.
Untuk itu, pertama-tama akan dibeberkan landasan teoritis yang dipakai, yakni pendekatan semiotik yang dikaitkan dengan pendekatan marxian terhadap masyarakat, barulah kita bicara soal perspektif bahasa jurnalisme ini. pembebeRan soal semiotik atau penandaan (makna kata dan tentunya makna bahasa) tak terhindarkan dengan tujuan agar pilihan kata dan bahasa yang pakai benar-benar bisa menggambarkan realitas yang sesunguhnya.
JURNALISTIK, sebagai kegiatan untuk menyiapkan, mengedit, menulis dan melaporkan suatu realitas untuk surat kabar, majalah atau berkala dan media lainnya menjadi kekuatan tersendiri dalam sistemkemasyarakatan (baik sistem sosial maupun sistem politik) yaitu kekuatannya sampai membuat Napoleon Bonaparte mengatakan kurang lebih demikian “ aku lebih menakuti pena seorang jurnalis ketimbang seribu serdadu dengan pedang terhunus”.
Bagitulah, kekuatan dahsyat yang terkandung dalam jurnalistik menjadi terbukti apabila mampu menangkap realitas dengan jernih, tegas, akurat, mudah dimengerti tanpa tedeng aling-aling. Itu semua hanya bisa dilakukan melalui penguasaan dan penggunaan bahasa yanag selain baik dan benar juga berdaya rekam yang tinggi dan tepat atas realitas yang hendak diungkapkan.
Kejelian mengidentifikasikan realitas yang penting dan menarik untuk diberitakan atau kemahiran mengumpulkan fakta yang lengkap dan akurat, sama sekali tidak berarti apa-apa jika tidak dapat disampaikan kepada pihak lain dalam bahasa yang mudah dimengerti.
Bahasa yang digunakan manusia pada dasarnya dibedakan atas dua jenis, yaitu bahasa lisan dan bahasa tulisan. Bahasa lisan dan tulisan memiliki syarat-syarat yang berbeda. Bahasa tulisan digunakan tanpa bantuan intonasi, gerak, dan situasi sebagaimana yang dapat dimanfaatkan oleh bahasa lisan. Dalam bahasa tulisan kita hanya dapat menggunakan kata-kata konvensional, yanag berdasarkan system konvensional dapat dijadikan kalimat.
Menggunakan bahasa tulisan menghendaki ketelitian, konstruksi kalimat yang lebih logis, kemampuan pemilihan, serta pembentukan kata yang lebih tepat. Karena itu pengetahuan dan penguasaan tata bahasa, gaya bahasa serta makna bahasa harus dikuasai.
2. Pendekatan Semiotik terhadap Bahasa
SEMIOTIK, atau nama lainnya : semiologi, semasliologi, akar katanya adalah kata bahasa gerika atau Yunani, semeion, yang berarti tanda (bhs. Inggris: sign: bhs. Prancis: signe: Bhs. Latin: signum). Ilmu ini dikenal juga dengan nama signifik, karena utak-atik sign, atau signum tadi. Definisi yang lebih lengkap: studi ilmiah mengenai sifat-sifat (propertis) sistem-sistem penandaan (signalling system), baik yang alamiah ataupun yang buatan.
Tapi marilah kita kembali dulu ke urusan tanda-tanda. Tanda memiliki dua komponen: bentuk dan makna (form and meaning). Bentuk, atau signifier, signifiant, signans, adalah rupa suatu tanda. Bahasa misalnya, adalah sistem tanda yang antara lain tandanya adalah kata-kata. Kata mempunyai rupa bunyi-bunyi yang direnteng dengan aturan tertentu. Sebetulnya in and of itself, bentuk suatu kata tidak punya arti. Yang punya arti adalah maknanya, atau signified-nya, Signifie-nya, signatum-nya. Tapi, buat kebanyakan orang yang berkomunikasi, bentuk dan makna itu tak terpisahkan. Cuma ahli semiotik saja yang memisahkan keduanya. Bahkan buat orang kebanyakan aneh sekali kalau bentuk dan makna itu coba untuk dipisahkan. Buat orang kebanyakan, bentuk dan makna itu menjadi satu satuan yang utuh. Ya, bentuk itu yang mereka anggap makna, dan makna itu tidak bisa mereka pikirkan ada bentuknya yang lain.
Menyatunya bentuk makna ini kelihatan kalau kita pakai contoh lambang atau simbol , yaitu jenis tanda yang sebetulnya hubungan antara bentuk dan maknanya sembarangan alias arbiter alias seenaknya saja. Arbiternya ini kelihatan kalau kita bandingkan dengan sistem komunikasi (bahasa) yang lain misalnya: kenapa ada satu binatang yang dinamakan anjing dalam bahasa melayu, asu atau kirik dalam bahasa jawa, dog dalam bahasa inggris, inu dalam bahasa jepang, hond dalam bahasa belanda, gou dalam bahasa tionghoa? Tidak ada aturannya kan ?.
Nah, kalau kita perhatikan, coba lihat simbol-simbol keagamaan, umpamanya. Sebetulnya kan dua potong kayu itu sebagai bentuk, ya dua potong kayu, tapi buat orang kristen, kalau dua potong kayu itu diikat berbentuk salib, tiba-tiba, ia menjadi lambang kristen yang amat kuat. Kalau menurut Clifford Geertz dan antropolog simbolik lainnya, salib itu tidak lagi bisa dipisahkan mana yang bentuk dan mana yang makna. Ya, salib itulah sendiri maknanya. Buktinya, kalau dua potong kayu it diinjak-injak oleh orang, maka orang kristen akan tersinggung, biarpun si penginjaknya nggak punya niat apa-apa kecuali melihat ada banyak semut, misalnya, di kayu itu. Ingat juga bagaimana kayu salib bisa dipakai menakut-nakuti setan, iblis dll. Banyak contoh seperti ni dalam dunia kita: bendera lambang negara, fiti presiden atau apalagi raja dan ratu, orang alim, tokoh partai, kitab suci (sebetulnya kertas kan kertas, tapi begitu ada tulisannya, sudah lain ceritanya).
