Selamat Datang di http://ghanie-np.blogspot.com Dan Selamat Menikmati Sepenggal Taqdir Dari Anak Kepulauan Ini
Mohon ma'af sebelumnya, sudah lama tidak saya Update, karena masih banyak kesibukan yang harus saya selesaikan.
Sekedar Kata Pengantar :
Kureguk kopi sambil menyelesaikan satu puisi. Kamu di sisiku, menjadi kitab refrensiku. Kubuka halaman hatimu, tak kutemukan kata pengganti yang lebih indah untuk kutulis. Selamat Menikmati...

KEPEMIMPINAN KEPALA MADRASAH DALAM MENGELOLA KONFLIK UNTUK MENINGKATKAN KINERJA KARYAWAN


A. KEPEMIMPINAN KEPALA MADRASAH DALAM MENGLOLA KONFLIK

1. Pengertian Kepemimpinan

Kepemimpinan adalah kemampuan meyakinkan dan menggerakkan orang lain agar mau bekerja sama di bawah kepemimpinannya sebagai suatu tim untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Pembahasan lain disebutkan bahwa kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai suatu proses pengarahan dan pemberian pengaruh pada kegiatan-kegiatan dari sekelompok anggota yang saling berhubungan tugasnya. Ada tiga implikasi penting dari definisi tersebut :

Pertama, kepemimpinan menyangkut orang lain, bawahan atau pengikut. Kesediaan mereka untuk menerima pengarahan dari pemimpin, para anggota kelompok membantu menentukan status/ kedudukan pemimpin dan membuat proses kepemimpinan dapat berjalan.

Kedua, kepemimpinan menyangkut suatu pembagian kekuasaan yang tidak seimbang diantara para pemimpin dan anggota kelompok. Para pemimpin mempunyai wewenang untuk mengarahkan berbagai kegiatan para anggota kelompok, tetapi para anggota kelompok tidak dapat mengarahkan kegiatan-kegiatan pemimpin secara langsung, meskipun dapat juga melalui sejumlah cara secara tidak langsung.

Ketiga, selain dapat memberi pengarahan kepada bawahan atau pengikut, pemimpin juga dapat mempergunakan pengaruh. Dengan kata lain, para pemimpin tidak hanya dapat memerintah bawahan apa yang harus dilakukan tetapi juga dapat mempengaruhi bagaimana bawahan melaksanakan perintahnya.

Berdasarkan dari tersebut dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan untuk mewujudkan pandangan menjadi kenyataan. Seorang pemimpin dapat benar-benar mewujudkan impian tersebut tak luput dari pelibatan unsur penting lainnya yaitu salah satunya adalah orang lain. Seorang pemimpin membuat pandangannya menjadi kenyataan tidak hanya dengan usahanya sendiri namun juga melaui usaha orang lain. Dan Pemimpin sejati harus selalu membina hubungan baik dengan masyarakat, memperhatikan, dan belajar berkomunikasi serta memotivasi orang-orang. Hal tersebut merupakan prinsip yang membentuk landasan kepemimpinan.

Dari definisi yang berbeda-beda tersebut mengandung kesamaan asumsi yang bersifat umum, seperti :

a. Didalam suatu fenomena kelompok melibatkan interaksi antara dua orang atau lebih.
b. Didalam melibatkan proses mempengaruhi, dimana pengaruh yang sengaja digunakan oleh pemimpin terhadap para karyawan.

Disamping kesamaan asumsi yang umun dalam definisi tersebut juga memiliki kelainan sedikit yang bersifat umum, seperti:

a. Siapa yang mempergunakan pengaruh.
b. Tujuan daripada usaha untuk mempengaruhi.
c. Cara pengaruh itu dipergunakan.

Mempergunakan konsepsi kepemimpinan berbeda-beda pada saat ini adalah lebih baik, sebagai sumber pandangan masa depan yang berlain-lainan tentang fenomena yang kompleks dan multifaset. Jadi operasionalisasi definisi kepemimpinan tersebut bergantung pada tingkat kepentingan atau pentingnya tujuan dari para peneliti.

Sedangkan manajemen merupakan suatu proses yang sistematik, sitemik, dan komprehensif dalam rangka mencapai tujuan. Manajemen lebih bersifat taktis dengan melakukan beberapa konponen utama yaitu planning, organizing, actuating, dan controlling. Manajemen pendidikan dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang yang berkenaan dengan pengelolaan proses pendidikan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, baik tujuan jangka pendek, menengah maupun jangka panjang.

Kemudian dalam sebuah organisasi kelembagaan (madrasah) dikenal dengan dua tingkat kepemimpinan, yaitu leader dan manajer. Disinilah pemimpin akan terlihat pola kepemimpinannya. Namun secara universal yang diterapkan dalam lembaga pendidikan lebih kepada leader-nya. Dan leader (pemimpin) itu mempunyani gaya masing-masing dalam mengatur sebuah lembaganya. Adapun gaya-gaya kepemimpinan tersebut adalah :

a. Kepemimpinan Otoriter
Otoriter adalah gaya pemimpin yang memusatkan segala keputusan dan kebijakan yang diambil dari dirinya sendiri secara penuh. Pada gaya kepemimpinan otokrasi ini, pemimpin mengendalikan semua aspek kegiatan. Pemimpin memberitahukan sasaran apa saja yang ingin dicapai dan cara untuk mencapai sasaran tersebut, baik itu sasaran utama maupun sasaran minornya.

Pemimpin juga berperan sebagai pengawas terhadap semua aktivitas anggotanya dan pemberi jalan keluar bila anggota mengalami masalah. Dengan kata lain, anggota tidak perlu pusing memikirkan apappun. Anggota cukup melaksanakan apa yang diputuskan pemimpin. Kepemimpinan otokrasi cocok untuk anggota yang memiliki kompetensi rendah tapi komitmennya tinggi.

b. Kepemimpinan Demokratis
Gaya kepemimpinan demokratis adalah gaya pemimpin yang memberikan wewenang secara luas kepada para bawahan. Setiap ada permasalahan selalu mengikutsertakan bawahan sebagai suatu tim yang utuh. Dalam gaya kepemimpinan demokratis pemimpin memberikan banyak informasi tentang tugas serta tanggung jawab para bawahannya.

Pada kepemimpinan demokrasi, anggota memiliki peranan yang lebih besar. Pada kepemimpinan ini seorang pemimpin hanya menunjukkan sasaran yang ingin dicapai saja, tentang cara untuk mencapai sasaran tersebut, anggota yang menentukan. Selain itu, anggota juga diberi keleluasaan untuk masalah yang dihadapinya. Kepemimpinan demokrasi cocok untuk anggota yang memiliki kompetensi tinggi dengan komitmen yang bervariasi.

c. Kepemimpinan Bebas
Pemimpin jenis ini hanya terlibat dalam kuantitas yang kecil di mana para bawahannya yang secara aktif menentukan tujuan dan penyelesaian masalah yang dihadapi. Gaya kepemimpinan demokratis kendali bebas merupakan model kepemimpinan yang paling dinamis. Pada gaya kepemimpinan ini seorang pemimpin hanya menunjukkan sasaran utama yang ingin dicapai saja. Tiap divisi atau seksi diberi kepercayaan penuh untuk menentukan sasaran minor, cara untuk mencapai sasaran, dan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya sendiri-sendiri. Dengan demikian, pemimpin hanya berperan sebagai pemantau saja.

Sementara itu, kepemimpinan kendali bebas cocok untuk angggota yang memiliki kompetensi dan komitmen tinggi. Namun dewasa ini, banyak para ahli yang menawarkan gaya kepemimpinan yang dapat meningkatkan produktivitas kerja karyawan, dimulai dari yang paling klasik yaitu teori sifat sampai kepada teori situasional.

