Selama beberapa tahun terakhir ini, wajah pendidikan di negara kita masih sangat buram, hal ini terbukti dengan adanya pergantian sistem pendidikan yang terus menerus tidak pernah kelihatan dampak positifnya, sebaliknya anggaranya yang dikeluarkan sudah sangatlah banyak dalam membuat sebuah kebijakan atau peraturan. Tak heran, jika setiap kali pergantian pemerintahan selalu membawa dampak perubahan pada kebijakan pendidikan. Lalu, Apakah hal ini merupakan inkonsistensi kebijakan pemerintah atau dinamisasi tuntutan zaman?.
Salah satu kebijakan yang baru-baru ini adalah munculnya UU Badan Hukum Pendidikan (BHP), yang diamanahkan dalam payung hukum UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 pada pasal 53 ayat 4 yang mengintruksikan ketentuan BHP diatur dalam undang–undang sendiri.
Dengan adanya UU BHP diharapkan pendidikan kita lebih kreatif, mandiri dan lebih maju. Selain itu, UU BHP juga diharapkan bisa mengoptimalkan otonomi kampus yang berdampak lebih positif sebagai bentuk indepensi pendidikan.
Kronologis UU BHP ini, sebenarnya bermula dari lahirnya peraturan pemerintah (PP) No. 60 dan 61 tahun 1999, tentang perubahan perguruan tinggi negeri (PTN) menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Meskipun ada sedikit perbedaan tetapi secara praksis antara BHMN & BHP tak ubahnya sama. Sebab realisasi UU BHP sama-sama akan menyeret institusi pendidikan negeri menuju swastanisasi pendidikan seperti halnya perusahaan. Segala bentuk pengelolaanya bersifat mandiri mulai dari pencarian founding dana sampai pada menejemen yang berorientasi pada output.
Berdasarkan pada UU BHP Pasal 34 ayat 3 bahwa "Pemerintah menanggung sekurang-kurangnya dua per-tiga biaya pendidikan untuk BHPP yang menyelenggarakan pendidikan tinggi untuk biaya operasional, biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik pada BHPP sesuai dengan standar nasional pendidikan". Inilah yang mengindikasikan bahwa pemerintah secara perlahan-lahan akan melepaskan tanggungjawabnya terhadap dunia pendidikan. Jika demikian satu per-tiga dari biaya pendidikan adalah ditanggung lembaga pendidikan atau bahkan akan menjadi tanggungjawab orang tua peserta didik. Namun Realitasnya berbagai Perguruan Tinggi yang sudah diBHMN lebih dulu telah mengalami kenaikan SPP maka secara otomatis dengan adanya BHP hal ini pun akan terjadi sama.
Di sisi lain, lembaga pendidikan juga diperbolehkan membuka seluas-luasnya akses founding seluas-luasnya. Sebagaimana diatur dalam UU BHP pasal 37 ayat 1, 2 dan 3:
1. Masyarakat dapat memberikan dana pendidikan pada BHP yang tidak mengikat serta tidak bertentangan dengan anggaran dasar BHP dan peraturan perundang-undangan, untuk biaya investasi, biaya operasi, dan beasiswa atau bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik.
2. Dana pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupaantara lain sumbangan pendidikan, hibah, wakaf, zakat, pembayaran nadzar, pinjaman, sumbangan perusahaan, dan penerimaan lain yang sah.
3. Pemerintah dan pemerintah daerah memberikan kemudahan atau insentif perpajakan kepada masyarakat yang memberikan dana pendidikan pada BHP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
Dari beberapa pasal di atas memicu terbuka lebarnya peluang komersialisasi serta neo-liberalisai pada pendidikan dan akan menjerumuskan nilai-nilai idealisme pendidikan dalam kubangan pragmatisme. Sebab secara teoritis sebenarnya otonomisasi pendidikan adalah desakan pendonor dana yang mengacu pada nilai pasar, hal ini secara implisit sepaham dengan kesepakatan-kesepakatan pada pertemuan Paris Club, CGI atau bahkan tuntutan IMF. Disini pula, instansi pendidikan akan bermain pada bursa saham. Secara logis orang yang paling miskin adalah orang-orang yang paling sedikit sahamnya dan orang yang akan paling ditindas.
