Pendahuluan.
Tulisan ini sebagai analisis dalam memberikan argumentasi terhadap problematika penafsiran al-Qur’an yang sangat dinamis dengan hadirnya berbagai disiplin ilmu yang menyertainya. Catatan penting lagi, bahwa klaim idiologis al-Qur’an sebagai teks suci masih sangat dogmatis, walaupun telah banyak pendapat yang mencoba merumuskan kembali posisi al-Qur’an sebagai teks. Termasuk diantaranya Arkoun, Hasan Hanafi, Naser Hamed Abu Zaid, dan pemikir Islam lainnya.
Perbedaan penafsiran dengan berbagai latar belakang seorang penafsir serta disiplin ilmu yang digunakan, menunjukkan bahwa teks al-Qur’an telah sedemikian global dan luas yang dapat diterjemahkan dengan berbagai kondisi dan situasi yang sedang berkembang. Sehingga pada persoalan ini, al-Qur’an dapat dijadikan sebagai “komoditi” sosial yang sesuai dengan kehendak pelaku sosialnya. Dari dinamika ini, bisa saja menjadi imbas dengan klaim penafsiran yang tidak akomodatif, radikal, menindas dan terminologi negatif lainnya. Akhirnya yang muncul adalah pertanyaan mengapa al-Qur’an bisa menjadi konfrontatif ?
Kendatipun demikian, sangat dilematis untuk disalahkan, apakah metode disiplin ilmunya yang salah atau kontaminasi sosialnya yang salah dalam menafsirkan al-Qur’an. Persoalan ini-pun tidak ada jawaban pasti. Karena masih harus merintangi perdebatan yang panjang, tergantung apa dan bagaimana masalah sosialnya
Al-Qur’an yang diturunkan sebagai pembentuk peradaban, memiliki kekuatan teks yang tidak sekedar berdimensi idiologi murni. Tetapi meyebarkan rasionalitas alam dengan berbagai latar belakang kajadianya. Disinilah peranan kajian teks al-Qur’an yang seharusnya lebih utuh dan tidak memihak pada perdebatan klasik yang hanya dikarenakan ada yang baru. Dan beberapa pengandaian terhadap kejian teks al-Qur’an selalunya berawal dari pra-anggapan yang memihak dan terkesan ada “penggathuan” dan pemaksaan analisa.
Pada persoalan lain, bahwa kajian relevansi terhadap proses penafsiran al-Qur’an juga masih harus ditelaah ulang. Karena analisisnya terlihat sepihak dari penggalan-penggalan ayat yang tidak dapat mewakili konsep penafsiran al-Qur’an secara keseluruhan. Hingga kemudian terkadang banyak problem pada ayat-ayat yang mutasyabihat yang memerlukan generalisasi ayat lain dan latar belakang konsep suatu ayat. Pada tataran ini tentunya tidak bisa disandarkan dari sekedar satu disiplin ilmu. Karena setiap teks al-Qur’an memiliki maksud dan tujuannya sendiri.
Sementara itu keyakinan dari setiap disiplin ilmu yang telah sedemikian konprehensif dan telah memiliki kekuatan teori, justru menjadi “hujatan” atas ketidak sesuaian jaman atau ketidak sesuaian realitas sosial yang dapat melemahkan teori suatu disiplin ilmu tersebut. Sehingga ada pengembangan – atau justru “pelunturan” – dengan mengunggulkan teori atau disiplin ilmu yang lain.
Dari pemahaman ini, sebagai sebuah pendahuluan, rasanya semakin memberikan tantangan analisa yang lebih mateng dan cespleng dalam merefleksikan teks al-Qur’an serta beberapa dimensi yang berhubungan dengan penafsiran al-Qur’an. Tentunya dengan pergerakan wacana yang akomodatif dan memberikan daya respon fikiran yang terbuka dan tidak mematikan.
Memahami Konsep Makna
Pertama. Penjelajahan terhadap kajian teks suatu bahasa yang biasa disebut dengan filologi sempat memunculkan kerancuan antara sejarah terbentuknya teks dengan kepentingan sosial yang sedang berlangsung. Hal ini sering dijumpai dalam beberapa kajian teks idiologi (baca; kitab suci) atau penfsiran al-Qur’an yang masih terus bersesuaian dengan perkembangan peradaban manusia. Filologi sebagai disiplin ilmu penyelidikan teks masih sering terpaku pada tekstualitas teks itu sendiri, sehingga dimensi diakronis yang melekat pada teks sering terabaikan. Bukan berarti menolak filologi sebagai ilmu yang secara teoritis memiliki kekuatan dalam mengkaji teks, tetapi sangat tidak mencukupi untuk independen dalam menghasilkan analisa teks yang ampuh. Sehingga pada gagasan ilmu ini, pengandaian terhadap penfsiran al-Qur’an sering kehilangan substansi pembacaan teksnya. Lain halnya dengan beberapa kajian teks yang bersifat budaya dan sejarah. Pada pembahasan ini, kajian filologi bisa menggunakan studi lapangan terhadap kultur suatu masyarakat dimana teks itu muncul. Dan analisa yang dilakukan cukup pada pemaknaan teks yang substansinya berangkat dari raelitas sosial dan teks itu sendiri. Dari sini nampak kajian yang berbeda antara teks budaya dengan teks idiologi. Dan keduanya tidak dapat disamakan secara total dalam melakukan analisa teks.
Sementara itu, penafsiran al-Qur’an yang telah sedemikian variatif, sangat susah bagi filologi untuk memberikan pemahaman yang utuh terhadap segala karakter sosial idiologi, politik dan budaya teks al-Qur’an. Yang paling sangat dimungkinkan dalam kajian filologi adalah penafsiran terhadap ayat-ayat moral, norma-norma dan beberapa ayat tentang identitas manusia yang sangat berlaku umum terhadap setiap manusia. Disini kemungkinan filologi itu dapat terjamin dalam keutuhan analisa teks al-Qur’an. Karena filologi memang lebih memiliki kecenderugan analisa struktur kebahasaan dari pada analisa rasionalitas teks dan pemaknaan.
Berikutnya yang kedua, kemunculan semantik sebagai bagian dari linguistik yang dimunculkan oleh “Braille” di akhir abad 19 – ini masih menjadi perdebatan terhadap munculnya semantik sebagai disiplin ilmu makna – dengan judul tesisnya Essai de Semantique merupakan suatu perkembangan terhadap kebutuhan makna dalam ilmu kebahasaan. Semantik melakukan upaya pemaknaan terhadap simbol-simbol teks yang berakar dari teks itu sendiri. Pembagian pamahaman makna dalam semantik disajikan dengan beragam latar belakang, mulai dari makna dalam perbedaan suara (fonetik), makna dalam perbedaan gramatikal, makna dalam perbedaan leksikal, dan makna dalam perbedaan sosiolinguistik. Sedangkan pada proses berikutnya semantik lebih memahami pada kontekstulitas teks untuk menghasilkan sebuah makna. Ada sedikit perbedaan antara semantik dengan semiotik yang masing-masing mengkaji tentang simbol pemaknaan. Semantik lebih memahami simbol dalam kerangka teks sedangkan semiotik memahami simbol dalam kerangka fisik dan meteri. Kedua-duanya hampir memiliki teori yang sama dalam melakukan aktivitas disiplin keilmuannya. Yang membedakan adalah cara kerja pemaknaan dan pendekatan dengan disiplin ilmu yang membantunya. Semantik lebih banyak berputar pada psikologi simbol teks sehingga menghasilkan sebuah makna, sedangkan semiotik melakukan pendekatan sosiologi simbol benda dalam menghasilkan makna. Dalam semantik, pergulatan dalam analisa makna suatu teks terus berkembang hingga saat ini, baik yang menganalisa dari unsur leksikal, gramatikal, maupaun kontekstual. Masing-masing memiliki daya analisa yang sambung, yang tidak dapat dilepaskan dalam kajian semantik.
Pendekatan semantik dalam menafsirkan al-Qur’an lebih nampak pada pemaknaan yang mereposisikan teks al-Qur’an pada tekstualitas dan kontekstualitasnya. Selanjutnya semantik sebagai bagian dalam ilmu kebahasaan memberikan daya tambah terhadap dimensi bahasa dan makna yang terkandung dalam al-Qur’an. Toshihiko Izutsu lebih jauh mengglobalkan pemaknaan al-Qur’an dalam dimensi makna dasar dan makna relasional. Analisa ini mempunyai kecenderungan pemaknaan yang sangat luas dari segala dimensi pembentukan ayat-ayat al-Qur’an. Satu sisi semantik memang memiliki daya teori yang mampu mengungkap makna teks yang lebih tanyeng. Ini membuktikan bahwa antara semantik dan al-Qur’an sama-sama memiliki karakteristik penganalisisan. Al-Qur’an sebagai kitab suci yang membawa segala simbol yang menyertai teksnya, baik secara idiologi, kesejarahan, norma, dan segala segmen kehidupan kemanusiaan yang terkandung dalam al-Qur’an. Sedangkan semantik secara disiplin keilmuan membentangkan analisa teks yang sangat khusus sebagai ilmu bantu bahasa.
Sementara yang ketiga. Hermeneutik yang berasal dari sebutan Hermes - seorang tokoh mitologis yang bertugas menterjemahkan pesan-pesan Tuhan ke dalam bahasa yang dimengerti oleh manusia – juga menjadi salah satu kekuatan analisa dalam dinamika pemahaman teks. Ini nampak dari teori dasarnya tentang pengarang, pembaca, dan teks itu sendiri. Hermeneutik yang dalam salah satu pengertian dari tujuh pengertiannya memberikan teori mengenai tafsir al-Kitab. Artinya, hermeneutika menunjuk kepada prinsip-prinsip dasar dalam menafsirkan al-Kitab. Pengertian ini pertama kali diperkenalkan oleh J.C. Dannhauer dalam bukunya ; Hermeneutika Sacra Sive Methodus Exponendarum Sacrarum Litterarum. Hingga saat ini teori hermeneutik terus berkembang hingga pada membahas permasalahan bagaimana membuat suatu interpretasi dan membuat patokan-patokan interpretasi.
Asumsi dasar teori hermeneutik adalah bahwa seorang pembaca teks tidak memiliki akses langsung kepada penulis atau pengarang teks karena perbedaan ruang, waktu dan tradisi. Pengarang mengekspresikan diri dalam bahasa teks, dengan demikian ada makna subjektif. Masalahnya bagaimana membawa keluar makna subjektif sebagai objektif kepada orang lain. Boleh dikatakan bahwa hermeneutik adalah mengungkap horizon masa lalu kepada dunia masa kini
Perkembangan selanjutnya, muncul hermeneutik sebagai kritik yang memberikan reaksi hebat terhadap asumsi-asumsi idealis baik teori hermeneutik maupun filsafat hermeneutik yang menolak pertimbangan-pertimbangan ekstra-lingusitik sebagai faktor yang membentuk dan menentukan konteks fikiran dan aksi. Kritik hermeneutik ini lebih banyak memperhatikan faktor bahasa dan aspek-aspek idiologis dalam interpretasi.
Sejarah hermeneutik sebagai alat penafsir al-Kitab, agaknya memberikan arah teori terhadap penfsiran al-Qur’an. Walaupun masih ada angapan buruk yang sangat idiologis karena lahan kajian antara al-Kitab dengan al-Qur’an mempunyai “egoisitas” idiologis dari para pengikutnya. Namun demikian secara teoritis bisa dijadikan pijakan untuk mengungkap kerekteristik idiologis dan beberapa dimensi ke-al-Qur’anan-nya. Reaksi ini sangat dimungkinkan karena catatan hermeneutik adalah memberikan tafsiran terhadap teks idiologi. Sementara teks idiologi hampir memiliki kesejarahan pembentukan yang sama dalam membawa nilai-nilai ke-Tuhan-an dan realitas kehidupan manusia. Petokan ini bisa di-iyakan pada prinsip dasar hermeneutik sebagai gagasan menafsirkan al-Kitab.
Dalam studi ke-Islaman, pendekatan hermeneutik telah dirintis oleh Ibnu Khaldun. Dia berpendapat bahwa sebuah tradisi akan mati, kering dan mandeg jika tidak dihidupkan secara konsisten melalui penafsiran ulang sejalan dengan dinamika sosial. Semantara al-Qur’an yang memposisikan teks suci umat Islam tentunya sangat memerlukan analisa-analisa keislaman dalam mengembangkan pemahaman al-Qur’an. Dan hermeneutik bisa dijadikan disiplin kolaborasi keilmuan antara teori interpretasi teksnya dan kultur serta kesejarahan umat Islam. Kultur dan kesejarahan ini memberikan bantuan analisa yang mengakomodasikan latar belakang terbentuknya ayat al-Qur’an dan kematangan teori hermeneutik. Dari sini ada titik temu yang dapat diusung dalam membangun penfsiran al-Qur’an yang lebih multi disiplin ilmu.
Pertautan Ilmu Tafsir
Ilmu Tafsir yang pertama menteorikan penafsirannya dari al-Qur’an itu sendiri yang ide dasarnya murni berangkat dari Tuhan, kemudian yang kedua Nabi Muhammad sebagai penerima al-Qur’an dari sistem penyampaian wahyu melalui malaikat Jibril, dan ketiga para sahabat dan dilanjutkan oleh para tabi’in hingga para ulama’ tafsir yang telah memiliki klasifikasi sebagai seorang penafsir. Pola hubungan dan generasi penafsiran al-Qur’an ini terus bermunculan hingga menghasilkan penafsiran al-Qur’an yang sangat variatif. Persoalan ini diakui sendiri oleh Ibnu Taimiyah yang mengklasifikasikan dua katagori dalam perbedaan penafsiran al-Qur’an. Pertama seorang mufasir diantara mereka mengungkapkan maksud sebuah kata dengan redaksi yang berbeda dengan redaksi mufasir lain. Misalnya ayat as-sirat al-mustaqim (jalan yang lurus) sebagian menafsirkan dengan makna “al-Qur’an” (jalan al-Qur’an) sebagaian yang lain menafsirkan dengan makna “Islam” (jalan Islam). Kedua masing-masing penfsir menafsirkan kata-kata yang bersifat umum yang menyebutkan sebagian makna dari sekian banyak macamnya.
Rasanya, perdebatan dalam dinamika penafsiran al-Qur’an harus tetap berkembang dalam rangka membumikan al-Qur’an dalam dimensi sosial yang lebih plural. Namun kesan yang terjadi adalah pertikaian “politik” idiologis yang ingin memberikan maksud dan tujuan sepihak. Susahnya lagi, penafsiran itu terus berubah hingga sesuai dengan keinginan dan kepentingan politiknya. Yang lebih nampak dari pertikaian penafisran ini pada ayat-ayat kekuasaan, gender, pensekatan dan “kekerasan” idiologi. Misalnya kepemimpinan perempuan, partai Islam, kekuasaan negara Islam, dan keharusan hukum Islam (syari’ah) hingga pada Islam dan kekafiran, serta pemberontak negara Islam bughot.
Penghembusan penafisran yang kontekstual politik ini, mestikah dikembalikan pada prosedur ilmu tafsir yang telah memiliki klasifikasi moral dalam merespon sosial dan al-Qur’an. Memang masih sangat dirasa susah untuk mengembalikan dialektika keilmuan yang sudah sedemikian global. Persoalan berikutnya tentu akan mengakar pada pola bangunan agama yang telah sedemikian reaktif dengan putaran waktu dan globalisasi. Dimana bentuk-bentuk ritualitas hegemonik mulai kendur dan sering dianggap tradisional. Kecenderungan ini muncul sebagai akibat dari arus “reformasi” yang memandang bahwa ulama kuno tidak lagi dapat diikuti sebab mereka hidup pada masanya. Pemahaman ini tidak dapat dijadikan pegangan yang baku dalam pengembangan keilmuan yang dinamis, karena saat itulah meraka berijtihad, membangun dasar-dasar ilmu, mendirikan peradaban, menciptakan filsafat, dan merumuskan pemikirannya sendiri. Dengan demikian sangat tidak mungkin perkembangan keilmuan saat ini mengabaikan produk keilmuan mereka
Ilmu Tafsir sebagai produk “salaf” agaknya juga telah sedemikian “termusnahkan” dengan beberapa anggapan bahwa ilmu tafsir tidak revolusioner dalam analisa dan pemahaman teks al-Qur’an. Sebenarnya reaksi ini sebagai akibat dari kemandhekan analisa teks al-Qur’an yang tidak membangun landasan teorinya dengan ilmu tafsir. Yang harus difahamkan bahwa kerelaan ilmu tafsir terhadap proses dinamika keilmuan yang dapat membantunya, merupakan kunci dalam pengembangan ilmu tafsir itu sendiri. Sebagaimana syarat-syarat seorang mufasir yang harus menguasai kaidah linguistik bahasa Arab (nahwu, shorof, balaghoh, ilmu al-ashwat, ilmu al-ma’na dll). Relaitas ini akan memberikan ruang gerak tafsir yang memenuhi sasaran dengan pengembangan dinamika keilmuan analisa teks yang sekarang sedang berkembang. Katakanlah, semantik, hermeneutik, filologi dan beberapa ilmu penunjang lainnya yang arahnya tidak menghilangkan ilmu tafsir sebagai landasan teori.
Beberapa catatan penting untuk mensinergikan ilmu tafsir dengan ilmu bantu lainnya adalah. Pertama, al-Qur’an sebagai objek kajian tafsir tidak dapat dilepaskan dari al-Qur’an itu sendiri. Artinya dalam terminologi metode penafsiran apapun, dalam menafsirkan al-Qur’an hendaknya merujuk dari dimensi ayat lain yang sekiranya dapat menguatkan posisi tafsir suatu ayat al-Qur’an. Dari reaksi ini diandaikan dapat meminimalisir “politisasi” ayat dengan dalih pendekatan metode tafsir tertentu. Kedua, al-Hadits sebagai salah satu penunjang terhadap keselarasan tafsir ayat al-Qur’an, merupakan kunci kedua setelah ayat al-Qur’an itu sendiri.
Pada sisi ini memang nampak sering terabaikan karena masih kentalnya anggapan bahwa antara al-Qur’an dan al-Hadits adalah teks yang berbeda. Ini dapat terjadi karena al-Hadits lebih banyak mengungkap hal-hal praktis yang sudah jelas makna dan maksudnya. Sedangkan al-Qur’an banyak terdapat makna-makna universal yang interpretatif. Ketiga, bahwa penafsiran al-Qur’an merupakan suatu kajian penafsiran yang tidak dapat dilepaskan dari kaidah ilmu tafsir, yang kemudian secara spesifik bisa dilanjutkan dengan penggapaian dan arah metode tafsir pendamping yang hendak dicapai. Ini dimungkinkan karena masing-masing ayat al-Qur’an memiliki latar belakang pembentukannya dan secara leksikal memiliki kekuatan makna yang sangat beragam. Keempat, karakteristik dan simbol-simbol ayat al-Qur’an hendaknya tetap dijadikan analisa yang benar-benar dari tindakan keilmuan murni. Ini menjembatani dari beberapa metode penafsiran kontemporer yang hampir memiliki kesesuaian dengan teori dasar metode tafsir. Misalkan asbabun nuzul dengan filologi yang kedua-duanya hampir berdekatan dalam teori analisa sejarah terbentuknya suatu teks. Hal ini mengupayakan kesinambungan analisa dan penafsiran al-Qur’an yang lebih sempurna dan mateng.
Ala kulli hal. Bangunan peradaban Islam telah terteorikan dalam al-Qur’an. Dan akan sangat disayangkan kalau mengandungi maksud dan makna yang sempit, apalagi dipolitisir. Karena al-Qur’an turun tidak dalam rangka “peperangan” politik, tetapi “peperangan” untuk membangun moral dan nilai.
Tulisan ini sebagai analisis dalam memberikan argumentasi terhadap problematika penafsiran al-Qur’an yang sangat dinamis dengan hadirnya berbagai disiplin ilmu yang menyertainya. Catatan penting lagi, bahwa klaim idiologis al-Qur’an sebagai teks suci masih sangat dogmatis, walaupun telah banyak pendapat yang mencoba merumuskan kembali posisi al-Qur’an sebagai teks. Termasuk diantaranya Arkoun, Hasan Hanafi, Naser Hamed Abu Zaid, dan pemikir Islam lainnya.
Perbedaan penafsiran dengan berbagai latar belakang seorang penafsir serta disiplin ilmu yang digunakan, menunjukkan bahwa teks al-Qur’an telah sedemikian global dan luas yang dapat diterjemahkan dengan berbagai kondisi dan situasi yang sedang berkembang. Sehingga pada persoalan ini, al-Qur’an dapat dijadikan sebagai “komoditi” sosial yang sesuai dengan kehendak pelaku sosialnya. Dari dinamika ini, bisa saja menjadi imbas dengan klaim penafsiran yang tidak akomodatif, radikal, menindas dan terminologi negatif lainnya. Akhirnya yang muncul adalah pertanyaan mengapa al-Qur’an bisa menjadi konfrontatif ?
Kendatipun demikian, sangat dilematis untuk disalahkan, apakah metode disiplin ilmunya yang salah atau kontaminasi sosialnya yang salah dalam menafsirkan al-Qur’an. Persoalan ini-pun tidak ada jawaban pasti. Karena masih harus merintangi perdebatan yang panjang, tergantung apa dan bagaimana masalah sosialnya
Al-Qur’an yang diturunkan sebagai pembentuk peradaban, memiliki kekuatan teks yang tidak sekedar berdimensi idiologi murni. Tetapi meyebarkan rasionalitas alam dengan berbagai latar belakang kajadianya. Disinilah peranan kajian teks al-Qur’an yang seharusnya lebih utuh dan tidak memihak pada perdebatan klasik yang hanya dikarenakan ada yang baru. Dan beberapa pengandaian terhadap kejian teks al-Qur’an selalunya berawal dari pra-anggapan yang memihak dan terkesan ada “penggathuan” dan pemaksaan analisa.
Pada persoalan lain, bahwa kajian relevansi terhadap proses penafsiran al-Qur’an juga masih harus ditelaah ulang. Karena analisisnya terlihat sepihak dari penggalan-penggalan ayat yang tidak dapat mewakili konsep penafsiran al-Qur’an secara keseluruhan. Hingga kemudian terkadang banyak problem pada ayat-ayat yang mutasyabihat yang memerlukan generalisasi ayat lain dan latar belakang konsep suatu ayat. Pada tataran ini tentunya tidak bisa disandarkan dari sekedar satu disiplin ilmu. Karena setiap teks al-Qur’an memiliki maksud dan tujuannya sendiri.
Sementara itu keyakinan dari setiap disiplin ilmu yang telah sedemikian konprehensif dan telah memiliki kekuatan teori, justru menjadi “hujatan” atas ketidak sesuaian jaman atau ketidak sesuaian realitas sosial yang dapat melemahkan teori suatu disiplin ilmu tersebut. Sehingga ada pengembangan – atau justru “pelunturan” – dengan mengunggulkan teori atau disiplin ilmu yang lain.
Dari pemahaman ini, sebagai sebuah pendahuluan, rasanya semakin memberikan tantangan analisa yang lebih mateng dan cespleng dalam merefleksikan teks al-Qur’an serta beberapa dimensi yang berhubungan dengan penafsiran al-Qur’an. Tentunya dengan pergerakan wacana yang akomodatif dan memberikan daya respon fikiran yang terbuka dan tidak mematikan.
Memahami Konsep Makna
Pertama. Penjelajahan terhadap kajian teks suatu bahasa yang biasa disebut dengan filologi sempat memunculkan kerancuan antara sejarah terbentuknya teks dengan kepentingan sosial yang sedang berlangsung. Hal ini sering dijumpai dalam beberapa kajian teks idiologi (baca; kitab suci) atau penfsiran al-Qur’an yang masih terus bersesuaian dengan perkembangan peradaban manusia. Filologi sebagai disiplin ilmu penyelidikan teks masih sering terpaku pada tekstualitas teks itu sendiri, sehingga dimensi diakronis yang melekat pada teks sering terabaikan. Bukan berarti menolak filologi sebagai ilmu yang secara teoritis memiliki kekuatan dalam mengkaji teks, tetapi sangat tidak mencukupi untuk independen dalam menghasilkan analisa teks yang ampuh. Sehingga pada gagasan ilmu ini, pengandaian terhadap penfsiran al-Qur’an sering kehilangan substansi pembacaan teksnya. Lain halnya dengan beberapa kajian teks yang bersifat budaya dan sejarah. Pada pembahasan ini, kajian filologi bisa menggunakan studi lapangan terhadap kultur suatu masyarakat dimana teks itu muncul. Dan analisa yang dilakukan cukup pada pemaknaan teks yang substansinya berangkat dari raelitas sosial dan teks itu sendiri. Dari sini nampak kajian yang berbeda antara teks budaya dengan teks idiologi. Dan keduanya tidak dapat disamakan secara total dalam melakukan analisa teks.
Sementara itu, penafsiran al-Qur’an yang telah sedemikian variatif, sangat susah bagi filologi untuk memberikan pemahaman yang utuh terhadap segala karakter sosial idiologi, politik dan budaya teks al-Qur’an. Yang paling sangat dimungkinkan dalam kajian filologi adalah penafsiran terhadap ayat-ayat moral, norma-norma dan beberapa ayat tentang identitas manusia yang sangat berlaku umum terhadap setiap manusia. Disini kemungkinan filologi itu dapat terjamin dalam keutuhan analisa teks al-Qur’an. Karena filologi memang lebih memiliki kecenderugan analisa struktur kebahasaan dari pada analisa rasionalitas teks dan pemaknaan.
Berikutnya yang kedua, kemunculan semantik sebagai bagian dari linguistik yang dimunculkan oleh “Braille” di akhir abad 19 – ini masih menjadi perdebatan terhadap munculnya semantik sebagai disiplin ilmu makna – dengan judul tesisnya Essai de Semantique merupakan suatu perkembangan terhadap kebutuhan makna dalam ilmu kebahasaan. Semantik melakukan upaya pemaknaan terhadap simbol-simbol teks yang berakar dari teks itu sendiri. Pembagian pamahaman makna dalam semantik disajikan dengan beragam latar belakang, mulai dari makna dalam perbedaan suara (fonetik), makna dalam perbedaan gramatikal, makna dalam perbedaan leksikal, dan makna dalam perbedaan sosiolinguistik. Sedangkan pada proses berikutnya semantik lebih memahami pada kontekstulitas teks untuk menghasilkan sebuah makna. Ada sedikit perbedaan antara semantik dengan semiotik yang masing-masing mengkaji tentang simbol pemaknaan. Semantik lebih memahami simbol dalam kerangka teks sedangkan semiotik memahami simbol dalam kerangka fisik dan meteri. Kedua-duanya hampir memiliki teori yang sama dalam melakukan aktivitas disiplin keilmuannya. Yang membedakan adalah cara kerja pemaknaan dan pendekatan dengan disiplin ilmu yang membantunya. Semantik lebih banyak berputar pada psikologi simbol teks sehingga menghasilkan sebuah makna, sedangkan semiotik melakukan pendekatan sosiologi simbol benda dalam menghasilkan makna. Dalam semantik, pergulatan dalam analisa makna suatu teks terus berkembang hingga saat ini, baik yang menganalisa dari unsur leksikal, gramatikal, maupaun kontekstual. Masing-masing memiliki daya analisa yang sambung, yang tidak dapat dilepaskan dalam kajian semantik.
Pendekatan semantik dalam menafsirkan al-Qur’an lebih nampak pada pemaknaan yang mereposisikan teks al-Qur’an pada tekstualitas dan kontekstualitasnya. Selanjutnya semantik sebagai bagian dalam ilmu kebahasaan memberikan daya tambah terhadap dimensi bahasa dan makna yang terkandung dalam al-Qur’an. Toshihiko Izutsu lebih jauh mengglobalkan pemaknaan al-Qur’an dalam dimensi makna dasar dan makna relasional. Analisa ini mempunyai kecenderungan pemaknaan yang sangat luas dari segala dimensi pembentukan ayat-ayat al-Qur’an. Satu sisi semantik memang memiliki daya teori yang mampu mengungkap makna teks yang lebih tanyeng. Ini membuktikan bahwa antara semantik dan al-Qur’an sama-sama memiliki karakteristik penganalisisan. Al-Qur’an sebagai kitab suci yang membawa segala simbol yang menyertai teksnya, baik secara idiologi, kesejarahan, norma, dan segala segmen kehidupan kemanusiaan yang terkandung dalam al-Qur’an. Sedangkan semantik secara disiplin keilmuan membentangkan analisa teks yang sangat khusus sebagai ilmu bantu bahasa.
Sementara yang ketiga. Hermeneutik yang berasal dari sebutan Hermes - seorang tokoh mitologis yang bertugas menterjemahkan pesan-pesan Tuhan ke dalam bahasa yang dimengerti oleh manusia – juga menjadi salah satu kekuatan analisa dalam dinamika pemahaman teks. Ini nampak dari teori dasarnya tentang pengarang, pembaca, dan teks itu sendiri. Hermeneutik yang dalam salah satu pengertian dari tujuh pengertiannya memberikan teori mengenai tafsir al-Kitab. Artinya, hermeneutika menunjuk kepada prinsip-prinsip dasar dalam menafsirkan al-Kitab. Pengertian ini pertama kali diperkenalkan oleh J.C. Dannhauer dalam bukunya ; Hermeneutika Sacra Sive Methodus Exponendarum Sacrarum Litterarum. Hingga saat ini teori hermeneutik terus berkembang hingga pada membahas permasalahan bagaimana membuat suatu interpretasi dan membuat patokan-patokan interpretasi.
Asumsi dasar teori hermeneutik adalah bahwa seorang pembaca teks tidak memiliki akses langsung kepada penulis atau pengarang teks karena perbedaan ruang, waktu dan tradisi. Pengarang mengekspresikan diri dalam bahasa teks, dengan demikian ada makna subjektif. Masalahnya bagaimana membawa keluar makna subjektif sebagai objektif kepada orang lain. Boleh dikatakan bahwa hermeneutik adalah mengungkap horizon masa lalu kepada dunia masa kini
Perkembangan selanjutnya, muncul hermeneutik sebagai kritik yang memberikan reaksi hebat terhadap asumsi-asumsi idealis baik teori hermeneutik maupun filsafat hermeneutik yang menolak pertimbangan-pertimbangan ekstra-lingusitik sebagai faktor yang membentuk dan menentukan konteks fikiran dan aksi. Kritik hermeneutik ini lebih banyak memperhatikan faktor bahasa dan aspek-aspek idiologis dalam interpretasi.
Sejarah hermeneutik sebagai alat penafsir al-Kitab, agaknya memberikan arah teori terhadap penfsiran al-Qur’an. Walaupun masih ada angapan buruk yang sangat idiologis karena lahan kajian antara al-Kitab dengan al-Qur’an mempunyai “egoisitas” idiologis dari para pengikutnya. Namun demikian secara teoritis bisa dijadikan pijakan untuk mengungkap kerekteristik idiologis dan beberapa dimensi ke-al-Qur’anan-nya. Reaksi ini sangat dimungkinkan karena catatan hermeneutik adalah memberikan tafsiran terhadap teks idiologi. Sementara teks idiologi hampir memiliki kesejarahan pembentukan yang sama dalam membawa nilai-nilai ke-Tuhan-an dan realitas kehidupan manusia. Petokan ini bisa di-iyakan pada prinsip dasar hermeneutik sebagai gagasan menafsirkan al-Kitab.
Dalam studi ke-Islaman, pendekatan hermeneutik telah dirintis oleh Ibnu Khaldun. Dia berpendapat bahwa sebuah tradisi akan mati, kering dan mandeg jika tidak dihidupkan secara konsisten melalui penafsiran ulang sejalan dengan dinamika sosial. Semantara al-Qur’an yang memposisikan teks suci umat Islam tentunya sangat memerlukan analisa-analisa keislaman dalam mengembangkan pemahaman al-Qur’an. Dan hermeneutik bisa dijadikan disiplin kolaborasi keilmuan antara teori interpretasi teksnya dan kultur serta kesejarahan umat Islam. Kultur dan kesejarahan ini memberikan bantuan analisa yang mengakomodasikan latar belakang terbentuknya ayat al-Qur’an dan kematangan teori hermeneutik. Dari sini ada titik temu yang dapat diusung dalam membangun penfsiran al-Qur’an yang lebih multi disiplin ilmu.
Pertautan Ilmu Tafsir
Ilmu Tafsir yang pertama menteorikan penafsirannya dari al-Qur’an itu sendiri yang ide dasarnya murni berangkat dari Tuhan, kemudian yang kedua Nabi Muhammad sebagai penerima al-Qur’an dari sistem penyampaian wahyu melalui malaikat Jibril, dan ketiga para sahabat dan dilanjutkan oleh para tabi’in hingga para ulama’ tafsir yang telah memiliki klasifikasi sebagai seorang penafsir. Pola hubungan dan generasi penafsiran al-Qur’an ini terus bermunculan hingga menghasilkan penafsiran al-Qur’an yang sangat variatif. Persoalan ini diakui sendiri oleh Ibnu Taimiyah yang mengklasifikasikan dua katagori dalam perbedaan penafsiran al-Qur’an. Pertama seorang mufasir diantara mereka mengungkapkan maksud sebuah kata dengan redaksi yang berbeda dengan redaksi mufasir lain. Misalnya ayat as-sirat al-mustaqim (jalan yang lurus) sebagian menafsirkan dengan makna “al-Qur’an” (jalan al-Qur’an) sebagaian yang lain menafsirkan dengan makna “Islam” (jalan Islam). Kedua masing-masing penfsir menafsirkan kata-kata yang bersifat umum yang menyebutkan sebagian makna dari sekian banyak macamnya.
Rasanya, perdebatan dalam dinamika penafsiran al-Qur’an harus tetap berkembang dalam rangka membumikan al-Qur’an dalam dimensi sosial yang lebih plural. Namun kesan yang terjadi adalah pertikaian “politik” idiologis yang ingin memberikan maksud dan tujuan sepihak. Susahnya lagi, penafsiran itu terus berubah hingga sesuai dengan keinginan dan kepentingan politiknya. Yang lebih nampak dari pertikaian penafisran ini pada ayat-ayat kekuasaan, gender, pensekatan dan “kekerasan” idiologi. Misalnya kepemimpinan perempuan, partai Islam, kekuasaan negara Islam, dan keharusan hukum Islam (syari’ah) hingga pada Islam dan kekafiran, serta pemberontak negara Islam bughot.
Penghembusan penafisran yang kontekstual politik ini, mestikah dikembalikan pada prosedur ilmu tafsir yang telah memiliki klasifikasi moral dalam merespon sosial dan al-Qur’an. Memang masih sangat dirasa susah untuk mengembalikan dialektika keilmuan yang sudah sedemikian global. Persoalan berikutnya tentu akan mengakar pada pola bangunan agama yang telah sedemikian reaktif dengan putaran waktu dan globalisasi. Dimana bentuk-bentuk ritualitas hegemonik mulai kendur dan sering dianggap tradisional. Kecenderungan ini muncul sebagai akibat dari arus “reformasi” yang memandang bahwa ulama kuno tidak lagi dapat diikuti sebab mereka hidup pada masanya. Pemahaman ini tidak dapat dijadikan pegangan yang baku dalam pengembangan keilmuan yang dinamis, karena saat itulah meraka berijtihad, membangun dasar-dasar ilmu, mendirikan peradaban, menciptakan filsafat, dan merumuskan pemikirannya sendiri. Dengan demikian sangat tidak mungkin perkembangan keilmuan saat ini mengabaikan produk keilmuan mereka
Ilmu Tafsir sebagai produk “salaf” agaknya juga telah sedemikian “termusnahkan” dengan beberapa anggapan bahwa ilmu tafsir tidak revolusioner dalam analisa dan pemahaman teks al-Qur’an. Sebenarnya reaksi ini sebagai akibat dari kemandhekan analisa teks al-Qur’an yang tidak membangun landasan teorinya dengan ilmu tafsir. Yang harus difahamkan bahwa kerelaan ilmu tafsir terhadap proses dinamika keilmuan yang dapat membantunya, merupakan kunci dalam pengembangan ilmu tafsir itu sendiri. Sebagaimana syarat-syarat seorang mufasir yang harus menguasai kaidah linguistik bahasa Arab (nahwu, shorof, balaghoh, ilmu al-ashwat, ilmu al-ma’na dll). Relaitas ini akan memberikan ruang gerak tafsir yang memenuhi sasaran dengan pengembangan dinamika keilmuan analisa teks yang sekarang sedang berkembang. Katakanlah, semantik, hermeneutik, filologi dan beberapa ilmu penunjang lainnya yang arahnya tidak menghilangkan ilmu tafsir sebagai landasan teori.
Beberapa catatan penting untuk mensinergikan ilmu tafsir dengan ilmu bantu lainnya adalah. Pertama, al-Qur’an sebagai objek kajian tafsir tidak dapat dilepaskan dari al-Qur’an itu sendiri. Artinya dalam terminologi metode penafsiran apapun, dalam menafsirkan al-Qur’an hendaknya merujuk dari dimensi ayat lain yang sekiranya dapat menguatkan posisi tafsir suatu ayat al-Qur’an. Dari reaksi ini diandaikan dapat meminimalisir “politisasi” ayat dengan dalih pendekatan metode tafsir tertentu. Kedua, al-Hadits sebagai salah satu penunjang terhadap keselarasan tafsir ayat al-Qur’an, merupakan kunci kedua setelah ayat al-Qur’an itu sendiri.
Pada sisi ini memang nampak sering terabaikan karena masih kentalnya anggapan bahwa antara al-Qur’an dan al-Hadits adalah teks yang berbeda. Ini dapat terjadi karena al-Hadits lebih banyak mengungkap hal-hal praktis yang sudah jelas makna dan maksudnya. Sedangkan al-Qur’an banyak terdapat makna-makna universal yang interpretatif. Ketiga, bahwa penafsiran al-Qur’an merupakan suatu kajian penafsiran yang tidak dapat dilepaskan dari kaidah ilmu tafsir, yang kemudian secara spesifik bisa dilanjutkan dengan penggapaian dan arah metode tafsir pendamping yang hendak dicapai. Ini dimungkinkan karena masing-masing ayat al-Qur’an memiliki latar belakang pembentukannya dan secara leksikal memiliki kekuatan makna yang sangat beragam. Keempat, karakteristik dan simbol-simbol ayat al-Qur’an hendaknya tetap dijadikan analisa yang benar-benar dari tindakan keilmuan murni. Ini menjembatani dari beberapa metode penafsiran kontemporer yang hampir memiliki kesesuaian dengan teori dasar metode tafsir. Misalkan asbabun nuzul dengan filologi yang kedua-duanya hampir berdekatan dalam teori analisa sejarah terbentuknya suatu teks. Hal ini mengupayakan kesinambungan analisa dan penafsiran al-Qur’an yang lebih sempurna dan mateng.
Ala kulli hal. Bangunan peradaban Islam telah terteorikan dalam al-Qur’an. Dan akan sangat disayangkan kalau mengandungi maksud dan makna yang sempit, apalagi dipolitisir. Karena al-Qur’an turun tidak dalam rangka “peperangan” politik, tetapi “peperangan” untuk membangun moral dan nilai.
0 komentar:
Posting Komentar