Jilbab malam tuntas dikenakan langit, dengan hias-hias payetan beberapa kian bintang, seusai kelopak-kelopak senja berguguran. Senyum sabit merah masih nampakkan lelah, mengintip di antara daun belimbing, dan jatuh setelah menerobos santun menyibak tirai.
Sedang dalam sujud lembut lelaki itu masih saja terbenam di antara rakaat-rakaatnya. Hanyut dalam hening. Hanya nada detak jarum detik dari jam dinding berbentuk kotak di kamar kost itu yang sedikit mengaburkan hening. Kasur lantai beralas tikar masih tergulung di sisi sajadah merah, tempat lelaki itu mendirikan shalat. Dan diambang pintu, sejak tadi sesosok gadis tampak rela dan setia duduk menunggu. Menunggu lelaki itu usai dari shalatnya.
Usil-usil sambil menunggu, gadis itu membidikan kamera dari ponselnya. Mengambil sujud hingga tahiyat lelaki berwajah teduh itu. Gadis itu datang dengan sebuah pertanyaan atas harapan yang ia rangkai sendiri jawabannya, berdasar pada keyakinannya. Hanya kali ini dia ingin mendengar langsung jawabannya dari bibir lelaki itu. Dia ingin segera merasakan ucapan indah itu darinya. Karena hanya ialah lelaki yang tertangkap lain oleh perasaannya.
“Rupanya ada tamu. Sudah lama, De’?” tanya lelaki itu dalam masih melipat sajadah merah berbahan beludru. Senyum si gadis merekah. Kaos biru ketatnya amat menyala dijilat terang lampu lima belas watt.
“Emm,lumayan lama. Sekitar lima jaman Kak!” candanya, sambil memasukan kembali ponsel ke dalam tasnya. Dan hanya ada kulum senyum dari lelaki itu. Lelaki itu melanjutkan pertanyaannya, “Memang ada apa malam-malam begini De’? Tapi, tidak untuk nagih uang kost kan?, Karena minggu lalu sudah dibayar sama Ibu!”
Gadis berambut sebahu itu melongok keluar, sebentar, memperhatikan suasana sekitar. “Nggak lah Kak. Saya kesini cuma ingin cepet-cepet denger jawabannya!” ada nada manja dalam nada bicaranya. Tapi masih hanya senyum yang keluar dari lelaki dengan wajah menunduk itu.
“Iih.. Kok malah senyum-senyum sih, Kak? Bukannya saya disuruh masuk dulu!” gerutunya, menampakan warna manja yang sama. “Tapi lebih baik kita bicaranya di luar. Di dalam nggak enak sama tetangga!”. “Cuek aja Kak. Toh kontrak mereka punya papaku juga!”
“Ya sudah putri juragan kontrakan. Mau jawabannya atau tidak? Kalau mau, berarti kita bicara diluar!”. Jalan yang tak terlalu besar itu masih nampak agak ramai karena waktu sholat isya’ baru satu jam berlalu. Di bawah pohon belimbing di ujung jalan, masih nampak pedagang nasi goreng yang sedang meladeni sesosok ibu muda dan seorang gadis centil yang pura-pura sibuk dengan digit-digit ponselnya. Mencolok, dengan celana kira-kira berukuran sejengkal dua jempol dari pinggangnya. Di satu sisi merasa bangga telah bisa mengambil perhatian orang-orang yang melintas, tapi di sisi lain lagi, ia merasa risih. Terlihat dari delik dan kerutan kelopak matanya.
“Neng, ikut Abang dangdutan yo?, sapa pemuda jalanan yang baru aja lewat”. “Brengsek lu!” tiba-tiba, bersama sejurus tamparan yang mendarat di pipi seorang pemuda yang berani-beraninya mencolek tubuh moleknya. Pemuda itu tertawa-tawa saja sambil menyusul teman-temannya yang telah berlari terlebih dulu, sedang orang-orang yang melintas hanya tersenyum asyik saja.
“Kacian deh lu!” ujarnya sambil tertawa-tawa geli memperhatikan kejadian antara pemuda dan gadis bercelana mini di ujung jalan tadi.
“A’uudzu billahi minasy syaithaanirrajiim!” lirih ucap lelaki itu sambil menutup pintu kamar kostnya. Melangkah menuju gadis yang sudah duduk di bangku terlebih dulu di teras kontrakan paling pojok.
“Gimana, diterima kan?” sambut si gadis beserta rona yakinnya yang masih menyisakan sedikit tawa. Lelaki itu terdiam dengan duduk yang menjarak. “Kamu sudah shalat, De?” lelaki itu balik bertanya padanya. Dan perlahan warna aneh menggantikan rona yakin dan keceriaan tawa dari wajahnya. “Gadis itu, hanya mau jawabannya, Kak!” elaknya,mengaburkan cela.
Hening. Lelaki itu menghela nafas. Lama, karena terdapat rasa berat di dadanya. Ia tak ingin mengecewakan gadis manja itu, ia tak mau meretakkan keyakinan gadis itu, tapi….
“Hh, bagiku kamu tak cantik, De’!”
Dalam menunduk, alis si gadis menyimpul. Kini tak ada alasan lagi bagi keyakinannya untuk tak tersentak.
“Mengapa bisa??” ucapnya berkali-kali dalam hati.
Sungguh, dialah satu-satunya lelaki yang menyalahi hukum alam yang telah dibuat dan ditetapkannya atas semua lelaki. Padahal sebelumnya, tak ada dan tak mungkin akan ada lelaki yang mampu mengatakan bahwa dirinya tak cantik, bahkan ‘mereka’ mengakui bahwa dirinya nyaris sempurna, tapi lelaki ini… “Harusnya dia juga memujiku demikian!!”
Keheranan itu tak juga surut dari benaknya dan rasa sakit yang tak sedikit, kini terus saja menghimpit hatinya. Keyakinannya benar-benar telah salah dan kalah menyakitkan. Dan untuk yang kesekian kalinya, bintang-bintang itu mengerling entah pada tatapan mata siapa.
“Apa kau mencintai dirimu sendiri?”, tutur lelaki itu mengembalikan keheranan si gadis yang kini tertunduk diam.
“Siapapun orang itu, dia pasti mencintai dirinya, Kak!” kata-katanya kini lebih datar dan pantulkan kedewasaan, namun berakhir dengan sebuah isak tangis yang pelan diterpa ketemaraman malam.
“Bolehkah aku meminta sesuatu, De,?” lanjut lelaki itu.
Namun pertanyaan itu begitu tertangkap lain, hingga mampu menumbuh utuhkan retak-retak keyakinan di dada gadis itu lagi. Dia menoleh ke arah lelaki itu, tapi tetap pandangan lelaki itu lurus ke depan, memandang hampa jalan gang yang sudah mulai nampak sepi, seolah tak pernah hirau atas isak tangis si gadis terlebih atas penampilan khususnya malam ini, yang dinisbatkan hampir seluruh lelaki adalah”cantik sempurna”.
“Bolehkah aku meminta sesuatu?” lelaki itu mengulangi tanyanya.
“Mintalah. Seluruhku utuh untukmu, Kak!” dengan suka serta rela dia menuturkan pesona kata pamungkasnya, yang tak pernah dia berikan pada siapapun. Tapi mungkin dengan begitu “harga kemunafikan lelaki ini akan tergadaikan”, pikir piciknya. “Maukah kamu berjlbab?”, lanjut lelaki itu.
Sungguh, bukan ini yang gadis manja itu harapkan. Karena sebelumnya tak pernah terpikir malah akan dihadapkan dengan sebuah permintaan dan tak pernah terbayangkan akan melenggang pulang hanya membawa bimbang.
***
Rangkum-rangkum hari menimbang-nimbang bimbang. Dalam pertimbangan antara keraguan, kepatahan, kecamuk rasa malu, dan beserta sebuah harapan, namun kini. “Jika berjilbab?”
Dan jalan gelisah itu disapa sebentuk cercah dalam muqadimah sebuah pagi. Di kantin kampus sekelompok mahasiswa sedang ngalor-ngidul mengobrol dengan mata-mata yang sambil asyik larak-lirik sana-sini.
“Ya Habibi?, kata pemuda dikantin kepada Gadis itu.” dengan nada kaget berikut canda seseorang bertanya serta telunjuk yang menipu ke arah sesosok gadis berkerudung. namun tak ada jawaban, hanya ada keterkesimaan dalam tatap keterpukauan dan ketak percayaan mereka.
Ya gadis itu. Dengan wajah cemberut bernaung kerudung, sedangkan menguntit di belakangnya seorang lelaki dengan bibir terus nyerocos melayang-layangkan berjuta tanya padanya.
“Wah Brow, berarti nggak bakal ada pemandangan indah lagi dong?” celetuk seseorang dari mereka menimpali, yang berakhir tumpah dalam tawa serta celotehan selanjutnya. Gadis itu berhenti dalam langkah menuju kantin. Dia merasa lebih baik berbalik untuk kembali ke kelasnya.
“Terserah gue dong!” dengan bibir sengaja manyun sambil langkah setengah berlari.
Kata itu meluncur mengenai seorang lelaki penguntit tadi yang terus melayangkan tanya dan nada-nada protesnya. Bisa jadi, ini adalah hari terberat, termalu, karena di dalam kelas pun semua mata silih berganti menatap ke arahnya, tapi dengan tatapan-tatapan yang berbeda dari tatapan-tatapan yang sebelumnya. Dan rasa risih, akhirnya menuntun dia juga untuk buru-buru pulang, menuju pelataran parkir motor kampus. “Hai, berubah nih?, sapa teme-temenys, pengen kayak aku ya?” ujar canda seorang gadis berkerudung sambil menggandeng tangan seorang lelaki di sampingnya.
“Hei Kamu????, Sumpah lebih cantik!” timpal yang lelakinya menyelidik, dan tak menduga gandengan gadis disebelahnya akan berubah menjadi cubitan.
Gadis itu hanya tersenyum hampa seraya berucap salam, kemudian berlalu dengan motor maticnya, meninggalkan pertengkaran sepasang muslim yang tak muhrim di pelataran parkir.
Disambut pohon Palem tegak lurus yang terurus, kuntum-kuntum Mawar yang sudah merekah di taman rumah dan beberapa pohon Murbei yang belum berbuah. Mang Ahmad terlihat bersemangat membuka dan menutup pintu gerbang untuk putri satu-satunya sang majikan. Gadis itu pun membalas senyum ramah Mang Ahmad yang sudah setia membantu-bantu di rumahnya, hampir sepuluh tahun bersama istrinya, Bi Marni.
“Bagaimana hari pertama berjilbabmu?” tutur teduh ibunya sedikit menumbangkan bimbang yang sedang kembali membuatnya timpang. Si ibu melangkah dan memeluk anak gadisnya yang sedang berhadapan dengan sebuah cermin di kamarnya. Ia tahu anak gadisnya sedang kembali dikacau ragu.
“Kamu kuat pasti kok!”, saut Ibu dari belakang.
Gadis itu tersenyum dalam pelukan ibunya. Hawa sejuk pun terasa memeluk hatinya. Dia memungut kembali bulatnya niat dan tekad yang sempat tertinggal siang tadi.
“Dengan memakai kerudung, kamu malah lebih cantik”, lanjut ibunya, sambil mengusap titik-titik airmata di pipi gadis itu.
“Dan dengan kerudung itu, Ibu selalu tetap cantik!” tuturnya dibalas seulas senyum.
Senyap sejenak, dibelai damai dalam ikatan setali kasih. Kemudian Ibunya menjelaskan kalau lelaki yang kos disitu pulang kampung karena Ibunya sakit. Dengan spontan si Gadis itu bertanya, “pulangnya lama tidak Bu?” sahutnya.
“Insya Allah, lima hari katanya!” jawab ibunya seraya menyelidik.
“Benar, semua perubahan yang ada dikamu larena Laki-Laki itu?” terka ibunya. Gadis itu hanya menjawab dengan senyum sambil menunduk.
“Bu, Saya mau shalat dulu ah!” dengan kemudian berlari kecil menuju toilet di kamarnya. Sedangkan di kisi hatinya ada ucap-ucap sesal dan kecewa karena sudah satu minggu ini dia tak sempat menemui lelaki itu Terlebih dia kecewa, karena belum sempat memberikan kejutan untuk lelaki yang telah merubahnya itu.
Sedangkan ibunya hanya terus bersyukur atas perubahan anak gadisnya itu, meski masih ada sesuatu yang dirasa mengganjal dalam hatinya. Tanpa terasa sambil menatap anak gadisnya berlalu, perlahan dari balik kaca matanya mata teduhnya telah berkaca-kaca.
“Suatu saat, semoga berjilbabmu bukan karena apa ataupun siapa Nak?” lirih.
Dan dari balik daun pintu kamar itu, seulas senyum pun turut terhimpun dalam keterharuan wajah seorang ayah.
***
“Kuatkan aku untuk berhijrah, tetapkan aku dalam istiqamah, BISMILLAH!”
Cermin itu tersenyum anggun menatap wajah si gadis yang mengekspresikan warna-warna kemanjaan dengan mengenakan kerudung bercorak biru mendung. Dengan bingkisan nasihat dan tutur penyemangat dari kedua orang tuanya, gadis itu membawa kekuatan baru untuk menapaki lari-lari hari. Rasanya dia telah mampu menghadapi tatapan-tatapan dan ocehan-ocehan mempermalukan di kampusnya itu.
Setelah berpamitan kepada kedua orang tuanya, motor matic yang baru dihadiahkan ayahnya dua bulan lalu sebagai kado ulang tahun itu, kini hilang di balik pintu pagar sebuah rumah besar bertaman mawar, kuntum-kuntum mawar yang pula berhamdallah samar.
“Wah, alhamdulillah ya Bu. Si Non sekarang benar-benar mulai berubah. Sudah berjilbab, dan sekarang mah nggak pernah pulang larut malam lagi!” tutur Bi Marni, pembantu di rumah itu sambil membungkukan tubuh merapihkan meja makan seusai keluarga sang majikan sarapan.
“Iya Bi, alhamdulillah!” jawabnya, diyakan pula oleh ayah si gadis yang telah bersiap dengan jas dinasnya.
Sedang daun pintu perpustakaan baru saja mengusir sebuah langkah gontai seorang gadis yang padahal sejam lalu masuk dengan nada riang keceriaannya. Gadis itu berjalan menuju kelas dengan tertunduk.
”DARI RAGA ATAU DARI HATI, BERJILBAB ANTI?” Tulisan-tulisan dari sebuah buku yang dia baca di perpustakaan kampus tadi, terus mengurung, mengejawantah dalam ingatannya. Karena dia sendiri tak bisa mengelak, di antara alasan berjilbabnya adalah karena lelaki itu, lelaki yang bayangannya mulai sering datang bertandang.
Sedangkan dia pun tak bisa menyembunyikan, bahwa dia ingin segera menunjukkan, kini dirinya telah berjilbab, seperti apa yang pernah dimintanya di malam itu.
“Lalu setelah Laki-Laki itu tau bahwa saya telah berjilbab, apakah lantas dia akan menerimaku?, Lalu apakah berjilbabku hanya agar cintaku diterima oleh dia?, benarkah alasan berjilbabku?” sesuatu meliputi lagi perdebatan di hatinya itu.
Rindu seminggu menjelma menjadi seperti separuh windu karena selalu begitu falsafah yang termaktub bagi jiwa-jiwa yang memiliki dan menyimpan buluh-buluh perindu. Bagi perindu, selama apapun itu, selalu melampaui nyatanya waktu. Kini lelaki itu belum juga kembali tapi dalam resahnya rindu, gadis itu hanya mendapat senyum atas sebuah keyakinan karena jilbabnya itu.
Sepulang dari kampus, dengan tatapan-tatapan yang telah tak dia pedulikan, dia merebahkan kelelahan tubuh dikasur kamarnya.
“Alhamdulillah kan, hampir seminggu? Apa kata Ibu, lama-lama juga pasti terbiasa?” ibunya sudah nampak berdiri di belakangnya dengan sambutan senyum, yang sunggingan keterpaksaanya telah berhasil disembunyikan.
Gadis itu bangun dan membalas senyum dalam anggukan dan ucapan insya Allah yang lirih.
Kemudian Ibu menceritakan kedatangan Lelaki itu tadi pagi. Lelaki itu sebenarnya menitip pesan sama anaknya.
Amanat yang mengetuk-ngetuk hati, akhirnya tak kuasa ditahan lebih lama lagi oleh ibunya. Sedangkan mata gadis itu sudah lebih dulu berbinar, menatap tatapan nanar ibunya, seolah menampakan segudang ria yang sudah dua minggu ini terkangkangi. Sang ibu melangkah dan duduk lebih mendekat ke samping putrinya itu.
“Tapi dia hanya datang sebentar, kemudian kembali pulang.”
Rasa gembira yang belum sempat gadis itu tumpahkan akhirnya tertahan oleh sebuah tanda tanya besar. Ibu itu mengelus kerudung yang di kenakan putrinya untuk kemudian mengecupnya, perlahan sambil menutup mata, seperti mencari sebuah isyarat dalam kegelapan.
“Ada apa, Bu?” gadis itu mulai bisa membaca bahwa ada sesuatu yang ibunya sembunyikan.
“Dia datang, dan Ibu ceritakan bahwa kamu sudah berjilbab. Dia terlihat bahagia. Bahkan sebelum dia pulang kembali, dia sempatkan diri untuk membeli dan menitipkan kerudung ini untukmu,” tutur datar ibunya seraya menyerahkan sebuah bungkusan.
“Tapi ada apa hingga Lelaki itu harus pulang kembali ke kampungnya, Bu?” pertanyaan itulah yang sedari tadi tak di kehendaki datang oleh ibunya. Kini mendung itu lebih terlihat dari balik kaca mata bening ibunya. Terasa sangat berat menuturkannya, namun amanat itu semakin keras mengetuk pintu hati ibunya.
“Tapi Dia juga menitipkan ini dan ini!”dengan berat ibunya menyodorkan sebuah surat.
Isi suratnya :
” Semoga hidayah itu sungguh-sungguh atasmu
Setelah mendengar kamu sudah berjilbab dari Ibu, kusempatkan memuji dengan tulisan-tulisan ini.
Setelah mendengar kau sudah berjilbab, ada ketenangan di dalam hati
Walau tanpa melihatnya, namun aku meyakinkan hati, bahwa kamu lebih cantik
Tapi bukan berarti semua yang kamu lakukan itu krena aku
Aku akan selalu memohon, jika kamu berjilbab karena permintaanku
Semoga berjilbabmu bukanlah karena permintaanku yang pernah memintamu berjilbab
Lakukanlah semua itu semata-mata karena kamu takut sama Tuhannya
Dan kerudung ini, kutitipkan bersamamu
Bersamanya, qasidahkanlah kisah terindah teruntuk goresan tinta dalam catatan RAQIB.
Singkat kata dari semua pujianku ini
Aku ingin katakan sesuatu yang ini mungkin selalu menghantui perasaanmu
Aku tau kamu masih berat dengan semua ini
Tapi aku harus jujur dengan persaan ini
Bukannya aku tidak kagum dengan kecantikanmu
Dan bukannya aku tidak terharu dengan segala perubahanmu
Kalau cinta yang kamu harapkan dari aku
Aku tidak bisa memberikannya kepadamu
Karena di hatiku sudah ada wanita yang menguasainya
Dia adalah masa depanku, dan aku sangat mencintainya
Aku tidak ingin berhianat kepadanya
Dan ma’afkan aku jika telah membuat kamu cinta dengan segala kekurangaku
Dan semoga berkenan kau memaafkan Kakak
Wassalam.”
“Dia sudah punya calon istri Bu?” ada nada keremukan dalam suaranya yang tertahan-tahan. Dan bimbang-bimbang itu seperti menemukan celah untuk kembali membisik-bisik
Di teras luar kamarnya, sabit merah membias cemas. Dari balik pohon palem mengintip taman mawar dengan pancar pudar memperhatikan wajah si gadis yang nanar. Angin nakal bertiup, memainkan kerudung yang dikenakannya. Butir-butir bening air mata pun telah jatuh membasahi kerudung biru baru dari lelaki itu yang sedang ia dekap penuh rindu haru. Tangguh itu goyah, terdampar di padang asmara yang disemaraki lara. Namun, senyum tulus itu akhirnya hadir mengemas-ngemas getir.
”Insya Allah, berjilbabku atas nama cinta.”
Sedang dalam sujud lembut lelaki itu masih saja terbenam di antara rakaat-rakaatnya. Hanyut dalam hening. Hanya nada detak jarum detik dari jam dinding berbentuk kotak di kamar kost itu yang sedikit mengaburkan hening. Kasur lantai beralas tikar masih tergulung di sisi sajadah merah, tempat lelaki itu mendirikan shalat. Dan diambang pintu, sejak tadi sesosok gadis tampak rela dan setia duduk menunggu. Menunggu lelaki itu usai dari shalatnya.
Usil-usil sambil menunggu, gadis itu membidikan kamera dari ponselnya. Mengambil sujud hingga tahiyat lelaki berwajah teduh itu. Gadis itu datang dengan sebuah pertanyaan atas harapan yang ia rangkai sendiri jawabannya, berdasar pada keyakinannya. Hanya kali ini dia ingin mendengar langsung jawabannya dari bibir lelaki itu. Dia ingin segera merasakan ucapan indah itu darinya. Karena hanya ialah lelaki yang tertangkap lain oleh perasaannya.
“Rupanya ada tamu. Sudah lama, De’?” tanya lelaki itu dalam masih melipat sajadah merah berbahan beludru. Senyum si gadis merekah. Kaos biru ketatnya amat menyala dijilat terang lampu lima belas watt.
“Emm,lumayan lama. Sekitar lima jaman Kak!” candanya, sambil memasukan kembali ponsel ke dalam tasnya. Dan hanya ada kulum senyum dari lelaki itu. Lelaki itu melanjutkan pertanyaannya, “Memang ada apa malam-malam begini De’? Tapi, tidak untuk nagih uang kost kan?, Karena minggu lalu sudah dibayar sama Ibu!”
Gadis berambut sebahu itu melongok keluar, sebentar, memperhatikan suasana sekitar. “Nggak lah Kak. Saya kesini cuma ingin cepet-cepet denger jawabannya!” ada nada manja dalam nada bicaranya. Tapi masih hanya senyum yang keluar dari lelaki dengan wajah menunduk itu.
“Iih.. Kok malah senyum-senyum sih, Kak? Bukannya saya disuruh masuk dulu!” gerutunya, menampakan warna manja yang sama. “Tapi lebih baik kita bicaranya di luar. Di dalam nggak enak sama tetangga!”. “Cuek aja Kak. Toh kontrak mereka punya papaku juga!”
“Ya sudah putri juragan kontrakan. Mau jawabannya atau tidak? Kalau mau, berarti kita bicara diluar!”. Jalan yang tak terlalu besar itu masih nampak agak ramai karena waktu sholat isya’ baru satu jam berlalu. Di bawah pohon belimbing di ujung jalan, masih nampak pedagang nasi goreng yang sedang meladeni sesosok ibu muda dan seorang gadis centil yang pura-pura sibuk dengan digit-digit ponselnya. Mencolok, dengan celana kira-kira berukuran sejengkal dua jempol dari pinggangnya. Di satu sisi merasa bangga telah bisa mengambil perhatian orang-orang yang melintas, tapi di sisi lain lagi, ia merasa risih. Terlihat dari delik dan kerutan kelopak matanya.
“Neng, ikut Abang dangdutan yo?, sapa pemuda jalanan yang baru aja lewat”. “Brengsek lu!” tiba-tiba, bersama sejurus tamparan yang mendarat di pipi seorang pemuda yang berani-beraninya mencolek tubuh moleknya. Pemuda itu tertawa-tawa saja sambil menyusul teman-temannya yang telah berlari terlebih dulu, sedang orang-orang yang melintas hanya tersenyum asyik saja.
“Kacian deh lu!” ujarnya sambil tertawa-tawa geli memperhatikan kejadian antara pemuda dan gadis bercelana mini di ujung jalan tadi.
“A’uudzu billahi minasy syaithaanirrajiim!” lirih ucap lelaki itu sambil menutup pintu kamar kostnya. Melangkah menuju gadis yang sudah duduk di bangku terlebih dulu di teras kontrakan paling pojok.
“Gimana, diterima kan?” sambut si gadis beserta rona yakinnya yang masih menyisakan sedikit tawa. Lelaki itu terdiam dengan duduk yang menjarak. “Kamu sudah shalat, De?” lelaki itu balik bertanya padanya. Dan perlahan warna aneh menggantikan rona yakin dan keceriaan tawa dari wajahnya. “Gadis itu, hanya mau jawabannya, Kak!” elaknya,mengaburkan cela.
Hening. Lelaki itu menghela nafas. Lama, karena terdapat rasa berat di dadanya. Ia tak ingin mengecewakan gadis manja itu, ia tak mau meretakkan keyakinan gadis itu, tapi….
“Hh, bagiku kamu tak cantik, De’!”
Dalam menunduk, alis si gadis menyimpul. Kini tak ada alasan lagi bagi keyakinannya untuk tak tersentak.
“Mengapa bisa??” ucapnya berkali-kali dalam hati.
Sungguh, dialah satu-satunya lelaki yang menyalahi hukum alam yang telah dibuat dan ditetapkannya atas semua lelaki. Padahal sebelumnya, tak ada dan tak mungkin akan ada lelaki yang mampu mengatakan bahwa dirinya tak cantik, bahkan ‘mereka’ mengakui bahwa dirinya nyaris sempurna, tapi lelaki ini… “Harusnya dia juga memujiku demikian!!”
Keheranan itu tak juga surut dari benaknya dan rasa sakit yang tak sedikit, kini terus saja menghimpit hatinya. Keyakinannya benar-benar telah salah dan kalah menyakitkan. Dan untuk yang kesekian kalinya, bintang-bintang itu mengerling entah pada tatapan mata siapa.
“Apa kau mencintai dirimu sendiri?”, tutur lelaki itu mengembalikan keheranan si gadis yang kini tertunduk diam.
“Siapapun orang itu, dia pasti mencintai dirinya, Kak!” kata-katanya kini lebih datar dan pantulkan kedewasaan, namun berakhir dengan sebuah isak tangis yang pelan diterpa ketemaraman malam.
“Bolehkah aku meminta sesuatu, De,?” lanjut lelaki itu.
Namun pertanyaan itu begitu tertangkap lain, hingga mampu menumbuh utuhkan retak-retak keyakinan di dada gadis itu lagi. Dia menoleh ke arah lelaki itu, tapi tetap pandangan lelaki itu lurus ke depan, memandang hampa jalan gang yang sudah mulai nampak sepi, seolah tak pernah hirau atas isak tangis si gadis terlebih atas penampilan khususnya malam ini, yang dinisbatkan hampir seluruh lelaki adalah”cantik sempurna”.
“Bolehkah aku meminta sesuatu?” lelaki itu mengulangi tanyanya.
“Mintalah. Seluruhku utuh untukmu, Kak!” dengan suka serta rela dia menuturkan pesona kata pamungkasnya, yang tak pernah dia berikan pada siapapun. Tapi mungkin dengan begitu “harga kemunafikan lelaki ini akan tergadaikan”, pikir piciknya. “Maukah kamu berjlbab?”, lanjut lelaki itu.
Sungguh, bukan ini yang gadis manja itu harapkan. Karena sebelumnya tak pernah terpikir malah akan dihadapkan dengan sebuah permintaan dan tak pernah terbayangkan akan melenggang pulang hanya membawa bimbang.
***
Rangkum-rangkum hari menimbang-nimbang bimbang. Dalam pertimbangan antara keraguan, kepatahan, kecamuk rasa malu, dan beserta sebuah harapan, namun kini. “Jika berjilbab?”
Dan jalan gelisah itu disapa sebentuk cercah dalam muqadimah sebuah pagi. Di kantin kampus sekelompok mahasiswa sedang ngalor-ngidul mengobrol dengan mata-mata yang sambil asyik larak-lirik sana-sini.
“Ya Habibi?, kata pemuda dikantin kepada Gadis itu.” dengan nada kaget berikut canda seseorang bertanya serta telunjuk yang menipu ke arah sesosok gadis berkerudung. namun tak ada jawaban, hanya ada keterkesimaan dalam tatap keterpukauan dan ketak percayaan mereka.
Ya gadis itu. Dengan wajah cemberut bernaung kerudung, sedangkan menguntit di belakangnya seorang lelaki dengan bibir terus nyerocos melayang-layangkan berjuta tanya padanya.
“Wah Brow, berarti nggak bakal ada pemandangan indah lagi dong?” celetuk seseorang dari mereka menimpali, yang berakhir tumpah dalam tawa serta celotehan selanjutnya. Gadis itu berhenti dalam langkah menuju kantin. Dia merasa lebih baik berbalik untuk kembali ke kelasnya.
“Terserah gue dong!” dengan bibir sengaja manyun sambil langkah setengah berlari.
Kata itu meluncur mengenai seorang lelaki penguntit tadi yang terus melayangkan tanya dan nada-nada protesnya. Bisa jadi, ini adalah hari terberat, termalu, karena di dalam kelas pun semua mata silih berganti menatap ke arahnya, tapi dengan tatapan-tatapan yang berbeda dari tatapan-tatapan yang sebelumnya. Dan rasa risih, akhirnya menuntun dia juga untuk buru-buru pulang, menuju pelataran parkir motor kampus. “Hai, berubah nih?, sapa teme-temenys, pengen kayak aku ya?” ujar canda seorang gadis berkerudung sambil menggandeng tangan seorang lelaki di sampingnya.
“Hei Kamu????, Sumpah lebih cantik!” timpal yang lelakinya menyelidik, dan tak menduga gandengan gadis disebelahnya akan berubah menjadi cubitan.
Gadis itu hanya tersenyum hampa seraya berucap salam, kemudian berlalu dengan motor maticnya, meninggalkan pertengkaran sepasang muslim yang tak muhrim di pelataran parkir.
Disambut pohon Palem tegak lurus yang terurus, kuntum-kuntum Mawar yang sudah merekah di taman rumah dan beberapa pohon Murbei yang belum berbuah. Mang Ahmad terlihat bersemangat membuka dan menutup pintu gerbang untuk putri satu-satunya sang majikan. Gadis itu pun membalas senyum ramah Mang Ahmad yang sudah setia membantu-bantu di rumahnya, hampir sepuluh tahun bersama istrinya, Bi Marni.
“Bagaimana hari pertama berjilbabmu?” tutur teduh ibunya sedikit menumbangkan bimbang yang sedang kembali membuatnya timpang. Si ibu melangkah dan memeluk anak gadisnya yang sedang berhadapan dengan sebuah cermin di kamarnya. Ia tahu anak gadisnya sedang kembali dikacau ragu.
“Kamu kuat pasti kok!”, saut Ibu dari belakang.
Gadis itu tersenyum dalam pelukan ibunya. Hawa sejuk pun terasa memeluk hatinya. Dia memungut kembali bulatnya niat dan tekad yang sempat tertinggal siang tadi.
“Dengan memakai kerudung, kamu malah lebih cantik”, lanjut ibunya, sambil mengusap titik-titik airmata di pipi gadis itu.
“Dan dengan kerudung itu, Ibu selalu tetap cantik!” tuturnya dibalas seulas senyum.
Senyap sejenak, dibelai damai dalam ikatan setali kasih. Kemudian Ibunya menjelaskan kalau lelaki yang kos disitu pulang kampung karena Ibunya sakit. Dengan spontan si Gadis itu bertanya, “pulangnya lama tidak Bu?” sahutnya.
“Insya Allah, lima hari katanya!” jawab ibunya seraya menyelidik.
“Benar, semua perubahan yang ada dikamu larena Laki-Laki itu?” terka ibunya. Gadis itu hanya menjawab dengan senyum sambil menunduk.
“Bu, Saya mau shalat dulu ah!” dengan kemudian berlari kecil menuju toilet di kamarnya. Sedangkan di kisi hatinya ada ucap-ucap sesal dan kecewa karena sudah satu minggu ini dia tak sempat menemui lelaki itu Terlebih dia kecewa, karena belum sempat memberikan kejutan untuk lelaki yang telah merubahnya itu.
Sedangkan ibunya hanya terus bersyukur atas perubahan anak gadisnya itu, meski masih ada sesuatu yang dirasa mengganjal dalam hatinya. Tanpa terasa sambil menatap anak gadisnya berlalu, perlahan dari balik kaca matanya mata teduhnya telah berkaca-kaca.
“Suatu saat, semoga berjilbabmu bukan karena apa ataupun siapa Nak?” lirih.
Dan dari balik daun pintu kamar itu, seulas senyum pun turut terhimpun dalam keterharuan wajah seorang ayah.
***
“Kuatkan aku untuk berhijrah, tetapkan aku dalam istiqamah, BISMILLAH!”
Cermin itu tersenyum anggun menatap wajah si gadis yang mengekspresikan warna-warna kemanjaan dengan mengenakan kerudung bercorak biru mendung. Dengan bingkisan nasihat dan tutur penyemangat dari kedua orang tuanya, gadis itu membawa kekuatan baru untuk menapaki lari-lari hari. Rasanya dia telah mampu menghadapi tatapan-tatapan dan ocehan-ocehan mempermalukan di kampusnya itu.
Setelah berpamitan kepada kedua orang tuanya, motor matic yang baru dihadiahkan ayahnya dua bulan lalu sebagai kado ulang tahun itu, kini hilang di balik pintu pagar sebuah rumah besar bertaman mawar, kuntum-kuntum mawar yang pula berhamdallah samar.
“Wah, alhamdulillah ya Bu. Si Non sekarang benar-benar mulai berubah. Sudah berjilbab, dan sekarang mah nggak pernah pulang larut malam lagi!” tutur Bi Marni, pembantu di rumah itu sambil membungkukan tubuh merapihkan meja makan seusai keluarga sang majikan sarapan.
“Iya Bi, alhamdulillah!” jawabnya, diyakan pula oleh ayah si gadis yang telah bersiap dengan jas dinasnya.
Sedang daun pintu perpustakaan baru saja mengusir sebuah langkah gontai seorang gadis yang padahal sejam lalu masuk dengan nada riang keceriaannya. Gadis itu berjalan menuju kelas dengan tertunduk.
”DARI RAGA ATAU DARI HATI, BERJILBAB ANTI?” Tulisan-tulisan dari sebuah buku yang dia baca di perpustakaan kampus tadi, terus mengurung, mengejawantah dalam ingatannya. Karena dia sendiri tak bisa mengelak, di antara alasan berjilbabnya adalah karena lelaki itu, lelaki yang bayangannya mulai sering datang bertandang.
Sedangkan dia pun tak bisa menyembunyikan, bahwa dia ingin segera menunjukkan, kini dirinya telah berjilbab, seperti apa yang pernah dimintanya di malam itu.
“Lalu setelah Laki-Laki itu tau bahwa saya telah berjilbab, apakah lantas dia akan menerimaku?, Lalu apakah berjilbabku hanya agar cintaku diterima oleh dia?, benarkah alasan berjilbabku?” sesuatu meliputi lagi perdebatan di hatinya itu.