Di samping itu, untuk menghindari pailit yang diatur UU BHP pasal 49, stickholder swastanisasi pendidikan dituntut untuk survive agar terhindar dari kebangkrutan atau hutang. Jika tidak, maka instansi pendidikan bisa dibubarkan, lalu berapa ribu peserta didik yang akan menjadi korban. Atau sebaliknya lagi-lagi orang tua peserta didik yang akan menjadi tumbal pemikul biaya SPP pendidikan yang semakin tinggi.
Jika demikian, Sepatutnya Pendidikan mahal-lah yang sebenarnya harus dijanjikan pemerintah bukan pendidikan murah atau bahkan gratis. Sebab pendidikan hanya untuk kaum borjuis yang menjadi jurang pemisah antara kaum proletar dengan kaum elit. Maka benar jika pendidikan bermutu hanya untuk orang kaya, sebaliknya orang miskin hanya mengenyam pendidikan rongsokan.
Walaupun dalam mengantisipasi hal itu, pemerintah dalam UU BHP pasal 38 menjanjikan memberikan alokasi dana bagi peserta didik yang kurang mampu, namun kenyataannya bantuan pemerintah tidak pernah efektif atau bahkan tidak fungsional. Sebab konsekwensi pengucuran dana bantuan terkadang juga akan mencegah penarikan iuran sebuah instansi pendidikan, itupun tidak akan pernah bisa mencukupi, semisal Bantuan Dana Operasional Sekolah (BOS).
Padahal yang diharapkan bangsa kita ini bukanlah sebatas bantuan dana tetapi terjangkaunya pendidikan bagi seluruh rakyat. Sehingga aplikasi Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas No.20 Tahun 2003 dengan tegas menyatakan “Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya” bisa benar-benar terealisasi.
Kini Impian pendidikan yang tertuang dalam Pembukaan & Pasal 31 UUD 1945, yang mewajibkan pemerintah mencerdaskan kehidupan bangsa, serta memberikan hak bagi segala bangsa untuk mendapatkan pendidikan yang layak, hanya menjadi angan-angan utopis belaka.
Maka demi tegaknya demokratisasi pendidikan, pemerintah tidak perlu memberikan konsepsi yang terawang-awang namun jauh dari realitas. sebaliknnya yang diharapkan adalah kebijakan pro rakyat, yang sinergis antara sebuah konsep dengan realitas rakyat seluruh Indonesia.
Salah satu kebijakan yang baru-baru ini adalah munculnya UU Badan Hukum Pendidikan (BHP), yang diamanahkan dalam payung hukum UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 pada pasal 53 ayat 4 yang mengintruksikan ketentuan BHP diatur dalam undang–undang sendiri.
Dengan adanya UU BHP diharapkan pendidikan kita lebih kreatif, mandiri dan lebih maju. Selain itu, UU BHP juga diharapkan bisa mengoptimalkan otonomi kampus yang berdampak lebih positif sebagai bentuk indepensi pendidikan.
Kronologis UU BHP ini, sebenarnya bermula dari lahirnya peraturan pemerintah (PP) No. 60 dan 61 tahun 1999, tentang perubahan perguruan tinggi negeri (PTN) menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Meskipun ada sedikit perbedaan tetapi secara praksis antara BHMN & BHP tak ubahnya sama. Sebab realisasi UU BHP sama-sama akan menyeret institusi pendidikan negeri menuju swastanisasi pendidikan seperti halnya perusahaan. Segala bentuk pengelolaanya bersifat mandiri mulai dari pencarian founding dana sampai pada menejemen yang berorientasi pada output.
Berdasarkan pada UU BHP Pasal 34 ayat 3 bahwa "Pemerintah menanggung sekurang-kurangnya dua per-tiga biaya pendidikan untuk BHPP yang menyelenggarakan pendidikan tinggi untuk biaya operasional, biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik pada BHPP sesuai dengan standar nasional pendidikan". Inilah yang mengindikasikan bahwa pemerintah secara perlahan-lahan akan melepaskan tanggungjawabnya terhadap dunia pendidikan. Jika demikian satu per-tiga dari biaya pendidikan adalah ditanggung lembaga pendidikan atau bahkan akan menjadi tanggungjawab orang tua peserta didik. Namun Realitasnya berbagai Perguruan Tinggi yang sudah diBHMN lebih dulu telah mengalami kenaikan SPP maka secara otomatis dengan adanya BHP hal ini pun akan terjadi sama.