Oleh karena itu, kepala madrasah merupakan salah satu komponen pendidikan yang paling berperan dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Untuk itu kepala madrasah harus mengetahui tugas-tugas yang harus ia laksankan. Adapun indikator / tugas-tugas dari kepala madrasah secara umum adalah sebagai berikut :

a. Kepala madrasah bekerja dengan dan melalui orang lain.
b. Kepala madrasah berperilaku sebagai saluran komunikasi di lingkungan madrasah.
c. Kepala madrasah bertanggung jawab dan mempertanggungjawabkan.
d. Kepala madrasah bertindak dan bertanggungjawab atas segala tindakan yang dilakukan oleh bawahan. Perbuatan yang dilakukan oleh para guru, siswa, staf, dan orang tua siswa tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab kepala madrasah.
e. Dengan waktu dan sumber yang terbatas seorang kepala madrasah harus mampu menghadapi berbagai persoalan.
f. Dengan segala keterbatasan, seorang kepala madrasah harus dapat mengatur pemberian tugas secara cepat serta dapat memprioritaskan bila terjadi konflik antara kepentingan bawahan dengan kepentingan madrasah.
g. Kepala madrasah harus berfikir secara analitik dan konsepsional.
h. Kepala madrasah harus dapat memecahkan persoalan melalui satu analisis, kemudian menyelesaikan persoalan dengan satu solusi yang fleksible. Serta harus dapat melihat setiap tugas sebagai satu keseluruhan yang saling berkaitan.
i. Kepala madrasah adalah seorang mediator atau juru penengah. Dalam lingkungan madrasah sebagai suatu organisasi di dalamnya terdiri dari manusia yang mempunyai latar belakang yang berbeda-beda yang bisa menimbulkan konflik untuk itu kepala madrasah harus jadi penengah dalam konflik tersebut.
j. Kepala madrasah adalah seorang politisi.
k. Kepala madrasah harus dapat membangun hubungan kerja sama melalui pendekatan persuasi dan kesepakatan (compromise). Peran politis kepala madrasah dapat berkembang secara efektif apabila dapat dikembangkan prinsip jaringan saling pengertian terhadap kewajiban masing-masing, dan terbentuknya aliasi atau koalisi, seperti organisasi profesi, OSIS, BP3, dan sebagainya, serta terciptanya kerjasama (cooperation) dengan berbagai pihak, sehingga aneka macam aktivitas dapat dilaksanakan.
l. Kepala madrasah adalah seorang diplomat dalam berbagai macam pertemuan kepala madrasah adalah wakil resmi madrasah yang dipimpinnya.
m. Kepala madrasah mengambil keputusan-keputusan sulit, tidak ada satu organisasi pun yang berjalan mulus tanpa problem. Demikian pula madrasah sebagai suatu organisasi tidak luput dari persoalan dan kesulitan-kesulitan. Dan apabila terjadi kesulitan-kesulitan kepala madrasah diharapkan berperan sebagai orang yang dapat menyelesaikan persoalan yang sulit tersebut.

Dalam menjalankan kepemimpinannya, selain harus tahu dan paham tugasnya sebagai pemimpin, yang tak kalah penting dari itu semua seharusnya kepala madrasah memahami dan mengatahui perannya. Adapun peran-peran kepala madrasah yang menjalankan peranannya sebagai manajer adalah :

a. Peranan hubungan antar perseorangan.
b. Peranan informasional.
c. Sebagai pengambil keputusan.

Seperti halnya diungkapkan di muka, banyak faktor penghambat tercapainya kualitas keprofesionalan kepemimpinan kepala madrasah seperti proses pengangkatannya tidak trasnparan, rendahnya mental kepala madrasah yang ditandai dengan kurangnya motivasi dan semangat serta kurangnya disiplin dalam melakukan tugas, dan seringnya datang terlambat, wawasan kepala madrasah yang masih sempit, serta banyak faktor penghambat lainnya yang menghambat tumbuhnya kepala madrasah yang professional untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Ini mengimplikasikan rendahnya produktivitas kerja kepala madrasah yang berimplikasi juga pada mutu (input, proses, dan output)

2.Kepemimpinan Dalam Pengelolaan Konflik

Sebelum membahas tentang bagaimana pengelolaan konflik, maka terlebih dahulu harus dipahami perbedaan antara konflik itu sendiri dan masalah. Konflik disini berasal dari kata kerja latin configure yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Sedangkan masalah menurut Soerjono Soekanto, masalah adalah suatu ketidak sesuaian antara unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat yang membahayakan kehidupan kelompok sosial. Jika terjadi bentrokan antara unsur-unsur yang ada dapat menimbulkan gangguan hubungan sosial seperti kegoyahan dalam kehidupan kelompok atau masyarakat bahkan organisasi kelembagaan. Kemudian masalah sosial yang didefinisikan Robert K Merton sebagai ”ketidaksesuaian yang signifikan dan tidak diinginkan” antara standar kebersamaan dan kondisi nyata. Atau dengan kata lain,”Sebuah situasi tak terduga yang tidak sejalan dengan tata nilai yang dianut sekelompok orang yang menyetujui bahwa perlu adanya tindakan untuk mengatasi situasi”.
Kemudian kaitannya dengan pengelolaan konflik bahwa setiap kepemimpinan yang mengelola konflik pasti tadak akan terlepas dengan istilah pengaturan konflik, atau yang lebih umum manajemen konflik. Oleh karena itu, konflik yang terjadi dalam madrasah atau lembaga lain membutuhkan pengelolaan yang baik dengan mengatur konflik tersebut sesuai dengan manajemen konflik, karena manajemen konflik adalah proses pengelolaan dan pengaturan konflik agar tidak berakibat pada kerusakan sebuah lembaga atau organisasi. Dan dilihat dalam suatu individu manusia, tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik. Baik itu konflik antar pemimpin dan anggotanya, atau dengan kelompok masyarakat lainnya. Pemicu utama konflik ialah perbedaan, dari perbedaan tersebut kemudian berlanjut menjadi pertengkaran atau perselisihan. Sekecil apapun konflik tidak bisa dianggap sepele juga tidak harus disikapi secara berlebihan. Kita bisa mengelola sikap kita dalam menghadapi konflik dengan mengetahui dan memahami akar permasalahannya. Karena kalau konflik dibiarkan, maka akan menimbulkan perselisihan yang akan berdampak terhadap perkembangan organisasi, bahakan pihak yang terlibat akan menjadi binasa. Sebagai mana dalam hadist yang diriwayatkan oleh Abdullah ibn Mas’ud :

عَنْ عَبْدِ اللهِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ قََالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لاَ تَخْتَلِفُوْا فَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ إِخْتَلَفُوْا فَهَلَكُوْا.

Artinya :
Dari Abdullah ibn Mas’ud Rasulullah bersabda : Janganlah kamu berselisih, maka sesungguhnya orang-orang sebelum kamu berselisih sehingga akhirnya mereka binasa.

Manajemen konflik merupakan serangkaian aksi dan reaksi antara pelaku maupun pihak luar dalam suatu konflik. Manajemen konflik termasuk pada suatu pendekatan yang berorientasi pada proses yang mengarahkan pada bentuk komunikasi (termasuk tingkah laku) dari pelaku maupun pihak luar dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan (interests) dan interpretasi. Bagi pihak luar (di luar yang berkonflik) sebagai pihak ketiga, yang diperlukannya adalah informasi yang akurat tentang situasi konflik. Hal ini karena komunikasi efektif di antara pelaku dapat terjadi jika ada kepercayaan terhadap pihak ketiga.

Dalam proses interaksi antara suatu sub sistem dengan sub sistem lainnya tidak ada jaminan akan selalu terjadi kesesuaian atau kecocokan antara individu pelaksananya. Setiap saat ketegangan dapat saja muncul, baik antar individu maupun antar kelompok dalam organisasi. Banyak faktor yang melatar belakangi munculnya ketidakcocokan atau ketegangan, antara lain sifat-sifat pribadi yang berbeda, perbedaan kepentingan, komunikasi yang ”buruk”, perbedaan nilai, dan sebagainya. Perbedaan-perbedaan inilah yang akhirnya membawa organisasi ke dalam suasana konflik. Agar organisasi dapat tampil efektif, maka individu dan kelompok yang saling tergantung itu harus menciptakan hubungan kerja yang saling mendukung satu sama lain, menuju pencapaian tujuan organisasi.

Konflik merupakan bagian integral dari kehidupan manusia. Secara personal kita mengalami konflik dalam rumah tangga. Dalam hubungan yang luas, konflik terjadi dalam hubungan sosial, ekonomi, dan politik, seperti tawuran pelajar, konflik industri dan agraria, konflik etnis dan sektarian, hingga konflik antar negara. Jika dikelola, konflik sebenarnya memiliki nilai positif bagi interaksi manusia. Masalahnya pengetahuan dan ketrampilan yang memadai untuk mengelola konflik sering tidak dimiliki oleh mereka yang terlibat konflik ataupun yang menangani konflik. Akibatnya konflik tidak hanya tidak berhasil dikelola, dalam banyak kasus bahkan memperparah konflik yang terjadi.

Konflik di sini tidak selamanya harus dimaknai permusuhan atau pertikaian, karena dalam kajian sosiologis, konflik itu juga bisa bermakna kompetisi, tegangan (tension) atau sekadar ketidaksepahaman. Itu pula sebabnya, kehadiran konflik itu tidak selamanya harus dimaknai sebagai sebuah kekuatan yang menghancurkan – a necessarily destructif force, karena dalam banyak hal konflik itu juga bernilai positif, bahkan konstruktif, dan karenanya fungsional. Persisnya, dengan konflik dinamika lahir, dengan konflik kreativitas muncul. Bahkan menurut pakar sosiologi, konflik asal Jerman, George Mills, konflik adalah penggerak sejarah sekaligus sumber perubahan, dan karenanya, konflik akan besar sumbangannya dalam mencegah kebekuan sosial.

Kemudian kaitannya degan lembaga madrasah secara umum, dalam menggapai visi dan misi pendidikan secara umum perlu ditunjang oleh kemampuan kepemimpinan kepala madrasah dalam menjalankan roda kepemimpinanya. Meskipun pengangkatan kepala madrasah tidak dilakukan secara sembarangan, bahkan diangkat dari guru yang sudah berpengalaman atau mungkin sudah lama menjabat sebagai wakil kepala madrasah, namun tidak dengan sendirinya membuat kepala madrasah menjadi profesional dalam melaksanakan tugas. Berbagai kasus menunjukkan masih banyak kepala madrasah yang terpaku dengan urusan-urusan administrasi yang sebenarnya bisa dilimpahkan kepada tenaga administrasi. Dalam pelaksanaanya pekerjaan kepala madrasah merupakan pekerjaan berat yang menuntut kemampuan ekstra.

Dalam melaksanakan tugasnya sebagai pemimpin suatu lembaga pendidikan, kepala sekolah/ madrasah sedikitnya harus mampu berfungsi sebagai edukator, manajer, administrator, supervisor, leader, innovator, dan motivator. Kemudian kaitannya dengan manajemen konflik, kepala sekolah harus bisa mengelola konflik dengan baik dan kreatif. Karena dalam proses pengelolaan konflik, yang jelas diperlukan kecerdasan dalam mepengaruhi karyawannya dan dalam menerapkan manajemen konflik. Dengan demikian seluruh pihak yang ada dilingkup lembaga organisasi tersebut merasakan manfa’at dan fungsi dari konflik tersebut, sehingga seluruh karyawan akan termotivasi dalam melaksanakan tugasnya. Diantar fungsi konflik yang sangat nampak sekali ialah :

a. Motivasi meningkat.
b. Identifikasi masalah/ pemecahan meningkat.
c. Ikatan kelompok lebih erat.
d. Penyesuaian diri pada kenyataan.
e. Pengetahuan/ keterampilan meningkat.
f. Kreatifitas meningkat.
g. Membantu upaya mencapai tujuan.
h. Mendorong pertumbuhan.
i. Bisa menghasilkan ide-ide baru yang lebih baik.
j. Memacu orang untuk menemukan pendekatan pemecahan masalah yang baru.
k. Memunculkan masalah lama ke permukaan, dan kesepakatan tentang adanya masalah tersebut.
l. Memacu orang untuk menjelaskan pandangannya.
m. Menstimulasi perhatian dan kreativitas.
n. Memberi kesempatan untuk menguji kapasitas kemampuan.
o. Menolong untuk mengenali dan mengambil manfaat dari perbedaan.

Oleh sebab itu, kepala madrasah harus bisa memahami konflik dan fungsi-fungsinya, agar kepala madrasah bisa mengelola konflik dengan baik sesuai dengan fungsi tersebut.

3. Sumber-sumber Konflik

Konflik dalam organisasi lembaga tidak terjadi secara alamiah dan terjadi bukan tanpa sumber penyebab. Penyebab terjadinya konflik pada setiap organisasi sangat bervariasi tergantung pada cara individu-individu menafsirkan, mempersepsi, dan memberikan tanggapan terhadap lingkungan kerjanya. Sumber-sumber konflik organisasi menurut pandangan Feldman, pada umumnya disebabkan kurangnya koordinasi kerja antar kelompok/ departemen, dan lemahnya sistem kontrol organisasi. Permasalahan koordinasi kerja antar kelompok berkenaan dengan saling ketergantungan pekerjaan, keraguan dalam menjalankan tugas karena tidak terstruktur dalam rincian tugas, perbedaan orientasi tugas. Sedangkan kelemahan sistem kontrol organisasi yaitu, kelemahan manajemen dalam merealisasikan sistem penilaian kinerja, kurang koordinasi antar unit atau bagian, aturan main tidak dapat berjalan secara baik, terjadi persaingan yang tidak sehat dalam memperoleh penghargaan.

Dan bentuk-bentuk konflik dalam aktivitas organisasi, dijumpai bermacam-macam konflik yang melibatkan individu-individu maupun kelompok-kelompok. Beberapa kejadian konflik telah diidentifikasi menurut jenis dan macamnya oleh sebagian penulis buku manajemen, perilaku organisasi, psikolog maupun sosiologi.

Adapun bentuk konflik antara lain ialah :
a. Konflik pribadi
b. Konflik rasial
c. Konflik antar kelas-kelas sosial
d. Konflik politik antar golongan-golongan dalam masyarakat
e. Konflik berskala internasional antar negara

Pada hakekatnya konflik terdiri atas lima bentuk, yaitu :

a. Konflik dalam diri individu

Konflik ini merupakan konflik internal yang terjadi pada diri seseorang. (intrapersonal conflict). Konflik ini akan terjadi ketika individu harus memilih dua atau lebih tujuan yang saling bertentangan, dan bimbang mana yang harus dipilih untuk dilakukan. Handoko (1995: 349) mengemukakan konflik dalam diri individu, terjadi bila seorang individu menghadapi ketidakpastian tentang pekerjaan yang dia harapkan untuk melaksanakannya, bila berbagai permintaan pekerjaan saling bertentangan, atau bila individu diharapkan untuk melakukan lebih dari kemampuannya.

b. Konflik antar individu

Konflik antar individu (interpersonal conflict) bersifat substantif, emosional atau kedua-duanya. Konflik ini terjadi ketika adanya perbedaan tentang isu tertentu, tindakan dan tujuan di mana hasil bersama sangat menentukan.

c. Konflik antar anggota dalam satu kelompok

Setiap kelompok dapat mengalami konflik substantif atau efektif. Konflik subtantif terjadi karena adanya latar belakang keahlian yang berbeda, ketika anggota dari suatu komite menghasilkan kesimpulan yang berbeda atas data yang sama. Sedangkan konflik efektif terjadi karena tanggapan emosional terhadap suatu situasi tertentu.

d. Konflik antar kelompok

Konflik intergroup terjadi karena adanya saling ketergantungan, perbedaan persepsi, perbedaan tujuan, dan meningkatnya tuntutan akan keahlian.

e. Konflik antar bagian dalam organisasi

Tentu saja yang mengalami konflik adalah orang, tetapi dalam hal ini orang tersebut "mewakili" unit kerja tertentu. Menurut E. Mulyasa (2004: 244) konflik ini terdiri atas:

1) Konflik vertikal. Terjadi antara pimpinan dengan bawahan yang tidak sependapat tentang cara terbaik untuk menyelesaikan sesuatu. Misalnya konflik antara kepala sekolah dengan guru.
2) Konflik horizontal. Terjadi antar pegawai atau departemen yang memiliki hierarki yang sama dalam organisasi. Misalnya konflik antar tenaga kependidikan.
3) Konflik lini-staf. Sering terjadi karena adanya perbedaan persepsi tentang keterlibatan staf dalam proses pengambilan keputusan oleh manajer lini. Misalnya konflik antara kepala sekolah dengan tenaga administrasi.
4) Konflik peran. Terjadi karena seseorang memiliki lebih dari satu peran. Misalnya kepala sekolah merangkap jabatan sebagai ketua dewan pendidikan.

f. Konflik antar organisasi

Konflik antar organisasi terjadi karena mereka memiliki saling ketergantungan pada tindakan suatu organisasi yang menyebabkan dampak negatif terhadap organisasi lain. Misalnya konflik yang terjadi antara sekolah dengan salah satu organisasi masyarakat.

B. PENINGKATAN KINERJA KARYAWAN

1. Pengertian Kinerja Karyawan

Pada umumnya, kinerja diberi batasan sebagai kesuksesan seseorang di dalam melaksanakan suatu pekerjaan. Lebih detailnya lagi bahwa kinerja adalah kesuksesan seseorang dalam melaksanakan tugas. Dan pendapat lain juga mengatakan bahwa kineja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing, dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika.

Sedangkan pengertian kinerja karyawan sendiri yaitu sesuatu yang mempengaruhi seberapa banyak para karyawan memberikan kontribusi dari segi kuantitas dan kualitas output dari pekerjaan yang mereka lakukan, lamanya waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan output, kehadiran karyawan dan lain sebagainya. Di lain pihak, kinerja karyawan diartikan sebagai gabungan dari kemampuan, usaha dan kesempatan yang dapat diukur dari akibat yang dihasilkan. Dapat disimpulkan bahwa kinerja karyawan merupakan hasil kerja yang telah dan akan dilakukan oleh seseorang.

Ada tujuh standart pengukuran prestasi kerja yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja (penilaian kinerja), yaitu:
1) Kualitas kerja.
2) Kuantitas kerja.
3) Pengetahuan tentang pekerjaan.
4) Pendapat atau pernyataan yang disampaikan.
5) Keputusan yang diambil.
6) Perencanaan kerja.
7) Daerah organisasi kerja.

Penilaian kinerja mempunyai tujuan untuk memotivasi para karyawan dalam mencapai sasaran organisasi dan dalam mematuhi peraturan yang telah ditetapkan sebelumnya, agar membuahkan tindakan dan hasil yang dihasilkan. Karena kinerja adalah bagaimana seseorang diharapkan dapat berfungsi dan berperilaku sesuai dengan tugas yang dibebankan kepadanya.

Kemudian dalam interaksi sehari-hari kepemimpinan kepala madrasah dalam proses interaksinya baik antara atasan dan bawahan, berbagai asumsi dan harapan lain muncul. Ketika atasan dan bawahan membentuk serangkaian asumsi dan harapan mereka sendiri yang sering agak berbeda, perbedaan-perbedaan ini yang akhirnya berpengaruh pada tingkat kinerja. Kinerja adalah hasil seseorang secara keseluruhan selama periode tertentu di dalam melaksanakan tugas, seperti standar hasil kerja, target atau sasaran atau kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama. Oleh karena itu, untuk mengetahui semangat atau tidaknya seorang karyawan dalam hal pekerjaannya kepala madrasah (pimpinan) membutuhkan manajemen yang harus dipahami oleh pemimpin dalam sebuah lembaga. Dan dalam teorinya disebut dengan manajemen kinerja. Manajemen kinerja ialah sebagai proses komunikasi yang berkesinambungan dan dilakukan dalam kemitraan antara seorang karyawan dan atasan langsung. Proses ini meliputi kegiatan membangun harapan yang jelas serta pemahaman mengenai pekerjaan yang dilakukan. Ini merupakan sebuah sistem yang artinya memiliki sejumlah bagian yang semuanya harus diikut sertakan, kalau sistem manajemen kinerja ini hendak memberikan nilai tambah bagi organisasi, manajer/ pemimpin dan pegawai.

Dengan demikian manajemen kinerja adalah sebuah proses untuk menetapkan apa yang harus dicapai, dan pendekatannya untuk mengelola dan pengembangan manusia melaui suatu cara yang dapat meningkatkan kemungkinan bahwa sasaran akan dapat dicapai dalam suatu jangka waktu tertentu baik pendek maupun panjang.

Definisi diatas mengandung unsur-unsur penting sebagai berikut :

a. Suatu kerangka kerja dari sasaran yang telah direncanakan, standar dan persyaratan kompetensi yang telah disepakati. Manajemen kinerja adalah suatu kesepakatan diantara seorang karyawan dengan manajernya tentang beberapa harapan. Manajemen kinerja kebanyakan adalah tentang pengelolaan harapan dari seorang karyawan.

b. Sebuah proses, manajemen kinerja bukan hanya serangkaian sistem formulir dan prosedur, melainkan serangkaian tindakan yang diambil untuk mencapai suatu hasil dari hari kehari dan mengelola peningkatan kinerja diri mereka sendiri atau orang lain.

c. Pemahaman bersama, untuk memperbaiki kinerja, para individu perlu memiliki pemahaman bersama tentang bagaimana segarusnya bentuk tingkat kinerja dan kompetensi yang tinggi itu dan apa pula yang hendak dicapai.

d. Suatu pendekatan dalam mengelola dan mengembangkan sumber daya manusia. Manajemen kinerja berfokus pada tiga hal. Pertama, bagaimana para manajer dan pimpinan atau kepala madrasah bekerja secara efektif dengan orang-orang yang berada disekitar mereka. Kedua, bagaimana para individu bekerja sama denga para manajer dan kelompok. Ketiga, bagaimana individu dapat dikembangkan untuk meningkatkan pengetahuan, keahlian dan kepiawaian mereka dan tingkat kompetensi serta kinerja mereka.

e. Pencapaian. Pada akhirnya, manajemen kinerja adalah pencapaian yang berhubungan dengan pekerjaan individu sehingga mereka dapat memanfaatkan kemampuan sebaik-baiknya, menyadari potensi mereka sendiri dan memaksimalkan konstribusi mereka terhadap keberhasilan organisasi.

Oleh karena itu manajemen kinerja didasarkan kepada suatu asumsi bahwa bila mana orang tahu dan mengerti apa yang diharapkan dari mereka, dan diikut sertakan dalam penentuan sasaran yang akan dicapai maka mereka akan menunjukkan kinerja untuk mencapai sasaran tersebut.

Sehingga apabila manajemen kinerja sudah diterapkan, maka akan lebih mudah untuk menumbuhkan motivasi karyawan. Karena motivasi adalah sesuatu yang menggerak dan mengarahtuju seseorang dalam tindakan-tindakannya sama ada secara negatif atau positif. Atau definisi lain mengatakan bahwa motivasi adalah sebuah alasan atau dorongan seseorang untuk bertindak. Orang yang tidak mau bertindak sering kali disebut tidak memiliki motivasi. Alasan atau dorongan itu bisa datang dari luar maupun dari dalam diri. Sebenarnya pada dasarnya semua motivasi itu datang dari dalam diri, faktor luar hanyalah pemicu munculnya motivasi tersebut. Motivasi dari luar adalah motivasi yang pemicunya datang dari luar diri kita. Sementara meotivasi dari dalam ialah motivasinya muncul dari inisiatif diri kita.

Pada dasarnya motivasi itu hanya dua, yaitu untuk meraih kenikmatan atau menghindari dari rasa sakit atau kesulitan. Uang bisa menjadi motivasi kenikmatan maupun motivasi menghindari rasa sakit. Jika kita memikirkan uang supaya kita tidak hidup sengsara, maka disini alasan seseorang mencari uang untuk menghindari rasa sakit. Sebaliknya ada orang yang mengejar uang karena ingin menikmati hidup, maka uang sebagai alasan seseorang untuk meraih kenikmatan.

2. Motivasi Kerja Karyawan

Motivasi adalah sesuatu yang menggerak dan mengarahtuju seseorang dalam tindakan-tindakannya sama ada secara negatif atau positif. Atau definisi lain mengatakan bahwa motivasi adalah sebuah alasan atau dorongan seseorang untuk bertindak. Orang yang tidak mau bertindak sering kali disebut tidak memiliki motivasi. Alasan atau dorongan itu bisa datang dari luar maupun dari dalam diri. Sebenarnya pada dasarnya semua motivasi itu datang dari dalam diri, faktor luar hanyalah pemicu munculnya motivasi tersebut. Motivasi dari luar adalah motivasi yang pemicunya datang dari luar diri kita. Sementara motivasi dari dalam ialah motivasinya muncul dari inisiatif diri kita. Motivasi adalah kemauan untuk berbuat sesuatu, denagn adanya motivasi maka pegawai memiliki kekuatan pendorong untuk bekerja. Seorang pegawai bisa memiliki kinerja yang baik jika pelaksanaan kerja didukung oleh kemampuan yang cukup. Namun kemampuan saja tidaklah lengkap. Disinilah peran motivasi sebagai faktor pembeda antara pegawai satu dengan yang lainnya. Oleh karenanya, walaupun seorang pegawai memiliki kemampuan yang cukup untuk melaksanakan tugas dan pekerjaanya, tetapi apabila tidak ditunjang oleh motivasi yang kuat maka kinerja tidak optimal.

Pada dasarnya motivasi itu hanya dua, yaitu untuk meraih kenikmatan atau menghindari dari rasa sakit atau kesulitan. Uang bisa menjadi motivasi kenikmatan maupun motivasi menghindari rasa sakit. Jika kita memikirkan uang supaya kita tidak hidup sengsara, maka disini alasan seseorang mencari uang untuk menghindari rasa sakit. Sebaliknya ada orang yang mengejar uang karena ingin menikmati hidup, maka uang sebagai alasan seseorang untuk meraih kenikmatan.

Dalam teori motivasi menjelaskan bahwa banyak orang yang mencoba menjelaskan bagaimana semua motivasi bekerja. Berikut adalah beberapa diantaranya:

a. Teori Insentif
Yaitu teori yang mengatakan bahwa seseorang akan bergerak atau mengambil tindakan karena ada insentif yang akan dia dapatkan. Misalnya, Anda mau bekerja dari pagi sampai sore karena Anda tahu bahwa Anda akan mendapatkan intensif berupa gaji. Jika Anda tahu akan mendapatkan penghargaan, maka Anda pun akan bekerja lebih giat lagi. Yang dimaksud insentif bisa tangible atau intangible. Seringkali sebuah pengakuan dan penghargaan, menjadi sebuah motivasi yang besar.

b. Dorongan Bilogis
Yang dimaksud dengan dorongan biologis bukan hanya masalah seksual saja, termasuk didalamnya dorongan makan dan minum. Saat ada sebuah pemicu atau rangsangan, tubuh kita akan bereaksi. Sebagai contoh, saat kita sedang haus, kita akan lebih haus lagi saat melihat segelas sirup dingin kesukaan. Perut akan menjadi lapar saat mencium bau masakan favorit. Bisa dikatakan ini adalah dorongan fitrah atau bawaan kita sejak lahir untuk mempertahankan hidup dan keberlangsungan hidup.

c. Teori Hirarki Kebutuhan
Teori ini dikenalkan oleh Maslow sehingga kita mengenal hirarki kebutuhan Maslow. Teori ini menyajikan alasan lebih lengkap dan bertingkat. Mulai dari kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan kemanan, kebutuhan akan pengakuan sosial, kebutuhan penghargaan, sampai kebutuhan akan aktualisasi diri.

d. Takut Kehilangan vs Kepuasan
Teori ini mengatakan bahwa pada dasarnya ada dua faktor yang memotivasi manusia, yaitu takut kehilangan dan demi kepuasan (terpenuhinya kebutuhan). Takut kehilangan adalah adalah ketakutan akan kehilangan yang sudah dimiliki. Misalnya seseorang yang termotivasi berangkat kerja karena takut kehilangan gaji. Ada juga orang yang giat bekerja demi menjawab sebuah tantangan, dan ini termasuk faktor kepuasan. Konon, faktor takut kehilangan lebih kuat dibanding meraih kepuasan, meskipun pada sebagian orang terjadi sebaliknya.

e. Kejelasan Tujuan
Teori ini mengatakan bahwa kita akan bergerak jika kita memiliki tujuan yang jelas dan pasti. Dari teori ini muncul bahwa seseorang akan memiliki motivasi yang tinggi jika dia memiliki tujuan yang jelas. Sehingga muncullah apa yang disebut dengan Goal Setting (penetapan tujuan).

3. Pengelolaan Kinerja Karyawan

Kepala madrasah perlu memperhatikan pengelolaan kinerja karyawan. Komunikasi antara kepala dan karyawan sangat perlu untuk meningkatkan produktivitas, semangat dan motivasi yang memungkinkan koordinasi pekerjaan setiap karyawan dalam lembaga pendidikan. Pada kenyataan banyak kepala sekolah yang berusaha untuk menghindari manajemen kinerja. Hal ini disebabkan karena kepala sekolah tersebut tidak mengerti manajemen kinerja. Orientasi pimpinan/ kepala biasanya pada penilaian bukan pada perencanaan. Fokus mereka pada komunikasi satu arah, bukan dua arah (dialog). Budaya komunikasi juga jarang dikembangkan dikalangan pimpinan kepada karyawannya. Tidak sedikit pula pimpinan fokus pada masa lalu bukan masa sekarang dan yang akan datang. Hal-hal ini tidak efisien, membuang waktu dan usaha yang tidak memberikan kontribusi manfaat yang seharusnya dapat diberikan manajemen kinerja. Karena manajemen kinerja adalah suatu proses komunikasi yang terus menerus dilakukan dalam kerangka kerjasama antara seorang karyawan dan atasan langsung yang melibatkan pengertian tentang hal-hal berikut :

a. Fungsi kerja karyawan yang mendasar.
b. Bagaimana pekerjaan karyawan tersebut berkontribusi pada sasaran organisasi.
c. Apa maknanya, dalam arti konkret, melakukan pekerjaan dengan baik.
d. Adanya standarisasi/ ukuran penilaian prestasi kinerja.
e. Kendala apa yang menggangu kinerja dan meminimalkan kendala tersebut.
f. Adanya jalinan kerjasama antara karyawan dengan atasan untuk meningkatkan kinerja karyawan.

Secara garis besar manajemen kinerja merupakan investasi di depan, sehingga manajer dapat memberikan kesempatan karyawan untuk melaksanakan pekerjaan mereka. Karyawan mengetahui apa yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya, keputusan apa yang dapat mereka ambil sendiri, mengetahui standard kerja mereka, dan mengetahui kapan perlu melibatkan kepala sekolahnya.

Manajemen kinerja, dalam beberapa hal, sangat sederhana, namun sebaliknya sangat kompleks. Terdiri dari banyak bagian dan membutuhkan keahlian. Tapi jika manajer mengarahkannya dengan pola pikir yang tepat, dapat membuatnya berhasil dan memperoleh manfaat yang besar organisasi lembaga pendidikan.

Namun, meskipun setiap organisasi lembaga pendidikan ingin mengelola dan mengembangkan manajemen kinerja ini sesuai dengan versinya dan kebutuhannya, tentunya perlu dipikir kerangka kerja konseptual sehingga proses kerja yang tepat dapat dikembangkan dan dilaksanakan. Kerangka kerja ini akan membantu menetukan pendekatan yang akan diterapkan. Kerangka tersebut merupakan panduan bagi manajer, karyawan dan kelompok, sehingga jelas kegiatan manajemen kinerja apa yang diharapkan dari pegawai atau karyawan.

Kerangka kerja konseptual tersebut antara lain ialah meliputi sebagai berikut :

a. Strategi Serta Sasran Organisasi
1) Persiapan pernyataan nilai serta misi yang dikaitkan dengan strategi organisasi
2) Penetapan sasran organisasi dan depertemen

b. Penetapan Rencana Dan Kinerja
1) Kesepakatan mengenai akuntabilitas, tugas, sasaran, tuntutan pegetahuan, keahlian dan kompetensi serta ukuran kinerja.
2) Kesepakatan mengenai rencana kerja dan action plan untuk pengembangan SDM dan peningkatan kinerja (ini dapat merupakan bagian dari suatu kesepakatan kinerja).

c. Pengelolaan Secara Berkesinambungan Sepanjang Tahun
1) Pemberian umpan balik secara teratur
2) Evaluasi perkembangan secara berkala

d. Evaluasi Kinerja Secara Formal
1) Persiapan oleh manajer dan karyawan secara individu untuk suatu evaluasi formal
2) Evaluasi kinerja tahunan yang kemudian mengarah kepada kesepakatan kinerja baru.

e. Pengembangan Dan Pelatihan
1) Program pengembangan dan pelatihan yang didasarkan atas hasil evaluasi kinerja
2) Pengembangan yang lebih informal akan berlangsung disepanjang tahun dalam bentuk bimbingan, konseling, on-the-job training dan aktifitas pengembangan diri.

Dari kerangka kerja konseptual tersebut, kepala madrasah harus melalui manajemen kinerja dalam pengelolaan kinerjanyanya. Bukan malah melompati proses manajemen kinerja. Karena hal ini menyebabkan banyak yang tidak mengerti manfaatnya bagi karyawan, manajer (kepala madrasah), dan organisasi. Manajemen kinerja dapat bernilai, bila pimpinan mengerti apa manfaatnya bagi lembaga pendidikan tersebut.

Dan manajemen kinerja memerlukan investasi di muka untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang sangat praktis. Sebagai contoh, manajemen kinerja dapat digunakan untuk memastikan setiap pekerjaan karyawan berkontribusi bagi sasaran kelompok kerja. Hal ini dapat mengurangi waktu pengawasan dengan cara memperjelas bagi karyawan, apa yang mereka perlu selesaikan dan mengapa mereka perlu mengerjakannya. Manajemen kinerja yang dilakukan dengan tepat memungkinkan kepala madrasah untuk mengenali masalah-masalah bila terjadi sehingga dapat ditanggulangi lebih awal. Kebutuhan akan disiplin dikurangi sebagai akibatnya. Faktor yang tidak dapat dielakkan adalah bahwa manajemen kinerja dapat meningkatkan produktivitas.

Sering dijumpai kekeliruan konsepsi yang besar tentang manajemen kinerja. Banyak orang bingung tentang penilaian kinerja dan manajemen kinerja, percaya bahwa kedua hal itu satu dan sama. Ketika karyawan dan manajer percaya bahwa manajemen kinerja terdiri dari rapat tahunan dimana manajer mengevaluasi kinerja dengan tujuan menghukum karyawan yang tidak berhasil, maka tidak mengherankan bahwa tidak seorangpun menunggu proses tersebut.

Evaluasi kinerja adalah bagian terkecil dari manajemen kinerja. Untuk meningkatkan kinerja dan menciptakan sebuah tempat kerja yang lebih menyenangkan, maka diperlukan manajemen kinerja (tidak hanya mengevaluasinya). Jika hanya mengevaluasi, kemungkinannya adalah produktivitas berkurang (bukannya meningkat). Oleh sebab itu lakukan semua langkah. Mulailah dengan merencanakan kinerja. Langkah yang kritis ini memastikan bahwa baik manajer dan karyawan mengerti apa yang harus dilakukan di tahun depan untuk berkontribusi pada keseluruhan sasaran perusahaan. Setiap karyawan yang terlibat harus jelas tentang bagaimana karyawan perlu melakukan pekerjaannya.

Dalam mengelola untuk mengambil keputusan yang benar diperlukan data dan informasi. Bagian dari seluruh proses manajemen kinerja meliputi mengamati dan mengumpulkan data sehingga komponen lembaga pendidikan mengtahui apa yang terjadi. Ada beberapa hal penting yang harus dilakukan:

a. Pastikan karyawan mengetahui perbedaannya.

Karyawan perlu mengerti langkah-langkah ini. Jelaskan tujuan dari tiap langkah. Jelaskan apa yang terjadi, meliputi bagaimana prosesnya akan bermanfaat bagi mereka.

b. Jadikan dua arah.

Manajemen kinerja melibatkan suatu pertukaran informasi. Manajer memperoleh dan memberikan informasi kepada karyawan. Demikian sebaliknya karyawan juga memberikan dan memperoleh informasi dari manajer. Ini adalah cara efektif meningkatkan kinerja.

c. Buatlah berhubungan juga dengan Manajer.

Manajemen kinerja tidak hanya tentang apa yang dilakukan karyawan. Manajemen kinerja adalah tentang mengenali peran manajer dalam meningkatkan kinerja.

C. KEPEMIMPINAN KEPALA MADRASAH DALAM MENGELOLA KONFLIK UNTUK MENINGKATKAN KINERJA KARYAWAN

1. Karakteristik Kepala Madrasah Dalam Mengelola Konflik Untuk Meningkatkan Kinerja Karyawan

Dalam lembaga pendidikan (madrasah) proses interaksi antara suatu sub sistem dengan sub sistem lainnya, dan antara satu pihak dengan pihak lainnya tidak ada jaminan akan selalu terjadi kesesuaian atau kecocokan antara individu dalam hal pelaksananya. Setiap saat ketegangan dapat saja muncul, baik antar individu maupun antar kelompok dalam organisasi. Disitulah pentingnya sesosok pemimpin yang mampu menyeimbangkan antar sub sistem dan pihak-pihak yang terlibat ketidak cocokan dalam sebuah organisasi, karena banyak faktor yang melatarbelakangi munculnya ketidak cocokan atau ketegangan, antara lain: sifat-sifat pribadi yang berbeda, perbedaan kepentingan, komunikasi yang buruk, perbedaan nilai, dan sebagainya. Perbedaan-perbedaan inilah yang akhirnya membawa organisasi ke dalam suasana konflik. Agar organisasi dapat tampil efektif, maka pemimpin (kepala madrasah) harus membuat individu dan kelompok yang saling tergantung itu harus menciptakan hubungan kerja yang saling mendukung satu sama lain, menuju pencapaian tujuan organisasi.

Untuk meminimalkan terjadinya konflik maka perlu adanya manajemen konflik yang harus dikuasai oleh kepala madrasah sebagai salah satu bentuk karakteristik dari seorang kepala madrasah, fungsinya yaitu untuk mengelola konflik yang akan terjadi. Mengelola konflik di sini tidak berarti kita harus menghindari konflik, apalagi menguburnya, karena bagaimanapun konflik memang harus ada. Menekan konflik sering menimbulkan lahirnya sebuah kebijakan yang prematur. Menekan konflik juga cenderung mengundang hadirnya kesalah pahaman yang tidak mewakili kepentingan siapapun. Bahkan menurut penulis buku “Social Conflict” Rubin dan Pruitt, tanpa konflik, keadilan sulit bisa diwujudkan. Karenanya, mengubur konflik akan sama artinya dengan menyimpan bom sosial yang siap meledak kapan saja ketika ada kesempatan yang memicunya.

Namun, selain dapat menciptakan kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika masing-masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri-sendiri dan tidak saling bekerjasama satu sama lain. Konflik dapat menjadi masalah yang serius dalam setiap organisasi, tanpa peduli apapun bentuk dan tingkat kompleksitas organisasi tersebut. Konflik tersebut mungkin tidak membawa kematian bagi organisasi, tetapi pasti dapat menurunkan kinerja organisasi yang bersangkutan, jika konflik tersebut dibiarkan berlarut-larut tanpa penyelesaian. Karena itu keahlian untuk mengelola konflik sangat diperlukan bagi setiap pimpinan atau manajer organisasi, dan seorang pimpinan tentunya mempunyai karakter tersendiri dalam mengelola konflik. Karena konflik merupakan bagian integral dari kehidupan manusia. Secara personal kita mengalami konflik dalam rumah tangga. Dalam hubungan yang luas, konflik terjadi dalam hubungan sosial, ekonomi, dan politik, seperti tawuran pelajar, konflik industri dan agraria, konflik etnis dan sektarian, hingga konflik antar negara.

Jika dikelola, konflik sebenarnya memiliki nilai positif bagi interaksi manusia. Masalahnya pengetahuan dan ketrampilan yang memadai untuk mengelola konflik sering tidak dimiliki oleh mereka yang terlibat konflik atau pun yang menangani konflik. Akibatnya konflik tidak hanya tidak berhasil dikelola, dalam banyak kasus bahkan memperparah konflik yang terjadi.

Konflik di sini tidak selamanya harus dimaknai permusuhan atau pertikaian, karena dalam kajian sosiologis, konflik itu juga bisa bermakna kompetisi, tegangan (tension) atau sekadar ketidaksepahaman. Itu pula sebabnya, kehadiran konflik itu tidak selamanya harus dimaknai sebagai sebuah kekuatan yang menghancurkan – a necessarily destructif force, karena dalam banyak hal konflik itu juga bernilai positif, bahkan konstruktif, dan karenanya fungsional.

Persisnya, dengan konflik dinamika lahir, dengan konflik kreativitas muncul. Bahkan menurut pakar sosiologi, konflik asal Jerman, George Mills, konflik adalah penggerak sejarah sekaligus sumber perubahan, dan karenanya, konflik akan besar sumbangannya dalam mencegah kebekuan sosial. The changes caused by conflict prevent society from stagnating: Mills (1956).

Kemudian ada lima karakteristik kepemimpinan atau gaya dalam pengelolaan konflik, ke lima gaya dan model ini ditujukan untuk menangani konflik disfungsional dalam organisasi. Ke lima karakteristik atau gaya tersebut yaitu: integrating, obliging, dominating, avoiding, dan compromising.

a. Integrating (problem solving)

Dalam gaya ini pihak-pihak yang berkepentingan secara bersama-sama mengindentifikasi masalah yang dihadapi, kemudian mencari, mempertimbangkan dan memilih solusi alternatif pemecahan masalah. Gaya ini cocok untuk memecahkan isu-isu kompleks yang disebabkan oleh salah paham sistem nilai yang berbeda. kelemahan utamanya adalah memerlukan waktu yang lama dalam penyelesaian masalah.

b. Obliging (smoothing)

Sesuai dengan posisinya dalam gambar di atas, seseorang yang bergaya obliging lebih memusatkan perhatian pada upaya untuk memuaskan pihak lain daripada diri sendiri. Gaya ini sering pula disebut smoothing (melicinkan), karena berupaya mengurangi perbedaan-perbedaan dan menekankan pada persamaan atau kebersamaan di antara pihak-pihak yang terlibat. Kekuatan strategi ini terletak pada upaya untuk mendorong terjadinya kerjasama. Kelemahannya, penyelesaian bersifat sementara dan tidak menyentuh masalah pokok yang ingin dipecahkan.

c. Dominating (forcing)

Orientasi pada diri sendiri yang tinggi, dan rendahnya kepedulian terhadap kepentingan orang lain, mendorong seseorang untuk menggunakan taktik “saya menang, kamu kalah’. Gaya ini sering disebut memaksa (forcing) karena menggunakan legalitas formal dalam menyelesaikan masalah. Gaya ini cocok digunakan jika cara-cara yang tidak populer hendak diterapkan dalam penyelesaian masalah, masalah yang dipecahkan tidak terlalu penting, dan waktu untuk mengambil keputusan sudah mepet. Tetapi tidak cocok untuk menangani masalah yang menghendaki partisipasi dari mereka yang terlibat. Kekuatan utama gaya ini terletak pada minimalnya waktu yang diperlukan. Kelemahannya, sering menimbulkan kejengkelan atau rasa berat hati untuk menerima keputusan oleh mereka yang terlibat.

d. Avoiding

Taktik menghindar (avoiding) cocok digunakan untuk menyelesaikan masalah yang sepele atau remeh, atau jika biaya yang harus dikeluarkan untuk konfrontasi jauh lebih besar daripada keuntungan yang akan diperoleh. Gaya ini tidak cocok untuk menyelesaikan masalah-masalah yang sulit atau ‘buruk’. Kekuatan dari strategi penghindaran adalah jika kita menghadapi situasi yang membingungkan atau mendua (ambiguous situation). Sedangkan kelemahannya, penyelesaian masalah hanya bersifat sementara dan tidak menyelesaikan pokok masalah.

e. Compromising

Gaya ini menempatkan seseorang pada posisi moderat, yang secara seimbang memadukan antara kepentingan sendiri dan kepentingan orang lain. Ini merupakan pendekatan saling memberi dan menerima (give and take approach) dari pihak-pihak yang terlibat. Kompromi cocok digunakan untuk menangani masalah yang melibatkan pihak-pihak yang memiliki tujuan berbeda tetapi memiliki kekuatan yang sama. misalnya dalam negosiasi kontrak antara buruh dan majikan. Kekuatan utama dari kompromi adalah pada prosesnya yang demokratis dan tidak ada pihak yang merasa dikalahkan. Tetapi penyelesaian konflik kadang bersifat sementara dan mencegah munculnya kreativitas dalam penyelesaian masalah.

Model-model di atas sudah barang tentu hanya merupakan sebagian saja dari banyak model yang dapat dipilih dalam manajemen konflik. Model apapun yang dipilih akan tergantung pada beberapa faktor, antara lain; 1) latar belakang terjadinya konflik; 2) kategori pihak-pihak yang terlibat dalam konflik; apakah antar individu, individu dengan kelompok, atau antar kelompok dan organisasi; 3) kompleksitas masalah yang akan dipecahkan; dan 4) kompleksitas organisasi.

2. Strategi Dalam Mengelola Konflik Untuk Meningkatkan Kinerja Karyawan

Kekuasaan individu, organisasi, dan lembaga pendidikan tidak terlpas dari kemampuannya untuk menyusun diri dengan berbagai tuntutan perubahan. Perubahan yang terjadi akibat perkembangan jaman berimplikasikan kepada munculnya kebutuhan untuk menyusun strategi yang tidak hanya mendasarkan pada perhitungan sederhana, kebijakan-kebijakan yang telah mapan, bahkan terhadap aturan-aturan yang telah dibuat.

Sedangkan mengelola konflik di sini berarti cerdas memilih dan menentukan strategi pengelolaannya. Dalam bukunya yang berjudul “Social Conflict” (1986), Rubin dan Pruitt mengajukan beberapa strategi dasar yang bisa digunakan dalam pengelolaan konflik sosial yang sifatnya sangat alami itu.

Pertama, adalah strategi yang disebut dengan contending atau bertanding. Intinya, masing-masing pihak yang akan berebut kepentingan bisa melakukan segala upaya untuk menjadi pemenang tanpa harus memperhatikan kepentingan pihak lain yang menjadi lawan politiknya, bahkan berusaha agar pihak lain menyerah atau mengalah. Bentuknya pun sangat beragam. Bisa dengan membuat janji, ancaman, atau bahkan hukuman. Bahkan bisa pula dilakukan dengan ditunjukkan hanya dengan cara membuat argumentasi persuasif kalau bukan dengan cara sebaliknya, ngotot dengan pendirian sepihaknya. Tentu dengan segala dampak sosial yang bakal ditimbulkannya.

Berbeda dengan yang pertama, maka strategi kedua dilakukan dengan cara mencari alternatif cara yang seoptimal mungkin bisa memuaskan masing-masing pihak yang akan berebut kepentingan. Itu sebabnya, strategi ini disebut dengan cara problem solving (pemecahan masalah). Intinya, strategi dasar ini menyarankan agar masing-masing pihak yang terlibat konflik berusaha mempertahankan aspirasinya, tetapi sekaligus menghormati akan kepentingan lawan politiknya. Upaya kompromi, rekonsiliasi, adalah dua bentuk cara yang biasa digunakan dalam strategi kedua ini.

Memang tidak mudah untuk mencari cara pemecahan yang bisa memuaskan sepenuhnya semua pihak yang saling berebut kepentingan, lebih-lebih dalam perebutan kekuasaan. Itu sebabnya, ada beberapa strategi dasar lain yang lazim muncul dalam proses mengatasi konflik. Yielding (sikap mengalah), withdrawing (menarik diri), dan inaction (aksi diam), adalah tiga alternatif strategi lain yang mesti dijadikan acuan dalam menyelesaikan konflik. Dalam konteks itu, satu atau beberapa pihak yang terlibat dalam perebutan kepentingan bersedia menurunkan aspirasinya, bahkan jika perlu mundur menarik diri, atau sekadar tidak berbuat apa pun semata demi menghindari konflik yang membahayakan karena sudah cenderung destruktif.

Dalam mengelola konflik ada 5 gaya strategi antara lain:

a. Integrating (Problem Solving).

Dalam gaya ini pihak-pihak yang berkepentingan secara bersama-sama mengidentifikasikan masalah yang dihadapi, kemudian mencari, mempertimbangkan dan memilih solusi alternatif pemecahan masalah. Gaya ini cocok untuk memecahkan isu-isu kompleks yang disebabkan oleh salah paham (misunderstanding), tetapi tidak sesuai untuk memecahkan masalah yang terjadi karena sistem nilai yang berbeda. Kelemahan utamanya adalah memerlukan waktu yang lama dalam penyelesaian masalah.

b. Obliging (Smoothing).

Seseorang yang bergaya obliging lebih memusatkan perhatian pada upaya untuk memuaskan pihak lain daripada diri sendiri. Gaya ini sering pula disebut smothing (melicinkan), karena berupaya mengurangi perbedaan-perbedaan dan menekankan pada persamaan atau kebersamaan di antara pihak-pihak yang terlibat. Kekuatan strategi ini terletak pada upaya untuk mendorong terjadinya kerjasama. Kelemahannya, penyelesaian bersifat sementara dan tidak menyentuh masalah pokok yang ingin dipecahkan.

c. Dominating (Forcing).

Orientasi pada diri sendiri yang tinggi, dan rendahnya kepedulian terhadap kepentingan orang lain, mendorong seseorang untuk menggunakan taktik “saya menang, kamu kalah”. Gaya ini sering disebut memaksa (forcing) karena menggunakan legalitas formal dalam menyelesaikan masalah. Gaya ini cocok digunakan jika cara-cara yang tidak populer hendak diterapkan dalam penyelesaian masalah, masalah yang dipecahkan tidak terlalu penting, dan waktu untuk mengambil keputusan sudah mepet. Tetapi tidak cocok untuk menangani masalah yang menghendaki partisipasi dari mereka yang terlibat. Kekuatan utama gaya ini terletak pada minimalnya waktu yang diperlukan. Kelemahannya, sering menimbulkan kejengkelan atau rasa berat hati untuk menerima keputusan oleh mereka yang terlibat.

d. Avoiding.

Taktik menghindar (avoiding) cocok digunakan untuk menyelesaikan masalah yang sepele atau remeh, atau jika biaya yang harus dikeluarkan untuk konfrontasi jauh lebih besar daripada keuntungan yang akan diperoleh. Gaya ini tidak cocok untuk menyelesaikan masalah-malasah yang sulit atau “buruk”. Kekuatan dari strategi penghindaran adalah jika kita menghadapi situasi yang membingungkan atau mendua (ambiguous situations), sedangkan kelemahannya, penyelesaian masalah hanya bersifat sementara dan tidak menyelesaikan pokok masalah.
e. Compromising.

Gaya ini menempatkan seseorang pada posisi moderat, yang secara seimbang memadukan antara kepentingan sendiri dan kepentingan orang lain. Ini merupakan pendekatan saling memberi dan menerima (give-and-take approach) dari pihak-pihak yang terlibat. Kompromi cocok digunakan untuk menangani masalah yang melibatkan pihak-pihak yang memiliki tujuan berbeda tetapi memiliki kekuatan yang sama. Misalnya, dalam negosiasi kontrak antara buruh dan majikan. Kekuatan utama dari kompromi adalah pada prosesnya yang demokratis dan tidak ada pihak yang merasa dikalahkan. Tetapi penyelesaian konflik kadang bersifat sementara dan mencegah munculnya kreativitas dalam penyelesaian masalah.

Dalam proses interaksi antara suatu subsistem dengan subsistem lainnya tidak ada jaminan akan selalu terjadi kesesuaian atau kecocokan antara individu pelaksananya. Setiap saat ketegangan dapat saja muncul, baik antar individu maupun antar kelompok dalam organisasi. Banyak faktor yang melatar belakangi munculnya ketidakcocokan atau ketegangan, antara lain sifat-sifat pribadi yang berbeda, perbedaan kepentingan, komunikasi yang buruk, perbedaan nilai, dan sebagainya. Perbedaan-perbedaan inilah yang akhirnya membawa organisasi ke dalam suasana konflik.

Agar organisasi dapat tampil efektif, maka individu dan kelompok yang saling tergantung itu harus menciptakan hubungan kerja yang saling mendukung satu sama lain, menuju pencapaian tujuan organisasi. Namun, selain dapat menciptakan kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika masing-masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri-sendiri dan tidak saling bekerjasama satu sama lain.

Sebuah organisasi tidak akan berjalan dengan baik kalau didalamnya tidak ada pemimpin sebagai orang yang bertanggung jawab atas organisasi tersebut, dan pemimpin itu tidak akan maksimal dalam melaksanakan tugasnya tanpa adanya bawahan (karyawan) yang selalu berintraksi dan membantunya. Adanya pemimpin dan bawahan (karyawan) tersebut adalah suatu bukti bahwa organisasi dan struktur saling berkaitan. Oleh karena itu, istilah struktur digunakan dalam artian yang mencakup: ukuran (organisasi), derajat spesialisasi yang diberikan kepada anggota kepada organisasi, kejelasan jurisdiksi (wilayah kerja), kecocokan antara tujuan anggota dengan tujuan organisasi, gaya kepemimpinan, dan sistem imbalan. Dan sebagai tolak ukur, dalam penelitian menunjukkan bahwa ukuran organisasi dan derajat spesialisasi merupakan variabel yang mendorong terjadinya konflik struktur. Makin besar organisasi, dan makin terspesialisasi kegiatannya, maka semakin besar pula kemungkinan terjadinya konflik.