Kalau dilihat dari sudut lain, bisa dibilang bahwa lambang itu tidak cuma arbiter, tapi juga konvensional. Maksudnya, berdasarkan kesepakatan. Anjing diberi nama anjing dalam bahasa melayu, karena orang-orang yang pakai bahasa ini sepakat ya binatang itu namanya anjing! Kalau ada yang memberi nama lain terhadap binatang itu, kucing atau tahu, misalnya, ya paling tidak dianggap aneh. Tapi kalau orang itu berkuasa dan punya segudang pengaruh (ekonomi, politik, spiritual, apa saja), ceritanya kan lain. Reaksi orang atas kentut orang berkuasa dengan orang biasa, sudah lain lagi ceritanya.
Nah, itu hal berikutnya dalam uraian ini: lambang itu sebetulnya diproduksi dan direproduksi oleh masyarakatnya. Kalau menurut pendekatan marxian, produksi dan reproduksi itu bertalian erat dengan apa yang dinamakan hubungan sosial produksi, atau social relations of production. Yang pegang kuasa dalam hubungan itu biasanya juga bisa menentukan makna apa yang dikandung di dalam lambang itu. Ini lebih krusial kalau lambang itu bukan cuman hal-hal kongkrit seperti anjing dan kucing, tapi soal-soal demokrasi, misalnya. Siapa sih yang menentukan makna demokrasi ?, kan kenyataannya yang bisa punya kuasa dan pengaruh di dalam suatu masarakat itu sendiri.
Juga, mesti di ingat bahwa lambang itu bukan cuman konsep-konsep atau kata-kata saja. Dalam semiotik, yang dipandang sebagai lambang ialah segala sesuatu yang terlibat dalam komunikasi antara dua atau lebih manusia: volume suara, pakaian, bau badan, gerak-gerik, bentuk rumah. Pokoknya semua yang diproduksi dan direproduksi oleh masyarakat kita.
Dalam semiotik, pekerjaan kita adalah membongkar-pasang (dekonstruksi) lembang-lambang itu. Dari dekonstruksi itu kita bisa tahu, apa sebetulnya dibalik produksi lambang tertentu. Dari situ kita tahu bahwa sebetulnya semua lambang itu bersifat relatif, tergantung masyarakatnya, tergantung sistem produksi maknanya, tergantung siapa yang menentukan produksi, tergantung siapa yang diuntungkan produksi itu.
Lantas, kalau kita sudah tahu bahwa makna itu relatif, mau apa ?, ya tentunya terserah saja. Kalau mau jadi pengamat saja, ya sudah, selesai pekerjaan kita. Tapi ada yang sesudah tahu bahwa makna itu relatif dan diproduksi oleh yang pegang kuasa (hegemonik) dalam suatu masyarakat, merasa tidak puas, merasa dibohongi, dan coba bikin perubahan, atau paling tidak mempermainkan atau tidak ambil serius produksi makna itu. Ini disebut culture of resistence atau budaya penentangan.
Satu kiat yang mudah sebetulnya adalah benar-benar memikirkan pemaknaan dalam diskursus kita, yang adakalanya menentang diskursus baku resmi negara. Kebiasaan berbahasa yang lugas dan resisten (sekurang-kurangnya skeptis-kritis-lah) akan membarengi dan mewarnai sikap dan perilaku kita yang mencurigai kekuasaan dan mendampingi yang lemah dan tertindas. Kita perlu peka terhadap diskursus resisten yang masih ada disekitar kita. Penguasaan dan penggunaan bahasa yang lugas dan resisten dalam bahasa jurnalistik inilah yang menjadikan pers sebagai sosok yang menakutkan bagi kekuasaan yang coba-coba bermain dengan kekuasaannya. Bahasa yang klise, klasik, feodal, ikut-ikutan yang nggak repot-repot atau apa saja namanya justru membuat jurnalistik kehilangan makna dan kekuatannya.
Jadi, memang kita perlu memperhatikan kode etik juirnalistik, 10 pedoman pemakaian bahasa untuk pers, tata bahasa indonesia yang baku dan resmi, tapi pertanyaannya ialah apa itu semua cukup menjamin menjadikan pers atau jurnalistik bagai serdadu yang bergerilya siap menyerbu dan menakutkan bagi sebuah penyimpangan dan menyejukkan bagi sebuah pembebasan dan pencerahan ?.
3. Perspektif Bahasa Jurnalsme
Apa yang dipungut oleh jurnalis sebagai informasi adalah segala kejadian yang berlangsung dalam berbagai institusi sosial. Masalahnya disini adalah, sejauh mana masyarakat bertindak sebagai pelaku dalam institusi sosial tersebut?. Bisa jadi, kekuasaan negara yang ketat akan merekayasa seluruh institusi yang ada itu agar sesuai dengan garis ideologis (mungkin ideologi ini disebut “pembangunan”, “kerukunan”, “reformasi”, atau keluhuran hidup lainnya). Sehingga yang berlangsung sebenarnya bukan dinamika yang otentik dari kehidupan masyarakat, tapi peristiwa-peristiwa yang direkayasa oleh kekuasaan negara sebagai peragaan dari ideologi-ideologi yang menjadi sumber haluan kenegaraan dan kemasyarakatan.
Dalam menjalankan fungsinya, nilai informasi pers dapat dilihat dalam kaitan dengan sistem sosial. Untuk itu media massa dapat menjalankan fungsi politik, ekonomi, atau sosial kultural. Ini berdasarkan informasi yang disampaikannya berupa fakta sosial, yaitu fakta politik, fakta ekonomi, dan fakta sosial kultural. Dengan demikian setiap fakta sosial perlu dilihat secara tajam, apakah memang berasal dari dinamika masyarakat yang otentik, ataukah hasil dari rekayasa kekuasaan negara atau kepentingan tertentu. Semakin banyak informasi berupa fakta sosial hasil rekayasa itu dengan sendirinya semakin jauh dari kehidupan masyarakat. Jika pers tak terelakkan menjadi media organika dari kekuasaan negara, seharusnya dia diongkosi oleh birokrasi pemerintah, tidak sebagai perusahaan swasta yang harus didukung oleh konsumen yang harus membeli produknya.
Jika rekayasa oleh kekuasaan dan kepentingan yang bersifat institusional itu berlangsung ketat dan menyeluruh, maka jurnalis hanya akan menghadapi fakta sosial buatan. Maka bahasa jurnalistik-nya pun akan ketara dibuat-buat. Memang ada realitas yang berada diluar kapasitas negara untuk merekayasanya, sepenuhnya berada dalam kehidupan masyarakat. Seperti musibah (alam atau kecelakaan, kecuali juga kecelakaan yang direkayasa, atau penyimpangan social, penyelewengan seks, perkosaan atau kriminalitas). Surat kabar Memorandum atau Pos Kota Jakarta memilih realitas semacam ini sebagai bahan utama informasinya sehingga bahasa jurnalistiknya pun mengikuti saja tanpa perlu repot-repot meresisten dan kritis. Informasi semacam ini dapat ditampilkan dengan bahasa yang telanjang, memang berkaitan dengan kehidupan masyarakat yang ada di dalam konsumennya.
Dengan memaparkan masalah yang bersifat struktural dalam keberadaan sistemik institusi pers, diharapkan diperoleh gambaran tentang sifat substansial dari fakta sosial yang akan dijadikan informasi. Dari sini bisa dilanjutkan dengan melihat mekanisme yang bertolak dari jurnalisme yang dijalankan oleh para jurnalis.
Informasi itu kan selamanya merupakan materi komunikasi. Informasi yang relvan bagi seseorang dapat digunakan dalam menentukan sikap dan posisinya dalam masyarakat. Karenanya dalam jurnalisme sangat penting pemilahan yang tajam atas informasi berdasarkan sifat-sifatnya.
Fiksi yang semata-mata dimaksudkan sebagai ekspresi estetis, adalah bukan karya jurnalistik, sebab jurnalisme hanya berurusan dengan fakta-fakta. Seluruh materi jurnalistik biasa disebut sebagai berita (news). Ini adalah sebutan umum untuk seluruh hasil kerja wartawan yang dikumpulkan dari realitas. Tetapi dalam penyajian fakta ini, pers biasa pula mengutip pendapat, pemikiran atau cita-cita seseorang. Seluruh pernyataan yang berasal dari alam pikiran ini sebenarnya disebut fiksi, bukan fakta. Untuk tidak merancukan dengan pengertian fiksi sebagai karya kesenian, maka dapat digunakan istilah faksi (Faction), faksi berada diantara kedua pola fakta-fiksi, yaitu materi faktual yang disajikan sebagai karya fiksi. Erik Barnow (international encyclopedia of communication, 1989) mengatakan: “A good example is what has been called faction – that is, novel. Play, or film explicy based on some real life even”.
Demikianlah, berkias dengan pengertian diatas, dalam kaitan dengan karya jurnalistik, seluruh dunia alam pikiran dari manusia yang dijadikan sebagai nara sumber dalam reportase, dapat disebut sebagai faksi.
Untuk memnjadi informasi, setiap materi informasi harus diwujudkan melalui penggunaan bahasa. Maka, perlu dipikirkan kembali untuk bisa membahasakan informasi dan realitas menjadi benar-benar sebagai bahasa jurnalistik. Bahasa di sini bisa menjadi alat komunikasi yang mengemban fungsi sosial. Dalam fungsinya ini substansi dari materi komunikasi memiliki energi yang memungkinkan masuk kedalam alam sosial. Selain itu behasa juga mengemban fungsi etis. Yaitu penggunaannya berpretensi menjaga ideologi dalam hubungan sosial. ideologi (“kerukunan”, “stabilitas”, “kesopanan”, “reformasi”), misalnya, bisa merupakan nilai otentik yang dianut oleh komunikator, tetapi bisa juga hasil rekayasa struktural atas diri komunikator tersebut. Kedua hal ini akan membewa implikasi yang berbeda. Kemudian bahasa juga menjadi fungsi estetis, yaitu yang penggunaannya membawa kesenangan psikologis. Dari fungsi-fungsi bahasa semacam ini, jika digunakan dalam jurnalisme, juga akan membawa orientasi yang berbeda.
Bahasa sebagai alat yang berfungsi sosial, akan menghadapkan pemakainya kepada pemilihan-pemilihan materi komunikasi berdasarkan substansinya yang berkonteks sosial pula. Untuk itu pula dengan sendirinya digunakan bahasa dalam konteks sosial pula. Demikianla, menggunakan bahasa dalam konteks sosial merupakan praktek yang tidak terpisahkan dalam jurnalisme. Dengan bahasa jurnalistik standard, materi harus secara telanjang ditampilkan sebagai informasi. Disini dikenal bahasa jurnalistik yang lugas dan langsung. Bahasa dalam konteks sosial sepenuhnya dimaksudkan untuk fungsi komunikasi, yaitu membangun pengertian (sharing of meanings). Ini jelas sangat berbeda dengan bahasa yang berfungsi etis, yang sangat bergantung denga rekayasa bahasa yang dilakukan oleh si komunikator itu.
Lihat sajalah, kita semua sudah tahu, pola eufisme itu ya dimaksudkan untuk fungsi etis. Eufeisme, berasal dari kata Yunani euphemizein, yait menggunakan kata-kata dengan tujuan memperhalus makna fakta untuk menjaga atau menyinggung perasaan. Saking halusnya hingga mengaburkan bahkan menghilangkan realitas yang sebanarnya terjadi.
Contoh, pemberitaan yang semestinya bisa saja langsung ditulis “banyak warga pacitan kelaparan”, kenapa juga ditulis “dijumpai warga pacitan yang kekurangan gizi”. Menjadi orang santun melalui bahasa tentulah baik saja adanya, tetapi kesantunan yang diwujudkan dalam pilihan kata akan berbeda jika dibawa ke skala makro, yaitu hubungan antar institusi dalam sistem sosial. Dalam kebahasaan yang bersifat struktural ini , bukan lagi pilihan kata (diksi) demi kesantunan antar institusi yang berlangsung. Sebab sejatinya bahasa digunakan se bagai penyelamat pelaku komunikasi yang menjadi bagian suatu institusi dalam interaksi yang bersifat institusional. Karenanya bahasa yang berfungsi etis itu sebenarnya menyimpan dua kemungkinan dorongan, yaitu format dari sikap submisif, atau format bagi perkelitan dari dominasi kekuasaan.
Kalau sekedar ditulis “kekurangan gizi”, bisa jadi banyak orang berfikir solusi untuk warga pacitan adalah membantu tersedianya kecukupan dan kelengkapan kebutuhan gizi, tetap jika gamblang ditulis “kelaparan”, apalagi banyak warga yang mengalami, ceritanya bisa lain. Orang akan sibuk berfikir dari soal ekonomi, misalnya, bagaimana distribusi PAD, subsidi atau bantuan negara, sampai ketersediaan lapangan kerja, pengangguran, income per capita, atau malah dugaan adanya korupsi oleh pejabat setempat, lantaran kok bisa warga pacitan banyak yang kelaparan di tengah kemajuan relatif ekonomi daerah-daaerah lain.
Contoh lain ialah jurnalis sering berhadapan denganperintah “off the record”, yang semestinya memang berupaya menjaga privasi nara sumber berita, namun masalah menghilangkan atau meniadakan fakta realitas yang terjadi dengan tidak jadi menuliskannya sbagai berita hanya karena titah “off the record” itu.
Karya jurnalisme semacam ini dapat dijadikan indikator akan kondisi struktural yang rawan. Artinya orang perlu waspada bahwa sistem yang melingkupi sudah sedemikian tertutup dan totalitarian. Pers tidak lagi berfungsi dalam sistem sosial, sebab harus dihadapi melulu sebagai wacana sandi (sekadar simbol, tanda, lambang, aturan baku yang kerap kali kaku). Tidak ada jaminan bahwa discourse dari suatu fakta sosial dapat ditangkap dengan membaca discourse reportase. Padahal reportase jurnalistik seharusnya menjadi bahasa denotasi, bukan lagi sekadar konotasi atas fakta sosial, sehingga discourse keduanya akan identik dalam persepsi khalayak, ya sekali lagi persepsi pembebasan dan pencerahan.
Ada lagi yang mesti dimengerti dalam menuliskan bahasa jurnalistik, yaitu, gaya bahasa. Ini memang sangat dipujikan dalam dunia sastra. Semakin indah dan orisinal, semakin tinggi nilainnya dilingkungan pers dikenal juga gaya dalam bahasa jurnalistik. Menampilkan fakta sosial secara langsung dan jelas.
Gaya bahasa jurnallistik adalah untuk tujuan efisiensi dan efektifitas komunikasi. Dengan efisien dan efektif dimaksudkan agar discourse fakta sosial dapat ditangkap dan dimengerti dengan cepat dan mudah. Secar metodologis biasa disebut sebagai tingginya tingkat readability (keterbacaan) dari suatu wacana.
Selain efisien dan efektif, wacana dalam komunikasi juga sering dituntut untuk “enak” dibaca, didengar dan ditonton. “enak” tidaknya suatu wacana, tidak hanya tergantung kepada pilihan diksi, tetapi juga kepada struktur wacana. Inilah perbedaan dari karya sastra dengan karya jurnalistik adalah tendensi dalam komunikasinya. Jika “enak” dalam sastra dimaksudkan untuk mencaaapai efek estetis pada dunia psikologis pembacanya, maka dalam jurnalisme sama sekali bukan bertujuan estetis. Dalam menyampaikan fakta sosial, jurnalisme bertujuan untuk membawa pembacanya ke-alam psikologis, namun kealam sosial. Misalnya, (sekali lagi hanya umpama saja). Suatu ketika terjadi seorang dosen berbuat mesum dengan menggaulli mahasiswinya (yang memang dikehendaki sendiri untuk memperoleh IP Cumloude). Maka, atas nama pengungkapan fakta sosial, bukan fakta psikologis atau estetika sastra, kejadian itu boleh saja diberitakan dengan gaya bahasa, “ Anak buah Kabul berbuat Cabul”.
Karenanya suatu reportase jurnalistik yang efeknya berhenti dialam psikologis perlu dicurigai sebagai sekedar menjual kata-kata dengan label jurnalisme. Reportase semacam ini dapat ditandai dari materi yang disampaikannya, yaitu sejauhmana sebagai fakta sosial, lebih jauh lagi, relevansinya dengan konteks alam sosial khalayak. Jika gaya bahasa dijual sebagai komoditi dalam struktur yang menekan, bahkan dengan mengabaikan fakta sosial ini lebih parah keadaannya dari pada penggunaan bahasa dalam kondisi submisif dan berkelit tadi. Sebab dengan menjadikan gaya bahasa sebagai komoditi, dengan sikap submisif dalam struktur sosial dia sekaligus mendidik khalayak untuk menjadi eskapistis, atau istilah kerennya “mengamankan diri”.
Tujuan pasar memang menghantui kaum jurnalis. Menjaga oplah dan ikutannya berupa iklan yang sudah memberi keuntungan, merupakan masalah bisnis yanag harus dipahami oleh kaum jurnalis di lingkungan pers industrial. Ataupun menjaga subsidi dan kucuran anggaran dari institusi oleh kaum jurnalis dilingkungan pers mahasiswa.
Jawaban untuk kendala-kendala struktural, tentulah tidak melalui bahasa. Lebih-lebih dengan bahasa etis dan estetis. Juga tidak dengan manajemen reporting yang dijalankan secara teknokratis (target jumlah nara sumber, biaya, waktu dan sebagainya). Tetapi penilaian yang kritis pilihan dan substansi fakta sosial. Untuk kerja semacam ini memang tidak bisa dituntut dari sekedar jurnalis dengan kapasitas operator maupun manajer, melainkan seorang yang memiliki kesadaran struktural.
Bahan Pengambilan Refrensi :
Anderson, B R O’G (1966). “The Languages of Indonesian Politics.” Dalam Andernson Language And Power: exploring political cultures in indonesia, cornell P.P, ithaca & london:
Ibrahim, Idy Subandi dan Malik, Deddy Djamaluddin (editor), (1997), Hegemoni Budaya, Penerbit Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta
Latif, Yudi, Ibrahim, Idy Subandi (editor),(1996), Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru, Penerbit Mizan, Bandung
Muslimin dan Djuroto, Totok, (1999), Tehik Mencari dan Menulis Berita: Petunjuk Praktis Untuk Wartawan Pemula, Penerbit Dahara prize, Semarang.
Siregar, Ashadi, dkk. (1998), Bagaimana Meliput dan Menulis Berita Untuk Media Massa, Lembaga Penelitian Pendidikan Dan Penerbitan Yogya (LP3Y) dan Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Untuk itu, pertama-tama akan dibeberkan landasan teoritis yang dipakai, yakni pendekatan semiotik yang dikaitkan dengan pendekatan marxian terhadap masyarakat, barulah kita bicara soal perspektif bahasa jurnalisme ini. pembebeRan soal semiotik atau penandaan (makna kata dan tentunya makna bahasa) tak terhindarkan dengan tujuan agar pilihan kata dan bahasa yang pakai benar-benar bisa menggambarkan realitas yang sesunguhnya.
JURNALISTIK, sebagai kegiatan untuk menyiapkan, mengedit, menulis dan melaporkan suatu realitas untuk surat kabar, majalah atau berkala dan media lainnya menjadi kekuatan tersendiri dalam sistemkemasyarakatan (baik sistem sosial maupun sistem politik) yaitu kekuatannya sampai membuat Napoleon Bonaparte mengatakan kurang lebih demikian “ aku lebih menakuti pena seorang jurnalis ketimbang seribu serdadu dengan pedang terhunus”.
Bagitulah, kekuatan dahsyat yang terkandung dalam jurnalistik menjadi terbukti apabila mampu menangkap realitas dengan jernih, tegas, akurat, mudah dimengerti tanpa tedeng aling-aling. Itu semua hanya bisa dilakukan melalui penguasaan dan penggunaan bahasa yanag selain baik dan benar juga berdaya rekam yang tinggi dan tepat atas realitas yang hendak diungkapkan.
Kejelian mengidentifikasikan realitas yang penting dan menarik untuk diberitakan atau kemahiran mengumpulkan fakta yang lengkap dan akurat, sama sekali tidak berarti apa-apa jika tidak dapat disampaikan kepada pihak lain dalam bahasa yang mudah dimengerti.
Bahasa yang digunakan manusia pada dasarnya dibedakan atas dua jenis, yaitu bahasa lisan dan bahasa tulisan. Bahasa lisan dan tulisan memiliki syarat-syarat yang berbeda. Bahasa tulisan digunakan tanpa bantuan intonasi, gerak, dan situasi sebagaimana yang dapat dimanfaatkan oleh bahasa lisan. Dalam bahasa tulisan kita hanya dapat menggunakan kata-kata konvensional, yanag berdasarkan system konvensional dapat dijadikan kalimat.
Menggunakan bahasa tulisan menghendaki ketelitian, konstruksi kalimat yang lebih logis, kemampuan pemilihan, serta pembentukan kata yang lebih tepat. Karena itu pengetahuan dan penguasaan tata bahasa, gaya bahasa serta makna bahasa harus dikuasai.
2. Pendekatan Semiotik terhadap Bahasa
SEMIOTIK, atau nama lainnya : semiologi, semasliologi, akar katanya adalah kata bahasa gerika atau Yunani, semeion, yang berarti tanda (bhs. Inggris: sign: bhs. Prancis: signe: Bhs. Latin: signum). Ilmu ini dikenal juga dengan nama signifik, karena utak-atik sign, atau signum tadi. Definisi yang lebih lengkap: studi ilmiah mengenai sifat-sifat (propertis) sistem-sistem penandaan (signalling system), baik yang alamiah ataupun yang buatan.
Tapi marilah kita kembali dulu ke urusan tanda-tanda. Tanda memiliki dua komponen: bentuk dan makna (form and meaning). Bentuk, atau signifier, signifiant, signans, adalah rupa suatu tanda. Bahasa misalnya, adalah sistem tanda yang antara lain tandanya adalah kata-kata. Kata mempunyai rupa bunyi-bunyi yang direnteng dengan aturan tertentu. Sebetulnya in and of itself, bentuk suatu kata tidak punya arti. Yang punya arti adalah maknanya, atau signified-nya, Signifie-nya, signatum-nya. Tapi, buat kebanyakan orang yang berkomunikasi, bentuk dan makna itu tak terpisahkan. Cuma ahli semiotik saja yang memisahkan keduanya. Bahkan buat orang kebanyakan aneh sekali kalau bentuk dan makna itu coba untuk dipisahkan. Buat orang kebanyakan, bentuk dan makna itu menjadi satu satuan yang utuh. Ya, bentuk itu yang mereka anggap makna, dan makna itu tidak bisa mereka pikirkan ada bentuknya yang lain.
Menyatunya bentuk makna ini kelihatan kalau kita pakai contoh lambang atau simbol , yaitu jenis tanda yang sebetulnya hubungan antara bentuk dan maknanya sembarangan alias arbiter alias seenaknya saja. Arbiternya ini kelihatan kalau kita bandingkan dengan sistem komunikasi (bahasa) yang lain misalnya: kenapa ada satu binatang yang dinamakan anjing dalam bahasa melayu, asu atau kirik dalam bahasa jawa, dog dalam bahasa inggris, inu dalam bahasa jepang, hond dalam bahasa belanda, gou dalam bahasa tionghoa? Tidak ada aturannya kan ?.
Nah, kalau kita perhatikan, coba lihat simbol-simbol keagamaan, umpamanya. Sebetulnya kan dua potong kayu itu sebagai bentuk, ya dua potong kayu, tapi buat orang kristen, kalau dua potong kayu itu diikat berbentuk salib, tiba-tiba, ia menjadi lambang kristen yang amat kuat. Kalau menurut Clifford Geertz dan antropolog simbolik lainnya, salib itu tidak lagi bisa dipisahkan mana yang bentuk dan mana yang makna. Ya, salib itulah sendiri maknanya. Buktinya, kalau dua potong kayu it diinjak-injak oleh orang, maka orang kristen akan tersinggung, biarpun si penginjaknya nggak punya niat apa-apa kecuali melihat ada banyak semut, misalnya, di kayu itu. Ingat juga bagaimana kayu salib bisa dipakai menakut-nakuti setan, iblis dll. Banyak contoh seperti ni dalam dunia kita: bendera lambang negara, fiti presiden atau apalagi raja dan ratu, orang alim, tokoh partai, kitab suci (sebetulnya kertas kan kertas, tapi begitu ada tulisannya, sudah lain ceritanya).
Kalau dilihat dari sudut lain, bisa dibilang bahwa lambang itu tidak cuma arbiter, tapi juga konvensional. Maksudnya, berdasarkan kesepakatan. Anjing diberi nama anjing dalam bahasa melayu, karena orang-orang yang pakai bahasa ini sepakat ya binatang itu namanya anjing! Kalau ada yang memberi nama lain terhadap binatang itu, kucing atau tahu, misalnya, ya paling tidak dianggap aneh. Tapi kalau orang itu berkuasa dan punya segudang pengaruh (ekonomi, politik, spiritual, apa saja), ceritanya kan lain. Reaksi orang atas kentut orang berkuasa dengan orang biasa, sudah lain lagi ceritanya.
Nah, itu hal berikutnya dalam uraian ini: lambang itu sebetulnya diproduksi dan direproduksi oleh masyarakatnya. Kalau menurut pendekatan marxian, produksi dan reproduksi itu bertalian erat dengan apa yang dinamakan hubungan sosial produksi, atau social relations of production. Yang pegang kuasa dalam hubungan itu biasanya juga bisa menentukan makna apa yang dikandung di dalam lambang itu. Ini lebih krusial kalau lambang itu bukan cuman hal-hal kongkrit seperti anjing dan kucing, tapi soal-soal demokrasi, misalnya. Siapa sih yang menentukan makna demokrasi ?, kan kenyataannya yang bisa punya kuasa dan pengaruh di dalam suatu masarakat itu sendiri.
Juga, mesti di ingat bahwa lambang itu bukan cuman konsep-konsep atau kata-kata saja. Dalam semiotik, yang dipandang sebagai lambang ialah segala sesuatu yang terlibat dalam komunikasi antara dua atau lebih manusia: volume suara, pakaian, bau badan, gerak-gerik, bentuk rumah. Pokoknya semua yang diproduksi dan direproduksi oleh masyarakat kita.
Dalam semiotik, pekerjaan kita adalah membongkar-pasang (dekonstruksi) lembang-lambang itu. Dari dekonstruksi itu kita bisa tahu, apa sebetulnya dibalik produksi lambang tertentu. Dari situ kita tahu bahwa sebetulnya semua lambang itu bersifat relatif, tergantung masyarakatnya, tergantung sistem produksi maknanya, tergantung siapa yang menentukan produksi, tergantung siapa yang diuntungkan produksi itu.
Lantas, kalau kita sudah tahu bahwa makna itu relatif, mau apa ?, ya tentunya terserah saja. Kalau mau jadi pengamat saja, ya sudah, selesai pekerjaan kita. Tapi ada yang sesudah tahu bahwa makna itu relatif dan diproduksi oleh yang pegang kuasa (hegemonik) dalam suatu masyarakat, merasa tidak puas, merasa dibohongi, dan coba bikin perubahan, atau paling tidak mempermainkan atau tidak ambil serius produksi makna itu. Ini disebut culture of resistence atau budaya penentangan.
Satu kiat yang mudah sebetulnya adalah benar-benar memikirkan pemaknaan dalam diskursus kita, yang adakalanya menentang diskursus baku resmi negara. Kebiasaan berbahasa yang lugas dan resisten (sekurang-kurangnya skeptis-kritis-lah) akan membarengi dan mewarnai sikap dan perilaku kita yang mencurigai kekuasaan dan mendampingi yang lemah dan tertindas. Kita perlu peka terhadap diskursus resisten yang masih ada disekitar kita. Penguasaan dan penggunaan bahasa yang lugas dan resisten dalam bahasa jurnalistik inilah yang menjadikan pers sebagai sosok yang menakutkan bagi kekuasaan yang coba-coba bermain dengan kekuasaannya. Bahasa yang klise, klasik, feodal, ikut-ikutan yang nggak repot-repot atau apa saja namanya justru membuat jurnalistik kehilangan makna dan kekuatannya.
Jadi, memang kita perlu memperhatikan kode etik juirnalistik, 10 pedoman pemakaian bahasa untuk pers, tata bahasa indonesia yang baku dan resmi, tapi pertanyaannya ialah apa itu semua cukup menjamin menjadikan pers atau jurnalistik bagai serdadu yang bergerilya siap menyerbu dan menakutkan bagi sebuah penyimpangan dan menyejukkan bagi sebuah pembebasan dan pencerahan ?.
3. Perspektif Bahasa Jurnalsme
Apa yang dipungut oleh jurnalis sebagai informasi adalah segala kejadian yang berlangsung dalam berbagai institusi sosial. Masalahnya disini adalah, sejauh mana masyarakat bertindak sebagai pelaku dalam institusi sosial tersebut?. Bisa jadi, kekuasaan negara yang ketat akan merekayasa seluruh institusi yang ada itu agar sesuai dengan garis ideologis (mungkin ideologi ini disebut “pembangunan”, “kerukunan”, “reformasi”, atau keluhuran hidup lainnya). Sehingga yang berlangsung sebenarnya bukan dinamika yang otentik dari kehidupan masyarakat, tapi peristiwa-peristiwa yang direkayasa oleh kekuasaan negara sebagai peragaan dari ideologi-ideologi yang menjadi sumber haluan kenegaraan dan kemasyarakatan.
Dalam menjalankan fungsinya, nilai informasi pers dapat dilihat dalam kaitan dengan sistem sosial. Untuk itu media massa dapat menjalankan fungsi politik, ekonomi, atau sosial kultural. Ini berdasarkan informasi yang disampaikannya berupa fakta sosial, yaitu fakta politik, fakta ekonomi, dan fakta sosial kultural. Dengan demikian setiap fakta sosial perlu dilihat secara tajam, apakah memang berasal dari dinamika masyarakat yang otentik, ataukah hasil dari rekayasa kekuasaan negara atau kepentingan tertentu. Semakin banyak informasi berupa fakta sosial hasil rekayasa itu dengan sendirinya semakin jauh dari kehidupan masyarakat. Jika pers tak terelakkan menjadi media organika dari kekuasaan negara, seharusnya dia diongkosi oleh birokrasi pemerintah, tidak sebagai perusahaan swasta yang harus didukung oleh konsumen yang harus membeli produknya.
Jika rekayasa oleh kekuasaan dan kepentingan yang bersifat institusional itu berlangsung ketat dan menyeluruh, maka jurnalis hanya akan menghadapi fakta sosial buatan. Maka bahasa jurnalistik-nya pun akan ketara dibuat-buat. Memang ada realitas yang berada diluar kapasitas negara untuk merekayasanya, sepenuhnya berada dalam kehidupan masyarakat. Seperti musibah (alam atau kecelakaan, kecuali juga kecelakaan yang direkayasa, atau penyimpangan social, penyelewengan seks, perkosaan atau kriminalitas). Surat kabar Memorandum atau Pos Kota Jakarta memilih realitas semacam ini sebagai bahan utama informasinya sehingga bahasa jurnalistiknya pun mengikuti saja tanpa perlu repot-repot meresisten dan kritis. Informasi semacam ini dapat ditampilkan dengan bahasa yang telanjang, memang berkaitan dengan kehidupan masyarakat yang ada di dalam konsumennya.
Dengan memaparkan masalah yang bersifat struktural dalam keberadaan sistemik institusi pers, diharapkan diperoleh gambaran tentang sifat substansial dari fakta sosial yang akan dijadikan informasi. Dari sini bisa dilanjutkan dengan melihat mekanisme yang bertolak dari jurnalisme yang dijalankan oleh para jurnalis.
Informasi itu kan selamanya merupakan materi komunikasi. Informasi yang relvan bagi seseorang dapat digunakan dalam menentukan sikap dan posisinya dalam masyarakat. Karenanya dalam jurnalisme sangat penting pemilahan yang tajam atas informasi berdasarkan sifat-sifatnya.
Fiksi yang semata-mata dimaksudkan sebagai ekspresi estetis, adalah bukan karya jurnalistik, sebab jurnalisme hanya berurusan dengan fakta-fakta. Seluruh materi jurnalistik biasa disebut sebagai berita (news). Ini adalah sebutan umum untuk seluruh hasil kerja wartawan yang dikumpulkan dari realitas. Tetapi dalam penyajian fakta ini, pers biasa pula mengutip pendapat, pemikiran atau cita-cita seseorang. Seluruh pernyataan yang berasal dari alam pikiran ini sebenarnya disebut fiksi, bukan fakta. Untuk tidak merancukan dengan pengertian fiksi sebagai karya kesenian, maka dapat digunakan istilah faksi (Faction), faksi berada diantara kedua pola fakta-fiksi, yaitu materi faktual yang disajikan sebagai karya fiksi. Erik Barnow (international encyclopedia of communication, 1989) mengatakan: “A good example is what has been called faction – that is, novel. Play, or film explicy based on some real life even”.
Demikianlah, berkias dengan pengertian diatas, dalam kaitan dengan karya jurnalistik, seluruh dunia alam pikiran dari manusia yang dijadikan sebagai nara sumber dalam reportase, dapat disebut sebagai faksi.
Untuk memnjadi informasi, setiap materi informasi harus diwujudkan melalui penggunaan bahasa. Maka, perlu dipikirkan kembali untuk bisa membahasakan informasi dan realitas menjadi benar-benar sebagai bahasa jurnalistik. Bahasa di sini bisa menjadi alat komunikasi yang mengemban fungsi sosial. Dalam fungsinya ini substansi dari materi komunikasi memiliki energi yang memungkinkan masuk kedalam alam sosial. Selain itu behasa juga mengemban fungsi etis. Yaitu penggunaannya berpretensi menjaga ideologi dalam hubungan sosial. ideologi (“kerukunan”, “stabilitas”, “kesopanan”, “reformasi”), misalnya, bisa merupakan nilai otentik yang dianut oleh komunikator, tetapi bisa juga hasil rekayasa struktural atas diri komunikator tersebut. Kedua hal ini akan membewa implikasi yang berbeda. Kemudian bahasa juga menjadi fungsi estetis, yaitu yang penggunaannya membawa kesenangan psikologis. Dari fungsi-fungsi bahasa semacam ini, jika digunakan dalam jurnalisme, juga akan membawa orientasi yang berbeda.
Bahasa sebagai alat yang berfungsi sosial, akan menghadapkan pemakainya kepada pemilihan-pemilihan materi komunikasi berdasarkan substansinya yang berkonteks sosial pula. Untuk itu pula dengan sendirinya digunakan bahasa dalam konteks sosial pula. Demikianla, menggunakan bahasa dalam konteks sosial merupakan praktek yang tidak terpisahkan dalam jurnalisme. Dengan bahasa jurnalistik standard, materi harus secara telanjang ditampilkan sebagai informasi. Disini dikenal bahasa jurnalistik yang lugas dan langsung. Bahasa dalam konteks sosial sepenuhnya dimaksudkan untuk fungsi komunikasi, yaitu membangun pengertian (sharing of meanings). Ini jelas sangat berbeda dengan bahasa yang berfungsi etis, yang sangat bergantung denga rekayasa bahasa yang dilakukan oleh si komunikator itu.
Lihat sajalah, kita semua sudah tahu, pola eufisme itu ya dimaksudkan untuk fungsi etis. Eufeisme, berasal dari kata Yunani euphemizein, yait menggunakan kata-kata dengan tujuan memperhalus makna fakta untuk menjaga atau menyinggung perasaan. Saking halusnya hingga mengaburkan bahkan menghilangkan realitas yang sebanarnya terjadi.
Contoh, pemberitaan yang semestinya bisa saja langsung ditulis “banyak warga pacitan kelaparan”, kenapa juga ditulis “dijumpai warga pacitan yang kekurangan gizi”. Menjadi orang santun melalui bahasa tentulah baik saja adanya, tetapi kesantunan yang diwujudkan dalam pilihan kata akan berbeda jika dibawa ke skala makro, yaitu hubungan antar institusi dalam sistem sosial. Dalam kebahasaan yang bersifat struktural ini , bukan lagi pilihan kata (diksi) demi kesantunan antar institusi yang berlangsung. Sebab sejatinya bahasa digunakan se bagai penyelamat pelaku komunikasi yang menjadi bagian suatu institusi dalam interaksi yang bersifat institusional. Karenanya bahasa yang berfungsi etis itu sebenarnya menyimpan dua kemungkinan dorongan, yaitu format dari sikap submisif, atau format bagi perkelitan dari dominasi kekuasaan.
Kalau sekedar ditulis “kekurangan gizi”, bisa jadi banyak orang berfikir solusi untuk warga pacitan adalah membantu tersedianya kecukupan dan kelengkapan kebutuhan gizi, tetap jika gamblang ditulis “kelaparan”, apalagi banyak warga yang mengalami, ceritanya bisa lain. Orang akan sibuk berfikir dari soal ekonomi, misalnya, bagaimana distribusi PAD, subsidi atau bantuan negara, sampai ketersediaan lapangan kerja, pengangguran, income per capita, atau malah dugaan adanya korupsi oleh pejabat setempat, lantaran kok bisa warga pacitan banyak yang kelaparan di tengah kemajuan relatif ekonomi daerah-daaerah lain.
Contoh lain ialah jurnalis sering berhadapan denganperintah “off the record”, yang semestinya memang berupaya menjaga privasi nara sumber berita, namun masalah menghilangkan atau meniadakan fakta realitas yang terjadi dengan tidak jadi menuliskannya sbagai berita hanya karena titah “off the record” itu.
Karya jurnalisme semacam ini dapat dijadikan indikator akan kondisi struktural yang rawan. Artinya orang perlu waspada bahwa sistem yang melingkupi sudah sedemikian tertutup dan totalitarian. Pers tidak lagi berfungsi dalam sistem sosial, sebab harus dihadapi melulu sebagai wacana sandi (sekadar simbol, tanda, lambang, aturan baku yang kerap kali kaku). Tidak ada jaminan bahwa discourse dari suatu fakta sosial dapat ditangkap dengan membaca discourse reportase. Padahal reportase jurnalistik seharusnya menjadi bahasa denotasi, bukan lagi sekadar konotasi atas fakta sosial, sehingga discourse keduanya akan identik dalam persepsi khalayak, ya sekali lagi persepsi pembebasan dan pencerahan.
Ada lagi yang mesti dimengerti dalam menuliskan bahasa jurnalistik, yaitu, gaya bahasa. Ini memang sangat dipujikan dalam dunia sastra. Semakin indah dan orisinal, semakin tinggi nilainnya dilingkungan pers dikenal juga gaya dalam bahasa jurnalistik. Menampilkan fakta sosial secara langsung dan jelas.
Gaya bahasa jurnallistik adalah untuk tujuan efisiensi dan efektifitas komunikasi. Dengan efisien dan efektif dimaksudkan agar discourse fakta sosial dapat ditangkap dan dimengerti dengan cepat dan mudah. Secar metodologis biasa disebut sebagai tingginya tingkat readability (keterbacaan) dari suatu wacana.
Selain efisien dan efektif, wacana dalam komunikasi juga sering dituntut untuk “enak” dibaca, didengar dan ditonton. “enak” tidaknya suatu wacana, tidak hanya tergantung kepada pilihan diksi, tetapi juga kepada struktur wacana. Inilah perbedaan dari karya sastra dengan karya jurnalistik adalah tendensi dalam komunikasinya. Jika “enak” dalam sastra dimaksudkan untuk mencaaapai efek estetis pada dunia psikologis pembacanya, maka dalam jurnalisme sama sekali bukan bertujuan estetis. Dalam menyampaikan fakta sosial, jurnalisme bertujuan untuk membawa pembacanya ke-alam psikologis, namun kealam sosial. Misalnya, (sekali lagi hanya umpama saja). Suatu ketika terjadi seorang dosen berbuat mesum dengan menggaulli mahasiswinya (yang memang dikehendaki sendiri untuk memperoleh IP Cumloude). Maka, atas nama pengungkapan fakta sosial, bukan fakta psikologis atau estetika sastra, kejadian itu boleh saja diberitakan dengan gaya bahasa, “ Anak buah Kabul berbuat Cabul”.
Karenanya suatu reportase jurnalistik yang efeknya berhenti dialam psikologis perlu dicurigai sebagai sekedar menjual kata-kata dengan label jurnalisme. Reportase semacam ini dapat ditandai dari materi yang disampaikannya, yaitu sejauhmana sebagai fakta sosial, lebih jauh lagi, relevansinya dengan konteks alam sosial khalayak. Jika gaya bahasa dijual sebagai komoditi dalam struktur yang menekan, bahkan dengan mengabaikan fakta sosial ini lebih parah keadaannya dari pada penggunaan bahasa dalam kondisi submisif dan berkelit tadi. Sebab dengan menjadikan gaya bahasa sebagai komoditi, dengan sikap submisif dalam struktur sosial dia sekaligus mendidik khalayak untuk menjadi eskapistis, atau istilah kerennya “mengamankan diri”.
Tujuan pasar memang menghantui kaum jurnalis. Menjaga oplah dan ikutannya berupa iklan yang sudah memberi keuntungan, merupakan masalah bisnis yanag harus dipahami oleh kaum jurnalis di lingkungan pers industrial. Ataupun menjaga subsidi dan kucuran anggaran dari institusi oleh kaum jurnalis dilingkungan pers mahasiswa.
Jawaban untuk kendala-kendala struktural, tentulah tidak melalui bahasa. Lebih-lebih dengan bahasa etis dan estetis. Juga tidak dengan manajemen reporting yang dijalankan secara teknokratis (target jumlah nara sumber, biaya, waktu dan sebagainya). Tetapi penilaian yang kritis pilihan dan substansi fakta sosial. Untuk kerja semacam ini memang tidak bisa dituntut dari sekedar jurnalis dengan kapasitas operator maupun manajer, melainkan seorang yang memiliki kesadaran struktural.
Bahan Pengambilan Refrensi :
Anderson, B R O’G (1966). “The Languages of Indonesian Politics.” Dalam Andernson Language And Power: exploring political cultures in indonesia, cornell P.P, ithaca & london:
Ibrahim, Idy Subandi dan Malik, Deddy Djamaluddin (editor), (1997), Hegemoni Budaya, Penerbit Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta
Latif, Yudi, Ibrahim, Idy Subandi (editor),(1996), Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru, Penerbit Mizan, Bandung
Muslimin dan Djuroto, Totok, (1999), Tehik Mencari dan Menulis Berita: Petunjuk Praktis Untuk Wartawan Pemula, Penerbit Dahara prize, Semarang.
Siregar, Ashadi, dkk. (1998), Bagaimana Meliput dan Menulis Berita Untuk Media Massa, Lembaga Penelitian Pendidikan Dan Penerbitan Yogya (LP3Y) dan Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
1 komentar:
Wah...bagus mas Ghani...anda cukup kaya dengan referensi.... Terus...terus banyak menulis ... kalau mungkin potret zaman ini lewat tulisan anda... Promosikan juga MADURA ini biar tak kalah dengan Bali dengan segala keunikannya sendiri... Dan banyak-banyaklah bersilaturahmi ke saudara-saudara kita se tanah air....SALAM SUKSES
Posting Komentar