Di sisi lain, lembaga pendidikan juga diperbolehkan membuka seluas-luasnya akses founding seluas-luasnya. Sebagaimana diatur dalam UU BHP pasal 37 ayat 1, 2 dan 3:
1. Masyarakat dapat memberikan dana pendidikan pada BHP yang tidak mengikat serta tidak bertentangan dengan anggaran dasar BHP dan peraturan perundang-undangan, untuk biaya investasi, biaya operasi, dan beasiswa atau bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik.
2. Dana pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupaantara lain sumbangan pendidikan, hibah, wakaf, zakat, pembayaran nadzar, pinjaman, sumbangan perusahaan, dan penerimaan lain yang sah.
3. Pemerintah dan pemerintah daerah memberikan kemudahan atau insentif perpajakan kepada masyarakat yang memberikan dana pendidikan pada BHP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
Dari beberapa pasal di atas memicu terbuka lebarnya peluang komersialisasi serta neo-liberalisai pada pendidikan dan akan menjerumuskan nilai-nilai idealisme pendidikan dalam kubangan pragmatisme. Sebab secara teoritis sebenarnya otonomisasi pendidikan adalah desakan pendonor dana yang mengacu pada nilai pasar, hal ini secara implisit sepaham dengan kesepakatan-kesepakatan pada pertemuan Paris Club, CGI atau bahkan tuntutan IMF. Disini pula, instansi pendidikan akan bermain pada bursa saham. Secara logis orang yang paling miskin adalah orang-orang yang paling sedikit sahamnya dan orang yang akan paling ditindas.
Di samping itu, untuk menghindari pailit yang diatur UU BHP pasal 49, stickholder swastanisasi pendidikan dituntut untuk survive agar terhindar dari kebangkrutan atau hutang. Jika tidak, maka instansi pendidikan bisa dibubarkan, lalu berapa ribu peserta didik yang akan menjadi korban. Atau sebaliknya lagi-lagi orang tua peserta didik yang akan menjadi tumbal pemikul biaya SPP pendidikan yang semakin tinggi.
Jika demikian, Sepatutnya Pendidikan mahal-lah yang sebenarnya harus dijanjikan pemerintah bukan pendidikan murah atau bahkan gratis. Sebab pendidikan hanya untuk kaum borjuis yang menjadi jurang pemisah antara kaum proletar dengan kaum elit. Maka benar jika pendidikan bermutu hanya untuk orang kaya, sebaliknya orang miskin hanya mengenyam pendidikan rongsokan.
Walaupun dalam mengantisipasi hal itu, pemerintah dalam UU BHP pasal 38 menjanjikan memberikan alokasi dana bagi peserta didik yang kurang mampu, namun kenyataannya bantuan pemerintah tidak pernah efektif atau bahkan tidak fungsional. Sebab konsekwensi pengucuran dana bantuan terkadang juga akan mencegah penarikan iuran sebuah instansi pendidikan, itupun tidak akan pernah bisa mencukupi, semisal Bantuan Dana Operasional Sekolah (BOS).
Padahal yang diharapkan bangsa kita ini bukanlah sebatas bantuan dana tetapi terjangkaunya pendidikan bagi seluruh rakyat. Sehingga aplikasi Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas No.20 Tahun 2003 dengan tegas menyatakan “Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya” bisa benar-benar terealisasi.
Kini Impian pendidikan yang tertuang dalam Pembukaan & Pasal 31 UUD 1945, yang mewajibkan pemerintah mencerdaskan kehidupan bangsa, serta memberikan hak bagi segala bangsa untuk mendapatkan pendidikan yang layak, hanya menjadi angan-angan utopis belaka.
Maka demi tegaknya demokratisasi pendidikan, pemerintah tidak perlu memberikan konsepsi yang terawang-awang namun jauh dari realitas. sebaliknnya yang diharapkan adalah kebijakan pro rakyat, yang sinergis antara sebuah konsep dengan realitas rakyat seluruh Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar