Oleh : Abd Ghani
MADURA yang selama ini dikenal dengan watak celuritnya memang tidak bisa dipungkiri, karena bagi mereka celurit adalah merupakan sebuah ciri has untuk menunjukkan eksisten kemaduraannya. Siapapun yang berani bermasalah dengan orang madura, maka urusannya tidak lagi dengan orang madura, akan tetapi dengan celuritnya yang sudah membatu menjadi kerakteristik orang madura. Sehingga banyak dari kalangan berpendapat bahwa kultur (sosial-budaya) suku Madura selama ini kurang menggembirakan. Karena anggapan itu, orang Madura sering dijadikan anekdot yang lucu-lucu, bahkan terkadang terkesan seram. Salah satu contohnya adalah anggapan bahwa orang Madura suka carok dan sulit diajak maju dan lain-lainnya. Lalu bagaimana sebenarnya karakter etnis Madura ini? Benarkah carok itu merupakan kebiasaan?.
Madura memang memiliki karakteristik sosial budaya (sosbud) khas yang dalam banyak hal tidak dapat disamakan dengan karakteristik sosbud masyarakat etnis lain. Suatu realitas yang tidak perlu dipungkiri bahwa karakteristik sosbud Madura cenderung dilihat orang luar lebih pada sisi yang negative. Pandangan itu berangkat dari anggapan bahwa karakteristik (sikap dan perilaku) masyarakat Madura itu mudah tersinggung, gampang curiga pada orang lain, temperamental atau gampang marah, pendendam serta suka melakukan tindakan kekerasan. Bahkan, bila orang Madura dipermalukan, seketika itu juga ia akan menuntut balas atau menunggu kesempatan lain untuk melakukan tindakan balasan.
Artinya orang madura tidak akan pernah terima jika mereka disalahi terlebih dahulu, tapi bukan berarti orang madura berbuat masalah hanya karena kekuasaan rasisnya atau etnis maduranya yang begitu kuat. Siapapun orangnya asal dia salah bagi orang madura, maka penyelesaiannya ialah dengan celurit, bahkan orang madura pun jika salah mereka tidak akan pernah memuji keberaniannya, akan tetapi mereka menganggap itu adalah orang madura yang tidak tau aturan dan tidak pernah belajar tatacara bersosialisasi dengan watak yang sebenarnya lemah lembut. Oleh karena itu, jika ada orang madura yang berbuat salah terlebih dahulu, maka yang akan menyelesaikannya orang madura itu sendiri. Dengan cara mereka akan diajari tata cara bergaul dengan lemah lembut, tapi jika masih keras dengan unsur kemaduraannya yang keras tampa menunjukkan karakteristik yang sebenarnya lemah lembut, maka mereka akan diajari langsung dengan celurit. Itulah sebenarnya orang madura, mereka tidak langsung main bacok carok seenaknya saja, akan tetapi masih memikir terlebih dahulu mana yang salah dan mana yang benar. Jika mereka salah, orang madura pasti akan mengatakan salah, dan jika mereka benar dengan ketegasan celuritnya mereka akan mengatakan benar.
Pandangan itu berangkat dari anggapan bahwa karakteristik (sikap dan perilaku) masyarakat Madura itu mudah tersinggung, gampang curiga pada orang lain, temperamental atau gampang marah, pendendam serta suka melakukan tindakan kekerasan. Bahkan, bila orang Madura dipermalukan, seketika itu juga ia akan menuntut balas atau menunggu kesempatan lain untuk melakukan tindakan balasan. Semua itu tidak lebih dari suatu gambaran stereotip belaka. Sebab, kenyataannya, salah satu karakteristik sosok Madura yang menonjol adalah karakter yang apa adanya. Artinya, sifat masyarakat etnis ini memang ekspresif, spontan, dan terbuka.
Ekspresivitas, spontanitas, dan keterbukaan orang Madura, senantiasa termanifestasikan ketika harus merespon segala sesuatu yang dihadapi, khususnya terhadap perlakuan orang lain atas dirinya. Misalnya, jika perlakuan itu membuat hati senang, maka secara terus terang tanpa basa-basi, mereka akan mengungkapkan rasa terima kasihnya seketika itu juga. Tetapi sebaliknya, mereka akan spontan bereaksi keras bila perlakuan terhadap dirinya dianggap tidak adil dan menyakitkan hati. Dari sinilah sebenarnya sudah tercermin bahwa sebenarny orang madura itu embut didalam bergaul dengan orang lain, karma pada dasarnya perinsip orang madur ialah apabila ada orang lain yang bersikap lembut kepadanya maka orang madura akan lebih lembut, begitu juga sebaliknya apabila ada orang lain yang bersikap keras kepadanya maka orang madura akan lebih keras. Perinsip ini yang selalu dipegang oleh orang madura. Salah satu contoh yang mungkin bisa dijadikan tolak ukur bahwa sebenarnya orang madura itu lembut dan selalu menghargai orang lain juga terbuka ialah bahwa suatu ketika di atas kapal feri penyeberangan dari Kamal ke Ujung (Tanjung Perak), ada seorang Madura sedang merokok di dalam ruangan ber-AC, dan oleh orang lain, ia ditegur. Apakah orang Madura yang ditegur itu langsung keras dan marah-marah?. Ternyata tidak. Spontanitas ia mematikan rokoknya yang masih cukup panjang dan dengan keterbukaan ia pun mengaku tidak tahu kalau ada rambu dilarang merokok. Ia langsung berkata “Nyo'on sapora, den kaule ta’ ngauningih (Minta maaf, saya tidak tahu, Red)”, katanya dengan ekspresi yang lugu. Ada pula anekdot yang lucu dan lugu. Misalnya, ketika seorang abang becak asal Madura berurusan dengan polisi, ia dikatakan goblok karena melanggar aturan lalu lintas. Tetapi, petugas itu pun akhirnya tertawa karena mendapat jawaban si abang becak seperti ini. "Wah, Pak Polisi ini bagaimana, kalau saya pinter, ya ndak membecak. Tak iyeh...".
Dalam konteks ini berarti bahwa nilai-nilai sosbud Madura membuka peluang bagi ekspresi individual secara lebih transparan. Bahkan, secara sosial pun setiap individu tidak ditabukan untuk mengungkapkan perasaan, keinginan atau kehendaknya. Bila kita hendak memahami persepsi, visi, maupun apresiasi, terhadap sosok Madura. Masyarakat dan nilai-nilai sosbudnya hasilnya akan menjadi lebih proporsional dan lebih objektif. Pengungkapan perasaan, keinginan, kehendak, dan semacamnya, akan makin memperlihatkan sosok Madura asli bila menyangkut masalah harga diri. Karena, bagi orang Madura, harga diri memiliki makna dimensi sosio-kultural yang berkaitan erat dengan posisi dirinya dalam struktur social, dan tentunya mereka akan mengutamakan pentingnya saling melindungi. Posisi sosio-kultural ini menentukan status serta peran-peran diri orang Madura dalam kehidupan masyarakat. Kapasitas diri ini juga mencakup berbagai jenis dimensi lain pada tingkat praktis, tidak cukup hanya disadari oleh yang bersangkutan.
Dalam kaitan ini, pelecehan terhadap harga diri akan diartikan sekaligus sebagai penghinaan terhadap kapasitas diri. Jika hal ini benar-benar terjadi, orang Madura akan merasa tada' ajinah (seperti manusia yang tak bermakna apa-apa, Red). Yang pada gilirannya muncul perasaan malu, baik pada dirinya sendiri maupun pada lingkungan sosbud mereka. Karena perasaan seperti itu, terlahir kondisi psiko-kultural serta ekspresi reaktif secara spontan, baik pada tingkatan individual maupun kolektif (keluarga, kampung, desa atau kesukuan).
Yang jelas orang madura tidak akan pernah mau dilecehkan, terbukti dengan cara orang Madura merespon amarah biasanya berupa tindakan resistensi yang cenderung keras. Keputusan perlu tidaknya menggunakan kekerasan fisik dalam tindakan resistensi ini sangat tergantung pada tingkat pelecehan yang mereka rasakan. Pada tingkat ekstrim, jika perlu mereka bersedia mengorbankan nyawa. Sikap dan perilaku ini tercermin dalam sebuah ungkapan: Ango'an Poteya Tolang, Etembhang Poteya Mata (artinya, kematian lebih dikehendaki daripada harus hidup dengan menanggung perasaan malu). Sebaliknya, jika harga diri orang Madura dihargai sebagaimana mestinya, sudah dapat dipastikan mereka akan menunjukkan sikap dan perilaku andhap asor. Mereka akan amat ramah, sopan, hormat dan rendah hati. Bahkan, secara kualitatif tidak jarang justru bisa lebih daripada itu. Contohnya, ada ungkapan, oreng deddi taretan (artinya, orang lain yang tidak punya hubungan apa-apa akan diperlakukan layaknya saudara sendiri). Suatu sikap dan perilaku kultural yang selama ini kurang dipahami oleh orang luar.
Jadi, soal carok itu bukanlah suatu kebiasaan atau budaya struktural. Sebab, belum tentu seorang yang dulu jagoan dan dikenal suka carok, lalu turunannya otomatis juga carok. yang jelas, carok itu,menurut saya lebih didominasi pada masalah harga diri. Misalnya, menyangkut soal yang sangat penting seperti istrinya diganggu, carok itu bisa terjadi kepada siapa saja. Artinya, meski carok itu bukanlah tradisi atau menganut garis turunan, tapi kalau menyangkut harga diri, martabat keluarga yang dilecehkan, maka carok bisa jadi cara terbaik untuk menyelesaikannya. Contohnya, ada satu keluarga yang tidak carok, namun suatu ketika kepala keluarga itu tewas gara-gara dibacok. Hampir bias dipastikan sang anak ketika kejadian masih kecil, pada saat dewasa akan melakukan perhitungan dengan sipembunuh orang tuanya. Apa yang dilakukan si anak yang sudah dewasa itu bukanlah sikap balas dendam. Tetapi, merupakan pembelaan (melindungi) atas nama keluarga. Hal seperti ini bisa terjadi sampai mengakar. Karena itu, jangan heran, kalau mendengar cerita carok yang terjadi antar keluarga secara berkepanjangan, Hal seperti itu, pernah terjadi beberapa waktu lalu, yang sampai melibatkan antar keluarga dan kampung. Bahkan untuk mendamaikan, agar tak terjadi carok massal, Pak Noer (H. Mohammad Noer), mantan Gubernur Jatim yang juga sesepuh Madura turun tangan langsung. Alhamdulillah, akhirnya terselesaikan. Jadi, masalah carok ini bukanlah kultur Madura. Carok, lebih pas kalau dikatakan merupakan cerminan sikap pelakunya yang menjaga harga diri dan melindungi diri serta tak mau dilecehkan atau dipermalukan.
BERSAMBUNG DULU SAKEK CETAK SE NGARANGAH POLE……..
MADURA yang selama ini dikenal dengan watak celuritnya memang tidak bisa dipungkiri, karena bagi mereka celurit adalah merupakan sebuah ciri has untuk menunjukkan eksisten kemaduraannya. Siapapun yang berani bermasalah dengan orang madura, maka urusannya tidak lagi dengan orang madura, akan tetapi dengan celuritnya yang sudah membatu menjadi kerakteristik orang madura. Sehingga banyak dari kalangan berpendapat bahwa kultur (sosial-budaya) suku Madura selama ini kurang menggembirakan. Karena anggapan itu, orang Madura sering dijadikan anekdot yang lucu-lucu, bahkan terkadang terkesan seram. Salah satu contohnya adalah anggapan bahwa orang Madura suka carok dan sulit diajak maju dan lain-lainnya. Lalu bagaimana sebenarnya karakter etnis Madura ini? Benarkah carok itu merupakan kebiasaan?.
Madura memang memiliki karakteristik sosial budaya (sosbud) khas yang dalam banyak hal tidak dapat disamakan dengan karakteristik sosbud masyarakat etnis lain. Suatu realitas yang tidak perlu dipungkiri bahwa karakteristik sosbud Madura cenderung dilihat orang luar lebih pada sisi yang negative. Pandangan itu berangkat dari anggapan bahwa karakteristik (sikap dan perilaku) masyarakat Madura itu mudah tersinggung, gampang curiga pada orang lain, temperamental atau gampang marah, pendendam serta suka melakukan tindakan kekerasan. Bahkan, bila orang Madura dipermalukan, seketika itu juga ia akan menuntut balas atau menunggu kesempatan lain untuk melakukan tindakan balasan.
Artinya orang madura tidak akan pernah terima jika mereka disalahi terlebih dahulu, tapi bukan berarti orang madura berbuat masalah hanya karena kekuasaan rasisnya atau etnis maduranya yang begitu kuat. Siapapun orangnya asal dia salah bagi orang madura, maka penyelesaiannya ialah dengan celurit, bahkan orang madura pun jika salah mereka tidak akan pernah memuji keberaniannya, akan tetapi mereka menganggap itu adalah orang madura yang tidak tau aturan dan tidak pernah belajar tatacara bersosialisasi dengan watak yang sebenarnya lemah lembut. Oleh karena itu, jika ada orang madura yang berbuat salah terlebih dahulu, maka yang akan menyelesaikannya orang madura itu sendiri. Dengan cara mereka akan diajari tata cara bergaul dengan lemah lembut, tapi jika masih keras dengan unsur kemaduraannya yang keras tampa menunjukkan karakteristik yang sebenarnya lemah lembut, maka mereka akan diajari langsung dengan celurit. Itulah sebenarnya orang madura, mereka tidak langsung main bacok carok seenaknya saja, akan tetapi masih memikir terlebih dahulu mana yang salah dan mana yang benar. Jika mereka salah, orang madura pasti akan mengatakan salah, dan jika mereka benar dengan ketegasan celuritnya mereka akan mengatakan benar.
Pandangan itu berangkat dari anggapan bahwa karakteristik (sikap dan perilaku) masyarakat Madura itu mudah tersinggung, gampang curiga pada orang lain, temperamental atau gampang marah, pendendam serta suka melakukan tindakan kekerasan. Bahkan, bila orang Madura dipermalukan, seketika itu juga ia akan menuntut balas atau menunggu kesempatan lain untuk melakukan tindakan balasan. Semua itu tidak lebih dari suatu gambaran stereotip belaka. Sebab, kenyataannya, salah satu karakteristik sosok Madura yang menonjol adalah karakter yang apa adanya. Artinya, sifat masyarakat etnis ini memang ekspresif, spontan, dan terbuka.
Ekspresivitas, spontanitas, dan keterbukaan orang Madura, senantiasa termanifestasikan ketika harus merespon segala sesuatu yang dihadapi, khususnya terhadap perlakuan orang lain atas dirinya. Misalnya, jika perlakuan itu membuat hati senang, maka secara terus terang tanpa basa-basi, mereka akan mengungkapkan rasa terima kasihnya seketika itu juga. Tetapi sebaliknya, mereka akan spontan bereaksi keras bila perlakuan terhadap dirinya dianggap tidak adil dan menyakitkan hati. Dari sinilah sebenarnya sudah tercermin bahwa sebenarny orang madura itu embut didalam bergaul dengan orang lain, karma pada dasarnya perinsip orang madur ialah apabila ada orang lain yang bersikap lembut kepadanya maka orang madura akan lebih lembut, begitu juga sebaliknya apabila ada orang lain yang bersikap keras kepadanya maka orang madura akan lebih keras. Perinsip ini yang selalu dipegang oleh orang madura. Salah satu contoh yang mungkin bisa dijadikan tolak ukur bahwa sebenarnya orang madura itu lembut dan selalu menghargai orang lain juga terbuka ialah bahwa suatu ketika di atas kapal feri penyeberangan dari Kamal ke Ujung (Tanjung Perak), ada seorang Madura sedang merokok di dalam ruangan ber-AC, dan oleh orang lain, ia ditegur. Apakah orang Madura yang ditegur itu langsung keras dan marah-marah?. Ternyata tidak. Spontanitas ia mematikan rokoknya yang masih cukup panjang dan dengan keterbukaan ia pun mengaku tidak tahu kalau ada rambu dilarang merokok. Ia langsung berkata “Nyo'on sapora, den kaule ta’ ngauningih (Minta maaf, saya tidak tahu, Red)”, katanya dengan ekspresi yang lugu. Ada pula anekdot yang lucu dan lugu. Misalnya, ketika seorang abang becak asal Madura berurusan dengan polisi, ia dikatakan goblok karena melanggar aturan lalu lintas. Tetapi, petugas itu pun akhirnya tertawa karena mendapat jawaban si abang becak seperti ini. "Wah, Pak Polisi ini bagaimana, kalau saya pinter, ya ndak membecak. Tak iyeh...".
Dalam konteks ini berarti bahwa nilai-nilai sosbud Madura membuka peluang bagi ekspresi individual secara lebih transparan. Bahkan, secara sosial pun setiap individu tidak ditabukan untuk mengungkapkan perasaan, keinginan atau kehendaknya. Bila kita hendak memahami persepsi, visi, maupun apresiasi, terhadap sosok Madura. Masyarakat dan nilai-nilai sosbudnya hasilnya akan menjadi lebih proporsional dan lebih objektif. Pengungkapan perasaan, keinginan, kehendak, dan semacamnya, akan makin memperlihatkan sosok Madura asli bila menyangkut masalah harga diri. Karena, bagi orang Madura, harga diri memiliki makna dimensi sosio-kultural yang berkaitan erat dengan posisi dirinya dalam struktur social, dan tentunya mereka akan mengutamakan pentingnya saling melindungi. Posisi sosio-kultural ini menentukan status serta peran-peran diri orang Madura dalam kehidupan masyarakat. Kapasitas diri ini juga mencakup berbagai jenis dimensi lain pada tingkat praktis, tidak cukup hanya disadari oleh yang bersangkutan.
Dalam kaitan ini, pelecehan terhadap harga diri akan diartikan sekaligus sebagai penghinaan terhadap kapasitas diri. Jika hal ini benar-benar terjadi, orang Madura akan merasa tada' ajinah (seperti manusia yang tak bermakna apa-apa, Red). Yang pada gilirannya muncul perasaan malu, baik pada dirinya sendiri maupun pada lingkungan sosbud mereka. Karena perasaan seperti itu, terlahir kondisi psiko-kultural serta ekspresi reaktif secara spontan, baik pada tingkatan individual maupun kolektif (keluarga, kampung, desa atau kesukuan).
Yang jelas orang madura tidak akan pernah mau dilecehkan, terbukti dengan cara orang Madura merespon amarah biasanya berupa tindakan resistensi yang cenderung keras. Keputusan perlu tidaknya menggunakan kekerasan fisik dalam tindakan resistensi ini sangat tergantung pada tingkat pelecehan yang mereka rasakan. Pada tingkat ekstrim, jika perlu mereka bersedia mengorbankan nyawa. Sikap dan perilaku ini tercermin dalam sebuah ungkapan: Ango'an Poteya Tolang, Etembhang Poteya Mata (artinya, kematian lebih dikehendaki daripada harus hidup dengan menanggung perasaan malu). Sebaliknya, jika harga diri orang Madura dihargai sebagaimana mestinya, sudah dapat dipastikan mereka akan menunjukkan sikap dan perilaku andhap asor. Mereka akan amat ramah, sopan, hormat dan rendah hati. Bahkan, secara kualitatif tidak jarang justru bisa lebih daripada itu. Contohnya, ada ungkapan, oreng deddi taretan (artinya, orang lain yang tidak punya hubungan apa-apa akan diperlakukan layaknya saudara sendiri). Suatu sikap dan perilaku kultural yang selama ini kurang dipahami oleh orang luar.
Jadi, soal carok itu bukanlah suatu kebiasaan atau budaya struktural. Sebab, belum tentu seorang yang dulu jagoan dan dikenal suka carok, lalu turunannya otomatis juga carok. yang jelas, carok itu,menurut saya lebih didominasi pada masalah harga diri. Misalnya, menyangkut soal yang sangat penting seperti istrinya diganggu, carok itu bisa terjadi kepada siapa saja. Artinya, meski carok itu bukanlah tradisi atau menganut garis turunan, tapi kalau menyangkut harga diri, martabat keluarga yang dilecehkan, maka carok bisa jadi cara terbaik untuk menyelesaikannya. Contohnya, ada satu keluarga yang tidak carok, namun suatu ketika kepala keluarga itu tewas gara-gara dibacok. Hampir bias dipastikan sang anak ketika kejadian masih kecil, pada saat dewasa akan melakukan perhitungan dengan sipembunuh orang tuanya. Apa yang dilakukan si anak yang sudah dewasa itu bukanlah sikap balas dendam. Tetapi, merupakan pembelaan (melindungi) atas nama keluarga. Hal seperti ini bisa terjadi sampai mengakar. Karena itu, jangan heran, kalau mendengar cerita carok yang terjadi antar keluarga secara berkepanjangan, Hal seperti itu, pernah terjadi beberapa waktu lalu, yang sampai melibatkan antar keluarga dan kampung. Bahkan untuk mendamaikan, agar tak terjadi carok massal, Pak Noer (H. Mohammad Noer), mantan Gubernur Jatim yang juga sesepuh Madura turun tangan langsung. Alhamdulillah, akhirnya terselesaikan. Jadi, masalah carok ini bukanlah kultur Madura. Carok, lebih pas kalau dikatakan merupakan cerminan sikap pelakunya yang menjaga harga diri dan melindungi diri serta tak mau dilecehkan atau dipermalukan.
BERSAMBUNG DULU SAKEK CETAK SE NGARANGAH POLE……..
2 komentar:
ataeh beih keh, etembeng acarok lebi bekus tedung.
Budayakan membaca samapai selesai. Agar tdk gagal paham
Posting Komentar