Rindu seminggu menjelma menjadi seperti separuh windu karena selalu begitu falsafah yang termaktub bagi jiwa-jiwa yang memiliki dan menyimpan buluh-buluh perindu. Bagi perindu, selama apapun itu, selalu melampaui nyatanya waktu. Kini lelaki itu belum juga kembali tapi dalam resahnya rindu, gadis itu hanya mendapat senyum atas sebuah keyakinan karena jilbabnya itu.
Sepulang dari kampus, dengan tatapan-tatapan yang telah tak dia pedulikan, dia merebahkan kelelahan tubuh dikasur kamarnya.
“Alhamdulillah kan, hampir seminggu? Apa kata Ibu, lama-lama juga pasti terbiasa?” ibunya sudah nampak berdiri di belakangnya dengan sambutan senyum, yang sunggingan keterpaksaanya telah berhasil disembunyikan.
Gadis itu bangun dan membalas senyum dalam anggukan dan ucapan insya Allah yang lirih.
Kemudian Ibu menceritakan kedatangan Lelaki itu tadi pagi. Lelaki itu sebenarnya menitip pesan sama anaknya.
Amanat yang mengetuk-ngetuk hati, akhirnya tak kuasa ditahan lebih lama lagi oleh ibunya. Sedangkan mata gadis itu sudah lebih dulu berbinar, menatap tatapan nanar ibunya, seolah menampakan segudang ria yang sudah dua minggu ini terkangkangi. Sang ibu melangkah dan duduk lebih mendekat ke samping putrinya itu.
“Tapi dia hanya datang sebentar, kemudian kembali pulang.”
Rasa gembira yang belum sempat gadis itu tumpahkan akhirnya tertahan oleh sebuah tanda tanya besar. Ibu itu mengelus kerudung yang di kenakan putrinya untuk kemudian mengecupnya, perlahan sambil menutup mata, seperti mencari sebuah isyarat dalam kegelapan.
“Ada apa, Bu?” gadis itu mulai bisa membaca bahwa ada sesuatu yang ibunya sembunyikan.
“Dia datang, dan Ibu ceritakan bahwa kamu sudah berjilbab. Dia terlihat bahagia. Bahkan sebelum dia pulang kembali, dia sempatkan diri untuk membeli dan menitipkan kerudung ini untukmu,” tutur datar ibunya seraya menyerahkan sebuah bungkusan.
“Tapi ada apa hingga Lelaki itu harus pulang kembali ke kampungnya, Bu?” pertanyaan itulah yang sedari tadi tak di kehendaki datang oleh ibunya. Kini mendung itu lebih terlihat dari balik kaca mata bening ibunya. Terasa sangat berat menuturkannya, namun amanat itu semakin keras mengetuk pintu hati ibunya.
“Tapi Dia juga menitipkan ini dan ini!”dengan berat ibunya menyodorkan sebuah surat.
Isi suratnya :
” Semoga hidayah itu sungguh-sungguh atasmu
Setelah mendengar kamu sudah berjilbab dari Ibu, kusempatkan memuji dengan tulisan-tulisan ini.
Setelah mendengar kau sudah berjilbab, ada ketenangan di dalam hati
Walau tanpa melihatnya, namun aku meyakinkan hati, bahwa kamu lebih cantik
Tapi bukan berarti semua yang kamu lakukan itu krena aku
Aku akan selalu memohon, jika kamu berjilbab karena permintaanku
Semoga berjilbabmu bukanlah karena permintaanku yang pernah memintamu berjilbab
Lakukanlah semua itu semata-mata karena kamu takut sama Tuhannya
Dan kerudung ini, kutitipkan bersamamu
Bersamanya, qasidahkanlah kisah terindah teruntuk goresan tinta dalam catatan RAQIB.
Singkat kata dari semua pujianku ini
Aku ingin katakan sesuatu yang ini mungkin selalu menghantui perasaanmu
Aku tau kamu masih berat dengan semua ini
Tapi aku harus jujur dengan persaan ini
Bukannya aku tidak kagum dengan kecantikanmu
Dan bukannya aku tidak terharu dengan segala perubahanmu
Kalau cinta yang kamu harapkan dari aku
Aku tidak bisa memberikannya kepadamu
Karena di hatiku sudah ada wanita yang menguasainya
Dia adalah masa depanku, dan aku sangat mencintainya
Aku tidak ingin berhianat kepadanya
Dan ma’afkan aku jika telah membuat kamu cinta dengan segala kekurangaku
Dan semoga berkenan kau memaafkan Kakak
Wassalam.”
“Dia sudah punya calon istri Bu?” ada nada keremukan dalam suaranya yang tertahan-tahan. Dan bimbang-bimbang itu seperti menemukan celah untuk kembali membisik-bisik
Di teras luar kamarnya, sabit merah membias cemas. Dari balik pohon palem mengintip taman mawar dengan pancar pudar memperhatikan wajah si gadis yang nanar. Angin nakal bertiup, memainkan kerudung yang dikenakannya. Butir-butir bening air mata pun telah jatuh membasahi kerudung biru baru dari lelaki itu yang sedang ia dekap penuh rindu haru. Tangguh itu goyah, terdampar di padang asmara yang disemaraki lara. Namun, senyum tulus itu akhirnya hadir mengemas-ngemas getir.
”Insya Allah, berjilbabku atas nama cinta.”
0 komentar:
Posting Komentar