Teori lain mengatakan bahwa yang harus diperhatikan dalam strategi pengelolaan dan penanganan konflik serta pengembangan organisasi yang harus dicapai adalah :

a. Pengarahan kepada hubungan antara orang-orang dan organisasi. Para pengembang organisasi terkadang juga dinamakan para pengatur hubungan. Dengan pengarahan kepada hubungan diberikan juga perhatian yang diperlukan bagi proses-proses antar manusia, dalam arti bagaimana keadaannya dalam hubungan-hubungan itu, kelakuan macam manakah yang dilakukan orang sehari-harinya, titik kemacetan apakah yang terdapat dalam saling hubungan itu. Singkatnya, cara orang-orang saling menyibukkan diri memperoleh banyak perhatian. Perhatian untuk itu dan pengertian tentang apa yang dapat dilakukan terhadapnya justru telah dikembangkan oleh para pengembang organisasi.

b. Apa yang juga telah diambil oper dari para pengembang organisasi adalah kumpulan intervensi.ini kebanyakan ditujukan kepada hubungan-hubungan social-emosional dan instrumental, sering berlatar belakang adanya saling ketergantungan yang kuat. Jenis-jenis hubungan dan intervensi itu secara eksplisit cocok dengan pendekatan yang diuraikan disini.

c. Dengan dimasukkannya hubungan-hubungan kekuasaan dan hubungan-hubungan perundingan, tidak hanya secara teoritis tetapi juga secara intervensionistis, diisilah suatu kekosongan yang ada dalam pengembangan organisasi. Pengembang organisasi itu masih sering berat sebelah arahnya tertuju kepada hubungan social-emosional dan instrumental.

d. Hubungan apapun disini, pada umumnya masalah-masalah dalam organisasi itu dilihat sebagai manifestasi ketegangan, yaitu konflik antara satuan. Jika meninjau hubungan instrumental dan social emosional. Itu disabkan karena disini organisasi dilihat sebagai jaringan kesatuan yang per definisi diantaranya terdapat ketegangan. Dalam pendekatan ini hubungan dan perbaikan hubungan menjadi sentral. Tetapi dengan itu juga ketegangan dan penanganan konflik (yang mungkin timbul)

e. Telah diperhitungkan adanya konflik yang sangat keras dan tajam. Konflik yang telah meningkat cukup jauh yang sekan-akan masih mendapat tambahan berupa dimensi intensitasnya yang memerlukan intervensi tersendiri. Konflik yang meningkat selalu terjadi pada organisasi yang hubungan antara pihak-pihaknya bersifat simetris, sebab kalau tidak demikian pihak yang kuat sudah mengakhirinya dengan memaksakan kehendaknya. Usaha menjaga keseimbangan kekuasaan yang justru sangat peka itulah yang memerlukan intervensi tersendiri. Biasanya tidak begitu. Konflik yang sangat keras memang memerlukan pendekatan tersendiri untuk ‘intensitas’ dan ‘keseimbangan kekuasaan’. Selebihnya perbedaan-perbedaannya kurang penting.

3. Metode-Metode Pengelolaan Konflik Untuk Meningkatkan Kinerja Karyawan

Menurut T. Heni Handoko salah satu dosen Fakultas Ekonomi di Universitas Gadjah Mada mengatakan, bahwa ada tiga bentuk manajemen konflik, atau lazimnya biasa disebut metode-metode dalam pengelolaan konflik. Di antaranya adalah stimulasi konflik dalam satuan-satuan organisasi dimana pelaksanaan kegiatan lambat karena tingkat konflik terlalu rendah, kemudian pengaruh atau penekanan konflik bila terlalu tinggi atau menurunkan produktifitas, dan penyelesaian konflik.

Adapun metode-metode pengelolaan konflik antara lain ialah sebagai berikut :

a. Metode Stimulasi Konflik

Seperti yang telah disebutkan dimuka, konflik dapat menimbulkan dinamika dan pencapaian cara-cara yang lebih baik dalam pelaksanaan kegiatan kerja suatu kelompok. Situasi dimana konflik terlalu rendah akan menyebabkan para karyawan takut berinisiatif dan menjadi pasif. Kejadian-kejadian, perilaku dan informasi yang dapat mengarahkan orang-orang bekerja lebih baik di abaikan, para anggota kelompok saling bertoleransi terhadap kelemahan dan kejelekan pelaksanaan kerja. Pimpinan/ manajer dari kelompok seperti ini perlu merangsang timbulnya persaingan dan konflik yang dapat mempunyai efek penggemblengan.

Metode simulasi konflik meliputi pemasukan atau penempatan orang luar kedalam kelompok, penyusunan kembali organisasi, penawaran bonus, pembayaran insentif dan penghargaan untuk mendorong persaingan, pemilihan manajer-manajer yang tepat, dan perlakuan yang berbeda dengan kebiasaan.

b. Metode Pengurangan Konflik

Kepala madrasah (manajer) biasanya lebih terlibat dengan pengurangan konflik dari pada stimulasi konflik. Metode pengurangan konflik menekankan terjadinya antogonisme yang ditimbulkan oleh konflik. Jadi, metode ini mengelola tingkat konflik melalui “pendinginan suasana” tetapi tidak menagani masalah-masalah yang semula menimbulkan konflik.

Dua metode dapat digunakan untuk untuk mengurangi konflik. Pendekatan efektif pertama adalah mengganti tujuan yang menimbulkan persaingan dengan tujuan yang lebih bisa diterima kedua kelompok. Metode efektif kedua adalah mempersatukan kedua kelompok yang bertentangan untuk menghadapi “ancaman” atau “musuh” yang sama.

Intinya bahwa pada pendekatan pertama yang bersifat efektif, para periset mensubtitusi tujuan-tujuan luhur (superior) yang diterima oleh kelompok-kelompok yang ada sebagai pengganti tujuan-tujuan kompetitif yang menyebabkan mereka terpisah satu sama lain. Metode efektif kedua adalah mempersatukan kelompok-kelompok yang ada dengan jalan mengadakan menghadapkan mereka dengan sebuah bahaya yang mengancam mereka semua atau ‘musuh’ bersama yang dihadapi oleh mereka.

Metode ini mengurangi permusuhan (antagonis) yang ditimbulkan oleh konflik dengan mengelola tingkat konflik melalui pendinginan suasana akan tetapi tidak berurusan dengan masalah yang pada awalnya menimbulkan konflik itu.

Metode pertama adalah mengganti tujuan yang menimbulkan persaingan dengan tujuan yang lebih bisa diterima kedua kelompok, metode kedua mempersatukan kelompok tersebut untuk menghadapi ancaman atau musuh yang sama.

c. Metode Penyelesaian Konflik

Metode penyelesaian konflik yang akan dibahas berikut berkenaan dengan kegiatan-kegiatan para manajer (pimpinan) yang dapat secara langsung mempengaruhi pihak-pihak yang bertentangan. Metode-metode penyelesaian konflik lainnya yang dapat digunakan, mencakup perubahan dalam struktur organisasi, mekanisme koordinasi, dan lain sebagainya.

Metode ini dapat terjadi melalui cara-cara seperti kekerasan (forcing) yang bersifat penekanan otokratik, penenangan (smolling) yaitu cara yang lebih diplomatis, penghindaran (avoidance) dimana manajer menghindari untuk mengambil posisi yang tegas, dan penentuan melalui suara terbanyak (majority rule) mencoba untuk menyelesaikan konflik antar kelompok prosedur yang adil.

Keberadaan teori konflik muncul setelah fungsionalisme, namun sesungguhnya teori konflik sebenarnya sama saja dengan suatu sikap kritis terhadap Marxisme Ortodox. Seperti Ralp Dahrendorf, yang membicarakan tentang konflik antara kelompok-kelompok terkoordinasi (imperality coordinated association), dan bukan analisis perjuangan kelas, lalu tentang elit dominan, dari pada pengaturan kelas, dan manajemen pekerja dari pada modal dan buruh.

BUKU REFRENSI

Al-Aqshari. Yususf. 2001. Manajemen Konflik, Bagaimana Cara Mengatasi Masalah dengan Orang Lain. Penerbi Robbani Pers : Jakarta.

Black, James M. 2006. Manajemem: a Guide to Executive Command dalam Sadili Samsudin.

Dharma, Surya MPA. 2009. Manajem Kinerja (Falsafah, Teori dan Penenrapannya), PT. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Fatah, Nanang . 1996. Landasan Manajemen Pendidikan. Remaja Rosdakarya: Bandung.

Handoko, T. Hani. 2003. Manajemen Edisi Ke-2. PT. BPFE: Yogyakarta.

Mitchell, Christopher R. 2008. Memahami Konflik Internasional. PT. Alfabeta: Bandung.

Muhammad bin Isma'il. 1987. Al-Jami' Al-Shohih Al-Mukhtashar Juz. II. Dar Ibn Katsir : Bairut.

Mulyasa, E. M. Pd. 2006. Manajemen Berbasis Sekolah (Konsep, Strategi, dan Implementasi). Remaja Rosdakarya: Bandung.

Moekijat. 2007. Pengembangan Dan Penilaian Hasil Kerja. PT. CV Mandar Maju: Jakarta.

Wahjosumidjo. 1999. Kepemimpinan Kepala Sekolah: Tinjauan Teoritik dan Permasalahannya. Raja Grafindo: Jakarta.

Winardi. 2007. Manajemen Konflik (Konflik Perubahan Dan Pengembangan) cet ke-2. PT. CV Mandar Maju: Bandung.

comment 1 komentar:

Unknown on 8 Desember 2019 pukul 23.07 mengatakan...

terima kasih

Posting Komentar

 
© Sepenggal Taqdir | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger